HP mati, obrolan telepon selesai. Aku pikir dia nggak denger tadi pas aku bilang dadah sayang, ternyata masih denger.
Aduh... Ketauan banget aku jomblo nih pasti.


Selesai packing, lanjut berpetualang ke dunia lain, eh bukan ding. Maksudnya ke dunia mimpi, dunia penuh kenikmatan tanpa menanggung dosa, tak seperti dunia ini yang penuh batasan dan dosa.


Pagi hari di bulan Januari.

Harusnya aku bisa seperti waktu, yah waktu yang tak pernah berputar ke belakang.
Waktu yang terus maju tanpa menoleh ke masa lalu.
Waktu yang tak pernah menyesali sedetik pun geraknya yang telah berlalu.


Tapi aku bukanlah sang waktu, Tuhan menciptakanku sebagai manusia yang seharusnya bisa memanfaatkan waktu. Tak ada yang perlu disesalkan, semua sudah diatur. Dan aku, wayang yang sedang memainkan peran di panggung ini. Dunia ini lah panggung yang penuh dengan dusta. Penuh mimpi dan angan-angan semu.


Sudah saatnya aku bisa mengubah jalanku. Bukan di sini arahku, tapi aku harus bisa mencari seseorang yang bisa membawaku menemukan jalan itu.


Aku...
Masih pantaskah aku jatuh cinta Ya Tuhan?
Cinta seperti apa yang baik untukku?
Cinta seperti apa yang bisa menjagaku?


Aku masih mencarinya, entah ke mana. Dan aku pasti menemukannya. Dia lelakiku...


Matahari terus naik dan awan memecah ke seluruh sudut langit.
Cahayanya terpancar menerangi bumi.

Jika matahari saja bisa tetap bersinar setelah mendung dan hujan, kenapa aku harua terus larut dengan luka hati ini?

Jika matahari saja bisa membuat manusia tersenyum meski dia sendiri di atas langit, kenapa aku tak bisa tersenyum membalas sinar matahari itu?

Akkhh..
Terlalu bodoh jika aku terus memandangi belakang hingga aku melupakan di depan ada yang sedang menantiku. Terlalu bodoh jika aku tetap menengok belakang dan lengah dengan apa yang ada di hadapanku.


Tyo... Jika kamu benar mencintaiku, maka...
Bantu aku melupakannya, melupakan dia yang pernah ada di hatiku. Bantu aku tuk bisa mencintaimu. Bantu aku tuk bisa mengatakan 'Yah, aku juga sayang sama kamu'!!!


Tuhan...
Kirim aku malaikat kecilmu!
Malaikat yang akan melindungiku.
Malaikat yang akan menyempurnakan ku.
Malaikat yang mencintaiku seperti Engkau mencintaiku.

....
.......
.........


Tak banyak barang yang ku bawa. Hanya ransel berisi beberapa baju dan celana, tak lupa mukena. Semua siap,, Waktunya berangkat ke stasiun, sekalian mampir rumah kakakku nanti.




Hanya perpisahan sesaat, aku akan kembali dan menjagamu bu, pak..
Aku akan kembali di samping kalian, siap menjadi supir kalian kemana pun pergi.


Motor merahku selesai dipanaskan, ku lajukan menuju rumah kakakku. Biar aku yang bawa motorku ini. Aku pasti akan kangen, aku kangen ngebut lagi.


Tin..tin..!!
Suara klakson motor nih
Berhenti di rumah kakak. Aku pamitan sama mertuanya, istri dan pelanggan yang udah nongkrong di warung.


Selamat tinggal fans-fans ku, aku pergi takan lama, aku pergi untuk kembali. Tunggu aku pulang dan tetap jadi fans ku jangan pernah berpaling.

*****

Sekitar pukul 16:15 sore hari, aku menuju stasiun kereta api. Bukan stasiun radio yah.
Kereta jurusan Jakarta pukul 17 berangkat.

Sampai di stasiun, kakakku menunggu kereta jalan dan memastikan aku dapat tempat duduk.



Sekarang aku sendirian di sini, kursi sebelah tempat aku duduk masih kosong. Perjalanan malam hari, sampai pagi baru tiba di Jakarta.

Ku rogoh kantong celanaku, ku ambil HP dan baru saja berniat telpon abangnya Nengsih, eeh udah ditelpon duluan. Apa pikiran kami berdua sama dan sedang saling memikirkan?




Ahahahaha... Ternyata masih single juga dia.
Semoga saja tampan rupawan.

Kereta perlahan bergerak ke depan, semeter,,, dua meter,,, tiga meter,,, dan terus melaju. Melewati satu stasiun, dan di stasiun berikutnya aku akan bertemu sama abangnya Nengsih.

Kenapa dari tadi aku nggak nyebutin nama?
Karena aku nggak tau namanya, yah sampai sekarang aku nggak tau namanya.


Keretapun berhenti di stasiun tempat Nengsih tinggal. HP ku berdering, abang Nengsih menelponku lagi.



Terlihat dari gerbong sebelah, berdiri seorang cowok di depan pintu kereta melambaikan tangannya. Aku membalas lambaian tangannya, padahal aku nggak tahu apa dia itu abangnya Nengsih.
Dia berjalan menghampiriku, setapak demi setapak langkah kakinya mendekatiku.



Dia pun meletakkan ranselnya di atas, tempat naruh barang. Mataku terus memandangnya,
Tinggi, manis, cakep, dan nggak bosenin buat dipandang.

Aakkhh..
Dasar Nengsih punya abang setampan ini kok disembunyiin?

Sepanjang perjalanan, ngobrol sama cowok di samping ku yang aku nggak tau siapa namanya. Aku hanya memanggilnya mas, tanpa menanyakan nama.


Kredeg,,,kredeg..kredeg..!!
Suara kereta api.

Kereta terus menerobos rel. Melaju kencang dan berhenti sebentar di stasiun-stasiun berikutnya. Aku masih memainkan HP ku, cuma HP sebagai tempat pelampiasan ketika aku mulai kehabisan bahan obrolan sama abangnya Nengsih. Malam pun semakin larut, penumpang di depanku sudah terlelap tidur. Ibu-ibu dengan anaknya di pangkuaanya.



Perlahan mataku mulai redup..
Redup..
Redup..

Dan aku nggak sadar lagi. Aku tertidur di bahunya. Bahu seorang lelaki yang baru aku kenal. Dan bahkan aku masih belum tahu siapa namanya.

Ijinkan malam ini ku habiskan dengan bersandar di bahumu mas.