- Beranda
- Stories from the Heart
Hujan, Janji, dan Wanita yang singgah
...
TS
kabelrol
Hujan, Janji, dan Wanita yang singgah
Selamat datang di trit gue yang super sederhana ini
Di trit ini, gue mencoba berbagi soal cerita-cerita cinta semasa sekolah. Lucunya, gara-gara trit ini, kisah-kisah itu ada yang berlanjut dan itu sangat mengejutkan, buat gue
Kisah yang pengen gue tulis udah tamat. Eh, tapi karena ada kisah lanjutan yang disebabkan gue nulis trit ini, sekalian gue tulis kisah lanjutan itu dimari, eh, ceritanya malah jadi kepanjangan
ada 97 part, semoga agan ngga bosen baca kisah ane ini sampe tamat

Makasih buat juragan-juraganwati yang sudah meluangkan waktunya untuk mengirimkan cendol, rate, dan subcribe. Semoga cerita gue, seengganya, bisa ngingetin pembaca sekalian, soalnya indahnya persoalan cinta di kalangan remaja.
Hujan adalah mesin waktu. Gue ngga bisa lagi lebih setuju soal ini. Gue nulis trit ini ketika musim hujan nempel di percuacaan kota gue. Ngeliat barisan hujan yang jatuh teratur, seakan ada yang menyuruh mereka supaya jatuh pada lintasannya dan ngga meleset sedikitpun, berhasil bikin gue kembali ke masa yang sangat gue sesalkan mereka ngga akan kembali.
Masa remaja.
Ya, mereka ngga bisa dan barangkali ngga akan bisa kembali. Tapi, hujan dan buku harian seengganya bisa bikin gue buat nyelamin hari-hari itu kembali. Hari-hari ketika gue mengumpulkan rasa suka, rasa sayang, rasa cinta ke dia.
Gue pernah jatuh cinta dan gue pernah menyesalinya. Tapi, gue sangat mengharap momen-momen seperti itu datang kembali.
pengenalan tokoh yang ikutan main di trit ane bisa ditengok di sini nih
cuma rekaan sih sob, sketsa, tapi mirip mirip lah
Selamat membaca
Di trit ini, gue mencoba berbagi soal cerita-cerita cinta semasa sekolah. Lucunya, gara-gara trit ini, kisah-kisah itu ada yang berlanjut dan itu sangat mengejutkan, buat gue
Kisah yang pengen gue tulis udah tamat. Eh, tapi karena ada kisah lanjutan yang disebabkan gue nulis trit ini, sekalian gue tulis kisah lanjutan itu dimari, eh, ceritanya malah jadi kepanjangan
ada 97 part, semoga agan ngga bosen baca kisah ane ini sampe tamat

Makasih buat juragan-juraganwati yang sudah meluangkan waktunya untuk mengirimkan cendol, rate, dan subcribe. Semoga cerita gue, seengganya, bisa ngingetin pembaca sekalian, soalnya indahnya persoalan cinta di kalangan remaja.
Spoiler for sampul:
Hujan adalah mesin waktu. Gue ngga bisa lagi lebih setuju soal ini. Gue nulis trit ini ketika musim hujan nempel di percuacaan kota gue. Ngeliat barisan hujan yang jatuh teratur, seakan ada yang menyuruh mereka supaya jatuh pada lintasannya dan ngga meleset sedikitpun, berhasil bikin gue kembali ke masa yang sangat gue sesalkan mereka ngga akan kembali.
Masa remaja.
Ya, mereka ngga bisa dan barangkali ngga akan bisa kembali. Tapi, hujan dan buku harian seengganya bisa bikin gue buat nyelamin hari-hari itu kembali. Hari-hari ketika gue mengumpulkan rasa suka, rasa sayang, rasa cinta ke dia.
Gue pernah jatuh cinta dan gue pernah menyesalinya. Tapi, gue sangat mengharap momen-momen seperti itu datang kembali.
pengenalan tokoh yang ikutan main di trit ane bisa ditengok di sini nih
cuma rekaan sih sob, sketsa, tapi mirip mirip lah

Selamat membaca

Spoiler for indeks:
Diubah oleh kabelrol 01-07-2015 15:17
chamelemon dan 24 lainnya memberi reputasi
25
188.2K
701
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kabelrol
#140
supermassive blackhole
Norma : "Har!" "Har, oi!" "Haaaaaarrr!!"
Kepala gue dihajar Norma. Kita lagi di jam istirahat dan gue, beginilah gue. Dipojokan kelas. Di belakang. Samping jendela. Gue lempar pandangan gue sejauh-jauhnya ke luar jendela itu, meski gue ngga liat apa-apa. Gue bener gelap.
Gue : "Oi, Nor. ketombe gue jadi terbang-terbang, nih"
Norma : "Haaar. Sini looooo!"
Gue ditarik-tarik Norma. Gue ngga berpindah tempat. Gue nempel di kursi ini. Udah 3 hari sejak gue kesedot di "blackhole" itu. Dan gue, beneran kesedot.
Norma : "Ih, taulah!"
Norma cabut dari situ. Gue tetep diem. Tiga detik kemudian, Norma balik lagi.
Norma : "Haaaaaar!!!!"
Kali ini, Widya teriak di sebelah kuping gue banget. Gue geser dikit, gue liatin dia. Pake muka kuyu kayaknya, soalnya, gue ngga ada nafsu banget bully ini anak.
Norma : "Haarsyaaa! Lo kenapaaa!!!"
Gue menggeleng pelan. Gue pengen sendiri dulu. Begitulah, Widya bohong ama gue. Dia sama sekali ngga bisa gue hubungi. Lewat SMS, telepon, dateng ke rumahnya, nihil. Dia selalu ngga ada. Dia ngga ada. Lani juga ngga respon apa-apa. Dia dingin. Pelan, Lani juga narik diri dari gue. Tapi, gue ngga terlalu peduli. Gue ngga ngarep dia jajan di koperasi itu. Gue pengen Widya. Gue pengen dia yang gue tumpuk cinta gue sedikit-sedikit dari SMP. Gue ngga mau Lani. SIapa dia? Dia datang (dan pergi) begitu aja, sesuka dia.
Kenapa kemaren gue ngga bisa bilaaaaaang
Norma : "Harsyaa!"
Ah, gue berharap yang manggil gue itu Widya. Mana Widyaaa!!
Norma : "Har, lo bilang ama gue. Kenapa? Widya? Lani? Ada apa, sih? Biasanya lo bagi derita ama gue. Sekarang, buruan bagii!"
Gue : "Widya, Nor"
Norma : "Eh, eh, jangan nangis disini, Har. Malu-maluin!"
Gue : "Kagak gilak! Mana ada gue nangis. Nih, liat mata gue!"
Norma : "Emang lo kagak, hehe"
Norma selalu punya cara bangkitin gue lagi. Yah, kepalang deh. Sekalian aja gue cerita semua, kecuali blackhole
Norma : "Alhamdulillah, masalah lo kelar, nak"
Gue bingung? Perasaan gue, gue baru mulai ini masalah, deh.
Norma : "seengganya, bukan lo yang ngomong apa yang Widya bilang. Gue dukung lo, soalnya, bilang semacam itu, semacam yang Widya bilang itu ke lo, lebih sakit daripada dengernya"
Gue semacem denger jeder. Gue sadis banget, dong, yah.
Norma : "Tapi, itu pilihan dia, Har. Lo mesti hormatin itu. Lo ngga boleh nyesel soal itu. Itu pilihan dia, Har. Pasti dia udah siapin dari jauh hari, karena keegoisan lo"
Gue semacem denger jeder, lebih keras kali ini. Ini bukan gue, ini karena Lani. Hhh, ini karena kebetulan sialan itu.
Norma : "Har, lo bayangin lo yang ngomong itu. Pasti lo lebih galau saat ini. Salah salah, lo bunuh diri kali. Bersyukur lo, si Widya emang manja, tapi jauh, jauh, jauh, lebih dewasa daripada lo. Dia tegar banget. Gue respect ama dia"
Ooh, itu maksudnya. Tapi, gue ngga bisa tega bayangin kondisi Widya sekarang. Gue jadi semakin khawatir, ada apa dengan Widya saat ini. Apa dia baik-baik aja?
Gue : "Gue sadis banget, dong, Nor"
Norma : "Iya"
Gue : "Hibur gue dikit, kek!"
Norma : "Lain kali, ya, Har. Tapi, jarang sih 'lain kali' itu. Lo satu, ya, satu aja. Biarin ngalir dulu, selesai atau lanjut terus. Jangan biarin ada yang nebeng lagi. Lo harus berani bilang ngga, Har. Udah kali ini ngga apa-apa. Mahal banget ini pelajaran. Lo ngerti kan paitnya kayak apa. Pait di lo, pait di semuanya"
Gue : "Iya, Nyah"
Norma ngasih wejangan panjang, lebar, dan tinggi. Gue bales 'iya, Nyah' aja. Masa ujian buat kelas 12 segera dimulai, gue menyibukkan diri dengan 10-2. Gue bener-bener ilang kontak dengan cantik bersaudara itu. Lani mungkin ngga enak ngontak gue. Gue pahamin itu dan bodo amat soal itu. Gue ngga merasa kehilangan Lani. Gimanapun, dia cuma kecengan simpel dan eh, kebetulan berhadiah. Kalo dipikir-pikir, ini dimulai karena Lani juga. Tapi, gue emang salah. Gue ngga berani bilang ngga malam itu.
Ah, sudahlah. Kok gue jadi gregetan gini
masih nyesek kali 
lanjut. Singkat cerita.
Disinilah gue, bareng Ahmad dan Andre. Ada Novi sama Norma juga. Kita dikasih formulir pendaftaran wali kelas MOS yang sebentar lagi digelar.
Taun ajaran baru akan dimulai. Gue kelas 11 sekarang. Lani masuk jurusan sastra prancis di salah satu universitas terbaik di negeri ini. Diem-diem, gue kagum sama kemampuan ngeliat masa depan Norma. haha. Gue benerin pendapat Norma waktu itu, gue bakal beda banget sama Lani.
lanjut. Singkat cerita lagi.
Disinilah gue, bareng Andre dan Ahmad. Kita bertiga dikasih formulir pendaftara calon ketua osis. Wah, ngga ada spesial, kecuali kita pernah duduk sebangku di 10-2. Ini bakal jadi kompetisi yang sulit, sob. Dan emang sulit. Lo mesti berintrik politik lawan sahabat-sahabat lo sendiri.
lanjut. Singkat cerita lagi dan lagi.
Disinilah gue, bareng bos Ahmad dan parter gue, Andre. Ahmad menang pemilihan. Orang bego kayak dia kepilih berarti ada yang ngga bener nih.
lanjut, Singkat cerita lagi, lagi, dan lagi.
Disinilah kita bertiga, lagi seleksi anak kelas 10 yang mau gabung sama osis. Ada beberapa lembar formulir yang harus kita seleksi. Daripada pusing-pusing, KITA SELEKSI AJA FOTONYA



dan karena kita cowok, normal, dan yang ganteng gue doang
proporsi formulir yang keseleksi lebih banyak cewek daripada cowok 
Kita ngakak-ngakak bertiga. Njir, ini ngaco banget. Ini pilihan yang sulit sob. Lo mesti bilang "Ah, gue ngga mau yang ini, ah. Jelek. Mirip XXXXXXX" atau "Ah, gue ngga mau yang ini juga, ah, idungnya kayak pantat" dsb dsb.
Wuahahaha (ketawa jahat) di kemudian hari, barangkali, pada suatu tempat kerja tertentu, seleksi muka berlaku. Gue bangga sob. Kita bertiga melampaui pikiran anak SMA---padahal mah mesum aja
Gue berhenti pada salah satu formulir.
Gue : "Lur, yang ini cakep, oi"
Andre Ahmad : "Mana, mana?" "Eh, iya juga, euy." "Masukin" "lolos"
yah, demikianlah. Foto 3 x 4 hitam putih itu foto yang jujur. Rambut ikal diikat kuda lalu dibiarkan lewat samping kanan-kiri leher menuju bahu. Poni rapi pada muka manis yang minta dicubit. Namanya, Nisa
waktu berlalu dengan Nisa sebagai kecengan yang sekadar lewat. Ngga ada yang spesial. Ngga ada yang menarik hati gue yang kosong. Gue beneran sok sibuk dan menyibukkan diri. Gue ngga mau larut dalam Widya. Norma yang saranin gue gitu.
Pada suatu akhir minggu, ceritanya gue lagi kursus. Tempat kursus itu di desain anak didiknya duduk meleseh, duduk bersimpuh di lantai. Ah, lebai
Tempat kursus itu adalah rumah. Ada pintu dan dua jendela. Lubang jendela ada di bawah kepala ketika kelas dimulai. Yah, pokoknya gitu, deh. Kebayang kan kebayang kan.
Kelas hampir selesa dan guru pengajarnya berdiri terus nengok ke luar jendela. Si guru berseru,
"Eh, Nisa udah dateng. Ayo sini masuk"
Itu percakapan yang biasa antar guru sama murid les. Tapi, atuhlah, Tetiba, badan gue gemetaran hebat. Gue semacam ngga nerima ada Nisa di balik pintu ini. Tangan gue yang lagi nyatet gemeteran juga. Aih, ada apa ini? gue sakit sesuatu?
Waktu berjalan dengan lambat. Super lambat, tapi cepet. Tiba-tiba, gue harus keluar kelas itu. Artinya, gue bakal ketemu Nisa di sana, di balik pintu ini. Aih aih.
Gue antri di belakang anak-anak kelas gue yang mau keluar. Dan disitulah, secercah cahaya dari hari yang cerah dan sapaan dari Nisa,
Nisa : "Eh, Kak Har. Les disini juga?"
Gue cuma ngangguk aja. Gue ngga tahan liat mukanya, makanya gue liat aspal. Tapi, gue masih liat stelannya waktu itu. Baju ungu. Udah, itu aja yang berkesan. Senyumnya sedikit gue lihat--dan itu bikin gue melayang banget. Oke, mulai lebay. DAGH!
Gue memacu motor cepet-cepet. Gue muter-muter kota ngga karuan. Gue berpikir, gue kenapa, nih, gue kenapa, nih.
Dan sampailah gue, pada malam itu. Gue lagi sendirian di rumah. Orang-orang lagi pergi. Gue diajak cabut sama temen di kelas 10-2 dulu, tapi gue enggan cabut karena di luar lagi ujan deres.
Gue stel tipi, terus gue ngerebah di sofa. Gue berhenti di suatu cenel tipi yang lagi nyiarin pencarian bakat. Ada seorang dari Jogja yang piawai banget bawain semua lagu yang dia pake untuk audisi dengan nuansa jazz. Waktu itu, dia nyanyi lagu "Kau cantik hari ini" Enak banget. Lagu pop yang sebenernya, menurut gue, bagus, dibawain sama penyanyi ini jadi baguuuus banget, super bangeeet.
Gue tiba-tiba kesedot semacam blackhole. Ya, blackhole yang Widya bawa waktu ngucap perpisahan waktu itu. Tapi, blackhole ini lebih besar, terstruktur, dan masif
supermassive blackhole.
Gue kesedot ke masa gue liat Nisa di tempat kursus itu. Dia yang ternyata lebih cantik daripada foto 3 x4 itu. Gue kesedot ke kondisi ngga bisa bales sapaan Nisa. Iya, yang gue gemetaran itu. Yang gemetaran tanpa sebab dan akhir--nantinya.
Norma : "Cara lo jatuh cinta lo unik juga, ya, Har"
Itu respon Norma setelah gue ceritain pada esok harinya.
Iya juga, sob. Gue jatuh cinta lewat foto? bukan, lewat lagu? bukan, lewat dua-duanya? Bisa ya jatuh cinta pake cara itu?
Bisa, kalo itu adalah Nisa, si supermassive blackhole. Gadis yang kelak menyedot habis keberanian gue buat ngedeketin dia
Kepala gue dihajar Norma. Kita lagi di jam istirahat dan gue, beginilah gue. Dipojokan kelas. Di belakang. Samping jendela. Gue lempar pandangan gue sejauh-jauhnya ke luar jendela itu, meski gue ngga liat apa-apa. Gue bener gelap.
Gue : "Oi, Nor. ketombe gue jadi terbang-terbang, nih"
Norma : "Haaar. Sini looooo!"
Gue ditarik-tarik Norma. Gue ngga berpindah tempat. Gue nempel di kursi ini. Udah 3 hari sejak gue kesedot di "blackhole" itu. Dan gue, beneran kesedot.
Norma : "Ih, taulah!"
Norma cabut dari situ. Gue tetep diem. Tiga detik kemudian, Norma balik lagi.
Norma : "Haaaaaar!!!!"
Kali ini, Widya teriak di sebelah kuping gue banget. Gue geser dikit, gue liatin dia. Pake muka kuyu kayaknya, soalnya, gue ngga ada nafsu banget bully ini anak.
Norma : "Haarsyaaa! Lo kenapaaa!!!"
Gue menggeleng pelan. Gue pengen sendiri dulu. Begitulah, Widya bohong ama gue. Dia sama sekali ngga bisa gue hubungi. Lewat SMS, telepon, dateng ke rumahnya, nihil. Dia selalu ngga ada. Dia ngga ada. Lani juga ngga respon apa-apa. Dia dingin. Pelan, Lani juga narik diri dari gue. Tapi, gue ngga terlalu peduli. Gue ngga ngarep dia jajan di koperasi itu. Gue pengen Widya. Gue pengen dia yang gue tumpuk cinta gue sedikit-sedikit dari SMP. Gue ngga mau Lani. SIapa dia? Dia datang (dan pergi) begitu aja, sesuka dia.
Kenapa kemaren gue ngga bisa bilaaaaaang

Norma : "Harsyaa!"
Ah, gue berharap yang manggil gue itu Widya. Mana Widyaaa!!
Norma : "Har, lo bilang ama gue. Kenapa? Widya? Lani? Ada apa, sih? Biasanya lo bagi derita ama gue. Sekarang, buruan bagii!"
Gue : "Widya, Nor"
Norma : "Eh, eh, jangan nangis disini, Har. Malu-maluin!"
Gue : "Kagak gilak! Mana ada gue nangis. Nih, liat mata gue!"
Norma : "Emang lo kagak, hehe"
Norma selalu punya cara bangkitin gue lagi. Yah, kepalang deh. Sekalian aja gue cerita semua, kecuali blackhole

Norma : "Alhamdulillah, masalah lo kelar, nak"
Gue bingung? Perasaan gue, gue baru mulai ini masalah, deh.
Norma : "seengganya, bukan lo yang ngomong apa yang Widya bilang. Gue dukung lo, soalnya, bilang semacam itu, semacam yang Widya bilang itu ke lo, lebih sakit daripada dengernya"
Gue semacem denger jeder. Gue sadis banget, dong, yah.
Norma : "Tapi, itu pilihan dia, Har. Lo mesti hormatin itu. Lo ngga boleh nyesel soal itu. Itu pilihan dia, Har. Pasti dia udah siapin dari jauh hari, karena keegoisan lo"
Gue semacem denger jeder, lebih keras kali ini. Ini bukan gue, ini karena Lani. Hhh, ini karena kebetulan sialan itu.
Norma : "Har, lo bayangin lo yang ngomong itu. Pasti lo lebih galau saat ini. Salah salah, lo bunuh diri kali. Bersyukur lo, si Widya emang manja, tapi jauh, jauh, jauh, lebih dewasa daripada lo. Dia tegar banget. Gue respect ama dia"
Ooh, itu maksudnya. Tapi, gue ngga bisa tega bayangin kondisi Widya sekarang. Gue jadi semakin khawatir, ada apa dengan Widya saat ini. Apa dia baik-baik aja?
Gue : "Gue sadis banget, dong, Nor"
Norma : "Iya"
Gue : "Hibur gue dikit, kek!"
Norma : "Lain kali, ya, Har. Tapi, jarang sih 'lain kali' itu. Lo satu, ya, satu aja. Biarin ngalir dulu, selesai atau lanjut terus. Jangan biarin ada yang nebeng lagi. Lo harus berani bilang ngga, Har. Udah kali ini ngga apa-apa. Mahal banget ini pelajaran. Lo ngerti kan paitnya kayak apa. Pait di lo, pait di semuanya"
Gue : "Iya, Nyah"
Norma ngasih wejangan panjang, lebar, dan tinggi. Gue bales 'iya, Nyah' aja. Masa ujian buat kelas 12 segera dimulai, gue menyibukkan diri dengan 10-2. Gue bener-bener ilang kontak dengan cantik bersaudara itu. Lani mungkin ngga enak ngontak gue. Gue pahamin itu dan bodo amat soal itu. Gue ngga merasa kehilangan Lani. Gimanapun, dia cuma kecengan simpel dan eh, kebetulan berhadiah. Kalo dipikir-pikir, ini dimulai karena Lani juga. Tapi, gue emang salah. Gue ngga berani bilang ngga malam itu.
Ah, sudahlah. Kok gue jadi gregetan gini
masih nyesek kali 
lanjut. Singkat cerita.
Disinilah gue, bareng Ahmad dan Andre. Ada Novi sama Norma juga. Kita dikasih formulir pendaftaran wali kelas MOS yang sebentar lagi digelar.
Taun ajaran baru akan dimulai. Gue kelas 11 sekarang. Lani masuk jurusan sastra prancis di salah satu universitas terbaik di negeri ini. Diem-diem, gue kagum sama kemampuan ngeliat masa depan Norma. haha. Gue benerin pendapat Norma waktu itu, gue bakal beda banget sama Lani.
lanjut. Singkat cerita lagi.
Disinilah gue, bareng Andre dan Ahmad. Kita bertiga dikasih formulir pendaftara calon ketua osis. Wah, ngga ada spesial, kecuali kita pernah duduk sebangku di 10-2. Ini bakal jadi kompetisi yang sulit, sob. Dan emang sulit. Lo mesti berintrik politik lawan sahabat-sahabat lo sendiri.
lanjut. Singkat cerita lagi dan lagi.
Disinilah gue, bareng bos Ahmad dan parter gue, Andre. Ahmad menang pemilihan. Orang bego kayak dia kepilih berarti ada yang ngga bener nih.

lanjut, Singkat cerita lagi, lagi, dan lagi.
Disinilah kita bertiga, lagi seleksi anak kelas 10 yang mau gabung sama osis. Ada beberapa lembar formulir yang harus kita seleksi. Daripada pusing-pusing, KITA SELEKSI AJA FOTONYA




dan karena kita cowok, normal, dan yang ganteng gue doang
proporsi formulir yang keseleksi lebih banyak cewek daripada cowok 
Kita ngakak-ngakak bertiga. Njir, ini ngaco banget. Ini pilihan yang sulit sob. Lo mesti bilang "Ah, gue ngga mau yang ini, ah. Jelek. Mirip XXXXXXX" atau "Ah, gue ngga mau yang ini juga, ah, idungnya kayak pantat" dsb dsb.
Wuahahaha (ketawa jahat) di kemudian hari, barangkali, pada suatu tempat kerja tertentu, seleksi muka berlaku. Gue bangga sob. Kita bertiga melampaui pikiran anak SMA---padahal mah mesum aja

Gue berhenti pada salah satu formulir.
Gue : "Lur, yang ini cakep, oi"
Andre Ahmad : "Mana, mana?" "Eh, iya juga, euy." "Masukin" "lolos"
yah, demikianlah. Foto 3 x 4 hitam putih itu foto yang jujur. Rambut ikal diikat kuda lalu dibiarkan lewat samping kanan-kiri leher menuju bahu. Poni rapi pada muka manis yang minta dicubit. Namanya, Nisa
waktu berlalu dengan Nisa sebagai kecengan yang sekadar lewat. Ngga ada yang spesial. Ngga ada yang menarik hati gue yang kosong. Gue beneran sok sibuk dan menyibukkan diri. Gue ngga mau larut dalam Widya. Norma yang saranin gue gitu.
Pada suatu akhir minggu, ceritanya gue lagi kursus. Tempat kursus itu di desain anak didiknya duduk meleseh, duduk bersimpuh di lantai. Ah, lebai
Tempat kursus itu adalah rumah. Ada pintu dan dua jendela. Lubang jendela ada di bawah kepala ketika kelas dimulai. Yah, pokoknya gitu, deh. Kebayang kan kebayang kan.Kelas hampir selesa dan guru pengajarnya berdiri terus nengok ke luar jendela. Si guru berseru,
"Eh, Nisa udah dateng. Ayo sini masuk"
Itu percakapan yang biasa antar guru sama murid les. Tapi, atuhlah, Tetiba, badan gue gemetaran hebat. Gue semacam ngga nerima ada Nisa di balik pintu ini. Tangan gue yang lagi nyatet gemeteran juga. Aih, ada apa ini? gue sakit sesuatu?
Waktu berjalan dengan lambat. Super lambat, tapi cepet. Tiba-tiba, gue harus keluar kelas itu. Artinya, gue bakal ketemu Nisa di sana, di balik pintu ini. Aih aih.
Gue antri di belakang anak-anak kelas gue yang mau keluar. Dan disitulah, secercah cahaya dari hari yang cerah dan sapaan dari Nisa,
Nisa : "Eh, Kak Har. Les disini juga?"
Gue cuma ngangguk aja. Gue ngga tahan liat mukanya, makanya gue liat aspal. Tapi, gue masih liat stelannya waktu itu. Baju ungu. Udah, itu aja yang berkesan. Senyumnya sedikit gue lihat--dan itu bikin gue melayang banget. Oke, mulai lebay. DAGH!

Gue memacu motor cepet-cepet. Gue muter-muter kota ngga karuan. Gue berpikir, gue kenapa, nih, gue kenapa, nih.
Dan sampailah gue, pada malam itu. Gue lagi sendirian di rumah. Orang-orang lagi pergi. Gue diajak cabut sama temen di kelas 10-2 dulu, tapi gue enggan cabut karena di luar lagi ujan deres.
Gue stel tipi, terus gue ngerebah di sofa. Gue berhenti di suatu cenel tipi yang lagi nyiarin pencarian bakat. Ada seorang dari Jogja yang piawai banget bawain semua lagu yang dia pake untuk audisi dengan nuansa jazz. Waktu itu, dia nyanyi lagu "Kau cantik hari ini" Enak banget. Lagu pop yang sebenernya, menurut gue, bagus, dibawain sama penyanyi ini jadi baguuuus banget, super bangeeet.
Gue tiba-tiba kesedot semacam blackhole. Ya, blackhole yang Widya bawa waktu ngucap perpisahan waktu itu. Tapi, blackhole ini lebih besar, terstruktur, dan masif
supermassive blackhole.Gue kesedot ke masa gue liat Nisa di tempat kursus itu. Dia yang ternyata lebih cantik daripada foto 3 x4 itu. Gue kesedot ke kondisi ngga bisa bales sapaan Nisa. Iya, yang gue gemetaran itu. Yang gemetaran tanpa sebab dan akhir--nantinya.
Norma : "Cara lo jatuh cinta lo unik juga, ya, Har"
Itu respon Norma setelah gue ceritain pada esok harinya.
Iya juga, sob. Gue jatuh cinta lewat foto? bukan, lewat lagu? bukan, lewat dua-duanya? Bisa ya jatuh cinta pake cara itu?
Bisa, kalo itu adalah Nisa, si supermassive blackhole. Gadis yang kelak menyedot habis keberanian gue buat ngedeketin dia
Diubah oleh kabelrol 09-01-2015 22:57
vchiekun dan jentojento memberi reputasi
2
