TS
simamats
[Orifict] Naqoyqatsi
Terinspirasi dari peristiwa Revolusi Prancis dan Lushan Rebellion di Dinasti Tang (plus science fiction time machine?), gw persembahkan *sound effect trompet* :
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga
Naqoyqatsi: Life as War
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Genre: Seinen, Action, Psychological, Tragedy, Supranatural, Historical.
Spoiler for Sinopsis:
Lushan merupakan seorang pembrontak yang menjunjung tinggi kebebasan atas masyarakatnya yang tertindas dibawah kekuasaan dinasti Tang. Visinya semakin buyar dan di penuhi oleh tragedi yang membuatnya kehilangan banyak hal, istri, sahabat, dan semua hal yang disayanginya untuk meraih impian tersebut. Kehilangan pijakan, Lushan seperti api yang berkobar menghancurkan segala hal, bertranformasi menjadi monster. Ketika tinggal satu langkah lagi bagi Lushan untuk mendapatkan impiannya, dia terbunuh oleh orang terdekatnya, darah dagingnya sendiri yang menganggap ayahnya sudah dibutakan oleh ambisi. Ketika itu, dia diberi kesempatan oleh kekuatan misterius untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu.
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
Spoiler for Index:
Prolog - There is No Liberty With Blood Below Your Feet :
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga

Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:06
0
13.6K
Kutip
83
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
TS
simamats
#21
Spoiler for Chapter 3 Part 2:
Sebelumnya setelah pembicaraan di kamar, ibu memberikanku ramuan yang mampu membuatku kembali berjalan, setidaknya untuk ikut menemaninya dalam upacara pernikahan ini.
An Yanyan menunggu di depan pintu tempatku beristirahat dan hanya menatapku saat itu, tidak ada senyum di matanya walau aku baru saja menyelamatkan calon istrinya. Sudah lama aku mengetahui bahwa kami hanyalah obyek dalam perpolitikannya di kerajaan, kekuatan yang belum terjamah walau mampu mengotori darah kebangsawanannya, dia ingin dipercayai tanah yang lebih besar dari ini. Kusimpulkan saat itu bahwa peristiwa penyerangan ini mungkin direncanakan olehnya untuk menunjukan kekuatan ibu sebagai seorang penyihir, dan bocah kecil ini baru saja menggagalkan rencananya, menjadikannya rumor belaka yang tidak begitu berharga baginya dan semua itu mampu kusimpulkan hanya dari raut mukanya.
Tapi entah mengapa, aku yang dulu selalu mengutuk dirinya kini malah mewajari sifat licik tersebut, dan mewajarinya karena dirinya sebagai bangsawan dalam kondisi kritis indentitas di tanah yang sama kritisnya pula, bahkan semuanya pun tahu bahwa semua peristiwa ini adalah tindakan konyolnya.
Lagipula, di masa depan dia akan mati, dan aku ragu akan An Yanyan sebagai pria yang layak untuk kuselamatkan pada masa ini.
...
"Puji tuhan, dewa-dewa, atas pengantin yang naik dalam pelaminan. Semoga diberi umur panjang, semoga diberi keberkahan.."
Doa diberikan oleh pendeta sembari mengetukkan dupa. Orang-orang melihat kedua pengantin tersebut dari kejauhan, ibu, dan An yanyan, sedangkan anak-anaknya duduk di sebelah mereka, di kiri untuk kami dari sisi sang ibu, dan kanan dari sisi An Yanyan. Saat itu kakak masih tidak mau melihatku, matanya dan kepalanya seakan berlainan arah dengan diriku, dan aku tahu bahwa perkataanku pasti sudah melukai hatinya.
Kini kita duduk di tempat seremonial, panggung pernikahan yang merupakan gedung tersendiri di tempat kediaman An Yanyan. Tempat ini megah, segala budaya bersatu dari timur tengah, barat, dan semacamnya. Tanah Tujue ini memang merupakan pusat perdagangan dengan pelabuhan besar di sisi selatan walau gersang di dalamnya. Walau demikian posisi strategis ini hanya menguntungkan kaum modal, ningrat, dan tidak ada untungnya bagi kaum plotelar, para pekerja buruh ataupun petani yang hidup di tanah gersang ini, mereka para ningrat tersebut tidak membagikan kekayaan mereka, sehingga hidup miskin merupakan nasib yang tidak terelakkan bagi mereka. Wajar saja suatu saat nanti pembrontakan akan terjadi, siapa saja akan gila jika kelaparan sambil meratapi orang-orang diatasnya makan dari hasil kerja mereka dan masyarakat akan menang walau akan ditekan kembali oleh pemerintahan.
Saat itu anak An Yanyan, kalau tidak salah An Qiao dan An Xian, wanita kembar asal mantan istrinya yang meninggal menatap kita dengan tatapan yang penuh dengan rasa ingin tahu. An Qiao, kalau tidak salah, mengikat rambutnya seperti bola di antara keduanya sedangkan kakaknya An Xian bertampilan dewasa dengan rambut yang di jepit oleh tusuk naga khas keluarga bangsawan. Walau demikian muka mereka terlihat sama, begitu pula baju mereka sehingga satu-satunya pembeda di antara mereka adalah rambut tersebut. Walau begitu, aku tidak pernah ingat ataupun sempat bersosialisasi dengan mereka tempo dulu karena pernikahan yang dibatalkan, dan aku yang segera pergi menuju akademi diikuti polemik pembrontakan masyarakat yang membantai keluarga An Yanyan. Kupikir mereka juga terbunuh, dan melihat mereka kini hidup dan baik-baik saja membuat perasaanku aneh.
"Lushan.."
Tiba-tiba saja kakak sudah mulai bicara padaku, saat itu juga tetapi doa sudah selesai dan upacara pernikahan selesai. Ibu sudah resmi menikah dengan An Yanyan, dan An Yanyan memberi ucapan sambutan. Ketika Kakak menatapku dengan penuh arti seperti ingin mengeluarkan segala gundah hatinya, An Yanyan menyebutku dalam ucapan sambutannya.
"Aku sungguh berterima kasih atas An Lushan, dia sesungguhnya pahlawan pada hari ini, tepatnya ketika para bandit menyerang calon istriku, dan putrinya. Dengan berani, demi keluarganya, dia menyelamatkan mereka dari tangan kotor bandit, sendirian."
Semua mulai berbisik, mungkin tidak percaya, tapi berita ini seharusnya sudah menyebar di antara mereka sebelum An Yanyan mengumumkannya, mengingat telinga-telinga jahil mereka yang senang mendengar apapun berita yang mampu merendahkan saingan mereka. Mereka tentu saja berpikir bagaimana seorang anak kecil sepertiku melawan bandit-bandit yang berbadan besar, garang, berpengalaman dalam membunuh. Badanku sangat kecil, seperti umur 11-12 walau sesungguhnya sudah berumur 14 tahun, waktu yang cukup untuk di jadikan buruh kerja. Mengangkat benda-benda saja tidak mampu, pedang juga terlihat cukup berat baginya, apalagi menahan terjangan pedang dari orang-orang yang menyerangnya.
Perhatian mereka tentu saja pada ibuku, seorang ketua penyihir dari liga penyihir kerajaan. Cerita horror mengenai dirinya sudah tersebar, dan tersohor sekali. Bagaimana ibu membantai ribuan musuh seperti menyebarkan hama penyakit, menyebabkan tubuh mereka hitam membusuk dan menyebar oleh tikus-tikus, dan bagaimana ibu bisa meledakkan satu istana jika saja sang tuan rumah masih saja keras kepala untuk menyerah. Dua kemungkinan adalah anak sang penyihir ini sakti, atau dia yang memegang kendali, namun rendah hati memberikan segala kehormatan kepada anaknya.
"Kaisar telah tiba!!"
Tiba-tiba dalam kata-kata penyambutan tersebut, pintu dibuka disambar oleh pasukan-pasukan elit berzirah emas saling memegang tombak berbaris di antara pintu membuka jalan seorang Kaisar dengan jubah panjang, dan jenggot panjangnya itu. Semuanya menunduk, An Yanyan yang masih di atas memberi penyambutan juga, dan aku pun demikian. Sang kaisar masuk dengan seorang memegang jubahnya, berjalan dengan penuh tata etika raja, kalian takkan melihat siapapun berjalan seperti ini di kehidupan sehari-hari, dan saat aku telah menjadi raja tak pernah kuikuti tata etika itu, terlalu aneh untukku. Tapi melihat tampang kaisar, hasil dari pemuliaan marga, memang menunjukan perbedaan berbeda dengan tampang-tampang seperti kami, dia cocok dengan cara berjalan itu karena dia merasa atu semua merasa bahwa dia lebih mulia dibandingkan kita. Karena itu pula, tak ada satupun yang berani-beraninya bertatapan langsung dengan beliau, itu lah etika yang sudah di tetapkan tanpa tertulis dan kita semua secara insting akan segera menunduk di hadapannya atau bahkan bersujud bagai bertemu tuhan.
"An Yanyan, bangunlah saudaraku."
An Yanyan bangun, tetap ia tidak menatap matanya. Sang kaisar memegang pundaknya menyuruhnya berdiri tegap, memalukan bagi bangsawan untuk berdiri bungkuk seperti orang tua, walau hal itu merupakan bentuk tunduk terhadap sang kaisar.
"Aku bangga padamu An Yanyan, tidak pernah berubah, berani dan riskan seperti Ayahmu. Dulu ia mengambil tanah ini, tanah yang sedikit untung baginya, namun krusial untuk kerajaan. Sekarang anaknya, menikahi seorang keturunan bar-bar, demi suatu yang sungguh suci melawan kebiasaan kuno yang terbentuk."
Kata-katanya seperti sindaran tajam untuk An Yanyan, sehingga An Yanyan berkeringat takut mengejek kebangsawaan kaisar, namun aku tahu bahwa kaisar benar-benar memujinya karena dirinya sendiri diam-diam memiliki kekasih gelap bersama banyak suku bar-bar. Mungkin demi tujuan sihir, politik, dan sebagainya, tapi segala tetek bengek budaya yang membatasi kotornya darah bagi mereka kupikir terdapat sedikit bentuk cinta didalamnya. Sedangkan kaisar memuji, ataupun tidak, para pengunjung dari kalangan bangsawan, pedagang, karabat dekat yang menunduk tentunya tidak tahan untuk saling membisik, bergosip, berkata hal-hal yang menjatuhkan sehingga telinga kaisar sendiri pasti mulai mendengar desis-desis keramaian. Melihat ini, sang kaisar menatapku sebagai pengalih topic.
"Kudengar anakmu menjadi pahlawan hari ini. An Lushan? Bisakah kau bangun, aku ingin melihat seorang yang mampu membunuh puluhan bandit sendirian."
Aku berdiri, dan kutatap Kaisar. Ah, tidak sopan, kebiasaanku dulu sebagai tangan kanan kaisar bahkan menjadi raja sendiri membuat spontanitas ini muncul, An Yanyan sendiri melototiku sambil basah dengan keringatnya sendiri atas perilakuku. Segera kutundukan mukaku, namun kaisar memegang daguku, membuatku terpaksa menatapnya.
"Badanmu kecil, tapi matamu tidak. Mata tangguh yang jarang kulihat, mata seorang petarung pintar.. mata seorang yang mampu membunuh. Pertama kali kupikir ibumu yang melakukannya, tapi mataku tak pernah salah menilai, kau lah yang memang membunuh puluhan bandit. An Yanyan!"
"Kaisar.."
An Yanyan kaget mendengar namanya di panggil dengan nada yang tinggi. Sedangkan saat itu, desis keramaian makin parah sehingga pasukan terpaksa menghentakan kakinya sehingga kondisi kembali tenang.
"Anakmu ini, aku ingin dirinya masuk dalam akademi khususku. Sesungguhnya baru pertama kali kulihat mata setangguh ini dalam umur-umurnya. Aku tidak bisa membiarkan sebuah permata tidak terpoles dengan baik."
An Yanyan tersenyum, seperti sebuah letupan hati meledak-ledak. Sepertinya diriku sedikit meninggikan namanya di mata Kaisar. Saat itu kaisar tersenyum padaku, dan memegang kepalaku seakan hal itu merupakan kehormatan tertinggi bagiku. Sedangkan saat itu, tatapan ibu maupun kakak terlihat aneh, sedih, seakan pengakuan itu tak berhak bagiku yang bukanlah keluarga mereka, menurut mereka mungkin.
"Baiklah, maafkan aku yang menyela kata-kata penyambutanmu. Maafkan juga karena aku tidak bisa berlama-lama. Semoga keluarga ini dipenuhi keberkahan berlimpah."
Kaisar segera pergi meninggalkan tempat pernikahan, dan tentara mundur dari tempat ini diikuti oleh tentara jirah emasnya mengikuti.
Sampailah saat itu masuk ke bagian para bangsawan atau karabat dekat An Yanyan saling memberikan hadiah sebagai penghormatan ataupun pamer kekayaan mereka. Ada yang memberikan ratusan kuda, uang, pedang, dan cindramata lainnya yang terlihat sangat mahal diikuti dengan doa mereka untuk kejayaan pada keluarga An.
Sampai akhirnya karabat dekat ibu, yang kebanyakan adalah orang-orang suku dan penyihir yang sudah diakui oleh kerajaan keberadaan mereka dan hingga akhirnya liga penyihir mengisi ruangan tengah, salah satu dari mereka yang berbaju hitam saling memberikan hadiah dengan sihir-sihir mereka, berkah, dan sebagainya. Sesungguhnya budaya bar-bar ini tidak di senangi kaum bangsawan, tapi mata An Yanyan sungguh berbinar-binar melihat ini semua.
"Roh cinta, keberkahan, dan hidup berkahilah mereka, jauhilah mereka dari bencaa yang melanda, lindungilah mereka seperti sebuah angin yang menyertai kami dimanapun kami berada"
Salah satu dari mereka sambil mengucapkan hal itu mengeluarkan burung-burung bersinar dari tangan mereka. Burung tersebut terbang indah ke atas bertaburkan cahaya, pasir bersinar yang turun bagai debu, lalu menghilang mengenai kedua pasangan pengantin. Indahnya ketika burung tersebut meledak di atas seperti kembang api, dan gemerlap cahaya mengelilingi An Yanyan dan ibu.
Banyak penyihir yang melakukan atraksinya, entah apakah memang benar sihir tersebut ataupun roh-roh alam akan melindunginya, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini benar-benar menarik untuk di saksikan dan para pengunjungpun terlihat terkagum-kagum oleh berbagai paduan cahaya yang kelaur dari sihir tersebut.
Tiba saat itu, penyihir dengan pakaian gelap, sungguh esentrik dibandingkan penyihir lainnya. Air muka ibu seketika berubah, seperti tidak senang dengan kemunculan wujud ini. Aku mengenalnya, dia saudara ibu, Nisha, yang merupakan salah satu calon terkuat penyihir dan kini merupakan ketua dari akademi sihir. Dulu aku pernah melawannya sekali, sihirnya mampu membuat matahari menghilang, menjadi gelap purnama yang membutakan. Pasukan-pasukan ilusi bermunculan membuat pasukan pembrontakan yang kupimpin kehilangan kendali atas diri mereka sendiri hingga akhirnya pasukan elite harus bersusah payah membunuhnya secara langsung.
Saat itu Nisha beridiri sendiri, dijauhi penyihir lainnya. Dia membuka tangannya, dan seketika lampu-lampu yang menerangi padam dengan sendirinya. Ketika itu hanya tubuhnya yang bersinar dengan roh api disebelahnya, lalu dia membukakan tangannya dan membacakan mantra.
"Roh kegelapan, roh cahaya, dan roh kesucian. Dalam kegelapan, sembunyikan mereka, sepasang kekasih dan anak-anak mereka dalam bahaya yang menerkam mereka, kacaukan si penerkam dalam kekacauan pandangan hingga ia menerkam dirinya sendiri dalam kekelaman. Dalam cahaya, butakan mereka para penerkam, tunjukilah mereka, keluarga ini kedalam cahayamu menuju tempat yang aman. Dan dalam kesucian, jauhilah mereka dari najis kotor yang bisa menodai mereka kapan saja, dalam hidup, dan mati."
Munculah sebuah kupu-kupu hitam dalam tangannya, pergi menghampiri kedua kekasih dan kita anak-anaknya dan berhinggap di pundak kami.
Kupu-kupu yang berada di pundakku lalu terbakar, dan aku bisa melihat reaksi Nisha yang meniupkan sihir ini pada kami terlihat kaget karenanya. Namun perhatian orang-orang yang tidak tahu menahu soal ini hanya memandang datar apa yang terjadi. Ketika itu juga kupu-kupu tersebut menghilang bagai serpihan pasir, dan sungguh berbeda denganku yang jatuh terbakar menjadi asap. Seketika semua lampu kembali menyala dengan ajaibnya. Semua bertepuk tangan seakan hal ini adalah penutupan dari segala pertunjukan sihir, namun para penyihir menatapku aneh, mereka membuka matanya lebar-lebar seakan dia tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya lalu ibu menatapku dengan wajah khawatirnya seakan akan ada nasib buruk yang akan menimpaku.
***
"Anakmu bisa menggunakan sihir bukan?"
"Apa kau gila?"
Selesai upacara, ibu menarikku ke belakang mengetahui rahasia anaknya sudah diketahui teman-teman penyihirnya, namun kekhawatirannya lebih ke arah Nisha yang kini menarik lenganku dengan paksa.
"Semua orang harus tau ini! Mungkin, mungkin ini akan menjadi kesempatan untuk menumbuhkan bibit unggul! Biarkan aku menelitinya, dan kau akan melihat kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya!"
"Nisha, kecilkan suaramu! Aku takkan membiarkan anakku menjadi objek politik ataupun bahan penelitianmu!"
Saat itu aku tahu ketakutan ibu, dan hal ini yang paling kukhawatirkan mengenai sihirku, alasan mengapa aku begitu merahasiakan kemampuan sihirku karena seorang pria yang mampu melakukan sihir merupakan tanda bahwa kemampuan ini dapat diturunkan pada keturunannya, setidaknya itu kepercayaan di kerajaan ini.
Bisa kubayangkan jika dia memang melakukan penelitian terhadapku, betapa mengerikannya? Lalu para mata-mata pasti akan mencium hal ini, dan tentunya akan terbongkar pula hingga terdapat dua pilihan didalamnya, yaitu pilihan pertama untuk merebutku dan memaksaku sebagai penerus mereka sehingga mereka mampu memiliki keturunan lelaki yang unggul. Keturunan lelaki yang mampu menggunakan sihir akan melejitkan kebangsawanan mereka hingga posisi kekaisaran mungkin akan terancam meningingat kerajaan ini sangat memuja pemuliaan keturunan atas kepercayaan bahwa kehebatan seseorang mampu diturunkan, seperti lagenda bahwa kaisar merupakan keturunan dewa, dan kini sihir merupakan kemampuan paling menajubkan yang mampu disaksikan dan akan meluruhlantahkan rumor kaisar sebagai keturunan dewa. Pilihan kedua tentu saja, menyingkirkanku, terutama dari keluarga kekaisaran yang takut atas perebutan kekuatan ini.
“Lushan kau pergi dari sini. Aku akan mengurusi tantemu ini sebelum ocehannya terdengar ke telinga-telinga yang tidak diinginkan”
“...”
Aku segera pergi berlari dari cengkraman wanita tersebut. Ibu kemudian meneruskan pembicaraannya, dan sihir menutup suara mereka seperti ruangan kedap suara. Saat berlari, kusadari bahwa terdapat An Yanyan menguping dengan diam-diam, dan aku tahu bahwa terdapat peristiwa yang tidak ku inginkan akan segera terjadi.
Tapi kupikir juga sedikit kemungkinan dia berhasil melakukan apa-apa, toh dia nanti akan mati juga.
Saat itu aku tahu bahwa diriku masih memegang kendali tentang apa yang akan terjadi, sehingga ku acuhkan An Yanyan yang diam menatapku lewat berlari.
An Yanyan menunggu di depan pintu tempatku beristirahat dan hanya menatapku saat itu, tidak ada senyum di matanya walau aku baru saja menyelamatkan calon istrinya. Sudah lama aku mengetahui bahwa kami hanyalah obyek dalam perpolitikannya di kerajaan, kekuatan yang belum terjamah walau mampu mengotori darah kebangsawanannya, dia ingin dipercayai tanah yang lebih besar dari ini. Kusimpulkan saat itu bahwa peristiwa penyerangan ini mungkin direncanakan olehnya untuk menunjukan kekuatan ibu sebagai seorang penyihir, dan bocah kecil ini baru saja menggagalkan rencananya, menjadikannya rumor belaka yang tidak begitu berharga baginya dan semua itu mampu kusimpulkan hanya dari raut mukanya.
Tapi entah mengapa, aku yang dulu selalu mengutuk dirinya kini malah mewajari sifat licik tersebut, dan mewajarinya karena dirinya sebagai bangsawan dalam kondisi kritis indentitas di tanah yang sama kritisnya pula, bahkan semuanya pun tahu bahwa semua peristiwa ini adalah tindakan konyolnya.
Lagipula, di masa depan dia akan mati, dan aku ragu akan An Yanyan sebagai pria yang layak untuk kuselamatkan pada masa ini.
...
"Puji tuhan, dewa-dewa, atas pengantin yang naik dalam pelaminan. Semoga diberi umur panjang, semoga diberi keberkahan.."
Doa diberikan oleh pendeta sembari mengetukkan dupa. Orang-orang melihat kedua pengantin tersebut dari kejauhan, ibu, dan An yanyan, sedangkan anak-anaknya duduk di sebelah mereka, di kiri untuk kami dari sisi sang ibu, dan kanan dari sisi An Yanyan. Saat itu kakak masih tidak mau melihatku, matanya dan kepalanya seakan berlainan arah dengan diriku, dan aku tahu bahwa perkataanku pasti sudah melukai hatinya.
Kini kita duduk di tempat seremonial, panggung pernikahan yang merupakan gedung tersendiri di tempat kediaman An Yanyan. Tempat ini megah, segala budaya bersatu dari timur tengah, barat, dan semacamnya. Tanah Tujue ini memang merupakan pusat perdagangan dengan pelabuhan besar di sisi selatan walau gersang di dalamnya. Walau demikian posisi strategis ini hanya menguntungkan kaum modal, ningrat, dan tidak ada untungnya bagi kaum plotelar, para pekerja buruh ataupun petani yang hidup di tanah gersang ini, mereka para ningrat tersebut tidak membagikan kekayaan mereka, sehingga hidup miskin merupakan nasib yang tidak terelakkan bagi mereka. Wajar saja suatu saat nanti pembrontakan akan terjadi, siapa saja akan gila jika kelaparan sambil meratapi orang-orang diatasnya makan dari hasil kerja mereka dan masyarakat akan menang walau akan ditekan kembali oleh pemerintahan.
Saat itu anak An Yanyan, kalau tidak salah An Qiao dan An Xian, wanita kembar asal mantan istrinya yang meninggal menatap kita dengan tatapan yang penuh dengan rasa ingin tahu. An Qiao, kalau tidak salah, mengikat rambutnya seperti bola di antara keduanya sedangkan kakaknya An Xian bertampilan dewasa dengan rambut yang di jepit oleh tusuk naga khas keluarga bangsawan. Walau demikian muka mereka terlihat sama, begitu pula baju mereka sehingga satu-satunya pembeda di antara mereka adalah rambut tersebut. Walau begitu, aku tidak pernah ingat ataupun sempat bersosialisasi dengan mereka tempo dulu karena pernikahan yang dibatalkan, dan aku yang segera pergi menuju akademi diikuti polemik pembrontakan masyarakat yang membantai keluarga An Yanyan. Kupikir mereka juga terbunuh, dan melihat mereka kini hidup dan baik-baik saja membuat perasaanku aneh.
"Lushan.."
Tiba-tiba saja kakak sudah mulai bicara padaku, saat itu juga tetapi doa sudah selesai dan upacara pernikahan selesai. Ibu sudah resmi menikah dengan An Yanyan, dan An Yanyan memberi ucapan sambutan. Ketika Kakak menatapku dengan penuh arti seperti ingin mengeluarkan segala gundah hatinya, An Yanyan menyebutku dalam ucapan sambutannya.
"Aku sungguh berterima kasih atas An Lushan, dia sesungguhnya pahlawan pada hari ini, tepatnya ketika para bandit menyerang calon istriku, dan putrinya. Dengan berani, demi keluarganya, dia menyelamatkan mereka dari tangan kotor bandit, sendirian."
Semua mulai berbisik, mungkin tidak percaya, tapi berita ini seharusnya sudah menyebar di antara mereka sebelum An Yanyan mengumumkannya, mengingat telinga-telinga jahil mereka yang senang mendengar apapun berita yang mampu merendahkan saingan mereka. Mereka tentu saja berpikir bagaimana seorang anak kecil sepertiku melawan bandit-bandit yang berbadan besar, garang, berpengalaman dalam membunuh. Badanku sangat kecil, seperti umur 11-12 walau sesungguhnya sudah berumur 14 tahun, waktu yang cukup untuk di jadikan buruh kerja. Mengangkat benda-benda saja tidak mampu, pedang juga terlihat cukup berat baginya, apalagi menahan terjangan pedang dari orang-orang yang menyerangnya.
Perhatian mereka tentu saja pada ibuku, seorang ketua penyihir dari liga penyihir kerajaan. Cerita horror mengenai dirinya sudah tersebar, dan tersohor sekali. Bagaimana ibu membantai ribuan musuh seperti menyebarkan hama penyakit, menyebabkan tubuh mereka hitam membusuk dan menyebar oleh tikus-tikus, dan bagaimana ibu bisa meledakkan satu istana jika saja sang tuan rumah masih saja keras kepala untuk menyerah. Dua kemungkinan adalah anak sang penyihir ini sakti, atau dia yang memegang kendali, namun rendah hati memberikan segala kehormatan kepada anaknya.
"Kaisar telah tiba!!"
Tiba-tiba dalam kata-kata penyambutan tersebut, pintu dibuka disambar oleh pasukan-pasukan elit berzirah emas saling memegang tombak berbaris di antara pintu membuka jalan seorang Kaisar dengan jubah panjang, dan jenggot panjangnya itu. Semuanya menunduk, An Yanyan yang masih di atas memberi penyambutan juga, dan aku pun demikian. Sang kaisar masuk dengan seorang memegang jubahnya, berjalan dengan penuh tata etika raja, kalian takkan melihat siapapun berjalan seperti ini di kehidupan sehari-hari, dan saat aku telah menjadi raja tak pernah kuikuti tata etika itu, terlalu aneh untukku. Tapi melihat tampang kaisar, hasil dari pemuliaan marga, memang menunjukan perbedaan berbeda dengan tampang-tampang seperti kami, dia cocok dengan cara berjalan itu karena dia merasa atu semua merasa bahwa dia lebih mulia dibandingkan kita. Karena itu pula, tak ada satupun yang berani-beraninya bertatapan langsung dengan beliau, itu lah etika yang sudah di tetapkan tanpa tertulis dan kita semua secara insting akan segera menunduk di hadapannya atau bahkan bersujud bagai bertemu tuhan.
"An Yanyan, bangunlah saudaraku."
An Yanyan bangun, tetap ia tidak menatap matanya. Sang kaisar memegang pundaknya menyuruhnya berdiri tegap, memalukan bagi bangsawan untuk berdiri bungkuk seperti orang tua, walau hal itu merupakan bentuk tunduk terhadap sang kaisar.
"Aku bangga padamu An Yanyan, tidak pernah berubah, berani dan riskan seperti Ayahmu. Dulu ia mengambil tanah ini, tanah yang sedikit untung baginya, namun krusial untuk kerajaan. Sekarang anaknya, menikahi seorang keturunan bar-bar, demi suatu yang sungguh suci melawan kebiasaan kuno yang terbentuk."
Kata-katanya seperti sindaran tajam untuk An Yanyan, sehingga An Yanyan berkeringat takut mengejek kebangsawaan kaisar, namun aku tahu bahwa kaisar benar-benar memujinya karena dirinya sendiri diam-diam memiliki kekasih gelap bersama banyak suku bar-bar. Mungkin demi tujuan sihir, politik, dan sebagainya, tapi segala tetek bengek budaya yang membatasi kotornya darah bagi mereka kupikir terdapat sedikit bentuk cinta didalamnya. Sedangkan kaisar memuji, ataupun tidak, para pengunjung dari kalangan bangsawan, pedagang, karabat dekat yang menunduk tentunya tidak tahan untuk saling membisik, bergosip, berkata hal-hal yang menjatuhkan sehingga telinga kaisar sendiri pasti mulai mendengar desis-desis keramaian. Melihat ini, sang kaisar menatapku sebagai pengalih topic.
"Kudengar anakmu menjadi pahlawan hari ini. An Lushan? Bisakah kau bangun, aku ingin melihat seorang yang mampu membunuh puluhan bandit sendirian."
Aku berdiri, dan kutatap Kaisar. Ah, tidak sopan, kebiasaanku dulu sebagai tangan kanan kaisar bahkan menjadi raja sendiri membuat spontanitas ini muncul, An Yanyan sendiri melototiku sambil basah dengan keringatnya sendiri atas perilakuku. Segera kutundukan mukaku, namun kaisar memegang daguku, membuatku terpaksa menatapnya.
"Badanmu kecil, tapi matamu tidak. Mata tangguh yang jarang kulihat, mata seorang petarung pintar.. mata seorang yang mampu membunuh. Pertama kali kupikir ibumu yang melakukannya, tapi mataku tak pernah salah menilai, kau lah yang memang membunuh puluhan bandit. An Yanyan!"
"Kaisar.."
An Yanyan kaget mendengar namanya di panggil dengan nada yang tinggi. Sedangkan saat itu, desis keramaian makin parah sehingga pasukan terpaksa menghentakan kakinya sehingga kondisi kembali tenang.
"Anakmu ini, aku ingin dirinya masuk dalam akademi khususku. Sesungguhnya baru pertama kali kulihat mata setangguh ini dalam umur-umurnya. Aku tidak bisa membiarkan sebuah permata tidak terpoles dengan baik."
An Yanyan tersenyum, seperti sebuah letupan hati meledak-ledak. Sepertinya diriku sedikit meninggikan namanya di mata Kaisar. Saat itu kaisar tersenyum padaku, dan memegang kepalaku seakan hal itu merupakan kehormatan tertinggi bagiku. Sedangkan saat itu, tatapan ibu maupun kakak terlihat aneh, sedih, seakan pengakuan itu tak berhak bagiku yang bukanlah keluarga mereka, menurut mereka mungkin.
"Baiklah, maafkan aku yang menyela kata-kata penyambutanmu. Maafkan juga karena aku tidak bisa berlama-lama. Semoga keluarga ini dipenuhi keberkahan berlimpah."
Kaisar segera pergi meninggalkan tempat pernikahan, dan tentara mundur dari tempat ini diikuti oleh tentara jirah emasnya mengikuti.
Sampailah saat itu masuk ke bagian para bangsawan atau karabat dekat An Yanyan saling memberikan hadiah sebagai penghormatan ataupun pamer kekayaan mereka. Ada yang memberikan ratusan kuda, uang, pedang, dan cindramata lainnya yang terlihat sangat mahal diikuti dengan doa mereka untuk kejayaan pada keluarga An.
Sampai akhirnya karabat dekat ibu, yang kebanyakan adalah orang-orang suku dan penyihir yang sudah diakui oleh kerajaan keberadaan mereka dan hingga akhirnya liga penyihir mengisi ruangan tengah, salah satu dari mereka yang berbaju hitam saling memberikan hadiah dengan sihir-sihir mereka, berkah, dan sebagainya. Sesungguhnya budaya bar-bar ini tidak di senangi kaum bangsawan, tapi mata An Yanyan sungguh berbinar-binar melihat ini semua.
"Roh cinta, keberkahan, dan hidup berkahilah mereka, jauhilah mereka dari bencaa yang melanda, lindungilah mereka seperti sebuah angin yang menyertai kami dimanapun kami berada"
Salah satu dari mereka sambil mengucapkan hal itu mengeluarkan burung-burung bersinar dari tangan mereka. Burung tersebut terbang indah ke atas bertaburkan cahaya, pasir bersinar yang turun bagai debu, lalu menghilang mengenai kedua pasangan pengantin. Indahnya ketika burung tersebut meledak di atas seperti kembang api, dan gemerlap cahaya mengelilingi An Yanyan dan ibu.
Banyak penyihir yang melakukan atraksinya, entah apakah memang benar sihir tersebut ataupun roh-roh alam akan melindunginya, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini benar-benar menarik untuk di saksikan dan para pengunjungpun terlihat terkagum-kagum oleh berbagai paduan cahaya yang kelaur dari sihir tersebut.
Tiba saat itu, penyihir dengan pakaian gelap, sungguh esentrik dibandingkan penyihir lainnya. Air muka ibu seketika berubah, seperti tidak senang dengan kemunculan wujud ini. Aku mengenalnya, dia saudara ibu, Nisha, yang merupakan salah satu calon terkuat penyihir dan kini merupakan ketua dari akademi sihir. Dulu aku pernah melawannya sekali, sihirnya mampu membuat matahari menghilang, menjadi gelap purnama yang membutakan. Pasukan-pasukan ilusi bermunculan membuat pasukan pembrontakan yang kupimpin kehilangan kendali atas diri mereka sendiri hingga akhirnya pasukan elite harus bersusah payah membunuhnya secara langsung.
Saat itu Nisha beridiri sendiri, dijauhi penyihir lainnya. Dia membuka tangannya, dan seketika lampu-lampu yang menerangi padam dengan sendirinya. Ketika itu hanya tubuhnya yang bersinar dengan roh api disebelahnya, lalu dia membukakan tangannya dan membacakan mantra.
"Roh kegelapan, roh cahaya, dan roh kesucian. Dalam kegelapan, sembunyikan mereka, sepasang kekasih dan anak-anak mereka dalam bahaya yang menerkam mereka, kacaukan si penerkam dalam kekacauan pandangan hingga ia menerkam dirinya sendiri dalam kekelaman. Dalam cahaya, butakan mereka para penerkam, tunjukilah mereka, keluarga ini kedalam cahayamu menuju tempat yang aman. Dan dalam kesucian, jauhilah mereka dari najis kotor yang bisa menodai mereka kapan saja, dalam hidup, dan mati."
Munculah sebuah kupu-kupu hitam dalam tangannya, pergi menghampiri kedua kekasih dan kita anak-anaknya dan berhinggap di pundak kami.
Kupu-kupu yang berada di pundakku lalu terbakar, dan aku bisa melihat reaksi Nisha yang meniupkan sihir ini pada kami terlihat kaget karenanya. Namun perhatian orang-orang yang tidak tahu menahu soal ini hanya memandang datar apa yang terjadi. Ketika itu juga kupu-kupu tersebut menghilang bagai serpihan pasir, dan sungguh berbeda denganku yang jatuh terbakar menjadi asap. Seketika semua lampu kembali menyala dengan ajaibnya. Semua bertepuk tangan seakan hal ini adalah penutupan dari segala pertunjukan sihir, namun para penyihir menatapku aneh, mereka membuka matanya lebar-lebar seakan dia tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya lalu ibu menatapku dengan wajah khawatirnya seakan akan ada nasib buruk yang akan menimpaku.
***
"Anakmu bisa menggunakan sihir bukan?"
"Apa kau gila?"
Selesai upacara, ibu menarikku ke belakang mengetahui rahasia anaknya sudah diketahui teman-teman penyihirnya, namun kekhawatirannya lebih ke arah Nisha yang kini menarik lenganku dengan paksa.
"Semua orang harus tau ini! Mungkin, mungkin ini akan menjadi kesempatan untuk menumbuhkan bibit unggul! Biarkan aku menelitinya, dan kau akan melihat kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya!"
"Nisha, kecilkan suaramu! Aku takkan membiarkan anakku menjadi objek politik ataupun bahan penelitianmu!"
Saat itu aku tahu ketakutan ibu, dan hal ini yang paling kukhawatirkan mengenai sihirku, alasan mengapa aku begitu merahasiakan kemampuan sihirku karena seorang pria yang mampu melakukan sihir merupakan tanda bahwa kemampuan ini dapat diturunkan pada keturunannya, setidaknya itu kepercayaan di kerajaan ini.
Bisa kubayangkan jika dia memang melakukan penelitian terhadapku, betapa mengerikannya? Lalu para mata-mata pasti akan mencium hal ini, dan tentunya akan terbongkar pula hingga terdapat dua pilihan didalamnya, yaitu pilihan pertama untuk merebutku dan memaksaku sebagai penerus mereka sehingga mereka mampu memiliki keturunan lelaki yang unggul. Keturunan lelaki yang mampu menggunakan sihir akan melejitkan kebangsawanan mereka hingga posisi kekaisaran mungkin akan terancam meningingat kerajaan ini sangat memuja pemuliaan keturunan atas kepercayaan bahwa kehebatan seseorang mampu diturunkan, seperti lagenda bahwa kaisar merupakan keturunan dewa, dan kini sihir merupakan kemampuan paling menajubkan yang mampu disaksikan dan akan meluruhlantahkan rumor kaisar sebagai keturunan dewa. Pilihan kedua tentu saja, menyingkirkanku, terutama dari keluarga kekaisaran yang takut atas perebutan kekuatan ini.
“Lushan kau pergi dari sini. Aku akan mengurusi tantemu ini sebelum ocehannya terdengar ke telinga-telinga yang tidak diinginkan”
“...”
Aku segera pergi berlari dari cengkraman wanita tersebut. Ibu kemudian meneruskan pembicaraannya, dan sihir menutup suara mereka seperti ruangan kedap suara. Saat berlari, kusadari bahwa terdapat An Yanyan menguping dengan diam-diam, dan aku tahu bahwa terdapat peristiwa yang tidak ku inginkan akan segera terjadi.
Tapi kupikir juga sedikit kemungkinan dia berhasil melakukan apa-apa, toh dia nanti akan mati juga.
Saat itu aku tahu bahwa diriku masih memegang kendali tentang apa yang akan terjadi, sehingga ku acuhkan An Yanyan yang diam menatapku lewat berlari.
0
Kutip
Balas