- Beranda
- Stories from the Heart
...
TS
jumpingworm





6th Story 



Spoiler for "The Menu":




5th Story : Wrap Your Heart




Spoiler for "The Menu":




4th Story : Irreplaceable 




Spoiler for The Menu:
Diubah oleh jumpingworm 16-07-2017 00:41
samsung66 dan anasabila memberi reputasi
2
102.6K
1.3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jumpingworm
#1275
1. Initium
Quote:
1800 Jam Yang Lalu
Pagi ini, aku terbangun dengan sisa rasa kantuk yang masih menyerang luar biasa.
Sebenarnya sudah tidak pagi lagi, mengingat matahari sudah terik dan jarum panjang hampir bertemu di tengah-tengah.
Tapi aku selalu menganggap saat pertama kali membuka mata adalah pagi hari.
Pagi yang baru,... dan itu artinya,...
"Pagi, sayang..." Arzel masuk ke dalam kamar mengenakan celemek dapur.
Aku memutar bola mata melihat warna merah norak yang dipakainya.
"Zel, kamu kalo masak kenapa mesti pakai celemek sih??" aku menggerutu sambil membenamkan wajah kembali ke bantal.
"Habisnya, kamu nggak penah pake..." dia membela diri sambil memanyunkan bibir. "Yuk bangun, udah mau tengah hari. Aku udah bikinin sarapan."
Senyum ceria tersungging dari bibirnya, memperlihatkan sederet gigi putih menawan.
Arzel dan aku sudah menikah setahun lebih.
Umur kami sama, dan tentunya bisa ditebak kami adalah teman sejak bangku sekolah.
Aku selalu terpikat dengan keceriaannya, kebaikannya, dan bagaimana Arzel membuatku yang kaku dan terkesan galak ini jadi tahu bagaimana caranya menikmati hidup dengan bahagia.
Aku sudah yatim piatu sejak selama yang kuingat, dan begitu pula Arzel.
Aku dipelihara di panti asuhan sejak bayi.
Lain dengan Arzel yang masih memiliki orangtua namun keduanya bercerai, pergi ke luar negeri, dan sejak SD hanya mengirim Arzel ke sekolah asrama beserta uang untuk dipakainya dalam jumlah yang sangat berkelebihan.
Mungkin kesamaan itu yang membuat kami bisa saling memahami satu sama lain.
Dan persamaan itu juga yang kadang membuatku merasa kami sangat berbeda.
Tumbuh tanpa orangtua bagi Arzel membuatnya jadi sangat ceria hingga menutupi semua kesedihannya.
Tumbuh tanpa orangtua bagiku, membuatku muram dan tertutup hingga menutupi semua kesenanganku.
Pada usia 16 tahun aku keluar dari panti asuhan untuk menjalani kehidupan SMA sambil bekerja secara mandiri.
Setelah mandi rapi, aku turun ke dapur yang tersambung dengan ruang makan.
Wangi manis memenuhi seisi rumah kami, menggelitik perutku yang masih kosong ini.
"Hari ini, kamu mau presentasi?" Arzel meletakkan piring berisi roti panggang, telur, dan selai kacang kesukaanku.
"Enggak. Aku mau finishing project akhir sebelum dipresentasiin ke NYK Company." aku menjawab santai. "Kamu?"
Arzel mengangkat sebelah alis dan dengan gaya santainya yang khas merapikan poninya yang panjang menutupi alis.
"Sepertinya aku mau ngecat ulang ruang baca di lantai atas." dia menimbang-nimbang agak ragu dan menjawab sekenanya.
Aku menghela nafas panjang dan menggeleng dalam hati.
Kenyataannya, Arzel memang tidak punya pekerjaan.
Dikirimi uang 100 juta sebulan dari kedua orangtua Arzel membuat kami berdua sebenarnya tidak usah bekerja sama sekali.
Tapi, harga diriku menolak untuk bergantung pada uang yang sumbernya tidak jelas itu.
Kadang aku masih tergoda untuk membujuk Arzel mencari pekerjaan yang benar-benar menghasilkan uang.
Tapi pasti dengan ceria dan cuek, Arzel akan mencubit kedua pipiku sambil memuji betapa aku sayang dan peduli padanya.
Sekedar untuk mengalihkan topik serius tersebut.
Manis, di saat yang sama membuatku marah dalam diam padanya.
"...aku penasaran." aku memulai kalimat dengan nada serius. "Kenapa harus mendekor ulang rumah kita terus?"
Arzel sepertinya bingung dengan pertanyaanku.
"Maksud aku,..." aku memperjelas lagi. "Kenapa kamu nggak bikin sesuatu yang baru, atau mungkin bikin usaha yang bisa diekspansi..."
Situasi ini sudah sering terjadi diantara kami berdua.
Bahkan mungkin setiap harinya aku seolah mengibarkan bendera ketidakpuasanku atas kondisinya yang pengangguran.
Tapi seperti biasa khas Arzel hanya menatapku lekat-lekat, mencium bibirku pelan, kemudian memegang kedua pipiku.
"Aku nggak mau kerja, biar selalu ada waktu buat kamu ketika kamu perlu aku..."
Biasanya, aku akan langsung luluh dengan jawabannya yang gombal nyaris masuk akal itu.
Tapi aku sudah membulatkan tekad kali ini.
Bagaimanapun caranya, aku harus membuat Arzel keluar dari zona nyamannya hari ini juga.
"Kalau kamu masih nganggur begini, setiap hari tanpa pekerjaan yang jelas, aku minta cerai."
Hening.
Tidak ada suara di tengah-tengah kami.
Tidak ada senyuman, tawa, dan candaan Arzel biasanya untuk menanggapi kalimat seriusku.
Dengan reaksi itu, aku tahu bahwa kalimatku tepat sasaran.
Arzel mundur selangkah, kemudian tertunduk.
"Did you mean it?" suaranya bergetar. "Apa kamu serius bilang begitu?"
Suaraku tercekat di tenggorokan.
Tapi, dengan satu dehaman aku berhasil mengusir keraguan di suaraku.
"Aku malu, Arzel... Kalau setiap kali ditanya sama orang-orang, setiap kali presentasi, atau ada acara temu klien... mereka selalu tanya tentang kamu, pekerjaan kamu, dan aku selalu bohong sampai nggak tahu lagi harus jawab apa...!"
"Kamu nggak perlu bohong,... bilang aja apa adanya." Arzel memegang kedua bahuku.
Aku menepisnya dengan kasar.
"Kamu pikir punya suami pengangguran itu sesuatu yang bisa dibanggain?!"
Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulutku.
Tapi sebelum menyesalinya, aku mengambil kunci dari gantungan dan pergi keluar dari rumah secepat mungkin.
Mungkin aku keterlaluan, tapi ini demi kebaikan Arzel juga.
Bagaimana dia kelak akan menjadi seorang ayah kalau dia tidak belajar bertanggung jawab sejak sekarang?
Bagaimana kelak kami akan melewati masa tua?
Cinta dan uang warisan dari orangtuanya?
Semua itu tidak masuk akal bagiku.
Tanpa menoleh ke kiri dan kanan, aku menyeberang jalan sembarangan.
Tiba-tiba klakson kencang berbunyi dari sampingku.
Hal berikutnya yang aku tahu, sudah ada mobil melaju kencang di hadapanku dan aku terlempar dengan benturan keras.
Telingaku berdenging, pandanganku berputar ke segala arah.
Inikah waktuku mati?
Yang terpikirkan di kepalaku hanya penyesalan.
Menyesal karena hal terakhir yang kulakukan sebelum meninggal adalah melukai perasaan Arzel.
Menyesal karena aku belum pernah berusaha mencari orangtua kandungku.
Menyesal karena...aku meninggal tanpa sempat melakukan apapun.
Tapi seolah hanya berselang beberapa detik, muncul kembali suara-suara percakapan di sekitarku.
Suara bising, memenuhi kepalaku.
Bercampur aduk menjadi satu, aku tidak bisa berkonsentrasi pada satupun suaranya.
Cahaya silau menembus mataku, aku membuka mata.
Aku terbaring di rumah sakit dengan cat tembok berwarna putih bersih.
Kuperhatikan sekelilingku, dan bau desinfektan menyengat khas rumah sakit.
Cahaya menyilaukan masuk dari jendela dan udara yang sejuk menyentuh seluruh permukaan kulitku.
Seorang suster menghampiriku kemudian mendekatkan nampan berisi makanan dan air putih kepadaku.
"Nyonya,..sudah sadar?"
Aku mengangguk dan bangkit mendudukkan diri dengan lemah.
"Saya,...kenapa suster?" aku mengamati tubuhku yang baik-baik saja, hanya gejala pusing yang menyerang mendadak ketika aku berusaha bangun dari posisi semula.
"Gegar otak ringan karena benturan di kepala belakang. Saya sudah menghubungi keluarga anda, mereka dalam perjalanan ke sini."
Aku mengangguk berterima kasih kemudian mengamati selang infus yang tertancap di punggung tangan kiriku dan meninggalkan sensasi nyeri setiap kali digerakkan.
Rasanya agak aneh, mengingat hal terakhir yang kulihat adalah sebuah mobil menghambur ke arahku tanpa ampun.
Pikiranku berikutnya terbang kepada Arzel...
Pasti Arzel akan kuatir setengah mati jika tahu aku masuk rumah sakit begini.
Kami tadi pagi pergi dengan ribut.
Jujur saja, sekarang ini persoalan pekerjaan tadi pagi menjadi tidak penting.
Membayangkan Arzel dengan panik berlari kemari saja, rasanya aku...
"Karen,...kamu nggak apa-apa nak?"
Aku terhenyak melihat wanita ini.
Agak gemuk, berambut ikal hitam kemerahan.
Wajahnya terlihat garis-garis halus yang dipertegas dengan kerutan kekhawatiran.
Jelas, dia memanggil namaku. Tapi aku tidak mengenalnya sebelum ini.
"Maaf, kamu siapa ya?" aku merenyitkan dahi. "Kenal saya dari mana?"
Wanita itu terkejut, disusul dengan pria tua yang muncul dari belakangnya.
Perawakan serupa, tapi dengan dandanan yang lebih rapi.
Pria ini pasti suaminya, melihat dari gesture nya yang langsung merangkul bahu wanita ini ketika masuk ke dalam ruangan.
"Pa,...Karen sepertinya amnesia." wanita itu berkata dengan suara getir. "Dia nggak mengenali saya, Pa..."
Aku bisa mendengar jelas yang dikatakannya, dan aku juga bisa membaca dengan jelas mimik wajahnya.
Entah sandiwara yang luar biasa hebat, atau memang ada yang aneh di sini.
"Kamu...nggak mengenali kami, Karen?" pria itu bertanya lagi kepadaku, memastikan situasinya.
Aku menggelengkan kepala.
"Maaf, saya belum pernah ketemu Bapak dan Ibu sebelumnya. Tapi,...anda kenal saya dari mana ya?"
Seperti hendak menangis, wanita itu meraih tanganku.
"Ini,...mama. Masa kamu lupa?"
Refleks, aku menarik tanganku menjauh darinya.
"Maaf. Saya sama sekali nggak pernah bertemu dengan Bapak dan Ibu. Bagaimana bisa saya lupa dengan sosok yang bahkan nggak saya kenal?" aku menggeser duduk sedikit menjauh dari wanita itu terpicu rasa takut yang memercik di pikiranku. "Saya harus ketemu dengan suami saya."
Wanita itu tampak semakin bingung lagi.
Dia duduk di tepi ranjangku dan meraih tanganku lagi perlahan. Berhati-hati, takut aku bereaksi spontan dan menolaknya lagi.
"Kamu....belum bersuami, nak. Apakah kepalamu terbentur keras sekali, sampai kamu jadi bingung begini?" pria itu berdiri dengan tegap, berkata dengan nada kuatir sekaligus tegas.
Aku menggeleng tidak percaya.
Rasanya ini terlalu aneh untuk menjadi nyata.
Aku....belum menikah? Lelucon macam apa yang sedang dimainkan ini?
0