- Beranda
- Stories from the Heart
Hujan, Janji, dan Wanita yang singgah
...
TS
kabelrol
Hujan, Janji, dan Wanita yang singgah
Selamat datang di trit gue yang super sederhana ini
Di trit ini, gue mencoba berbagi soal cerita-cerita cinta semasa sekolah. Lucunya, gara-gara trit ini, kisah-kisah itu ada yang berlanjut dan itu sangat mengejutkan, buat gue
Kisah yang pengen gue tulis udah tamat. Eh, tapi karena ada kisah lanjutan yang disebabkan gue nulis trit ini, sekalian gue tulis kisah lanjutan itu dimari, eh, ceritanya malah jadi kepanjangan
ada 97 part, semoga agan ngga bosen baca kisah ane ini sampe tamat

Makasih buat juragan-juraganwati yang sudah meluangkan waktunya untuk mengirimkan cendol, rate, dan subcribe. Semoga cerita gue, seengganya, bisa ngingetin pembaca sekalian, soalnya indahnya persoalan cinta di kalangan remaja.
Hujan adalah mesin waktu. Gue ngga bisa lagi lebih setuju soal ini. Gue nulis trit ini ketika musim hujan nempel di percuacaan kota gue. Ngeliat barisan hujan yang jatuh teratur, seakan ada yang menyuruh mereka supaya jatuh pada lintasannya dan ngga meleset sedikitpun, berhasil bikin gue kembali ke masa yang sangat gue sesalkan mereka ngga akan kembali.
Masa remaja.
Ya, mereka ngga bisa dan barangkali ngga akan bisa kembali. Tapi, hujan dan buku harian seengganya bisa bikin gue buat nyelamin hari-hari itu kembali. Hari-hari ketika gue mengumpulkan rasa suka, rasa sayang, rasa cinta ke dia.
Gue pernah jatuh cinta dan gue pernah menyesalinya. Tapi, gue sangat mengharap momen-momen seperti itu datang kembali.
pengenalan tokoh yang ikutan main di trit ane bisa ditengok di sini nih
cuma rekaan sih sob, sketsa, tapi mirip mirip lah
Selamat membaca
Di trit ini, gue mencoba berbagi soal cerita-cerita cinta semasa sekolah. Lucunya, gara-gara trit ini, kisah-kisah itu ada yang berlanjut dan itu sangat mengejutkan, buat gue
Kisah yang pengen gue tulis udah tamat. Eh, tapi karena ada kisah lanjutan yang disebabkan gue nulis trit ini, sekalian gue tulis kisah lanjutan itu dimari, eh, ceritanya malah jadi kepanjangan
ada 97 part, semoga agan ngga bosen baca kisah ane ini sampe tamat

Makasih buat juragan-juraganwati yang sudah meluangkan waktunya untuk mengirimkan cendol, rate, dan subcribe. Semoga cerita gue, seengganya, bisa ngingetin pembaca sekalian, soalnya indahnya persoalan cinta di kalangan remaja.
Spoiler for sampul:
Hujan adalah mesin waktu. Gue ngga bisa lagi lebih setuju soal ini. Gue nulis trit ini ketika musim hujan nempel di percuacaan kota gue. Ngeliat barisan hujan yang jatuh teratur, seakan ada yang menyuruh mereka supaya jatuh pada lintasannya dan ngga meleset sedikitpun, berhasil bikin gue kembali ke masa yang sangat gue sesalkan mereka ngga akan kembali.
Masa remaja.
Ya, mereka ngga bisa dan barangkali ngga akan bisa kembali. Tapi, hujan dan buku harian seengganya bisa bikin gue buat nyelamin hari-hari itu kembali. Hari-hari ketika gue mengumpulkan rasa suka, rasa sayang, rasa cinta ke dia.
Gue pernah jatuh cinta dan gue pernah menyesalinya. Tapi, gue sangat mengharap momen-momen seperti itu datang kembali.
pengenalan tokoh yang ikutan main di trit ane bisa ditengok di sini nih
cuma rekaan sih sob, sketsa, tapi mirip mirip lah

Selamat membaca

Spoiler for indeks:
Diubah oleh kabelrol 01-07-2015 15:17
chamelemon dan 24 lainnya memberi reputasi
25
188.2K
701
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kabelrol
#454
Bagian 76 LUPA
Gue menyambut hari selasa dengan nuansa yang beda, jauh berbeda. Pembicaraan dengan Haruki di telepon semalam banyak ngebantu. Suasana hati gue jauh membaik. Badan gue emang masih pegel-pegel semi masuk angin gitu. Yah, tapi gue sangat bersemangat waktu itu.
Kecuali ketika gue harus berhadapan dengan Gadis. Gue emang sudah memutuskan ngga nyeritain secara lengkap disini, tapi kira-kira begini.
Hari raya Natal 2014, Gadis yang rantau di kota gue, pulang ke kota asalnya, untuk ber-hari raya sama keluarganya. Gue yang hampir selalu bareng dia 24/7, sejujurnya., merasa jenuh juga. Gue kontak temen SMA gue, si Eki, Ryan, sama Novi. Merekalah yang nyanggupin reuni setelah sekian lama ngga ketemu. Reuni itu, gue bilang ke Gadis. Omong-omong, Novi adalah temen sekelas Gadis waktu tingkat 1 kuliah walau beda jurusan. Yah, pokoknya gitu, deh. Baik Gadis maupun Novi ngga punya masalah apa-apa, dan mengerti masing-masing. Masalah dimulai ketika Eki cerita dia merasa dikecengin sama temen sejurusan gue, yang otomatis temen Gadis juga.
Singkat cerita, reuni dengan temen SMA berarti reuni dengan sifat kita yang syukurlah ngga berubah. Gue dkk minus Eki setuju maksa Eki ke rumahnya temen sejurusan gue itu, sebut saja namanya Mawar. Yah, akhirnya ketemu dan mereka malu-malu gitulah. Hahaha. Gue ketawa-ketawa jahat ngeliat dan ngerencanain itu semua.
Sepanjang reuni, gue lekat kontak dengan Gadis. Termasuk ketika kita ngeboyong Eki ke rumah Mawar. Taunya, disitu Gadis marah
Gue beneran bingung, Mawar dan Gadis semasa kuliah adalah sahabat lekat, walopun sekarang relatif jarang ketemu
dan begitulah, Gadis marah sama gue, berlanjut dan merembet hingga akhirnya kita putus
Kejadian itu pada akhir Januari.
Demikianlah sekelumit cerita Gadis yang rumit
Nah, saudara bisa bayangkan, kan? apa rasanya gue ketika akhir Januari itu. Posisinya, tinggal 20 hari lagi menuju perkimpoian Widya, gue putus berkeping-keping oleh Gadis.
Ketika itulah, seseorang yang tepat datang disaat yang tepat.
"Hooooi"
Gue yang saat itu masih layu, ogah-ogahan banget jawabnya,
"Apeee"
"Har, kamu kenapa, sih? Bete banget, keliatannya?"
Jika aja, teknologi yang kita gunakan itu bukan telepon, tapi suatu teknologi yang bikin dia sama gue terhubung lewat gambar bergerak, dia ngga usah nanya kondisi gue lagi. Rambut ga karuan, kaos udah 3 hari ngga diganti, dan ileran
Gue juga ngga perlu kaget ketika dia bilang,
"Gembok pager rumah kamu ganti, ya?"
"Iyalah, udah 5 tahun lewat lo ngga kemari, Har. Bentar, gue turun"
Gue tutup telepon dan saat itu di rumah gue lagi sendiri banget. Semua orang lagi di kantor dan gue ngga berminat kesana dulu sebab ya, itu: ngga karuanlah.
"Hei, Har. Berapa bulan ngga mandi?"
"emm, 3 dasawarsalah.
"
"Iiih"
"Becandaa :P itu rambut lo apaain, sih, Har?"
"Ngga dibukain dulu, nih, pagernya?"
"Eh, iya, maaf, maaf"
Gue membuka pintu pager itu. Berderit sebagai salam Haruki menjejak rumah gue kembali. Dua koper warna super meriah di kanan kiri setinggi pahanya. Dia menengok ke sekeliling, mungkin pangling perubahan 5 tahun ini.
"Mau mbadut dimana, Mbak?"
"Tadinya di pohon belimbing ini, kok udah ngga ada?
"
"Iya
tapi, yang lebih penting, itu kenapa rambut jadi warna ungu? Perasaan kemarin masih item?"
Maksud gue, ketika gue ngeledekin dia pas dia gendong anak di panti yatim-piatu itu.
"Dikit, ah. Mumpung liburan"
"Kayaknya, hidup lo liburan mulu, deh, Har. Ayo masuk, masuk. Seadanya, ya"
Gue suguhkan dia sofa. Dia duduk di pojoknya. Koper--yang kayaknya isinya kostum badut
--Haruki gue angkat, langsung gue taro di kamar sebelah ruang tamu, tempat tamu nginep begini.
"Minum apa, Mbak?"
"Salim dululah sama orangtuamu, Har"
"Pada di kantor, MbakHar. Mau kesana aja, apa?"
Ngga nunggu jawaban, gue menuju dapur. Nuang susu kotak ke gelas, ambil beberapa toples biskuit, dan nampan. Gue berharap pertanyaan tadi emang ngga dijawab. Gue masih males di tempat itu, sedikit. Terlalu banyak foto tanpa pigura, bahkan tanpa foto itu sendiri, di kantor itu dengan Gadis. Ya, foto tanpa foto. Barangkali, itulah yang orang sebut dengan kenangan
"Gue masih ngga nyangka, Har. Lo bakal ambil jurusan (salah satu teknik yang berhubungan sama bangunan)"
"Hahahaha. Iseng, Har. Pertanyaan kamu ngga berubah aja, ya. Berapa tahun yang lalu, 2 tahun ya? kamu nanya hal yang sama juga"
"Lha, itu rambut warna-warni ambil teknik"
"Dih, emang kenapa?"
Gue dan dia bercanda ringan. Haruki masih seperti dulu. Sob, hari gini, gue mulai males sama beberapa temen gue yang hidupnya emoticon banget. Yap, hidup ala emoticon. Lo bangga banget ketika kerja di instansi anu, pagi-sore berselfi ria sambil laporan lo lagi ngapain. Hei, itu emang kebebasan masing-masing, tapi kebebasan gue juga untuk respon.
hehe. Yang lebih malesin, kalo reuni lagi, pasti orang yang hidupnya ala emoticon itu mulai lomba. Lomba tentang pencapaian hidup mereka yang berasa semu. Bagi mereka, karir adalah dasi dan sepatu pantofel. Bagi mereka, karir adalah rok pendek dan sepatu hak tinggi. Pokoknya, emoticon banget, kan.
Nah, Haruki ngga. Entah gimana, gue yakin banget, dengan kemampuannya, pada beberapa gedung yang sekarang berdiri di beberapa pojok negeri ini, ada bekas sidik jari Haruki disana. Entahlah, pada semen atau pada pola bangunannya. Sekali lagi, Haruki diam dan membiarkan semua tahu, tapi untuk tidak dibahas, apalagi dilombakan. Semua tertuju pada rambutnya, yang sebeneranya itulah kebebasannya yang kebablasan. Maksud gue, dia ngga ngecet rambutnya untuk dilihat orang. Haruki gonta-ganti rambut karena dia ingin.
Haruki ngga berubah.
"Udah kamu terima tantangan itu, Har?"
Gue mengangguk lesu.
"Kok lemes amat?"
Gue pandangi Haruki, dia balas dengan pandangan aneh, lalu semacam khawatir. Saat itu, terngiang kata-kata Norma beberapa waktu yang lalu:
"Gue baru putus dari Gadis, Har"
Setengah jam kemudian, gue sudah duduk di kursi penumpang sebelum supir. Udah wangi dong
Akhir Januari, basah hujan masih akrab dengan jalanan kota. Ini, dia, nih, faktor mager kemana-mana
Haruki ada di kursi stir.
"Aku udah lupa sama jalanan, arahin, ya"
"Lha, gue aja yang nyetir"
"Apaan, masih ruwet gitu muka kamunya. Nanti malah ngga konsen nyetir"
"Apalagi jadi navigator"
"Yaudah, biarin sekalian nyasar"
Gue ngga sempet ngirim respon protes, Haruki udah tancap gas. Gue manut aja sembari setuju di tengah diam. Bahkan, Haruki ngga nanya kita mau jalan kemana. Gue juga ogah untuk ditanya--Haruki ngerti itu dan oleh karena itu dia diam.
Menjalani hidup seperti emoticon, ketika stres, itu standar. Ngopi bergelas-gelas atau rokok-an. Yah, pokoknya gitu, deh. Gue menjalani hidup seperti emoticon itu beberapa lama terakhir. Gue berpikir, paling jalannya Haruki kali ini juga ke arah sana. Gue diem aja, arah jalannya Haruki udah bener, sih, nih.
Kita masuk ke lokalisasi cafe dengan kopi segelas seharga 30ribu. Dengan rasa yang standar, orang yang menjalani hidup seperti emoticon lebih membeli lokasi untuk fasilitas internet, daripada rasanya. Tiga sampe empat cafe udah kelewat, dan Haruki masih oper gas dan rem di tengah ramenya jalanan sore itu.
"Wah, daerah sini udah berubah, ya. Pangling aku,"
"Iya, dibanding lima tahun yang lalu, sini mah apa atuh,"
Haruki nyengir. Gue bingung apa maksudnya itu. Dan Haruki akhirnya melewati cafe terakhir, tapi mobil kita masih melaju. Gue masih tetap menyimpan rasa penasaran bakal diculik kemana gue dalam diam. Gue menebak-nebak akan kemana gue ini.
Kita berdua ngga berkata apa-apa disana. Partisi kaca dan badan mobil bikin kita ngga kehujanan, tidak seperti mereka. Haruki diam tanpa ada keinginan untuk menjadi pemandu. Dia diam tapi seperti menunjukkan apa yang harus gue lihat.
Bagian yang terlupakan oleh orang yang hidup ala emoticon, seperti gue. Tawa kita terlalu keras, padahal mereka terlalu dan selalu dekat. Haruki menyenderkan badannya pada stir. Dia menatap ke depan.
"Di setiap kota, tempat ini selalu ada. Apalagi kota tujuan urbanisasi,"
Lima belas menit berjalan, hujan yang tidak mereda dan sesak yang gue ngga tau apa namanya dalam dada. Haruki oper perseneling. Kita jalan. Lima belas menit lagi habis, ketika hari hampir menyentuh magrib. Haruki emang ngga bisa diduga. Ia menuju kantor pos pusat di kota ini. Dia ngga bawa kartu pos atau paket. Lagi-lagi, ia diam. Matanya menembus lintasan air hujan yang jatuh membawa gigil dingin. Rokok mengepul dari tubuh yang ringkih.
"Bapak itu masih ada aja... dari dulu"
Gue paham maksudnya Haruki mengajak ke dua tempat ini.. sangat paham.
Apa yang gue jadikan sumber energi tubuh gue, segar dan berasa enak. Sering, gue makan seperti babi, ngga habis lagi, terus sisanya gue buang. Nah, apa yang gue buang itu, barangkali yang akan dimakan orang-orang di tempat pertama tadi: tempat sampah sebesar muatan truk. Biasanya ada kan truk sampah yang ngumpulin sampah masyarakat. Nah, itu dia, betul. Itu baknya dilepas dan ditaro di sana. Di sisi yang terlupakan, padahal masih mejadi tempat pengharapan. Sisa makan orang dengan hidup ala emoticon menjadi menu utama orang-orang itu. Lusuh dan lapar. Mencari makan dari tong sampah ke tong sampah.
Tempat kedua. Banyak orang yang memilih mejadi pengemis tahunan. Tadi, kita berdua ngelewatin orang-orang seperti itu. Malah, gue melihat diantara mereka ada yang bertahan jadi pengemis sejak gue SMP. Gila. Masih sama-sama aja. Tapi, ada juga orang yang bertahan, bersikukuh, menjadi pejuang jujur tahunan. Seperti bapak tua itu. SMP, fasilitas email belum seberapa seperti sekarang. Hari ini, emoticon tersebar dimana-mana melalui jalur kabel nirkabel, tentunya amplop dan perangko turun penjualannya. Bapak itu masih disitu, sesuai kata Haruki. Mengumpulkan receh yang barangkali semakin sedikit, sementara wajah teduhnya masih seperti itu.
Masih bersyukur.
Gue tahu, sangat mengerti apa yang Haruki ingin bilang, walaupun tanpa kata satupun.
"Lo lupa bersyukur, Har"
Kecuali ketika gue harus berhadapan dengan Gadis. Gue emang sudah memutuskan ngga nyeritain secara lengkap disini, tapi kira-kira begini.
Hari raya Natal 2014, Gadis yang rantau di kota gue, pulang ke kota asalnya, untuk ber-hari raya sama keluarganya. Gue yang hampir selalu bareng dia 24/7, sejujurnya., merasa jenuh juga. Gue kontak temen SMA gue, si Eki, Ryan, sama Novi. Merekalah yang nyanggupin reuni setelah sekian lama ngga ketemu. Reuni itu, gue bilang ke Gadis. Omong-omong, Novi adalah temen sekelas Gadis waktu tingkat 1 kuliah walau beda jurusan. Yah, pokoknya gitu, deh. Baik Gadis maupun Novi ngga punya masalah apa-apa, dan mengerti masing-masing. Masalah dimulai ketika Eki cerita dia merasa dikecengin sama temen sejurusan gue, yang otomatis temen Gadis juga.
Singkat cerita, reuni dengan temen SMA berarti reuni dengan sifat kita yang syukurlah ngga berubah. Gue dkk minus Eki setuju maksa Eki ke rumahnya temen sejurusan gue itu, sebut saja namanya Mawar. Yah, akhirnya ketemu dan mereka malu-malu gitulah. Hahaha. Gue ketawa-ketawa jahat ngeliat dan ngerencanain itu semua.
Sepanjang reuni, gue lekat kontak dengan Gadis. Termasuk ketika kita ngeboyong Eki ke rumah Mawar. Taunya, disitu Gadis marah
Gue beneran bingung, Mawar dan Gadis semasa kuliah adalah sahabat lekat, walopun sekarang relatif jarang ketemu
dan begitulah, Gadis marah sama gue, berlanjut dan merembet hingga akhirnya kita putus
Kejadian itu pada akhir Januari.Demikianlah sekelumit cerita Gadis yang rumit
Nah, saudara bisa bayangkan, kan? apa rasanya gue ketika akhir Januari itu. Posisinya, tinggal 20 hari lagi menuju perkimpoian Widya, gue putus berkeping-keping oleh Gadis.
Ketika itulah, seseorang yang tepat datang disaat yang tepat.
"Hooooi"
Gue yang saat itu masih layu, ogah-ogahan banget jawabnya,
"Apeee"
"Har, kamu kenapa, sih? Bete banget, keliatannya?"
Jika aja, teknologi yang kita gunakan itu bukan telepon, tapi suatu teknologi yang bikin dia sama gue terhubung lewat gambar bergerak, dia ngga usah nanya kondisi gue lagi. Rambut ga karuan, kaos udah 3 hari ngga diganti, dan ileran
Gue juga ngga perlu kaget ketika dia bilang,"Gembok pager rumah kamu ganti, ya?"
"Iyalah, udah 5 tahun lewat lo ngga kemari, Har. Bentar, gue turun"
Gue tutup telepon dan saat itu di rumah gue lagi sendiri banget. Semua orang lagi di kantor dan gue ngga berminat kesana dulu sebab ya, itu: ngga karuanlah.
"Hei, Har. Berapa bulan ngga mandi?"
"emm, 3 dasawarsalah.
""Iiih"
"Becandaa :P itu rambut lo apaain, sih, Har?"
"Ngga dibukain dulu, nih, pagernya?"
"Eh, iya, maaf, maaf"
Gue membuka pintu pager itu. Berderit sebagai salam Haruki menjejak rumah gue kembali. Dua koper warna super meriah di kanan kiri setinggi pahanya. Dia menengok ke sekeliling, mungkin pangling perubahan 5 tahun ini.
"Mau mbadut dimana, Mbak?"
"Tadinya di pohon belimbing ini, kok udah ngga ada?
""Iya
tapi, yang lebih penting, itu kenapa rambut jadi warna ungu? Perasaan kemarin masih item?"Maksud gue, ketika gue ngeledekin dia pas dia gendong anak di panti yatim-piatu itu.
"Dikit, ah. Mumpung liburan"
"Kayaknya, hidup lo liburan mulu, deh, Har. Ayo masuk, masuk. Seadanya, ya"
Gue suguhkan dia sofa. Dia duduk di pojoknya. Koper--yang kayaknya isinya kostum badut
--Haruki gue angkat, langsung gue taro di kamar sebelah ruang tamu, tempat tamu nginep begini. "Minum apa, Mbak?"
"Salim dululah sama orangtuamu, Har"
"Pada di kantor, MbakHar. Mau kesana aja, apa?"
Ngga nunggu jawaban, gue menuju dapur. Nuang susu kotak ke gelas, ambil beberapa toples biskuit, dan nampan. Gue berharap pertanyaan tadi emang ngga dijawab. Gue masih males di tempat itu, sedikit. Terlalu banyak foto tanpa pigura, bahkan tanpa foto itu sendiri, di kantor itu dengan Gadis. Ya, foto tanpa foto. Barangkali, itulah yang orang sebut dengan kenangan
"Gue masih ngga nyangka, Har. Lo bakal ambil jurusan (salah satu teknik yang berhubungan sama bangunan)"
"Hahahaha. Iseng, Har. Pertanyaan kamu ngga berubah aja, ya. Berapa tahun yang lalu, 2 tahun ya? kamu nanya hal yang sama juga"
"Lha, itu rambut warna-warni ambil teknik"
"Dih, emang kenapa?"
Gue dan dia bercanda ringan. Haruki masih seperti dulu. Sob, hari gini, gue mulai males sama beberapa temen gue yang hidupnya emoticon banget. Yap, hidup ala emoticon. Lo bangga banget ketika kerja di instansi anu, pagi-sore berselfi ria sambil laporan lo lagi ngapain. Hei, itu emang kebebasan masing-masing, tapi kebebasan gue juga untuk respon.
hehe. Yang lebih malesin, kalo reuni lagi, pasti orang yang hidupnya ala emoticon itu mulai lomba. Lomba tentang pencapaian hidup mereka yang berasa semu. Bagi mereka, karir adalah dasi dan sepatu pantofel. Bagi mereka, karir adalah rok pendek dan sepatu hak tinggi. Pokoknya, emoticon banget, kan.Nah, Haruki ngga. Entah gimana, gue yakin banget, dengan kemampuannya, pada beberapa gedung yang sekarang berdiri di beberapa pojok negeri ini, ada bekas sidik jari Haruki disana. Entahlah, pada semen atau pada pola bangunannya. Sekali lagi, Haruki diam dan membiarkan semua tahu, tapi untuk tidak dibahas, apalagi dilombakan. Semua tertuju pada rambutnya, yang sebeneranya itulah kebebasannya yang kebablasan. Maksud gue, dia ngga ngecet rambutnya untuk dilihat orang. Haruki gonta-ganti rambut karena dia ingin.
Haruki ngga berubah.
"Udah kamu terima tantangan itu, Har?"
Gue mengangguk lesu.
"Kok lemes amat?"
Gue pandangi Haruki, dia balas dengan pandangan aneh, lalu semacam khawatir. Saat itu, terngiang kata-kata Norma beberapa waktu yang lalu:
Quote:
"Gue baru putus dari Gadis, Har"
***
Setengah jam kemudian, gue sudah duduk di kursi penumpang sebelum supir. Udah wangi dong

Akhir Januari, basah hujan masih akrab dengan jalanan kota. Ini, dia, nih, faktor mager kemana-mana
Haruki ada di kursi stir."Aku udah lupa sama jalanan, arahin, ya"
"Lha, gue aja yang nyetir"
"Apaan, masih ruwet gitu muka kamunya. Nanti malah ngga konsen nyetir"
"Apalagi jadi navigator"
"Yaudah, biarin sekalian nyasar"
Gue ngga sempet ngirim respon protes, Haruki udah tancap gas. Gue manut aja sembari setuju di tengah diam. Bahkan, Haruki ngga nanya kita mau jalan kemana. Gue juga ogah untuk ditanya--Haruki ngerti itu dan oleh karena itu dia diam.
Menjalani hidup seperti emoticon, ketika stres, itu standar. Ngopi bergelas-gelas atau rokok-an. Yah, pokoknya gitu, deh. Gue menjalani hidup seperti emoticon itu beberapa lama terakhir. Gue berpikir, paling jalannya Haruki kali ini juga ke arah sana. Gue diem aja, arah jalannya Haruki udah bener, sih, nih.
Kita masuk ke lokalisasi cafe dengan kopi segelas seharga 30ribu. Dengan rasa yang standar, orang yang menjalani hidup seperti emoticon lebih membeli lokasi untuk fasilitas internet, daripada rasanya. Tiga sampe empat cafe udah kelewat, dan Haruki masih oper gas dan rem di tengah ramenya jalanan sore itu.
"Wah, daerah sini udah berubah, ya. Pangling aku,"
"Iya, dibanding lima tahun yang lalu, sini mah apa atuh,"
Haruki nyengir. Gue bingung apa maksudnya itu. Dan Haruki akhirnya melewati cafe terakhir, tapi mobil kita masih melaju. Gue masih tetap menyimpan rasa penasaran bakal diculik kemana gue dalam diam. Gue menebak-nebak akan kemana gue ini.
***
Kita berdua ngga berkata apa-apa disana. Partisi kaca dan badan mobil bikin kita ngga kehujanan, tidak seperti mereka. Haruki diam tanpa ada keinginan untuk menjadi pemandu. Dia diam tapi seperti menunjukkan apa yang harus gue lihat.
Bagian yang terlupakan oleh orang yang hidup ala emoticon, seperti gue. Tawa kita terlalu keras, padahal mereka terlalu dan selalu dekat. Haruki menyenderkan badannya pada stir. Dia menatap ke depan.
"Di setiap kota, tempat ini selalu ada. Apalagi kota tujuan urbanisasi,"
Lima belas menit berjalan, hujan yang tidak mereda dan sesak yang gue ngga tau apa namanya dalam dada. Haruki oper perseneling. Kita jalan. Lima belas menit lagi habis, ketika hari hampir menyentuh magrib. Haruki emang ngga bisa diduga. Ia menuju kantor pos pusat di kota ini. Dia ngga bawa kartu pos atau paket. Lagi-lagi, ia diam. Matanya menembus lintasan air hujan yang jatuh membawa gigil dingin. Rokok mengepul dari tubuh yang ringkih.
"Bapak itu masih ada aja... dari dulu"
Gue paham maksudnya Haruki mengajak ke dua tempat ini.. sangat paham.
Apa yang gue jadikan sumber energi tubuh gue, segar dan berasa enak. Sering, gue makan seperti babi, ngga habis lagi, terus sisanya gue buang. Nah, apa yang gue buang itu, barangkali yang akan dimakan orang-orang di tempat pertama tadi: tempat sampah sebesar muatan truk. Biasanya ada kan truk sampah yang ngumpulin sampah masyarakat. Nah, itu dia, betul. Itu baknya dilepas dan ditaro di sana. Di sisi yang terlupakan, padahal masih mejadi tempat pengharapan. Sisa makan orang dengan hidup ala emoticon menjadi menu utama orang-orang itu. Lusuh dan lapar. Mencari makan dari tong sampah ke tong sampah.
Tempat kedua. Banyak orang yang memilih mejadi pengemis tahunan. Tadi, kita berdua ngelewatin orang-orang seperti itu. Malah, gue melihat diantara mereka ada yang bertahan jadi pengemis sejak gue SMP. Gila. Masih sama-sama aja. Tapi, ada juga orang yang bertahan, bersikukuh, menjadi pejuang jujur tahunan. Seperti bapak tua itu. SMP, fasilitas email belum seberapa seperti sekarang. Hari ini, emoticon tersebar dimana-mana melalui jalur kabel nirkabel, tentunya amplop dan perangko turun penjualannya. Bapak itu masih disitu, sesuai kata Haruki. Mengumpulkan receh yang barangkali semakin sedikit, sementara wajah teduhnya masih seperti itu.
Masih bersyukur.
Gue tahu, sangat mengerti apa yang Haruki ingin bilang, walaupun tanpa kata satupun.
"Lo lupa bersyukur, Har"
Diubah oleh kabelrol 23-03-2015 16:52
jentojento memberi reputasi
1
