- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#610
1505
Spoiler for :
Kata orang cinta bisa datang kapan saja dan dimana saja. Kalau bertanya tentang siapa? Jawabannya juga sama, bisa siapa saja. Entah itu orang yang kau kenal baik di kantor atau orang asing yang kebetulan bertemu denganmu di hotel ketika kau sedang berlibur.
Janda kita yang satu ini sedang dilanda cinta yang kedua. Tanpa sengaja ia bertemu dengan kandidat pria idaman nya di tepi kolam renang hotel ketika berlibur seorang diri.
“Vonny,”
“Mark,”
“So Mark, ke sini untuk business trip atau liburan biasa?”
“Karena ada kerjaan, kalau kamu?” Kata Mark sambil meminum isi gelasnya.
“Karena tidak ada kerjaan,”
Setelah itu Vonny mendapat kartu nama Mark,Mark mendapat kartu nama Vonny. Mereka berkomunikasi melalui nomor telepon yang tertera pada kartu nama masing-masing.
“Gile Von, sama bule?” Tanya Bulik Siti ketika keponakannya itu menceritakan pria yang baru dikenalnya lewat telepon.
“Memangnya kenapa Bulik?”
“Bisa panjang urusannya, orangtuamu sudah tahu belum?”
Tiba-tiba pintu kamar digedor dari luar
“Sebentar Bulik, ada tamu,”
Vonny meninggalkan TV-nya yang masih menyala-tayangan berita tentang rencana kunjungan presiden untuk meresmikan kawasan wisata baru di kota tempat Vonny berlibur-membuka pintu, disambut oleh seorang petugas berseragam yang menyodorkan selembar foto ke depannya.
“Pernah melihat orang ini?”
Ternyata petugas berseragam tak hanya satu orang, mereka terdiri dari satu regu besar yang menyebar dari kamar ke kamar, dari pintu ke pintu.
“Tidak,” Kata Vonny jujur. Seumur hidup ia belum pernah melihat anak muda kurus kering berkacamata dalam foto.
“Terima kasih, kalau melihatnya tolong informasikan pada kami,”
“Baik Pak,”
Petugas itu berlalu dan Vonny menutup pintu. Belum tertutup sepenuhnya, matanya menangkap sosok-sosok manusia sedang menuruni tangga. Tiga polisi berseragam dan seorang pria yang kedua bahunya diapit seperti tawanan.
“I'am innocent!” Teriaknya
“Halo Von, memangnya ada apa?”
“Ingat tidak bule yang barusan kuceritakan?”
“Memangnya kenapa?”
“Dia dibawa ke kantor polisi Bulik,”
“Tuh kan Bulik bilang juga apa, cari jodoh harus hati-hati,”
Vonny menutup telepon dengan gusar. Dihentikannya petugas yang bertanya kepadanya tadi.
“Mengapa Mark ditangkap Pak?”
“Ecky, pria dalam foto ini terlibat pertengkaran dengannya di lobi hotel 3 hari yang lalu,”
“Bertengkar?”
“Saudara Ecky sudah memesan kamar untuk tanggal 31 bulan ini 2 minggu lalu. Tetapi karena pesawatnya delay, ia terlambat dua hari. Karena terlambat check in kamar 1505 yang ia pesan diberikan kepada saudara Mark. Ecky tidak terima dan dihadapan manajer hotel keduanya bertengkar sama-sama ingin mempertahankan, sama-sama merasa berhak atas kamar itu. Mark sebenarnya ditawarkan untuk pindah ke kamar lain tetapi yang bersangkutan menolaknya.
Setelah pertengkaran itu, kami menerima laporan orang hilang. Saudara Ecky tiba-tiba saja tidak bisa dihubungi oleh keluarga dan kenalannya.”
Vonny turun ke resepsionis. Ia bertanya tentang keributan yang terjadi beberapa hari lalu.
“Benar, Mas yang kurus akhirnya pergi meskipun agak kesal dan kurang terima,”
“Naik mobil?”
“Pakai taksi, ”
Vonny menghampiri para sopir taksi yang mangkal di depan halaman hotel.
“Silahkan ke kantor pusat saja Mbak, kalau mau tanya-tanya,”
Vonny datang ke perusahaan taksi dan bertanya tentang anak muda bernama Ecky tersebut.
“Yang mengantarkan sopir senior kami, Pak Mizan,”
“Bisa saya bertemu dengan Pak Mizan?”
“Kemarin keluarganya menelepon, katanya harus dirawat di rumah sakit karena kena malaria, anaknya yang mengantarkan taksinya ke garasi kami.”
“Anaknya?”
“Ya, orangnya gemuk sekali sampai-sampai kesulitan masuk ke kursi sopir karena pahanya terlalu besar.”
Vonny memeriksa ke rumah sakit-rumah sakit, tak ada satupun pasien bernama Mizan atau Ecky. Dengan tangan hampa ia kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan ia mendapati anggota pasukan ber M-16 berjaga-jaga. Sepeda motor dan mobil patroli tersebar di jalan-jalan utama. Petugas berseragam terlihat semakian jarang dan bahkan tidak ada sama sekali di kawasan hotel tempatnya menginap. Ini wajar karena hotel tempat Vonny yang dihuninya berjarak 2 kilometer dari jalan tempat konvoi dan posisinya pun membelakangi jalan itu sehingga tidak ada jendela yang bisa digunakan oleh penembak jitu untuk menghabisi nyawa sang presiden.
Lebih kaget lagi ketika ia menerima telepon dari Mark. Ia sudah ada di dalam kamarnya di lantai 15.
“Are you allright?”
“Tidak apa-apa hanya salah paham.”
“Salah paham?”
“Anak muda bernama Ecky itu sudah ketemu. Setelah ribut denganku di lobi, dia pindah ke hotel yang lain.”
“Jadi dia baik-baik saja?”
“Tewas bunuh diri.Setelah pergi dari sini, dia pindah hotel, tanpa sengaja sopir taksi melihat senjata yang disembunyikan dalam kopernya, iapun menyandera sopir itu, menghabisinya dan pura-pura menjadi anaknya dengan memakai jaket tebal agar terlihat seperti orang gemuk. Oh ya dia ditemukan di gudang hotel yang jendelanya persis menghadap ke konvoi presiden yang akan lewat ”
Kata Mark agak syok sehingga bicaranya tidak terlalu lancar.
“Syukurlah kalau begitu,”
Vonny naik ke kamarnya dna menanggalkan jaket yang dikenakan ke dalam almari. Ia melihat salah satu mantel dan mengernyitkan dahi
“Resepsionis,”
“Saya mau pakai jasa laundry ,” Kata Vonny dengan heran melihat mantel hitamnya penuh noda putih mirip ketombe. Aneh dia tidak ketombean dan pakaian itupun baru dicuci jadi mengapa bisa kotor lagi. Selain itu juga jarang dipakai, seingatnya ia mengenakan baju hangat itu tiga hari yang lalu ketika ia memfoto taman di belakang hotel. Vonny memeriksa noda mirip serbuk itu dengan jarinya. Kedua matanya terbelalak tak percaya.
“Di kamar berapa Bu?”
“Nggak jadi Mbak, maaf,” Katanya menutup telepon dengan tangan gemetar.
Keesokan malamnya rombongan presiden melakukan konvoi, warga setempat berjajar di kanan kiri jalan. Orang-orang yang tidak turun ke jalan melihat dari jendela tempat tinggalnya dan televisi masing-masing. Seorang pria merakit senapan lalu berjalan mendekat ke almari yang menempel di dinding.
“Ternyata tidak harus pakai jendela ya?” Kata Vonny yang sudah berdiri di belakang sosok itu bersama beberapa orang polisi.
“Kau!”
“Kau melubangi dinding dengan bor lalu mngeluarkan moncong senapanmu dari lubang kecil itu, itulah mengapa di mantelku banyak serpihan beton,cat dan batu bata. Aku penasaran, dengan apa kau melihat targetmu, mengingat teropongmu yang tidak muat untuk masuk ke lubang kecil itu,”
“Thermal image,” Jawab Mark santai.
“Ah tentu saja, suhu tubuh manusia bisa dideteksi dengan teropong semacam itu. Tapi rencanamu hampir gagal karena pemesan kamar ini datang, agar tidak mengganggu kau habisi dia dan sopir taksi yang membawanya. Kau mungkin menghabisi sopir tua itu terlebih dahulu lalu untuk menghilangkan kecurigaan kau harus mengembalikan armada taksinya ke pangkalan. Untuk itu kau menaruh bom atau semacamnya di tubuh anak muda bernama Ecky itu, memaksanya menyamar menjadi orang gemuk lalu
mengembalikan taksi dan datang ke gudang hotel. Kau tembak dia dari jarak dekat di situ untuk membuatnya seolah-olah membunuh dirinya sendiri. ”
“Sekarang turunkan senapan dan angkat tanganmu Mark !” Kata seorang polisi yang mengacungkan revolvernya.
“Kalian tembak aku, aku akan tembak konvoi di bawah sana,”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Aku takkan membunuh presiden kalau kalian membiarkanku pergi dari sini dalam keadaan hidup,”
“Baiklah,”
“Aku minta satu sandera sebagai jaminan,”
Katanya, tak lama kemudian Vonny ditodong pistol ke tempat mangkal taksi di luar hotel.
“Ke airport, cepat!”
“Aku tidak percaya kau melakukan ini. Demi apa?”
“Vonny, aku kan aku sudah bilang ke sini untuk urusan kerjaan,”
“Kerjaanmu mengambil nyawa orang lain?”
“Itu tugasnya malaikat, tugasku hanya menarik pelatuk senapan.”
Taksi tiba di airport dengan diiringi puluhan mobil patroli di belakangnya. Mark dengan santai memasuki pintu masuk bandara dan bergerak menuju ke lobi. Sementara itu di sisi yang lain beberapa orang polisi mencegah para penumpang yang baru turun dari pesawat untuk memasuki lobi.
“Ada penyanderaan Pak, keberangkatan pesawat terpaksa ditunda”
“Sampai kapan?“ Tanya seorang penumpang
“Kita belum tahu, negosiator sedang didatangkan menuju ke mari,”
“Aku buru-buru,” Kata penumpang itu sambil merebut pistol sang polisi dan menembakkannya menembus kaca restoran cepat saji.
BRUK
Mark roboh tanpa sempat berteriak. Ia bahkan tidak mampu menggerakkan bagian tubuhnya dari rahang ke bawah sehingga tak mampu menarik pelatuk dan menembak Vonny.
“Merebut pistol polisi itu tindak kriminal,” Kata suara di belakang penumpang itu.
“Aku cuma pinjam sebentar,” Katanya Vincent sambil mengembalikan pistol ke tangan petugas berseragam di hadapannya.
[b]
Janda kita yang satu ini sedang dilanda cinta yang kedua. Tanpa sengaja ia bertemu dengan kandidat pria idaman nya di tepi kolam renang hotel ketika berlibur seorang diri.
“Vonny,”
“Mark,”
“So Mark, ke sini untuk business trip atau liburan biasa?”
“Karena ada kerjaan, kalau kamu?” Kata Mark sambil meminum isi gelasnya.
“Karena tidak ada kerjaan,”
Setelah itu Vonny mendapat kartu nama Mark,Mark mendapat kartu nama Vonny. Mereka berkomunikasi melalui nomor telepon yang tertera pada kartu nama masing-masing.
“Gile Von, sama bule?” Tanya Bulik Siti ketika keponakannya itu menceritakan pria yang baru dikenalnya lewat telepon.
“Memangnya kenapa Bulik?”
“Bisa panjang urusannya, orangtuamu sudah tahu belum?”
Tiba-tiba pintu kamar digedor dari luar
“Sebentar Bulik, ada tamu,”
Vonny meninggalkan TV-nya yang masih menyala-tayangan berita tentang rencana kunjungan presiden untuk meresmikan kawasan wisata baru di kota tempat Vonny berlibur-membuka pintu, disambut oleh seorang petugas berseragam yang menyodorkan selembar foto ke depannya.
“Pernah melihat orang ini?”
Ternyata petugas berseragam tak hanya satu orang, mereka terdiri dari satu regu besar yang menyebar dari kamar ke kamar, dari pintu ke pintu.
“Tidak,” Kata Vonny jujur. Seumur hidup ia belum pernah melihat anak muda kurus kering berkacamata dalam foto.
“Terima kasih, kalau melihatnya tolong informasikan pada kami,”
“Baik Pak,”
Petugas itu berlalu dan Vonny menutup pintu. Belum tertutup sepenuhnya, matanya menangkap sosok-sosok manusia sedang menuruni tangga. Tiga polisi berseragam dan seorang pria yang kedua bahunya diapit seperti tawanan.
“I'am innocent!” Teriaknya
“Halo Von, memangnya ada apa?”
“Ingat tidak bule yang barusan kuceritakan?”
“Memangnya kenapa?”
“Dia dibawa ke kantor polisi Bulik,”
“Tuh kan Bulik bilang juga apa, cari jodoh harus hati-hati,”
Vonny menutup telepon dengan gusar. Dihentikannya petugas yang bertanya kepadanya tadi.
“Mengapa Mark ditangkap Pak?”
“Ecky, pria dalam foto ini terlibat pertengkaran dengannya di lobi hotel 3 hari yang lalu,”
“Bertengkar?”
“Saudara Ecky sudah memesan kamar untuk tanggal 31 bulan ini 2 minggu lalu. Tetapi karena pesawatnya delay, ia terlambat dua hari. Karena terlambat check in kamar 1505 yang ia pesan diberikan kepada saudara Mark. Ecky tidak terima dan dihadapan manajer hotel keduanya bertengkar sama-sama ingin mempertahankan, sama-sama merasa berhak atas kamar itu. Mark sebenarnya ditawarkan untuk pindah ke kamar lain tetapi yang bersangkutan menolaknya.
Setelah pertengkaran itu, kami menerima laporan orang hilang. Saudara Ecky tiba-tiba saja tidak bisa dihubungi oleh keluarga dan kenalannya.”
Vonny turun ke resepsionis. Ia bertanya tentang keributan yang terjadi beberapa hari lalu.
“Benar, Mas yang kurus akhirnya pergi meskipun agak kesal dan kurang terima,”
“Naik mobil?”
“Pakai taksi, ”
Vonny menghampiri para sopir taksi yang mangkal di depan halaman hotel.
“Silahkan ke kantor pusat saja Mbak, kalau mau tanya-tanya,”
Vonny datang ke perusahaan taksi dan bertanya tentang anak muda bernama Ecky tersebut.
“Yang mengantarkan sopir senior kami, Pak Mizan,”
“Bisa saya bertemu dengan Pak Mizan?”
“Kemarin keluarganya menelepon, katanya harus dirawat di rumah sakit karena kena malaria, anaknya yang mengantarkan taksinya ke garasi kami.”
“Anaknya?”
“Ya, orangnya gemuk sekali sampai-sampai kesulitan masuk ke kursi sopir karena pahanya terlalu besar.”
Vonny memeriksa ke rumah sakit-rumah sakit, tak ada satupun pasien bernama Mizan atau Ecky. Dengan tangan hampa ia kembali ke hotel. Sepanjang perjalanan ia mendapati anggota pasukan ber M-16 berjaga-jaga. Sepeda motor dan mobil patroli tersebar di jalan-jalan utama. Petugas berseragam terlihat semakian jarang dan bahkan tidak ada sama sekali di kawasan hotel tempatnya menginap. Ini wajar karena hotel tempat Vonny yang dihuninya berjarak 2 kilometer dari jalan tempat konvoi dan posisinya pun membelakangi jalan itu sehingga tidak ada jendela yang bisa digunakan oleh penembak jitu untuk menghabisi nyawa sang presiden.
Lebih kaget lagi ketika ia menerima telepon dari Mark. Ia sudah ada di dalam kamarnya di lantai 15.
“Are you allright?”
“Tidak apa-apa hanya salah paham.”
“Salah paham?”
“Anak muda bernama Ecky itu sudah ketemu. Setelah ribut denganku di lobi, dia pindah ke hotel yang lain.”
“Jadi dia baik-baik saja?”
“Tewas bunuh diri.Setelah pergi dari sini, dia pindah hotel, tanpa sengaja sopir taksi melihat senjata yang disembunyikan dalam kopernya, iapun menyandera sopir itu, menghabisinya dan pura-pura menjadi anaknya dengan memakai jaket tebal agar terlihat seperti orang gemuk. Oh ya dia ditemukan di gudang hotel yang jendelanya persis menghadap ke konvoi presiden yang akan lewat ”
Kata Mark agak syok sehingga bicaranya tidak terlalu lancar.
“Syukurlah kalau begitu,”
Vonny naik ke kamarnya dna menanggalkan jaket yang dikenakan ke dalam almari. Ia melihat salah satu mantel dan mengernyitkan dahi
“Resepsionis,”
“Saya mau pakai jasa laundry ,” Kata Vonny dengan heran melihat mantel hitamnya penuh noda putih mirip ketombe. Aneh dia tidak ketombean dan pakaian itupun baru dicuci jadi mengapa bisa kotor lagi. Selain itu juga jarang dipakai, seingatnya ia mengenakan baju hangat itu tiga hari yang lalu ketika ia memfoto taman di belakang hotel. Vonny memeriksa noda mirip serbuk itu dengan jarinya. Kedua matanya terbelalak tak percaya.
“Di kamar berapa Bu?”
“Nggak jadi Mbak, maaf,” Katanya menutup telepon dengan tangan gemetar.
Keesokan malamnya rombongan presiden melakukan konvoi, warga setempat berjajar di kanan kiri jalan. Orang-orang yang tidak turun ke jalan melihat dari jendela tempat tinggalnya dan televisi masing-masing. Seorang pria merakit senapan lalu berjalan mendekat ke almari yang menempel di dinding.
“Ternyata tidak harus pakai jendela ya?” Kata Vonny yang sudah berdiri di belakang sosok itu bersama beberapa orang polisi.
“Kau!”
“Kau melubangi dinding dengan bor lalu mngeluarkan moncong senapanmu dari lubang kecil itu, itulah mengapa di mantelku banyak serpihan beton,cat dan batu bata. Aku penasaran, dengan apa kau melihat targetmu, mengingat teropongmu yang tidak muat untuk masuk ke lubang kecil itu,”
“Thermal image,” Jawab Mark santai.
“Ah tentu saja, suhu tubuh manusia bisa dideteksi dengan teropong semacam itu. Tapi rencanamu hampir gagal karena pemesan kamar ini datang, agar tidak mengganggu kau habisi dia dan sopir taksi yang membawanya. Kau mungkin menghabisi sopir tua itu terlebih dahulu lalu untuk menghilangkan kecurigaan kau harus mengembalikan armada taksinya ke pangkalan. Untuk itu kau menaruh bom atau semacamnya di tubuh anak muda bernama Ecky itu, memaksanya menyamar menjadi orang gemuk lalu
mengembalikan taksi dan datang ke gudang hotel. Kau tembak dia dari jarak dekat di situ untuk membuatnya seolah-olah membunuh dirinya sendiri. ”
“Sekarang turunkan senapan dan angkat tanganmu Mark !” Kata seorang polisi yang mengacungkan revolvernya.
“Kalian tembak aku, aku akan tembak konvoi di bawah sana,”
“Lalu apa yang kau inginkan?”
“Aku takkan membunuh presiden kalau kalian membiarkanku pergi dari sini dalam keadaan hidup,”
“Baiklah,”
“Aku minta satu sandera sebagai jaminan,”
Katanya, tak lama kemudian Vonny ditodong pistol ke tempat mangkal taksi di luar hotel.
“Ke airport, cepat!”
“Aku tidak percaya kau melakukan ini. Demi apa?”
“Vonny, aku kan aku sudah bilang ke sini untuk urusan kerjaan,”
“Kerjaanmu mengambil nyawa orang lain?”
“Itu tugasnya malaikat, tugasku hanya menarik pelatuk senapan.”
Taksi tiba di airport dengan diiringi puluhan mobil patroli di belakangnya. Mark dengan santai memasuki pintu masuk bandara dan bergerak menuju ke lobi. Sementara itu di sisi yang lain beberapa orang polisi mencegah para penumpang yang baru turun dari pesawat untuk memasuki lobi.
“Ada penyanderaan Pak, keberangkatan pesawat terpaksa ditunda”
“Sampai kapan?“ Tanya seorang penumpang
“Kita belum tahu, negosiator sedang didatangkan menuju ke mari,”
“Aku buru-buru,” Kata penumpang itu sambil merebut pistol sang polisi dan menembakkannya menembus kaca restoran cepat saji.
BRUK
Mark roboh tanpa sempat berteriak. Ia bahkan tidak mampu menggerakkan bagian tubuhnya dari rahang ke bawah sehingga tak mampu menarik pelatuk dan menembak Vonny.
“Merebut pistol polisi itu tindak kriminal,” Kata suara di belakang penumpang itu.
“Aku cuma pinjam sebentar,” Katanya Vincent sambil mengembalikan pistol ke tangan petugas berseragam di hadapannya.
[b]
THE END
0
Kutip
Balas