TS
simamats
[Orifict] Naqoyqatsi
Terinspirasi dari peristiwa Revolusi Prancis dan Lushan Rebellion di Dinasti Tang (plus science fiction time machine?), gw persembahkan *sound effect trompet* :
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga
Naqoyqatsi: Life as War
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Genre: Seinen, Action, Psychological, Tragedy, Supranatural, Historical.
Spoiler for Sinopsis:
Lushan merupakan seorang pembrontak yang menjunjung tinggi kebebasan atas masyarakatnya yang tertindas dibawah kekuasaan dinasti Tang. Visinya semakin buyar dan di penuhi oleh tragedi yang membuatnya kehilangan banyak hal, istri, sahabat, dan semua hal yang disayanginya untuk meraih impian tersebut. Kehilangan pijakan, Lushan seperti api yang berkobar menghancurkan segala hal, bertranformasi menjadi monster. Ketika tinggal satu langkah lagi bagi Lushan untuk mendapatkan impiannya, dia terbunuh oleh orang terdekatnya, darah dagingnya sendiri yang menganggap ayahnya sudah dibutakan oleh ambisi. Ketika itu, dia diberi kesempatan oleh kekuatan misterius untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu.
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
Spoiler for Index:
Prolog - There is No Liberty With Blood Below Your Feet :
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga

Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:06
0
13.6K
Kutip
83
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
TS
simamats
#20

Spoiler for Part 1 : Roxanna part 2:
Chapter 3 : Roxxane Part 2
"Roxanna.."
Terbangun dari mimpiku, aku segera mengucapkan namanya. Mimpi tersebut menyadarkanku bahwa Roxanna masih hidup di masa ini.
Optimismeku muncul, dan hatiku dipenuhi oleh harapan. Bukankah seharusnya aku senang akan kenyataan ini? Bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan semuanya seperti Roxanna, kakak, ibu. Lalu untuk apa aku bersedih, depresi, dan bahkan meluapkan nafsu membunuhku kepada kakak ketika rasa paranoid hampir menelanku hidup-hidup karena rasa takut akan berubahnya nasib. Kebiasan pesimis dan paranoid yang telah kupupuk dulu hampir saja menghancurkan potensiku pada masa ini.
Dengan pengalamanku kini, ilmu-ilmu yang kudapatkan, bahkan akan semakin mudah untuk mendapatkan apa yang kuraih dulu, dan tentu saja, menyelamatkan semua yang tidak mampu kuselamatkan. Kini lihat, kakakku masih hidup, dan nasib ibu mungkin tidak akan seburuk di masa lalu, dan gilanya lagi, aku memiliki kemampuan sihir yang harus kulalui lewat peruntungan selama hidupku dulu. Jika demikian, apa buruknya kembali ke masa lalu di reruntuhan masaku yang penuh dengan perjudian antara kalah dan tidak, pada masa ini aku tidak perlu lagi berjudi bukan? Hanya perlu cari tahu jalan yang sudah kuketahui dulu.
...
Melihat kekiri dan kekanan, kini diriku terbaring dalam kasur dengan bebauan rempah-rempah yang dibakar untuk pengobatan, jelas bahwa kini aku berada dalam ruangan tabib dikediaman An Yanyan.
Ketika menengok, baru tersadar bahwa Balthiq berada disebelahku tertidur. Selagi itu, selain leherku, badanku tidak bisa digerakan sama sekali, mungkin karena dengan cerobohnya diriku menggunakan sihir dengan badan yang lemah ini. Pengetahuanku dulu, sihir menggunakan roh atau jiwa yang memberikan energi untuk menggerakan raga, dan bumi mengembalikan kekuatan tersebut. Akibatnya ketika menggunakan sihir dengan jiwa yang tidak dilatih nyatanya memang akan memakan jiwa pemakainya.
Tentu saja permasalahannya utamanya kini bukan itu, tapi bagaimana seorang pria mampu menggunakan sihir.
"Lushan?".
Balthiq membuka matanya, dan dia sadar bahwa diriku telah terbangun. Kini dia memandangiku dengan mata serius namun seperti orang yang lelah. Terasa aneh ketika rambut keritingnya yang telah ditata rapih oleh ibu kini kembali berantakan.
Melihat kakak yang berperilaku aneh, aku mencoba merespon kata-katanya, yang penuh dengan rasa bingung, khawatir, dan tidak percaya. Apa yang dia tidak percaya pikirku?
"Kakak.."
Kita saling memandang diam. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan pada Balthiq, dan tentu saja hal yang harus kupikirkan adalah bagaimana cara menjelaskan pembantaian yang adiknya lakukan didepan matanya sendiri, adiknya yang yang baru saja berumur 14 tahun tanpa pengalaman bertarung sama sekali, dan keajaiban yang kulakukan dengan menggunakan sihir, tentunya akan sangat gila bahwa kejadian aneh tersebut terjadi dalam satu momen yag sama.
Aku ingat ketika ibu menteriaki diriku iblis, satu-satunya penjelasan logis disini adalah diriku yang terasuki iblis. Pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana Balthiq mengawali obrolan ini.
"Kau Lushan bukan?".
Lucu, aku tersenyum sambil tertawa kecil mendengar pertanyaannya, tentu saja ia akan menanyakan hal tersebut.
Yang lucunya adalah bagaimana jika aku bukan Lushan? Aku akan menjawab 'tidak' begitu? Lagipula mana ada pencuri yang berkata dirinya pencuri, sebagaimana iblis yang sukses merasuki manusia, dia tidak akan mengaku dirinya iblis.
"Tentu saja kakak..aku Lushan.
"..."
"Ah, tentu kakak tidak percaya? Aku harus berkata apa untuk kakak percaya bahwa adikmu ini adalah Lushan?"
"Kau tak perlu berucap, dan aku tahu, kau bukan Lushan yang aku tahu. Matamu itu.. seperti.."
Kakak tidak melanjutkan omongannya. Dia menatap kebawah, bahwa dia meragukan apa yang ingin ia katakan.
“Seperti?”
“Orang mati..”
Kakak menjawabnya dengan jawaban yang akhirnya ia rasakan paling cocok mengenai apa yang ia pikirkan. Dia menatapku dengan mantap, mencoba meyakinkanku bahwa walau dia ragu sebelumnya, kini dia berkata sungguh-sungguh dan mencoba menerka reaksiku dari omongannya tersebut.
Ketika ia berkata soal mata, aku kembali mengingat Roxanna, dulu ia pernah berucap bahwa mata adalah refleksi jiwa yang menunjukan perjalanan hidup seseorang. Mataku kini mungkin sangat mengerikan baginya, dan mata seperti apa yang dimiliki Lushan muda? Mata yang penuh harapan? Mata yang penuh dengan kepolosan?
"Ibu.. dia melakukan ritual dan berkata bahwa kau tidak kerasukan apapun. Tapi.. matamu kini, bukan mata adikku, dan aku takkan percaya bahwa kau mampu membunuh orang dengan.."
"Dengan apa? Aku melindungi kalian bukan?"
Tiba-tiba ucapan tersebut keluar. Mengetahui bahwa hal rasional mengenai diriku yang kerasukan otomatis ditolak, kurasa aku harus menerima bahwa semua itu adalah hal yang kulakukan, dan adalah hal yang memang cukup rasional untuk dilakukan.
"Lushan..kau berumur 14 tahun.."
"Tunggu, para bandit disana kau pikir berumur berapa? Bahkan ada yang berumur 8 tahun dan mungkin dibawah umur tersebut, dan kau tidak akan percaya berapa pria yang sudah ia penggal.."
"Jangan memotong jika kakakmu sedang bicara! Begini, kau tidak pernah sekalipun berlatih pedang dan bertarung, dan aku baru saja melihatmu bertarung dengan pria besar, mengalahkannya bagai pendekar di dongeng-dongeng.. Lalu parahnya lagi.. kau baru saja menggunakan sihir Lushan, siapa yang bisa percaya setelah melihat hal tersebut?"
Aku terdiam ketika kakak bertanya dengan tatapannya yang serius, seakan tidak berkedip menganalisa mataku hingga bulu kudukku berdiri. Sadar akan hal itu, aku tidak mampu membalas tatapan matanya hingga ku sampingkan tatapanku. Tidak mungkin bisa kujelaskan tentang masa depan, kembali ke masa lalu, itu gila.
"Lushan, kau baru saja membunuh orang.. banyak sekali hingga aku pikir tidak mungkin seorang yang baru saja melakukannya tidak kehilangan akal sehatnya.. Tidakkah kau merasa berdosa?"
Suara kakak mulai bergetar sambil mengucapkan hal tersebut, dan kini aku merasa konyol. Dosa? Dosa apa? Betapa munafiknya dia berkata demikian?
Mukaku memerah, dan jika ku metaforakan, panas hingga isi otakku menguap. Emosi yang memuncak-muncak ini membuatku ingin berteriak sekencang mungkin ketelinganya langsung hingga ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan.
"Hei!! Jangan bercanda!!"
Kakak menutup mulutnya kaget dan tangisnya yang tidak tertahankan keluar. Aku ingat bahwa kakak adalah tipe orang yang akan segera menangis ketika seorang membentaknya.
Saat itu diriku berteriak sungguh kencang dan dengan nada yang cukup berat hingga dia pasti tidak sadar bahwa aku yang baru saja berteriak padanya. Segera kupaparkan ucapan yang bahkan tidak kupikirkan terlebih dahulu, ucapan penuh emosi, dan amarah atas pemikiran munafik dan naif yang baru saja kudengar.
“Dosa apa Balthiq, Dosa apa yang telah kuperbuat setelah aku menyelamatkan kalian semua?! Apa kau pikir mereka akan melepaskan kita begitu saja jika aku berbicara dengannya, dan apa kau pikir mereka akan membunuh kita begitu saja tanpa menyiksa kalian terlebih dahulu, kesempatan untuk menyicipi kedua wanita bangsawan yang tak pernah mereka bisa lakukan di kehidupan rendah mereka? Kau tahu apa maksudku bukan?”
"Tidak, lebih parahnya lagi.. sebelum mereka melakukan itu, kau dan ibu akan dirudapaksa terlebih dahulu dan memaksaku yang tidak berdaya untuk menontonnya hingga mereka puas. Ah, bahkan kau tidak mungkin tahu akan kebiasaan mereka dalam meminum darah kita untuk tidak gila atas perbuatan mereka.. bangsa bar-bar seperti mereka.."
"Lushan!!"
Tiba-tiba ibu masuk membanting pintu yang pasti menyadari teriakanku, dan kini pasti sama terkagetnya oleh Balthiq yang kini menangis menjauhi diriku dengan rasa takut di matanya, seakan dia baru saja menatap seorang iblis, pembunuh keji yang mengancam dirinya. Ibu yang melihat dan mendengar hal tersebut segera menjauhi Balthiq dariku, lalu menatapku tidak percaya.
“Ibu, Lushan baru saja mengucapkan hal mengerikan padaku..”
“Masih tidak percaya apa yang kuucapkan barusan? Apa harus kutampar dulu hingga bisa kau pakai otak yang ada dikepalamu itu!”
“Lushan, kini kau sudah keterlaluan! Balthiq cepat kau pergi dari sini, dan rias dirimu. Aku akan berbicara dengan adikmu dulu.”
Balthiq segera dibawa pergi oleh pelayan yang menemani ibu sambil menangis. Ketika itu ibu menatapku marah, dan duduk sambil menghela nafas. Dia pasti juga bingung ingin berkata apa pada anaknya yang satu ini.
Jangan salahkan jika aku mengatakan ini, prespektif yang konyol tentang bagaimana membunuh seperti perbuatan yang begitu tercela, melawan batas norma, dan adiknya yang polos tidak mungkin akan melakukan kegiatan tercela seperti ini walau orang-orang didekatnya dan dirinya sendiri didalam kondisi berbahaya. Diriku seakan ingin berteriak betapa bodoh dirinya.. Tidak tau kondisi atau entahlah, tak bisakah ia sedikit menggeser logikanya bahwa adiknya melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan kakak dan ibunya? Tak bisakah ia mentolerir hal tersebut?!
Lalu, Balthiq, kau seharusnya mati saat itu..
“...”
Kini ibu duduk dihadapanku, dan berdiam seperti apa yang Balthiq lakukan.
“Apa yang salah denganmu Lushan? Kau buat ibumu ini pusing..”
Ibu berdiri dari kursi dan mengambil beberapa ramuan di meja dekat kasurku.
"Apa kau bangga dengan apa yang telah kau lakukan? Menyelamatkan diriku dan adikmu?"
Ibu mengajakku berbicara sambil meracik ramuan didepannya.
"Entah.. Tapi balthiq.. maksudku kakak, aku sangat kesal ketika ia begitu munafik berkata bahwa apa yang kulakukan salah. Kau pasti tahu bahwa ada yang namnya konsekuensi, dan inilah yang terjadi di dunia ini, dan pada momen itu juga, bunuh atau dibunuh. Dalam kondisi itu siapa yang bisa disalahkan?"
“Konsenkuensi? Apa kau belajar kata-kata dewasa tersebut dari bukumu?”
Ibu memegang kepalanya, memeriksa apakah dia yang sinting atau anaknya? Ah, dia pasti mengerti benar apa yang kukatakan, lagipula penyihir ini sudah bertanggung jawab atas kematian jutaan manusia, dan karenanya aku berani berbicara seperti ini.
"Aku mengerti apa yang kau katakan Lushan.. Tapi aku juga mengerti apa yang kakakmu rasakan. Aku.. aku tidak akan berkomentar tentang apa yang terjadi padamu, hingga diriku meneriakimu iblis, aku takkan berkomentar lebih dari itu. Aku baru saja merawat kalian pasca kematian suamiku, dan mungkin aku belum mengenalmu Lushan.. Tapi sihir yang kau lakukan.."
Keresahan ibu pasti terletak pada sihir yang kugunakan. Sihir yang mengerikan hingga matahari terlihat gelap, darah mereka terhisap keluar dari tubuh, kemudian membusuk gelap seperti terkena wabah penyakit. Aku tidak pernah memperlajari sihir tersebut, dan hanya menirukan apa yang ibu lakukan dengan spontan.
"Apa yang telah terjadi padamu lushan? Apakah dosa yang telah kau lakukan sehingga kau mendapati sihir tersebut?"
"Apa maksudmu ibu? Aku.."
"Kenapa kau bisa bertanggung jawab atas matinya jutaan manusia?"
Ibu menatapku dengan tatapan depresinya, dia kemudian meminum araknya yang ia sembunyikan di balik bajunya seakan luka lamanya terbuka lagi. Aku tahu saat itu, sihir yang kulakukan hanya bisa dilakukan oleh manusia yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang, termasuk aku dan ibuku.
***
"Roxanna.."
Terbangun dari mimpiku, aku segera mengucapkan namanya. Mimpi tersebut menyadarkanku bahwa Roxanna masih hidup di masa ini.
Optimismeku muncul, dan hatiku dipenuhi oleh harapan. Bukankah seharusnya aku senang akan kenyataan ini? Bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan semuanya seperti Roxanna, kakak, ibu. Lalu untuk apa aku bersedih, depresi, dan bahkan meluapkan nafsu membunuhku kepada kakak ketika rasa paranoid hampir menelanku hidup-hidup karena rasa takut akan berubahnya nasib. Kebiasan pesimis dan paranoid yang telah kupupuk dulu hampir saja menghancurkan potensiku pada masa ini.
Dengan pengalamanku kini, ilmu-ilmu yang kudapatkan, bahkan akan semakin mudah untuk mendapatkan apa yang kuraih dulu, dan tentu saja, menyelamatkan semua yang tidak mampu kuselamatkan. Kini lihat, kakakku masih hidup, dan nasib ibu mungkin tidak akan seburuk di masa lalu, dan gilanya lagi, aku memiliki kemampuan sihir yang harus kulalui lewat peruntungan selama hidupku dulu. Jika demikian, apa buruknya kembali ke masa lalu di reruntuhan masaku yang penuh dengan perjudian antara kalah dan tidak, pada masa ini aku tidak perlu lagi berjudi bukan? Hanya perlu cari tahu jalan yang sudah kuketahui dulu.
...
Melihat kekiri dan kekanan, kini diriku terbaring dalam kasur dengan bebauan rempah-rempah yang dibakar untuk pengobatan, jelas bahwa kini aku berada dalam ruangan tabib dikediaman An Yanyan.
Ketika menengok, baru tersadar bahwa Balthiq berada disebelahku tertidur. Selagi itu, selain leherku, badanku tidak bisa digerakan sama sekali, mungkin karena dengan cerobohnya diriku menggunakan sihir dengan badan yang lemah ini. Pengetahuanku dulu, sihir menggunakan roh atau jiwa yang memberikan energi untuk menggerakan raga, dan bumi mengembalikan kekuatan tersebut. Akibatnya ketika menggunakan sihir dengan jiwa yang tidak dilatih nyatanya memang akan memakan jiwa pemakainya.
Tentu saja permasalahannya utamanya kini bukan itu, tapi bagaimana seorang pria mampu menggunakan sihir.
"Lushan?".
Balthiq membuka matanya, dan dia sadar bahwa diriku telah terbangun. Kini dia memandangiku dengan mata serius namun seperti orang yang lelah. Terasa aneh ketika rambut keritingnya yang telah ditata rapih oleh ibu kini kembali berantakan.
Melihat kakak yang berperilaku aneh, aku mencoba merespon kata-katanya, yang penuh dengan rasa bingung, khawatir, dan tidak percaya. Apa yang dia tidak percaya pikirku?
"Kakak.."
Kita saling memandang diam. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan pada Balthiq, dan tentu saja hal yang harus kupikirkan adalah bagaimana cara menjelaskan pembantaian yang adiknya lakukan didepan matanya sendiri, adiknya yang yang baru saja berumur 14 tahun tanpa pengalaman bertarung sama sekali, dan keajaiban yang kulakukan dengan menggunakan sihir, tentunya akan sangat gila bahwa kejadian aneh tersebut terjadi dalam satu momen yag sama.
Aku ingat ketika ibu menteriaki diriku iblis, satu-satunya penjelasan logis disini adalah diriku yang terasuki iblis. Pertanyaan sesungguhnya adalah bagaimana Balthiq mengawali obrolan ini.
"Kau Lushan bukan?".
Lucu, aku tersenyum sambil tertawa kecil mendengar pertanyaannya, tentu saja ia akan menanyakan hal tersebut.
Yang lucunya adalah bagaimana jika aku bukan Lushan? Aku akan menjawab 'tidak' begitu? Lagipula mana ada pencuri yang berkata dirinya pencuri, sebagaimana iblis yang sukses merasuki manusia, dia tidak akan mengaku dirinya iblis.
"Tentu saja kakak..aku Lushan.
"..."
"Ah, tentu kakak tidak percaya? Aku harus berkata apa untuk kakak percaya bahwa adikmu ini adalah Lushan?"
"Kau tak perlu berucap, dan aku tahu, kau bukan Lushan yang aku tahu. Matamu itu.. seperti.."
Kakak tidak melanjutkan omongannya. Dia menatap kebawah, bahwa dia meragukan apa yang ingin ia katakan.
“Seperti?”
“Orang mati..”
Kakak menjawabnya dengan jawaban yang akhirnya ia rasakan paling cocok mengenai apa yang ia pikirkan. Dia menatapku dengan mantap, mencoba meyakinkanku bahwa walau dia ragu sebelumnya, kini dia berkata sungguh-sungguh dan mencoba menerka reaksiku dari omongannya tersebut.
Ketika ia berkata soal mata, aku kembali mengingat Roxanna, dulu ia pernah berucap bahwa mata adalah refleksi jiwa yang menunjukan perjalanan hidup seseorang. Mataku kini mungkin sangat mengerikan baginya, dan mata seperti apa yang dimiliki Lushan muda? Mata yang penuh harapan? Mata yang penuh dengan kepolosan?
"Ibu.. dia melakukan ritual dan berkata bahwa kau tidak kerasukan apapun. Tapi.. matamu kini, bukan mata adikku, dan aku takkan percaya bahwa kau mampu membunuh orang dengan.."
"Dengan apa? Aku melindungi kalian bukan?"
Tiba-tiba ucapan tersebut keluar. Mengetahui bahwa hal rasional mengenai diriku yang kerasukan otomatis ditolak, kurasa aku harus menerima bahwa semua itu adalah hal yang kulakukan, dan adalah hal yang memang cukup rasional untuk dilakukan.
"Lushan..kau berumur 14 tahun.."
"Tunggu, para bandit disana kau pikir berumur berapa? Bahkan ada yang berumur 8 tahun dan mungkin dibawah umur tersebut, dan kau tidak akan percaya berapa pria yang sudah ia penggal.."
"Jangan memotong jika kakakmu sedang bicara! Begini, kau tidak pernah sekalipun berlatih pedang dan bertarung, dan aku baru saja melihatmu bertarung dengan pria besar, mengalahkannya bagai pendekar di dongeng-dongeng.. Lalu parahnya lagi.. kau baru saja menggunakan sihir Lushan, siapa yang bisa percaya setelah melihat hal tersebut?"
Aku terdiam ketika kakak bertanya dengan tatapannya yang serius, seakan tidak berkedip menganalisa mataku hingga bulu kudukku berdiri. Sadar akan hal itu, aku tidak mampu membalas tatapan matanya hingga ku sampingkan tatapanku. Tidak mungkin bisa kujelaskan tentang masa depan, kembali ke masa lalu, itu gila.
"Lushan, kau baru saja membunuh orang.. banyak sekali hingga aku pikir tidak mungkin seorang yang baru saja melakukannya tidak kehilangan akal sehatnya.. Tidakkah kau merasa berdosa?"
Suara kakak mulai bergetar sambil mengucapkan hal tersebut, dan kini aku merasa konyol. Dosa? Dosa apa? Betapa munafiknya dia berkata demikian?
Mukaku memerah, dan jika ku metaforakan, panas hingga isi otakku menguap. Emosi yang memuncak-muncak ini membuatku ingin berteriak sekencang mungkin ketelinganya langsung hingga ia sadar apa yang baru saja ia ucapkan.
"Hei!! Jangan bercanda!!"
Kakak menutup mulutnya kaget dan tangisnya yang tidak tertahankan keluar. Aku ingat bahwa kakak adalah tipe orang yang akan segera menangis ketika seorang membentaknya.
Saat itu diriku berteriak sungguh kencang dan dengan nada yang cukup berat hingga dia pasti tidak sadar bahwa aku yang baru saja berteriak padanya. Segera kupaparkan ucapan yang bahkan tidak kupikirkan terlebih dahulu, ucapan penuh emosi, dan amarah atas pemikiran munafik dan naif yang baru saja kudengar.
“Dosa apa Balthiq, Dosa apa yang telah kuperbuat setelah aku menyelamatkan kalian semua?! Apa kau pikir mereka akan melepaskan kita begitu saja jika aku berbicara dengannya, dan apa kau pikir mereka akan membunuh kita begitu saja tanpa menyiksa kalian terlebih dahulu, kesempatan untuk menyicipi kedua wanita bangsawan yang tak pernah mereka bisa lakukan di kehidupan rendah mereka? Kau tahu apa maksudku bukan?”
"Tidak, lebih parahnya lagi.. sebelum mereka melakukan itu, kau dan ibu akan dirudapaksa terlebih dahulu dan memaksaku yang tidak berdaya untuk menontonnya hingga mereka puas. Ah, bahkan kau tidak mungkin tahu akan kebiasaan mereka dalam meminum darah kita untuk tidak gila atas perbuatan mereka.. bangsa bar-bar seperti mereka.."
"Lushan!!"
Tiba-tiba ibu masuk membanting pintu yang pasti menyadari teriakanku, dan kini pasti sama terkagetnya oleh Balthiq yang kini menangis menjauhi diriku dengan rasa takut di matanya, seakan dia baru saja menatap seorang iblis, pembunuh keji yang mengancam dirinya. Ibu yang melihat dan mendengar hal tersebut segera menjauhi Balthiq dariku, lalu menatapku tidak percaya.
“Ibu, Lushan baru saja mengucapkan hal mengerikan padaku..”
“Masih tidak percaya apa yang kuucapkan barusan? Apa harus kutampar dulu hingga bisa kau pakai otak yang ada dikepalamu itu!”
“Lushan, kini kau sudah keterlaluan! Balthiq cepat kau pergi dari sini, dan rias dirimu. Aku akan berbicara dengan adikmu dulu.”
Balthiq segera dibawa pergi oleh pelayan yang menemani ibu sambil menangis. Ketika itu ibu menatapku marah, dan duduk sambil menghela nafas. Dia pasti juga bingung ingin berkata apa pada anaknya yang satu ini.
Jangan salahkan jika aku mengatakan ini, prespektif yang konyol tentang bagaimana membunuh seperti perbuatan yang begitu tercela, melawan batas norma, dan adiknya yang polos tidak mungkin akan melakukan kegiatan tercela seperti ini walau orang-orang didekatnya dan dirinya sendiri didalam kondisi berbahaya. Diriku seakan ingin berteriak betapa bodoh dirinya.. Tidak tau kondisi atau entahlah, tak bisakah ia sedikit menggeser logikanya bahwa adiknya melakukan hal tersebut untuk menyelamatkan kakak dan ibunya? Tak bisakah ia mentolerir hal tersebut?!
Lalu, Balthiq, kau seharusnya mati saat itu..
“...”
Kini ibu duduk dihadapanku, dan berdiam seperti apa yang Balthiq lakukan.
“Apa yang salah denganmu Lushan? Kau buat ibumu ini pusing..”
Ibu berdiri dari kursi dan mengambil beberapa ramuan di meja dekat kasurku.
"Apa kau bangga dengan apa yang telah kau lakukan? Menyelamatkan diriku dan adikmu?"
Ibu mengajakku berbicara sambil meracik ramuan didepannya.
"Entah.. Tapi balthiq.. maksudku kakak, aku sangat kesal ketika ia begitu munafik berkata bahwa apa yang kulakukan salah. Kau pasti tahu bahwa ada yang namnya konsekuensi, dan inilah yang terjadi di dunia ini, dan pada momen itu juga, bunuh atau dibunuh. Dalam kondisi itu siapa yang bisa disalahkan?"
“Konsenkuensi? Apa kau belajar kata-kata dewasa tersebut dari bukumu?”
Ibu memegang kepalanya, memeriksa apakah dia yang sinting atau anaknya? Ah, dia pasti mengerti benar apa yang kukatakan, lagipula penyihir ini sudah bertanggung jawab atas kematian jutaan manusia, dan karenanya aku berani berbicara seperti ini.
"Aku mengerti apa yang kau katakan Lushan.. Tapi aku juga mengerti apa yang kakakmu rasakan. Aku.. aku tidak akan berkomentar tentang apa yang terjadi padamu, hingga diriku meneriakimu iblis, aku takkan berkomentar lebih dari itu. Aku baru saja merawat kalian pasca kematian suamiku, dan mungkin aku belum mengenalmu Lushan.. Tapi sihir yang kau lakukan.."
Keresahan ibu pasti terletak pada sihir yang kugunakan. Sihir yang mengerikan hingga matahari terlihat gelap, darah mereka terhisap keluar dari tubuh, kemudian membusuk gelap seperti terkena wabah penyakit. Aku tidak pernah memperlajari sihir tersebut, dan hanya menirukan apa yang ibu lakukan dengan spontan.
"Apa yang telah terjadi padamu lushan? Apakah dosa yang telah kau lakukan sehingga kau mendapati sihir tersebut?"
"Apa maksudmu ibu? Aku.."
"Kenapa kau bisa bertanggung jawab atas matinya jutaan manusia?"
Ibu menatapku dengan tatapan depresinya, dia kemudian meminum araknya yang ia sembunyikan di balik bajunya seakan luka lamanya terbuka lagi. Aku tahu saat itu, sihir yang kulakukan hanya bisa dilakukan oleh manusia yang bertanggung jawab atas kematian jutaan orang, termasuk aku dan ibuku.
***
Diubah oleh simamats 13-05-2015 19:07
0
Kutip
Balas