Kaskus

Story

PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
When Music Unites Us
When Music Unites Us


Sinopsis:
Dalam lintas waktu yang terus berjalan, perlahan aku terus menyadari bahwa sebuah nada yang telah tergores tak bisa hilang. Bermula dari sebuah sebuah nada progresif yang mengalun, nada-nada ini bercerita mengenai bagaimana musik mempengaruhi kehidupan seorang remaja biasa bernama Iman yang menjalani masa mudanya sebagai pecinta musik, juga sebagai pemain musik.

Musik sebagai bahasa universal menyatukan hati para individu penyuka nada serupa, hingga akhirnya mereka saling terkoneksi karena adanya musik.

Satu dua patah kata awal untuk mengantarkanmu ke duniaku; Satu dua nada untuk membawa jiwamu menembus dimensi lain!

Teruntuk:
Tahun-tahun paling menyenangkan di masa remaja;
Teman-teman dan sahabat-sahabatku;
Penulis-penulis favoritku dan penulis yang membantu memperbaiki tulisanku;
Juga dosen bahasa Inggris-ku dan komunikasi massa yang selalu memberikan semangat;
Hingga untuk kamu yang membuat cerita ini ada.
Kalian adalah referensi musik terbaik dalam hidupku.



P.S : Part-part awal sedang masa konstruksi lagi, gue tulis ulang. Mohon maaf jika jadi agak belang gitu bacanya emoticon-Malu (S)

Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 10-09-2017 20:23
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
47K
445
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
#76
Partitur no. 19


Sabtu, 11 Februari 2012.

Hari itu datang dengan sangat cepat. Mungkin karena itu adalah hari yang paling ku tunggu-tunggu, karena akhirnya manggung ditonton oleh Tasya. Senangnya!

Saat sekolah, aku membujuk teman-temanku untuk membeli tiket dan ikut menyebarkan acara itu ke teman-teman lainnya, dan berhasil! Kebetulan, rumah teman sebangku ku, Winny, sangat dekat dengan tempatnya. Ia juga sangat ingin bertemu dengan Tasya, yang suka kuceritakan kepadanya hampir setiap hari.

Satu tiket dibeli oleh Alvin yang rela membayar demi tiket kami habis, padahal kami bisa saja memberikannya free pass untuknya, karena ia sudah sangat sering membantu kami. Tapi ia menolak. Terlebih, ia menganggap tiketnya cukup murah. Aku akan berusaha untuk tampil sebaik-baiknya hari ini!

Seperti biasa, aku datang ke sana dijemput oleh Afi bersama Harrys dan Alvin setelah makan siang. Di dalam mobil, mereka sangat asyik mengobrolkan berbagai hal. Sementara aku sangat deg-degan di dalam situ. Ku tarik nafas dalam-dalam untuk membuatku tenang, sambil sesekali melatih suaraku yang pas-pasan ini.

Ketika kami akhirnya sampai, aku bisa melihat Tasya bersama Fira sudah hadir lebih dulu di tempat itu. Aku kaget sekali waktu itu kalau Fira akan benar-benar ikut. Menurut Tasya, ia sangat menggemari Afi, karena Afi memang ganteng. Memang selalu begitu, ketika kami manggung, yang paling banyak digemari adalah Afi dan Harrys.

Mereka tak menunggu di kafe tempat kami manggung nanti, melainkan Supermarket seberang kafe itu, tempat di mana kami nongkrong saat technical meeting kemarin. Aku langsung mendatangi tempat mereka yang kulihat sedang duduk-duduk itu.

“Hai,” sapaku ke Tasya dan Fira dengan malu-malu sambil menenteng gitar beserta teman-temannya.

“Halo,” jawab mereka sambil bersalaman.

“Udah lama nyampenya?” tanyaku.

“Belum, sih, baru sekitar sepuluh menitan,” ujar Tasya sambil melihat jam tangannya, mengukur-ukur kapan mereka datang tadi.

“Kenapa nggak nunggu di kafe itu aja?”

“Aku takut di sana,” jelas Tasya sambil ekspresi wajahnya berubah menjadi sangat lucu.

“Kamu kok kalo lagi ketakutan tetep lucu, sih?” ledekku.

“Gombal mulu, nih!” protesnya. “Ke sana aja, yuk? Yang lainnya juga udah di sana, kan?”

“Iya” jawabku sambil menganggukan kepala.

Kulihat, Fira juga sepertinya sangat malu-malu akan bertemu dengan Afi. Mereka memang belum pernah bertemu atau bertukar sapa secara langsung sebelumnya. Aku juga sempat bingung, bagaimana Fira bisa sampai menggemari Afi. Setahuku, mereka juga belum berteman di media sosial.

Kami pun balik ke halaman kafe itu, untuk bertemu dengan yang lainnya. Ketika kami kembali, aku mendapati dua orang dari empat temanku yang berencana untuk hadir hari ini. Orang itu adalah Winny, teman sebangku ku, dan satu orang lagi yang kulupa siapa yang hadir. Seingatku itu adalah temanku yang juga bernama Tasya. Tapi aku benar-benar lupa.

“Kenalin, ini Afi sama Harrys,” kataku memperkenalkan mereka berdua kepada kedua orang temanku.

Teman-temanku pun berkenalan dengan Afi dan Harrys sambil malu-malu.

“Fi, ini ada yang ngefans, nih!” ledekku sambil melihat ke arah Fira yang wajahnya memerah.

“Siapa?” tanyanya dengan nada datar.

“Ini, Fi!” sahut Tasya kemudian sambil mendorong Fira untuk maju.

“Afi,” ujar Afi mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

“Fira,” ia menjabat tangan Afi dengan hangatnya.

“Yaudah, masuk, yuk?” usulku.

“Yuk!” sahut Afi dan Harrys berbarengan.

Kami pun naik ke atas, menuju tempat kami akan manggung nanti. Ternyata, tempatnya sangat luas, di luar perkiraanku. Sebelum masuk, ada pengecheckan oleh panitia. Lalu, kubilang sesuai persetujuan: dua free pass untuk Tasya dan Fira, lalu dua tiket dari penjualan pre-sale untuk Winny dan temannya. Kami pun diberi cap dan gelang agar bisa bolak-balik keluar masuk kafe.

Ruangan itu sudah dipenuhi oleh rekan-rekan dari band lain, yang sudah bermain atau akan bermain nantinya, juga oleh para penonton yang rata-rata berdandan seperti para penggemar musik hardcore. Ruangan ini terasa redup dan sesak. Panggungnya juga seperti panggung live music pada umumnya. Tempatnya sangat cocok dengan scene musik underground. Tapi, kemarin aku sempat mencari di internet bahwa tempat ini pernah diselenggarakan acara membawakan lagu dari band-band British atau bahkan band Jazz, yang membuatku memutuskan ikut acara ini meskipun sempat ragu-ragu. Terlebih, acara ini diiming-imingi oleh jenis musik bebas dan tak terbatas. Universal.

Ketika kami masuk, band yang sedang bermain baru saja akan memainkan lagu terakhir yang mereka bawakan di acara ini. Seperti perkiraanku, mereka membawakan lagu-lagu hardcore. Para penonton pun langsung asyik bermoshing ria di depan panggung. Sepertinya, ini bukan tempat yang cocok untuk kami. Atau bahkan, seharusnya kami tak berada di sini.

Aku terus memperhatikan band itu dengan seksama dengan jantung yang terus berdegup kencang. Aku tak berhasil mengendalikan diriku sendiri. Keberanianku tumpul. Mungkin aku butuh serutan untuk menajamkan lagi keberanianku. Kami salah kamar!

“Ayuk semangat!” ia menyemangatiku ketika band tadi baru saja menyelesaikan lagu terakhirnya.

Suaranya membuatku merasa memang ada harapan untuk tetap bermain. Tapi, aku tak yakin kalau aku bisa.

Menurut jadwal, kami akan bermain pukul dua siang. Sekarang pukul satu siang. Penonton mulai menepi ketika para MC acara sedang berbincang-bincang satu sama lain. Satu dari dua orang MC ini terus memanggil dua band yang dijadwalkan bermain sebelum kami, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Mungkin mereka terlambat. Para MC pun berpesan kepada semuanya untuk menghargai waktu, jangan sampai terlambat, termasuk untuk manggung. Meskipun kami sudah datang satu jam sebelum kami main, tapi ucapan itu terus terang seperti menyindirku yang hampir setiap harinya telat untuk ke sekolah.

Perasaanku merasakan hal aneh. Ya, MC itu menatap kami yang terlihat masih sangat repot menenteng alat-alat musik kami. Itu berarti tandanya.....

“Sini, yang nenteng alat musik itu maju!” tunjuk salah satu MC ke arah kami.

Kaget mendengar itu, aku hanya bisa celingak-celinguk seperti orang bodoh. Karena tak ada pilihan lain dan tak bisa melawan, aku pun menyanggupi untuk segera maju ke depan.

“Ini dengan band apa, ya?” tanya salah satu MC dengan nada berbisik.

“Dengan band yang bakal main dua band setelah band yang sekarang.” Jawabku.

“Ya, ini akan ada band selanjutnya yang akan mengisi kekosongan acara, mari kita sambut!” seru MC itu dengan semangat. Aku terkaget-kaget.

Aku belum siap.

Tasya hanya tersenyum dengan bahasa tubuh yang seakan mengatakan, “Ya, kamu pasti bisa! Pede aja!”

Aku hanya bisa memberinya balasan senyuman, sambil mengeluarkan alat-alat musikku yang akan dipakai untuk manggung dan memasangnya sebelum melakukan check sound yang diberikan waktu hanya lima menit.

Tanganku gemetaran.

Mungkin aku tak akan diterima di tempat ini!

Waktu terasa berhenti. Seluruh mata memandang ke arah kami di atas panggung, seakan bersiap mendengarkan lontaran nada-nada dari kami. Aku menghela nafas panjang sambil memejamkan mata, bersiap memetik nada indah dari dawai gitarku.

Satu nada akhirnya kupetik, memecahkan kesunyian yang kami buat. Satu nada itu kuambil dari nada-nada yang sering band favoritku—Muse—mainkan, terutama ketika mereka membawakannya sebelum lagu Knight Of Cydoniasewaktu di stadion Wembley yang disambung oleh riff gitar dari lagu The Adventure-nya Angels & Airwaves. Kutemukan ide aneh itu ketika latihan terakhir kami, yang benar-benar kami manfaatkan sebaik-baiknya.

Penonton pun maju perlahan-perlahan ke depan sambil malu-malu. Tapi, Tasya dan teman-temanku masih di belakang, di dekat bar yang tutup itu. Tak seperti perkiraanku, mereka bertepuk tangan ketika kami selesaikan intro itu. Meskipun tak sebanyak band sebelumnya, tapi aku senang ada yang mengapresiasi kehadiran kami di sini.

Ketika berada di atas panggung, aku melakukan berbagai hal untuk menghilangkan rasa grogiku, dengan loncat-loncat atau bergaya misalnya. Atau, memainkan efek gitar untuk mengeluarkan suara aneh ketika di tengah-tengah lagu pertama. Penonton cukup kaget dengan efek gitar yang kupakai, karena memang suaranya sangat aneh untukku juga. Mengawang. Dan, nada yang mengulang bunyi ketika satu kali ku genjreng gitarku.

Aku benar-benar merasa salah tempat ketika kami masuk ke lagu kedua, lagu favoritku dengan Tasya, The Only Exception. Mengapa kami tetap memainkannya? Pikirku dalam hati. Awalnya kukira kafe ini seperti kafe-kafe yang memainkan lagu-lagu yang terkenal saja. Tapi, ketika baru memasuki tempat ini beberapa belas menit yang lalu, aku merasa benar-benar salah tempat.

Salah satu dari para penonton menyalakan korek api. Rasanya seperti konser-konser band besar ketika sedang memainkan lagu romantis saja! Kulihat dari atas panggung ke arah Tasya yang sedang tersenyum manis ketika aku membawakan lagu ini.

Akhirnya, kami sampai juga di lagu terakhir yang akan kami bawakan. Sebelum itu, tentunya aku harus memperkenalkan rekan-rekan bandku terlebih dahulu, sekaligus promosi tentang band.

“Di bass ada Afi,” aku mulai memperkenalkan mereka dengan nada malu-malu.

“Di drum ada Harrys,” lanjutku. “Dia masih kelas dua SMP.”

Ekspresi penonton langsung terbelalak seakan tak percaya dengan ucapan yang baru saja kukatakan. Ada yang saling berbisik ke pada temannya, dan ada juga yang memberikan apresiasi melalui tepuk tangan.

“Dan saya Iman, di gitar dan vokal.”

“Ini lagu terakhir dari kami, berjudul Boulevard of Broken Dreams dar Green Day.” Jelasku dengan gugup.

Aku memasuki awal lagu dengan suara gitar yang terdengar seperti gitar akustik. Kumainkan sampai reff pertama itu berlangsung. Para penonton untungnya mengetahui lagu itu, sehingga sesekali aku membiarkan mereka menyanyi bersama kami seperti saling terikat secara emosional. Seperti, ada suatu kepuasan tersendiri.

Lalu, ketika reff lagu itu habis, aku memainkannya seperti lagu aslinya. Aku ingin membuat Tasya terkagum-kagum dengan penampilan kami, meskipun konsep yang kupakai ini memang dari salah satu penampilan Green Day yang diabadikan melalui dvd nya. Setidaknya, perasaanku sudah cukup tersampaikan kepada yang menonton.

“Sayang, keren banget tadi!” ujarnya dengan senang ketika kami turun dari panggung sambil bertepuk tangan.
Teman-temanku juga ikut menyelamati kami.

“Deg-degan banget, tau!” balasku sambil melap keringatku.

Tasya pun mengambil lap itu dari genggaman tanganku. Ia pun melap keringatku yang terus bercucuran itu dengan pelan-pelan.

Kulihat, seorang laki-laki asing bertubuh sedang yang memegang kamera datang menghampiri kami. Mengapa ia menghampiri kami tiba-tiba? Tanyaku dalam hati dengan jantung yang masih berdegup kencang.

“Tadi keren, Mas, manggungnya.” Ujarnya sambil menyodorkan tangannya.

“Makasih banget ya, Mas..” jawabku sambil menjabat tangan orang itu dengan hangat.

“Boleh bagi kontaknya, nggak?” tanyanya kemudian.
Diubah oleh Polyamorous 18-10-2015 23:03
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.