- Beranda
- Stories from the Heart
You Are My Happiness
...
TS
jayanagari
You Are My Happiness

Sebelumnya gue permisi dulu kepada Moderator dan Penghuni forum Stories From The Heart Kaskus 
Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian
Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian

Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Orang bilang, kebahagiaan paling tulus adalah saat melihat orang lain bahagia karena kita. Tapi terkadang, kebahagiaan orang itu juga menyakitkan bagi kita.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 11-08-2015 11:18
gebby2412210 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
2.2M
5.1K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#2877
PART 108
Handphone yang gue letakkan di meja kerja gue, mendadak bergetar. Gue yang sedang mengerjakan sesuatu di komputer di sisi meja yang lain, berputar dan melirik isi layar. Ada Line dari Anin. Gue tersenyum, dan membalas chat itu sejenak, sebelum kembali tenggelam di pekerjaan gue. Secangkir kecil teh panas yang masih mengepul ada di samping komputer. Gue menyeruput teh itu, dan bibir gue langsung terbakar karenanya. Sambil sedikit menggerutu gue letakkan kembali cangkir itu, dan menjilati bibir atas gue.
Hari itu masuk minggu kedua gue di ibukota tanpa Anin. Kemana Anin? Dia di Mumbai, India. Ngapain di India? Kerja. Kerja dimana? Di perusahaan manufaktur multinasional. Gue juga gak tau kalo dia melamar di perusahaan itu, tau-tau ikut seleksi, dan berhasil. Gue bahagia dia bisa mulai merasakan cita-citanya terwujud, keliling dunia gratis. Jadilah kami LDR lagi setelah 2 bulan bersama. Yah, umur-umur segini emang rawan LDR. Untungnya selisih waktu Jakarta-Mumbai gak lama, cuma Mumbai lebih cepet 1,5 jam dari Jakarta.
Hari itu pekerjaan gue cukup padat, ada beberapa appointment yang harus gue penuhi, dan kesemuanya di luar kantor. Mau gak mau gue harus berkutat dengan kemacetan ibukota. Siang hari, di sela-sela padatnya jadwal gue itu, gue sempatkan diri makan siang. Kalo gak makan bisa-bisa jadi mumi gue. Akhirnya semua jadwal appointment gue itu berakhir jam 5 sore, tepat waktu pulang kantor, meskipun gue gak pernah pulang kantor sesuai jadwal. Di lift yang menuju ke lantai dimana kantor gue berada, mendadak handphone di kantong celana gue berdenting. Ternyata ada BBM, dari Tami.
Gue segera merapikan berkas-berkas yang ada di meja gue, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum gue cabut dari kantor. Kelar semuanya, gue segera menuju ke Sency. Sesampai di parkiran gue BBM Tami.
Gue bergegas menuju lantai dimana Starbucks. Celingukan sesaat, gue menemukan satu makhluk yang sangat familiar buat gue berdiri di samping tanaman artifisialnya Starbucks. Dia berambut bergelombang sebahu, dan memakai kaos, bercelana jeans dan membawa ransel kulit kecil. Dia menoleh ke arah gue sambil menghisap lollipop di mulutnya. Anak ini, umur udah 23 tahun tapi tampang masih kayak umur 18, pikir gue geli. Gue bergegas mendekatinya, dan dia menyambut gue dengan ngegablok lengan gue.
Gue dan Tami berjalan-jalan mengelilingi seisi mall itu. Beberapa kali dia keluar masuk tenant brand-brand tertentu, tapi keluar lagi dengan tangan kosong. Sesekali dia memanggil gue untuk menanyakan pendapat gue tentang pilihannya. Sering gue isengin dia dengan cara berhenti mendadak sewaktu dia ngomong ke gue tapi melihat ke arah lain, dan dia dongkol bukan main sewaktu mendapati gue gak disampingnya tapi berdiri agak jauh di belakang sambil cengengesan.
Gue memandangi Tami lekat-lekat, dan ternyata Tami paham apa yang mengganjal di pikiran gue. Dia kemudian tertawa kecil dan mengangguk.
Gue tersenyum.
Handphone yang gue letakkan di meja kerja gue, mendadak bergetar. Gue yang sedang mengerjakan sesuatu di komputer di sisi meja yang lain, berputar dan melirik isi layar. Ada Line dari Anin. Gue tersenyum, dan membalas chat itu sejenak, sebelum kembali tenggelam di pekerjaan gue. Secangkir kecil teh panas yang masih mengepul ada di samping komputer. Gue menyeruput teh itu, dan bibir gue langsung terbakar karenanya. Sambil sedikit menggerutu gue letakkan kembali cangkir itu, dan menjilati bibir atas gue.
Hari itu masuk minggu kedua gue di ibukota tanpa Anin. Kemana Anin? Dia di Mumbai, India. Ngapain di India? Kerja. Kerja dimana? Di perusahaan manufaktur multinasional. Gue juga gak tau kalo dia melamar di perusahaan itu, tau-tau ikut seleksi, dan berhasil. Gue bahagia dia bisa mulai merasakan cita-citanya terwujud, keliling dunia gratis. Jadilah kami LDR lagi setelah 2 bulan bersama. Yah, umur-umur segini emang rawan LDR. Untungnya selisih waktu Jakarta-Mumbai gak lama, cuma Mumbai lebih cepet 1,5 jam dari Jakarta.
Hari itu pekerjaan gue cukup padat, ada beberapa appointment yang harus gue penuhi, dan kesemuanya di luar kantor. Mau gak mau gue harus berkutat dengan kemacetan ibukota. Siang hari, di sela-sela padatnya jadwal gue itu, gue sempatkan diri makan siang. Kalo gak makan bisa-bisa jadi mumi gue. Akhirnya semua jadwal appointment gue itu berakhir jam 5 sore, tepat waktu pulang kantor, meskipun gue gak pernah pulang kantor sesuai jadwal. Di lift yang menuju ke lantai dimana kantor gue berada, mendadak handphone di kantong celana gue berdenting. Ternyata ada BBM, dari Tami.
Quote:
Gue segera merapikan berkas-berkas yang ada di meja gue, dan menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum gue cabut dari kantor. Kelar semuanya, gue segera menuju ke Sency. Sesampai di parkiran gue BBM Tami.
Quote:
Gue bergegas menuju lantai dimana Starbucks. Celingukan sesaat, gue menemukan satu makhluk yang sangat familiar buat gue berdiri di samping tanaman artifisialnya Starbucks. Dia berambut bergelombang sebahu, dan memakai kaos, bercelana jeans dan membawa ransel kulit kecil. Dia menoleh ke arah gue sambil menghisap lollipop di mulutnya. Anak ini, umur udah 23 tahun tapi tampang masih kayak umur 18, pikir gue geli. Gue bergegas mendekatinya, dan dia menyambut gue dengan ngegablok lengan gue.
Quote:
Gue dan Tami berjalan-jalan mengelilingi seisi mall itu. Beberapa kali dia keluar masuk tenant brand-brand tertentu, tapi keluar lagi dengan tangan kosong. Sesekali dia memanggil gue untuk menanyakan pendapat gue tentang pilihannya. Sering gue isengin dia dengan cara berhenti mendadak sewaktu dia ngomong ke gue tapi melihat ke arah lain, dan dia dongkol bukan main sewaktu mendapati gue gak disampingnya tapi berdiri agak jauh di belakang sambil cengengesan.
Quote:
Gue memandangi Tami lekat-lekat, dan ternyata Tami paham apa yang mengganjal di pikiran gue. Dia kemudian tertawa kecil dan mengangguk.
Quote:
Gue tersenyum.
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3


: tapir, lo dimana?
: kantor lah. Kenapa?
: kelar jam berapa lo?
: emang gue taksi apa. Lo ngapain di Sency?
: iye sendirian, makanya gue minta temenin lo.
: wnpr?
: TAPIR!
: ngapain? Main film?
: GI-TU-AN? GI-TU-AAAAN?
: hidup gak akan lunak buat kita, kan?