- Beranda
- Stories from the Heart
ILLUSI
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
open.minded
#1525
Burning Chocolate
Hari itu satu ruangan bermuka tegang semua. Bagaimana tidak. Project kita akan disidang oleh atasan apakah hasil kerja yang dipimpin Yvette ini layak atau tidak untuk dijadikan proposal yang akan di ajukan dalam acara lelang proyek pemerintah nanti. Berbeda dengan yang lain, gw tidak tegang, gw tidak mempunyai ekspektasi tinggi terhadap project yang dipimpin Yvette ini, tapi sebagai anggota tim, gw harus ikut dalam acara sidang ini, yang artinya gw harus ikut berdiri di depan, melihay Yvette mempersentasikan project yang dipimpinnya. Saat itu gw masih didalam ruangan gw bersama Recht, menunggu waktu sidang.
“bwaaah akhirnya project melelahkan ini berakhir juga” teriak Recht
“hahaha, kau yakin project kita akan diterima?” tanya gw
“hahha. Tidak. Kita akan ditolak.”
“hahh udah ku duga”
“dan aku percaya kamu pasti punya pikiran yang lebih dalam project ini bukan?”
“hah. Tidak ada gunanya membicarakan ini. sudah terlambat”
“inget Adi. Disaat seperti inilah orang yang tepat harus menunjukan sinarnya” ucap Recht
Gw hanya mengacungkan jari tengah ke arah Recht yang nyengir mesum. Gw bersandar di tempat duduk gw ini dan meminum susu coklat yang sudah gw siapkan tadi. Recht pun tiba tiba berdiri dan menyuruh gw mengkuti dia menandakan waktu sidang sudah dekat dan kita harus bersiap di ruangan yang telah disiapkan itu. Gw membuntuti Recht ke lift yang naik ke lantai atas, lantai yang belum pernah gw singgahi sebelumnya. Sampai lah kita disebuah lantai bernomorkan 57. Berbeda dengan ruangan lain, ruangan ini tampak lebih luas, dan mewah.
Terlihat Yvette sedang menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk persentasinya nanti, gila, nih wanita sangat ambisius dalam bekerja, sesuatu yang bagus, namun juga sesuatu yang buruk. Gw dan Recht menawarkan untuk membantunya, namun dia bersikukuh untuk mempersiapkan semuanya dengan sendiri. Kami tidak bisa berbuat apa apa.
30 menit kemudian, beberapa orang ‘besar dan tinggi’ memasuki ruangan. Hampir semua muka yang gw lihat ini tidak gw kenal, kecuali satu yang membuat tatapan gw berhenti dan memandangi bapak tua tinggi berambut putih itu, sepertinya gw pernah ketemu dia, tapi dimana, gw berusaha mengingat, ah! Di singapore, dia yang dulu mewawancarai gw, Denniz! Namanya.
Sidang pun dimulai. Yvette mempresentasikan project yang dipimpinya dengan detil. Terlihat di raut wajahnya terukir sebuah percaya diri yang besar, besar, tapi rapuh, entahlah itu yang gw bisa lihat dari dia saat ini, penampilannya pun sekarang berbeda dengan biasanya, kali ini rambut pirangnya dikucir rapih kebelakang, dengan kacamata berlensa besar menghiasi matanya. Entahlah, entah kenapa gw jadi laper ngeliat dia. persentasi pun berlanjut, dan kali ini sudah memasuki seksi sidang, dimana para pria berjas hitam ini melancarkan pertanyaan yang bertubi tubi, yang dimana Yvette bisa jawab hampir semuanya, sampai suatu pertanyaan teknis keluar dari mulu pak Denniz. Saat itu juga raut wajah Yvette berubah 180 derajat. Gw tau bener apa maksud raut wajah itu. dia tidak bisa menjawab pertanyaan pak Denniz. Yvette terdiam sejenak, terlihat keringat mulai keluar membahasi leher nya yang terbuka itu, dia lalu menjawab pertanyaan itu dengn terbata bata, yang dimana pak Denniz hanya menjawabnya dengan hembusan nafas dan sebuah gelengan kepala. Skak. Persentasi pun berakhir disitu. Pria pria berjas hitam, termasuk Denniz, keluar dari ruangan ini. Gw melihat Yvette yang menunduk diam, dan berjalan keluar ruangan ini tanpa membereskan peralatan yang disiapkannya tadi, meninggalkan hanya gw dan Recht saja.
“hey” ucap gw membuka pembicaraan
“hmm?” balas Recht
“jawab, apakah dia pernah gagal dalam tugasnya selama disini”
“hmm ini project pertama yang dipimpinnya, dan dia selalu tampil terbaik dalam timnya dulu”
“.....”
“jadi jawabannya. Tidak. Dia tidak pernah merasakan kegagalan”
“hahh. Dasar anak muda”
“hey. Kau seharusnya ngaca. Kau itu lebih muda dari dia”
“hahaha”
Gw dan Recht membereskan alat alat yang digunakan Yvette tadi dan mengembalikannya ketempatnya. Kami kembali keruangan kami dan duduk diam tanpa kerjaan. Aah santai juga akhirnya. Gw dan Recht pun menyalakan komputer kami dan memainkan Counter Strike secara local. Selesai bermain gw pun teringat Yvette, hmm, wanita kayak dia pasti shock banget kalau hasil kerjanya ditolak, gw pun beranjak dari tempat duduk gw dan berjalan ke meja coklat di pinggiran itu, gw berinisiatif membuatkan susu coklat untuk Yvette.
“sudah berapa kali kau bikin susu itu hm?” tanya Recht
“bukan buatku”
“oh!? terima kasih, tapi lo ga perlu membuatkan gw susu cok-“
“dan juga bukan buatmu, ini untuk Yvette”
“haaa?!”
Susu coklat pun jadi. Gw bawa mug bergambarkan bintang bintang itu dengan hati hati keluar dari ruangan gw. Recht pun dengan mesumnya mengikuti gw dari belakang menuju ke ruangan Yvette. Gw langsung memutarkan gagang pintu itu, yang ternyata ga bisa tebruka, dikunci dari dalam ternyata. Gw ketuk pintu ruangan itu yang disusul dengan bunyi “CKLEK” menandakan pintu sudah tidak terkunci lagi. terlihat Yvette sedang bersandar di dinding tepat disebelah kiri pintu yang gw masuki ini. saat itu juga dia melihat gw membawa sebuah mug yang mengepul dan Recht yang nyengir ga jelas. Terlihat di mata Yvette, yang kehitaman menandakan dia habis menangis.
“ada apa kamu kesini?!” tanya Yvette sinis
Gw sodorkan susu coklat di mug ini ke dia
“susu? untuk menyegarkan pikiran?” ucap gw
Yvette mengambil mug dari tangan gw
“kamu datang kesini untuk menertawaiku kan?” ucap Yvette
“hah?” tanya gw
“kamu datang kesini untuk meremehkan aku, karena aku gagal”
“tidak tidak, bukan itu aku hanya ingin menghibur mu”
“dan apa yang akan kamu dpatkan dari menghiburku?”
“.....”
“kau.. dan yang lain... sama saja... pada akhirnya kalian menginginkan hal yang sama bukan?”
“denger.. maaf kalau ini meny-“
PLAKK sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan gw
“Aku tidak butuh belaskasihanmu”
Crasss. Seketika badan dan dada gw terasa panas. Begitu juga dengan kemeja gw yang sudah mengggelap karena terkotori warna coklat. Yvette menyiram gw dengan susu coklat panas buatan gw sendiri. Gw bisa merasakan pipi kanan gw yang tadi ditampar memanas seperti terkelupas kulitnya.
“hey! Hey! Hey! Yvette! Kamu sekarang sudah bertindak terlalu jauh” Recht menahan tangan Yvette
“apa!? kamu juga sama seperti di-“
“Diam! kamu harus tau anak ini sudah baik berinisiatif ingin menghibur kamu!”
“kenapa? karena aku seorang wanita jadi perlu hiburan? Ha?”
“grr, ini yang membuat seluruh tim membenci mu!”
Recht tersulut emosi nya
“hey! Sudah sudah” ucap gw melerai mereka
“.....”
“ahh aku minta maaf bila tindakanku salah” ucap Gw ke Yvette
“.....”
“ahh lantainya jadi kotor biar kubersihkan sebentar”
“.....”
“tapi sayang sekali padahal susu coklat ini enak loh”
“.....”
“kalau kau mau, ambil saja diruanganku, letaknya di meja coklat dtepat diseberang pintu”
Gw membuka kemeja gw yang sudah kotor dengan coklat dan menggunakannya untuk mengelap lantai ini. sesudahnya gw beranjak ke WC untuk membasuh muka gw dengan air dingin, untung kondisi lantai ini saat ini sedang kosong, jadi tidak ada yang melihat kejadian tadi kecuali Recht. Gw langsung kembali lagi, terlihat Recht sudah kembali di mejanya.
“hey, kau punya kemeja lagi tidak?” tanya gw
“ada di laci depan, ambil saja”
“okay, terima kasih”
“grr, Yvette tadi sudah keterlaluan”
“sudahlah, mungkin gw sudah menyinggung dia, entahlah”
“hey kau mau kemana?”
“ke atas, kau tau orang yang bernama Denniz?”
“taulah, dia kan yang salah satu pemimpin disini”
“tolong antarkan aku ke dia”
“buat apa”
“seperti yang kamu bilang, saat nya seseorang untuk bersinar”
Recht pun tersenyum lebar lalu menepuk pundak gw. Sesaat kemudian gw dan Recht naik ke atas untuk bertemu dengan pak Denniz. Gw bermaksud ingin mengajukan sebuah proposal ke dia mengenai project lelang pemerintah ini. pembicaraan itu berlangsung lama sekali, karena gw harus menjelaskan dari A sampai Z, perlahan, dan detail, untuk meyakinkan pak Denniz atas proposal yang gw ajukan ini. sehabis pembicaraan, pak Denniz pun bersandar sambil tersenyum. Tidak lupa di meneguk segelas wine yang dia pegang dalam sebuah gelas kaca sedari tadi.
“apa yang kamu katakan, menjanjikan” ucap pak Denniz
“......”
“tetapi saya tidak bisa menyerahkan orang terbaik saya untuk masuk ke dalam tim kamu”
“oh itu, tidak masalah, saya hanya butuh orang, terbaik atau tidaknya itu tidak saya pikirkan”
“hm? apa kamu yakin? Yvette. Salah satu yang terbaik saja gagal. Bagaimana dengan kamu?”
“saya tidak menawarkan sesuatu yang terbaik, saya menawarkan sebuah proses”
“hm?”
“proses untuk menjadi yang terbaik”
“hahahaha, saya suka gayamu”
“hm, bos, kali ini, saya akan masuk ke dalam tim dia” ucap Recht memotong
“hmm kalau Recht sampai tertarik denganmu juga, berarti.. hmmm” ucap pak Denniz berpikir
“......”
“okay saya kasih kamu ruangan lebih besar di lantai kamu itu. saya beri kamu nama untuk kamu pilih menjadi anggota tim mu nanti. Tapi ingat. Mereka bukan pegawai yang baik”
“siap!”
Gw langsung berdiri dari posisi duduk gw, dan menjabat tangan pak Denniz ini. Gw tau project yang gw jalani ini hanya akan menjadi underdog yang tidak akan diperhatikan. Dan resikonya kalau gagal bisa mencoreng reputasi gw di perusahaan ini, bahkan bisa mengancam posisi gw di perusahaan ini. Tapi apalah hidup kalau tanpa api bukan? Gw dan Recht pun memasuki lift untuk turun kebawah
“kita membicarakan uang yang besar”
“Amin brah, Amin”
“tapi daftar nama yang ditawarkan tadi betul betul buruk dalam bekerja”
“tidak ada orang yang buruk dalam bekerja”
“bwaaah akhirnya project melelahkan ini berakhir juga” teriak Recht
“hahaha, kau yakin project kita akan diterima?” tanya gw
“hahha. Tidak. Kita akan ditolak.”
“hahh udah ku duga”
“dan aku percaya kamu pasti punya pikiran yang lebih dalam project ini bukan?”
“hah. Tidak ada gunanya membicarakan ini. sudah terlambat”
“inget Adi. Disaat seperti inilah orang yang tepat harus menunjukan sinarnya” ucap Recht
Gw hanya mengacungkan jari tengah ke arah Recht yang nyengir mesum. Gw bersandar di tempat duduk gw ini dan meminum susu coklat yang sudah gw siapkan tadi. Recht pun tiba tiba berdiri dan menyuruh gw mengkuti dia menandakan waktu sidang sudah dekat dan kita harus bersiap di ruangan yang telah disiapkan itu. Gw membuntuti Recht ke lift yang naik ke lantai atas, lantai yang belum pernah gw singgahi sebelumnya. Sampai lah kita disebuah lantai bernomorkan 57. Berbeda dengan ruangan lain, ruangan ini tampak lebih luas, dan mewah.
Terlihat Yvette sedang menyiapkan semua yang dibutuhkan untuk persentasinya nanti, gila, nih wanita sangat ambisius dalam bekerja, sesuatu yang bagus, namun juga sesuatu yang buruk. Gw dan Recht menawarkan untuk membantunya, namun dia bersikukuh untuk mempersiapkan semuanya dengan sendiri. Kami tidak bisa berbuat apa apa.
30 menit kemudian, beberapa orang ‘besar dan tinggi’ memasuki ruangan. Hampir semua muka yang gw lihat ini tidak gw kenal, kecuali satu yang membuat tatapan gw berhenti dan memandangi bapak tua tinggi berambut putih itu, sepertinya gw pernah ketemu dia, tapi dimana, gw berusaha mengingat, ah! Di singapore, dia yang dulu mewawancarai gw, Denniz! Namanya.
Sidang pun dimulai. Yvette mempresentasikan project yang dipimpinya dengan detil. Terlihat di raut wajahnya terukir sebuah percaya diri yang besar, besar, tapi rapuh, entahlah itu yang gw bisa lihat dari dia saat ini, penampilannya pun sekarang berbeda dengan biasanya, kali ini rambut pirangnya dikucir rapih kebelakang, dengan kacamata berlensa besar menghiasi matanya. Entahlah, entah kenapa gw jadi laper ngeliat dia. persentasi pun berlanjut, dan kali ini sudah memasuki seksi sidang, dimana para pria berjas hitam ini melancarkan pertanyaan yang bertubi tubi, yang dimana Yvette bisa jawab hampir semuanya, sampai suatu pertanyaan teknis keluar dari mulu pak Denniz. Saat itu juga raut wajah Yvette berubah 180 derajat. Gw tau bener apa maksud raut wajah itu. dia tidak bisa menjawab pertanyaan pak Denniz. Yvette terdiam sejenak, terlihat keringat mulai keluar membahasi leher nya yang terbuka itu, dia lalu menjawab pertanyaan itu dengn terbata bata, yang dimana pak Denniz hanya menjawabnya dengan hembusan nafas dan sebuah gelengan kepala. Skak. Persentasi pun berakhir disitu. Pria pria berjas hitam, termasuk Denniz, keluar dari ruangan ini. Gw melihat Yvette yang menunduk diam, dan berjalan keluar ruangan ini tanpa membereskan peralatan yang disiapkannya tadi, meninggalkan hanya gw dan Recht saja.
“hey” ucap gw membuka pembicaraan
“hmm?” balas Recht
“jawab, apakah dia pernah gagal dalam tugasnya selama disini”
“hmm ini project pertama yang dipimpinnya, dan dia selalu tampil terbaik dalam timnya dulu”
“.....”
“jadi jawabannya. Tidak. Dia tidak pernah merasakan kegagalan”
“hahh. Dasar anak muda”
“hey. Kau seharusnya ngaca. Kau itu lebih muda dari dia”
“hahaha”
Gw dan Recht membereskan alat alat yang digunakan Yvette tadi dan mengembalikannya ketempatnya. Kami kembali keruangan kami dan duduk diam tanpa kerjaan. Aah santai juga akhirnya. Gw dan Recht pun menyalakan komputer kami dan memainkan Counter Strike secara local. Selesai bermain gw pun teringat Yvette, hmm, wanita kayak dia pasti shock banget kalau hasil kerjanya ditolak, gw pun beranjak dari tempat duduk gw dan berjalan ke meja coklat di pinggiran itu, gw berinisiatif membuatkan susu coklat untuk Yvette.
“sudah berapa kali kau bikin susu itu hm?” tanya Recht
“bukan buatku”
“oh!? terima kasih, tapi lo ga perlu membuatkan gw susu cok-“
“dan juga bukan buatmu, ini untuk Yvette”
“haaa?!”
Susu coklat pun jadi. Gw bawa mug bergambarkan bintang bintang itu dengan hati hati keluar dari ruangan gw. Recht pun dengan mesumnya mengikuti gw dari belakang menuju ke ruangan Yvette. Gw langsung memutarkan gagang pintu itu, yang ternyata ga bisa tebruka, dikunci dari dalam ternyata. Gw ketuk pintu ruangan itu yang disusul dengan bunyi “CKLEK” menandakan pintu sudah tidak terkunci lagi. terlihat Yvette sedang bersandar di dinding tepat disebelah kiri pintu yang gw masuki ini. saat itu juga dia melihat gw membawa sebuah mug yang mengepul dan Recht yang nyengir ga jelas. Terlihat di mata Yvette, yang kehitaman menandakan dia habis menangis.
“ada apa kamu kesini?!” tanya Yvette sinis
Gw sodorkan susu coklat di mug ini ke dia
“susu? untuk menyegarkan pikiran?” ucap gw
Yvette mengambil mug dari tangan gw
“kamu datang kesini untuk menertawaiku kan?” ucap Yvette
“hah?” tanya gw
“kamu datang kesini untuk meremehkan aku, karena aku gagal”
“tidak tidak, bukan itu aku hanya ingin menghibur mu”
“dan apa yang akan kamu dpatkan dari menghiburku?”
“.....”
“kau.. dan yang lain... sama saja... pada akhirnya kalian menginginkan hal yang sama bukan?”
“denger.. maaf kalau ini meny-“
PLAKK sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan gw
“Aku tidak butuh belaskasihanmu”
Crasss. Seketika badan dan dada gw terasa panas. Begitu juga dengan kemeja gw yang sudah mengggelap karena terkotori warna coklat. Yvette menyiram gw dengan susu coklat panas buatan gw sendiri. Gw bisa merasakan pipi kanan gw yang tadi ditampar memanas seperti terkelupas kulitnya.
“hey! Hey! Hey! Yvette! Kamu sekarang sudah bertindak terlalu jauh” Recht menahan tangan Yvette
“apa!? kamu juga sama seperti di-“
“Diam! kamu harus tau anak ini sudah baik berinisiatif ingin menghibur kamu!”
“kenapa? karena aku seorang wanita jadi perlu hiburan? Ha?”
“grr, ini yang membuat seluruh tim membenci mu!”
Recht tersulut emosi nya
“hey! Sudah sudah” ucap gw melerai mereka
“.....”
“ahh aku minta maaf bila tindakanku salah” ucap Gw ke Yvette
“.....”
“ahh lantainya jadi kotor biar kubersihkan sebentar”
“.....”
“tapi sayang sekali padahal susu coklat ini enak loh”
“.....”
“kalau kau mau, ambil saja diruanganku, letaknya di meja coklat dtepat diseberang pintu”
Gw membuka kemeja gw yang sudah kotor dengan coklat dan menggunakannya untuk mengelap lantai ini. sesudahnya gw beranjak ke WC untuk membasuh muka gw dengan air dingin, untung kondisi lantai ini saat ini sedang kosong, jadi tidak ada yang melihat kejadian tadi kecuali Recht. Gw langsung kembali lagi, terlihat Recht sudah kembali di mejanya.
“hey, kau punya kemeja lagi tidak?” tanya gw
“ada di laci depan, ambil saja”
“okay, terima kasih”
“grr, Yvette tadi sudah keterlaluan”
“sudahlah, mungkin gw sudah menyinggung dia, entahlah”
“hey kau mau kemana?”
“ke atas, kau tau orang yang bernama Denniz?”
“taulah, dia kan yang salah satu pemimpin disini”
“tolong antarkan aku ke dia”
“buat apa”
“seperti yang kamu bilang, saat nya seseorang untuk bersinar”
Recht pun tersenyum lebar lalu menepuk pundak gw. Sesaat kemudian gw dan Recht naik ke atas untuk bertemu dengan pak Denniz. Gw bermaksud ingin mengajukan sebuah proposal ke dia mengenai project lelang pemerintah ini. pembicaraan itu berlangsung lama sekali, karena gw harus menjelaskan dari A sampai Z, perlahan, dan detail, untuk meyakinkan pak Denniz atas proposal yang gw ajukan ini. sehabis pembicaraan, pak Denniz pun bersandar sambil tersenyum. Tidak lupa di meneguk segelas wine yang dia pegang dalam sebuah gelas kaca sedari tadi.
“apa yang kamu katakan, menjanjikan” ucap pak Denniz
“......”
“tetapi saya tidak bisa menyerahkan orang terbaik saya untuk masuk ke dalam tim kamu”
“oh itu, tidak masalah, saya hanya butuh orang, terbaik atau tidaknya itu tidak saya pikirkan”
“hm? apa kamu yakin? Yvette. Salah satu yang terbaik saja gagal. Bagaimana dengan kamu?”
“saya tidak menawarkan sesuatu yang terbaik, saya menawarkan sebuah proses”
“hm?”
“proses untuk menjadi yang terbaik”
“hahahaha, saya suka gayamu”
“hm, bos, kali ini, saya akan masuk ke dalam tim dia” ucap Recht memotong
“hmm kalau Recht sampai tertarik denganmu juga, berarti.. hmmm” ucap pak Denniz berpikir
“......”
“okay saya kasih kamu ruangan lebih besar di lantai kamu itu. saya beri kamu nama untuk kamu pilih menjadi anggota tim mu nanti. Tapi ingat. Mereka bukan pegawai yang baik”
“siap!”
Gw langsung berdiri dari posisi duduk gw, dan menjabat tangan pak Denniz ini. Gw tau project yang gw jalani ini hanya akan menjadi underdog yang tidak akan diperhatikan. Dan resikonya kalau gagal bisa mencoreng reputasi gw di perusahaan ini, bahkan bisa mengancam posisi gw di perusahaan ini. Tapi apalah hidup kalau tanpa api bukan? Gw dan Recht pun memasuki lift untuk turun kebawah
“kita membicarakan uang yang besar”
“Amin brah, Amin”
“tapi daftar nama yang ditawarkan tadi betul betul buruk dalam bekerja”
“tidak ada orang yang buruk dalam bekerja”
junti27 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
