Ketika dia berjalan pagi itu, embun seakan mengering. Matahari bersinar hangat, dan waktu terhenti. Bougenville yang terinjak seakan kembali ke pelukan pohonnya. Ketika dulu mata kami bertemu, aku adalah orang yang sedang patah hati dan dia orang yang bosan dengan pertengkaran temannya. Dia, yang tak harus kusebut namanya.



Maret 2007, pagi itu aku berdiri di depan pintu kelas. Hari masih pagi, anak-anak masih sedikit yang berangkat. Sebagaimana biasanya, kulayangkan pandangan menyapu setiap tempat yang bisa kulihat. Memantau, memperhatikan, melihat-lihat tiap individu yang lewat, benar-benar tak ada kerjaan. Mulutku pelan mendendangkan salah satu lagu My Chemical Romance yang sedang booming kala itu; Helena. Saat itulah aku melihatnya. Dia yang tak harus kusebut namanya. Berjalan sendirian dengan Tas punggung yang dibiarkan menggantung sebelah. Rambutnya digerai, dan langkah pelan tapi pasti.



Setelah main bisik-bisik seperti informan polisi, Cepot pun kembali padaku dengan muka cerah.



My dear Riyani,

Dia dan Wardany Supangat memang bagai pinang dibelah dua. Bagai Zooey Deschanel dengan Katy Perry, sulit dibedakan bila mata tak jeli. Namun bagi mata bionik seperti punyaku tentu saja mampu menggambarkan perbedaan mereka. Wardany memiliki mata yang teduh dengan muka yang biasa. Maksudku bila kau lihat, maka dia adalah sebagaimana normalnya perempuan rajin lainnya. Sedangkan dia, matanya sayu tapi tajam. Dan mukanya adalah penggambaran sebuah pemberontak, seorang rocker, seorang yang cerah berpijar sebagaimana matahari di siang hari.

Dan mungkin saat itulah diriku berharap untuk mengenalnya. Karena embun di hatiku sudah terlalu basah dan meluber. Rindu akan hangatnya matahari. Dia, Wandany Anastasia.