- Beranda
- Stories from the Heart
Claudya.
...
TS
kevinadr04
Claudya.
haloo.. kali ini ane mau nulis cerita baru, dan dengan gaya tulisan yang baru
setelah sebelumnya dengan cerita DIALOGUE (DIA, LO, GUE) yang nggak kelar, karena ada sesuatu, bukan bermasalah sama tokohnya tapi karena ane udah agak lupa cerita dan kisahnya, makanya nggak ane terusin
insyaAllah, kali ane tulis sampe kelar sambil ngisi liburan kuliah dan belajar nulis. Hehe
PROLOG:
INDEX
setelah sebelumnya dengan cerita DIALOGUE (DIA, LO, GUE) yang nggak kelar, karena ada sesuatu, bukan bermasalah sama tokohnya tapi karena ane udah agak lupa cerita dan kisahnya, makanya nggak ane terusin
insyaAllah, kali ane tulis sampe kelar sambil ngisi liburan kuliah dan belajar nulis. Hehe
PROLOG:
Spoiler for :
INDEX
Spoiler for :
Diubah oleh kevinadr04 01-10-2015 04:14
anasabila memberi reputasi
1
9.5K
61
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kevinadr04
#39
Puncak (Part 2)
Masih dengan zarah, di curug. Hari ini aku belum mengabari claudya sama sekali daritadi pagi, segera aku mengirimkan bbm padanya, dengan ucapan selamat siang karena saat itu matahari sudah berada di titik puncak. Tapi, disini tidak terasa panas, karena cuaca disini walaupun ada matahari masih terasa sejuk. Aku sedikit menjauh dari zarah, agar aku dapat mengabari claudya.
“selamat siang sayang, jangan lupa makan yaa. Loveyou!” aku mengirimkan bbm pada claudya.
“vin, ngapain lo disitu? Sini lah temenin gue antri tiket.” Panggil zarah sekaligus mengagetkanku yang tengah .
“iya, sebentar.” ucapku sambil melambaikan tangan padanya.
Selesai mengabari claudya, aku menghampiri zarah yang tengah mengantri tiket dan berdiri di sebelahnya.
“abis ini, beli baju yuk vin.” Ucap zarah.
“dimana?” tanyaku sambil melihat-lihat sekitar.
“disana, kepinnn..” zarah menunjuk arah tukang baju.
“lah, iya. Kok tadi gue cari nggak ada yaa?” ucapku sambil menyengir bodoh.
“emang mata lu aja yang kemana-mana, ngeliatin cewek kali lu yaa?” zarah meledekku dengan tatapan membuatku salah tingkah.
“enggak, enak aja.” Ketusku.
“Gila! ini orang baru kenal gue kemaren sore, udah ngeselin banget dari mau berangkat.” Pikirku.
Kami berdua jalan menuju tempat jualan baju, aku hanya mengikutinya saja dari belakang. zarah sibuk memilih dan menawar baju, sementara pandanganku tercuri dengan tukang pernak-pernik diujung. Aku pergi sendiri meninggalkan zarah di tempat baju menuju tukang pernak-pernik tanpa berpamitan dengannya. Kupilih sebuah kalung untuk claudya, walaupun bukan kalung liontin, tapi setidaknya aku bisa memberikan sesuatu untuk claudya walaupun tak seberapa.
“ini berapa kang?” tanyaku pada tukang pernak-pernik sambil memegang kalung yang kupilih.
“dua lima aja, kang.” Jawabnya.
“mahal banget atuh, nggak bisa kurang lagi, mang?” aku mencoba menawar.
“aa kayaknya bukan orang sini, yaa?” dia melihat penampilanku dari atas sampai bawah.
“bukan. saya orang Jakarta, mang. Hehe” jawabku ramah.
“oh, pantes. bisa kok A, kurang sedikit. Daritadi belum ada yang beli nih, sebagai penglaris aja deh A.” ucapnya memelas.
Kasihan juga aku melihatnya, tidak tega. Memang kalau dilihat dari kalungnya tidak begitu mewah, dan cukup mahal bagiku hanya untuk kalung cinderamata seperti ini. Aku melihat sebuah gelang, segera aku ambil juga dua buah gelang tersebut dan kalung yang tadi masih kupegang.
“gimana kalo saya ambil ini semua, dua puluh lima kang?” aku memegang dua buah gelang dan satu buah kalung.
“hmm.. gimana yaa, yaudah deh. Itung-itung buat penglaris aja.” Ucapnya begitu senang.
“yaudah, ini mang duitnya. Dua puluh lima ribu.” Aku memberikan uang pas.
“makasih A.” tukang pernak-pernik tersebut terlihat begitu senang.
Aku kembali ke tempat zarah, zarah masih memilih baju yang cocok untuknya. Memang, ya. Wanita dimana-mana selalu lama kalau untuk urusan berbelanja.
“darimana lo vin?” tanya zarah.
“hmm..enggak, gue abis beli ini.” Aku memperlihatkan gelang padanya, sementara kalungnya sudah kusimpan di saku celanaku.
“ihh.. keren vin. Buat gue ya?” pintanya.
“ehh.. ehh..” belum sempat aku berbicara, zarah langsung mengambil gelang tersebut dan dipakaikan ditangannya.
“makasih ya, vin.” Zarah tersenyum bahagia.
“ii…ii…iiya.” Jawabku terbata-bata.
Untungnya aku mengambil gelang tidak sama. kalau sama, nanti dia bisa kepedean, dikira aku sengaja membeli samaan dengannya. Akhirnya belanja selesai, padahal hanya berbelanja kaos 3 buah, untuknya dua dan satu untukku, lamanya seperti belanja perabotan rumah.
Zarah berganti baju dahulu sebelum menuju curug, mungkin ia tidak mau kaos yang ia pakai sekarang basah karena terkena air curug. Aku menunggunya di depan toilet, dan memegangi tas gembloknya seperti pembantu yang sedang menunggu majikannya.
“lo nggak ganti baju, vin?” tanyanya selesai mengganti baju.
“enggak, nanti aja.” Jawabku santai.
“yaudah, yuk keatas. Mau ke curug berapa nih?” tanyanya menantang.
“kayak kuat aja luh.” Aku membakar rokokku yang ku keluarkan dari kantong.
“kuat, lah. Emangnya elo, ngerokok terus. Mana kuat.” Sindirnya.
“sialan.”
Aku jalan menuju curug, baru dua curug aku lewati, kakiku terasa sekali pegalnya, mungkin karena efek aku sudah tidak pernah olah raga lagi. Dengan nafas yang terengah-engah aku melangkah menuju curug, zarah hanya tertawa melihatku yang nafasnya bisa dibilang sangat begah.
“kenapa vin? Nggak kuat? Haha” zarah tertawa.
“nggak usah ketawa luh. Huh.” Ucapku dengan nada sedikit kesal.
“tadi ngeledek gue, sekarang malah lu sendiri yang nggak kuat. Haha” ledeknya.
“hasemm.. istirahat dulu ya zar.”
“yahh.. baru juga sampe curug ketiga, belum sampe atas.” zarah melihat kearah jalan menuju curug atas.
“vin, ke air terjunnya yuk.” Ajaknya.
“yaudah, yuk.”
Aku menuju air terjun, zarah malu-malu hanya berani duduk di pinggir air terjun saja mencelupkan kakinya. Aku menaruh semua barang-barang yang kubawa di dekat pohon, yang terlihat olehku agar tidak ada orang-orang jahil yang mengambil barang.
Byurr…
Aku menceburkan diri ketengah air terjun yang tidak begitu dalam, hanya sedadaku saja. Zarah hanya tertawa melihatku yang begitu bahagia.
“zarr.. sini lah, jangan cuma dipinggir aja.” Aku berteriak padanya dari tengah air terjun.
“gamau ah, dingin vin. Haha”
“ahh, cemen. Sini lah.” Aku memancingnya.
“dingin, vin.” Dia melipat tangannya.
Tidak perlu berlama-lama, langsung aku menariknya ke tengah dan dia terlihat sedikit bete saat aku menceburkannya. Tapi lama-lama ia terlihat senang dan begitu bahagia, dia berdiri dibawah air terjun tersebut.
“vin, kok lama-lama dingin yaa.” Ucapnya.
“emang. Haha” aku tertawa melihatnya.
“gue ke tempat tadi lagi, ah. Nggak kuat dinginnya.” zarah kembali ke tempat tadi ia duduk.
Aku masih bersenang-senang dengan air, zarah kulihat wajahnya begitu pucat dan bibirnya memutih seperti orang sakit. Aku menghampirinya, aku khawatir takut ia kenapa-napa.
“lo gapapa zar?” tanyaku sedikit panik.
“dingin, vin.” Giginya menggigil dan seluruh bulu di tangan dan kakinya berdiri.
“sini tangan lo.” Aku langsung menarik tangannya, dengan maksud agar ia tidak terlalu kedinginan.
“bbrrr… makasih yaa vin.” Ucapnya dengan bibir mengigil.
“zar, gue takut lo kenapa-napa. Ganti baju, yuk?” ajakku merangkulnya dan menaruh handuk di pundaknya.
“yukk, huhhh..” zarah masih memegangi seluruh tubuhnya yang mengigil kedinginan.
Aku menemaninya ke toilet, aku mengganti semua bajuku begitupun zarah, pastinya berbeda toilet dengannya. Selesai mengganti baju, kulihat zarah sudah tidak sepucat tadi, aku mengajaknya turun dari curug tersebut untuk membeli teh agar badannya terasa hangat. Aku menuntun zarah sewaktu turun dari curug, ada beberapa orang di depanku sempat terpeleset karena jalan menuruni curug tersebut masih tanah dan cukup licin.
Brughhh.. “aduhh..”
aku terpeleset, dan hampir saja merosot sampai bawah, untungnya tanganku yang satu masih berpegangan pada batang pohon.
“haha. lo gapapa, vin?” tanya zarah sambil tertawa bahagia melihatku terpeleset.
“nggak usah ketawa lo, bukannya bantuin malah ketawain. Kampret bener.” Aku menggerutu sambil tertawa.
“Haha abis lo lucu vin, jatoh bukannya selametin diri tapi malah selametin rokok yang ada ditangan kanan lo. Haha” zarah masih tertawa.
“haha. Masalahnya rokok gue tinggal satu, dan ini tanggung masih ada setengah.” Aku menunjukkan rokokku sambil tertawa.
Kalau dipikir-pikir aku bodoh juga, aku lebih mementingkan rokok yang ada ditanganku ketimbang diriku sendiri.
“sini gue bantuin.” Zarah menarik tanganku mencoba membantuku berdiri.
Aku berdiri dibantu zarah, seluruh celanaku begitu kotor. Aku membersihkan celana hanya dengan tanganku, zarah masih menertawakanku sepanjang jalan menuruni curug. Aku hanya bisa menahan malu mengingat kejadian tadi.
“akhirnya sampe jugaa..” ucap zarah sesampainya di tempat peristirahatan.
“gue pesen teh anget dulu ya zar, nggak tega gue liat lo.” Aku menghampiri tempat makan dan memesan teh dua untukku dan untuknya.
“vin, pesen makan sekalian.” Teriaknya.
“mie ayam aja yaa? Mau?” tanyaku.
“terserah, gue ngikut aja.” Jawabnya.
Aku memesan dua buah teh hangat, dan mie ayam. Aku mencari warung untuk membeli rokok yang sudah habis, selesai membeli rokok aku kembali ke tempat duduk.
“vin, sabtu depan kesini lagi yuk!” ucapnya begitu bersemangat.
“hmm…” aku mengernyitkan dahi.
“hehe.” zarah menyengir.
“eh, tehnya udah dateng tuh, minum dulu.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“iya, vin.” Ia menengguk teh yang sudah ada di depan meja.
"gimana? udah agak mendingan badan lo?" tanyaku khawatir.
"udah, vin. makasih. hehe" zarah menyengir polos.
“makanannya mana yaa, gue kan laper ini.” Aku mengeluh.
“iya, ya. Perasaan udah pesen daritadi.” Zarah celingukan.
“itu dia vin..” zarah menunjuk abang tukang mie ayam yang sedang membawa dua mangkuk mie ayam yang tadi kita pesan.
Saat makan aku tidak mengobrol sama sekali dengannya, dia begitu menikmati mie ayam tersebut. Aku hanya tertawa kecil melihatnya, begitu lucu ketika ia makan. Setelah makan habis dan selesai membayar, kami berdua memutuskan untuk pulang dirasa waktu sudah mulai sore, takut juga jalan arah pulang sudah ditutup dan harus menunggu cukup lama.
“pulang yuk.” Ajakku padanya.
“tapi lo yang bawa mobilnya yaa? Hehe” zarah memohon sambil cengengesan.
“hmm..” aku hanya melirik ke arahnya.
“capek vin, bawa yayaya?” ucap zarah dengan nada manja.
“huvt. Iyadeh.” Aku terpaksa menurutinya.
Dengan sangat hati-hati aku mengendarai mobil zarah, aku tidak begitu berani bawa kencang mobil zarah. Selain takut menabrak, aku juga belum begitu lancar di tanjakan seperti yang sudah aku ucapkan sebelumnya. Aku mencoba tenang dan sesantai mungkin membawa mobil zarah, ia hanya tertawa melihatku yang begitu gerogi.
“selamat siang sayang, jangan lupa makan yaa. Loveyou!” aku mengirimkan bbm pada claudya.
“vin, ngapain lo disitu? Sini lah temenin gue antri tiket.” Panggil zarah sekaligus mengagetkanku yang tengah .
“iya, sebentar.” ucapku sambil melambaikan tangan padanya.
Selesai mengabari claudya, aku menghampiri zarah yang tengah mengantri tiket dan berdiri di sebelahnya.
“abis ini, beli baju yuk vin.” Ucap zarah.
“dimana?” tanyaku sambil melihat-lihat sekitar.
“disana, kepinnn..” zarah menunjuk arah tukang baju.
“lah, iya. Kok tadi gue cari nggak ada yaa?” ucapku sambil menyengir bodoh.
“emang mata lu aja yang kemana-mana, ngeliatin cewek kali lu yaa?” zarah meledekku dengan tatapan membuatku salah tingkah.
“enggak, enak aja.” Ketusku.
“Gila! ini orang baru kenal gue kemaren sore, udah ngeselin banget dari mau berangkat.” Pikirku.
Kami berdua jalan menuju tempat jualan baju, aku hanya mengikutinya saja dari belakang. zarah sibuk memilih dan menawar baju, sementara pandanganku tercuri dengan tukang pernak-pernik diujung. Aku pergi sendiri meninggalkan zarah di tempat baju menuju tukang pernak-pernik tanpa berpamitan dengannya. Kupilih sebuah kalung untuk claudya, walaupun bukan kalung liontin, tapi setidaknya aku bisa memberikan sesuatu untuk claudya walaupun tak seberapa.
“ini berapa kang?” tanyaku pada tukang pernak-pernik sambil memegang kalung yang kupilih.
“dua lima aja, kang.” Jawabnya.
“mahal banget atuh, nggak bisa kurang lagi, mang?” aku mencoba menawar.
“aa kayaknya bukan orang sini, yaa?” dia melihat penampilanku dari atas sampai bawah.
“bukan. saya orang Jakarta, mang. Hehe” jawabku ramah.
“oh, pantes. bisa kok A, kurang sedikit. Daritadi belum ada yang beli nih, sebagai penglaris aja deh A.” ucapnya memelas.
Kasihan juga aku melihatnya, tidak tega. Memang kalau dilihat dari kalungnya tidak begitu mewah, dan cukup mahal bagiku hanya untuk kalung cinderamata seperti ini. Aku melihat sebuah gelang, segera aku ambil juga dua buah gelang tersebut dan kalung yang tadi masih kupegang.
“gimana kalo saya ambil ini semua, dua puluh lima kang?” aku memegang dua buah gelang dan satu buah kalung.
“hmm.. gimana yaa, yaudah deh. Itung-itung buat penglaris aja.” Ucapnya begitu senang.
“yaudah, ini mang duitnya. Dua puluh lima ribu.” Aku memberikan uang pas.
“makasih A.” tukang pernak-pernik tersebut terlihat begitu senang.
Aku kembali ke tempat zarah, zarah masih memilih baju yang cocok untuknya. Memang, ya. Wanita dimana-mana selalu lama kalau untuk urusan berbelanja.
“darimana lo vin?” tanya zarah.
“hmm..enggak, gue abis beli ini.” Aku memperlihatkan gelang padanya, sementara kalungnya sudah kusimpan di saku celanaku.
“ihh.. keren vin. Buat gue ya?” pintanya.
“ehh.. ehh..” belum sempat aku berbicara, zarah langsung mengambil gelang tersebut dan dipakaikan ditangannya.
“makasih ya, vin.” Zarah tersenyum bahagia.
“ii…ii…iiya.” Jawabku terbata-bata.
Untungnya aku mengambil gelang tidak sama. kalau sama, nanti dia bisa kepedean, dikira aku sengaja membeli samaan dengannya. Akhirnya belanja selesai, padahal hanya berbelanja kaos 3 buah, untuknya dua dan satu untukku, lamanya seperti belanja perabotan rumah.
Zarah berganti baju dahulu sebelum menuju curug, mungkin ia tidak mau kaos yang ia pakai sekarang basah karena terkena air curug. Aku menunggunya di depan toilet, dan memegangi tas gembloknya seperti pembantu yang sedang menunggu majikannya.
“lo nggak ganti baju, vin?” tanyanya selesai mengganti baju.
“enggak, nanti aja.” Jawabku santai.
“yaudah, yuk keatas. Mau ke curug berapa nih?” tanyanya menantang.
“kayak kuat aja luh.” Aku membakar rokokku yang ku keluarkan dari kantong.
“kuat, lah. Emangnya elo, ngerokok terus. Mana kuat.” Sindirnya.
“sialan.”
Aku jalan menuju curug, baru dua curug aku lewati, kakiku terasa sekali pegalnya, mungkin karena efek aku sudah tidak pernah olah raga lagi. Dengan nafas yang terengah-engah aku melangkah menuju curug, zarah hanya tertawa melihatku yang nafasnya bisa dibilang sangat begah.
“kenapa vin? Nggak kuat? Haha” zarah tertawa.
“nggak usah ketawa luh. Huh.” Ucapku dengan nada sedikit kesal.
“tadi ngeledek gue, sekarang malah lu sendiri yang nggak kuat. Haha” ledeknya.
“hasemm.. istirahat dulu ya zar.”
“yahh.. baru juga sampe curug ketiga, belum sampe atas.” zarah melihat kearah jalan menuju curug atas.
“vin, ke air terjunnya yuk.” Ajaknya.
“yaudah, yuk.”
Aku menuju air terjun, zarah malu-malu hanya berani duduk di pinggir air terjun saja mencelupkan kakinya. Aku menaruh semua barang-barang yang kubawa di dekat pohon, yang terlihat olehku agar tidak ada orang-orang jahil yang mengambil barang.
Byurr…
Aku menceburkan diri ketengah air terjun yang tidak begitu dalam, hanya sedadaku saja. Zarah hanya tertawa melihatku yang begitu bahagia.
“zarr.. sini lah, jangan cuma dipinggir aja.” Aku berteriak padanya dari tengah air terjun.
“gamau ah, dingin vin. Haha”
“ahh, cemen. Sini lah.” Aku memancingnya.
“dingin, vin.” Dia melipat tangannya.
Tidak perlu berlama-lama, langsung aku menariknya ke tengah dan dia terlihat sedikit bete saat aku menceburkannya. Tapi lama-lama ia terlihat senang dan begitu bahagia, dia berdiri dibawah air terjun tersebut.
“vin, kok lama-lama dingin yaa.” Ucapnya.
“emang. Haha” aku tertawa melihatnya.
“gue ke tempat tadi lagi, ah. Nggak kuat dinginnya.” zarah kembali ke tempat tadi ia duduk.
Aku masih bersenang-senang dengan air, zarah kulihat wajahnya begitu pucat dan bibirnya memutih seperti orang sakit. Aku menghampirinya, aku khawatir takut ia kenapa-napa.
“lo gapapa zar?” tanyaku sedikit panik.
“dingin, vin.” Giginya menggigil dan seluruh bulu di tangan dan kakinya berdiri.
“sini tangan lo.” Aku langsung menarik tangannya, dengan maksud agar ia tidak terlalu kedinginan.
“bbrrr… makasih yaa vin.” Ucapnya dengan bibir mengigil.
“zar, gue takut lo kenapa-napa. Ganti baju, yuk?” ajakku merangkulnya dan menaruh handuk di pundaknya.
“yukk, huhhh..” zarah masih memegangi seluruh tubuhnya yang mengigil kedinginan.
Aku menemaninya ke toilet, aku mengganti semua bajuku begitupun zarah, pastinya berbeda toilet dengannya. Selesai mengganti baju, kulihat zarah sudah tidak sepucat tadi, aku mengajaknya turun dari curug tersebut untuk membeli teh agar badannya terasa hangat. Aku menuntun zarah sewaktu turun dari curug, ada beberapa orang di depanku sempat terpeleset karena jalan menuruni curug tersebut masih tanah dan cukup licin.
Brughhh.. “aduhh..”
aku terpeleset, dan hampir saja merosot sampai bawah, untungnya tanganku yang satu masih berpegangan pada batang pohon.
“haha. lo gapapa, vin?” tanya zarah sambil tertawa bahagia melihatku terpeleset.
“nggak usah ketawa lo, bukannya bantuin malah ketawain. Kampret bener.” Aku menggerutu sambil tertawa.
“Haha abis lo lucu vin, jatoh bukannya selametin diri tapi malah selametin rokok yang ada ditangan kanan lo. Haha” zarah masih tertawa.
“haha. Masalahnya rokok gue tinggal satu, dan ini tanggung masih ada setengah.” Aku menunjukkan rokokku sambil tertawa.
Kalau dipikir-pikir aku bodoh juga, aku lebih mementingkan rokok yang ada ditanganku ketimbang diriku sendiri.
“sini gue bantuin.” Zarah menarik tanganku mencoba membantuku berdiri.
Aku berdiri dibantu zarah, seluruh celanaku begitu kotor. Aku membersihkan celana hanya dengan tanganku, zarah masih menertawakanku sepanjang jalan menuruni curug. Aku hanya bisa menahan malu mengingat kejadian tadi.
“akhirnya sampe jugaa..” ucap zarah sesampainya di tempat peristirahatan.
“gue pesen teh anget dulu ya zar, nggak tega gue liat lo.” Aku menghampiri tempat makan dan memesan teh dua untukku dan untuknya.
“vin, pesen makan sekalian.” Teriaknya.
“mie ayam aja yaa? Mau?” tanyaku.
“terserah, gue ngikut aja.” Jawabnya.
Aku memesan dua buah teh hangat, dan mie ayam. Aku mencari warung untuk membeli rokok yang sudah habis, selesai membeli rokok aku kembali ke tempat duduk.
“vin, sabtu depan kesini lagi yuk!” ucapnya begitu bersemangat.
“hmm…” aku mengernyitkan dahi.
“hehe.” zarah menyengir.
“eh, tehnya udah dateng tuh, minum dulu.” Aku mengalihkan pembicaraan.
“iya, vin.” Ia menengguk teh yang sudah ada di depan meja.
"gimana? udah agak mendingan badan lo?" tanyaku khawatir.
"udah, vin. makasih. hehe" zarah menyengir polos.
“makanannya mana yaa, gue kan laper ini.” Aku mengeluh.
“iya, ya. Perasaan udah pesen daritadi.” Zarah celingukan.
“itu dia vin..” zarah menunjuk abang tukang mie ayam yang sedang membawa dua mangkuk mie ayam yang tadi kita pesan.
Saat makan aku tidak mengobrol sama sekali dengannya, dia begitu menikmati mie ayam tersebut. Aku hanya tertawa kecil melihatnya, begitu lucu ketika ia makan. Setelah makan habis dan selesai membayar, kami berdua memutuskan untuk pulang dirasa waktu sudah mulai sore, takut juga jalan arah pulang sudah ditutup dan harus menunggu cukup lama.
“pulang yuk.” Ajakku padanya.
“tapi lo yang bawa mobilnya yaa? Hehe” zarah memohon sambil cengengesan.
“hmm..” aku hanya melirik ke arahnya.
“capek vin, bawa yayaya?” ucap zarah dengan nada manja.
“huvt. Iyadeh.” Aku terpaksa menurutinya.
Dengan sangat hati-hati aku mengendarai mobil zarah, aku tidak begitu berani bawa kencang mobil zarah. Selain takut menabrak, aku juga belum begitu lancar di tanjakan seperti yang sudah aku ucapkan sebelumnya. Aku mencoba tenang dan sesantai mungkin membawa mobil zarah, ia hanya tertawa melihatku yang begitu gerogi.
0