Kaskus

Story

PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
When Music Unites Us
When Music Unites Us


Sinopsis:
Dalam lintas waktu yang terus berjalan, perlahan aku terus menyadari bahwa sebuah nada yang telah tergores tak bisa hilang. Bermula dari sebuah sebuah nada progresif yang mengalun, nada-nada ini bercerita mengenai bagaimana musik mempengaruhi kehidupan seorang remaja biasa bernama Iman yang menjalani masa mudanya sebagai pecinta musik, juga sebagai pemain musik.

Musik sebagai bahasa universal menyatukan hati para individu penyuka nada serupa, hingga akhirnya mereka saling terkoneksi karena adanya musik.

Satu dua patah kata awal untuk mengantarkanmu ke duniaku; Satu dua nada untuk membawa jiwamu menembus dimensi lain!

Teruntuk:
Tahun-tahun paling menyenangkan di masa remaja;
Teman-teman dan sahabat-sahabatku;
Penulis-penulis favoritku dan penulis yang membantu memperbaiki tulisanku;
Juga dosen bahasa Inggris-ku dan komunikasi massa yang selalu memberikan semangat;
Hingga untuk kamu yang membuat cerita ini ada.
Kalian adalah referensi musik terbaik dalam hidupku.



P.S : Part-part awal sedang masa konstruksi lagi, gue tulis ulang. Mohon maaf jika jadi agak belang gitu bacanya emoticon-Malu (S)

Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 10-09-2017 20:23
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
47K
445
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
#42
Partitur no. 11 : Plan For Her Birthday


Dua setengah bulan berlalu sejak hubungan kami ini dimulai, dan sama sekali belum ada yang berubah—mungkin hanya jam tidur saja yang berubah. Kami tak pernah lagi tidur lewat tengah malam karena harus mengisi tenaga untuk menjalani aktivitas keesokan harinya. Kami juga sama sekali tak pernah kehabisan topik pembicaraan ketika berbicara secara langsung maupun ketika bertukar pesan di Facebook. Pembicaraan kami selesai ketika kami sudah mengantuk atau tiba-tiba tertidur ditengah-tengah perbincangan.

Topik yang sering sekali kami bicarakan adalah musik. Ya, musik. Kami bertukar referensi lagu-lagu dari berbagai aliran musik yang berbeda, dan tentu saja lagu-lagu dari Tasya banyak yang belum kutahu. Selain cantik dan manis, ia memiliki selera musik yang menurutku sangat bagus.

Perbincangan kami sangat panjang. Bahkan ketika teman-temanku ingin melihat bagaimana aku dan Tasya bertukar pesan, mereka menyatakan bahwa membaca pesanku dengan Tasya sama saja seperti membaca novel.

Yang paling membuatku tertarik dari Tasya adalah keterbukaan pemikirannya dalam berbagai hal, tak hanya musik saja. Ia mengajariku untuk menghargai berbagai pendapat atau sudut pandang yang berbeda. Dalam musik saja, aku harus akui, bahwa aku dikala itu tidak terbuka sepenuhnya. Kebiasaan burukku adalah aku hanya mau mendengarkan apa yang menurutku bagus saja, dan kurang menghargai apa yang orang lain suka.

Tasya pernah memberikan referensi lagu mulai dari lagu yang pelan namun manis seperti lagu dari Plain White T’s yang berjudul ‘Hey There Delilah’dan ‘1, 2, 3, 4’, sampai lagu yang lumayan ‘keras’ dari Seether yang kali ini berduet dengan salah satu vokalis dari band gothic Evanescene, Amy Lee, yang berjudul ‘Broken’. Ia pernah memintaku untuk memainkannya kapan-kapan ketika latihan atau manggung.

Lalu, kini giliranku membagi referensi musikku kepadanya. Pertama-tama, aku memperdengarkan lagu band milik saudaraku melalui website yang menyediakan music streaming. Aku menyukai musiknya bukan karena itu band saudaraku, namun karena musiknya benar-benar kusukai. Mereka membuat lagu rock yang menurutku tak sulit untuk di dengarkan berbagai macam kalangan.

“Yang judulnya Over The Moon ini enak juga, ya..” sahut Tasya kemudian ketika habis mendengarkan lagu itu.

“Itu salah satu lagu favoritku dari mereka juga,” kataku. “Lagu itu yang buat sodara aku yang mirip Afgan. Tapi sekarang dia udah nggak pake kacamata sih, walaupun tetap ganteng. Idolanya para cewek-cewek, tapi dia perfeksionis.” Aku pun menjelaskan tentang saudaraku itu kepada Tasya.

“Aku suka lho lagunya,” ujar Tasya sambil menampakkan ekspresi senang.

“Liriknya juga romantis, lho,” aku pun memberikan link lirik lagu tersebut di fanpage facebooknya. “Aku nggak nyangka, dia orangnya padahal cool dan pendiem gitu, ternyata bisa bikin lagu dan lirik yang menurutku bagus.”

“Terus, kamu ada referensi band-band atau penyanyi lagi nggak?” tanyanya dengan senang.

“Ada sih,” kataku sambil melihat band-band yang ada di music player pada komputer Harrys. “Tapi agak keras dikit sih. Nggak apa-apa?”

“Coba dengerin dulu sini” jawabnya dengan tak sabar.

“Oke kalo begitu..” rasanya aku sudah menemukan salah satu band yang juga diperkenalkan oleh saudaraku itu, Kang Arel. “Coba cari lagunya breaking benjamin yang judulnya The Diary of Jane, I Will Not Bow, sama Give Me A Sign.”

“Eh, kok enak, ya?” balasnya beberapa menit kemudian, seakan takjub.

“Hehe asik, kan?” kataku dengan bangga.

“Dari kemaren aku nyari musik yang kayak gini nggak nemu-nemu soalnya..”

“Sayangnya jarang yang tau ini band,” kataku menyayangkan. Aku saja tak mengetahui band ini sampai beberapa bulan yang lalu ketika Kang Arel memberitahukanku tentang band itu. “Eiya, kamu coba buat akun last.fm deh..” kataku menyarankan untuk Tasya.

“Last.fm itu apa?” tanyanya dengan polos.

“Semacam scrobbling gitu,” ujarku mencoba menjelaskan. “Gampangnya kayak gimana, ya? Kayak kamu lagi dengerin lagu, terus di catet di websitenya itu..” lanjutku. “Nanti kamu bisa streaming dan dengerin radio juga.”

“Coba buatin aku dong..” balasnya dengan manja.

“Tapi aku masuk ranah privasi kamu dong?” kataku menolak pada awalnya. “Kamu coba aja masuk ke webnya, tinggal masukin e-mail, username, sama password.”

“Nggak apa-apa kok,” balasnya kemudian. “Kalo kamu emang nggak mau, nanti aku aja yang buka konfirmasi e-mailnya, tapi kamu yang buatin sekarang. Gimana?” tawarnya kemudian. Aku pun tak bisa menolak dan membuatkannya akun last.fm itu.

***


Sebentar lagi, Tasya akan berulang tahun yang ke-23. Rasanya, karena sepertinya kami disatukan oleh musik—atau lingkungan yang berhubungan dengan musik, aku ingin membelikan sebuah kado yang berhubungan dengan musik.

Berangkat dengan gagasan itu, keesokan harinya aku pergi bersama ayah, Harrys, dan Afi—yang masih menginap di rumahku—kesebuah toko musik yang menjual CD di daerah Sabang yang terkenal dengan CD dari band-band yang sangat lengkap, berbarengan setelah Harrys dan Afi yang ingin mampir ke tempat cukur yang cukup terkenal di daerah itu.

Awalnya, aku berniat untuk membeli CD album breaking benjamin yang konon menjadi band favoritnya Tasya sejak kemarin malam, namun sepertinya hal itu harus ku renungkan kembali. Satu-satunya CD mereka yang masuk ke Indonesia itu pun tak dapat kutemukan di tempat itu, sehingga aku mencari kembali CD dari band-band yang ia sukai.

Dari hampir seluruh abjad yang ada toko itu sudah kucari, hingga aku menemukan yang sekiranya akan sangat Tasya sukai: CD dari album ketiga paramore, Brand New Eyes.Aku pun langsung memutuskan untuk membeli CD tersebut dengan harapan semoga Tasya akan menyukainya. Walaupun aku bukan seorang yang pandai dengan hal-hal berbau romantis, tapi aku yakin jika seseorang dibelikan kado seperti apa yang seseorang itu suka, orang itu pasti akan senang.

Alasanku memilih lagu itu juga tak lebih karena aku sangat menyukai pendewasaan bermusik yang dialami paramore kala itu. Tema-temanya masih mengenai pembahasan kehidupan sehari-hari, ada juga yang membahas tentang cinta. Selain itu, aku juga memiliki album tersebut.

“Wah, lengkap banget ya di sini CD nya..” kata Afi yang ditemani Harrys dengan tatapan takjub. Mereka pun turut mencari-cari CD dari band yang mereka suka, dan ikut senang karena mereka banyak menemukannya.

Sementara mereka mencari-cari, aku masih mencoba bertanya kepada kasir di toko itu, “Disini bisa bungkus CD ini, nggak?” tanyaku sambil menunjukan CD yang sudah kubeli tadi. “Buat kado soalnya.” Jelasku kepada sang kasir.

“Bisa kok, Dek.” Kata kasir itu mengambil CD yang kusodorkan tadi dengan ramah. Aku tak menyangka, ternyata toko itu juga mau melayani jasa membungkus kado, bahkan mereka juga menjualnya, lho.

“Terima kasih, Mbak!” ucapku dengan senang. “Bayar lagi atau gimana?” tanyaku kemudian.

“Nggak usah kok, Dek.” Sang kasir itu membalas ucapanku dengan senyum ramahnya, membuat para pembeli di sini betah. “Sampai jumpa lagi, terima kasih sudah membeli!” kata kasir itu ketika kami keluar dari toko tersebut.

Sesampainya di rumah, aku meminta Afi dan Harrys ikut berpartisipasi untuk memberi sebuah kejutan dalam ulang tahun Tasya kali ini. Mereka pun segera menyetujui usulku itu. Harrys dan Afi menggambar sesuatu yang bertuliskan ucapan ‘Selamat Ulang Tahun’. Selain musik, tanpa disadari Afi dan Harrys juga sangat berbakat menggambar.

Tak mau kalah—walaupun aku tak jago—aku pun ikut membuat gambar potrait wajah manis Tasya dari salah satu foto saat ia masih menjadi seorang yang girly. Membutuhkan waktu lama untukku sampai gambar itu selesai, walaupun tak bisa dibilang bagus, tapi tak bisa juga dibilang jelek. Aku pun mendokumentasikan gambar itu dengan handphone milik ayahku, karena baru kali ini aku bisa menggambar yang menurutku tidak bisa dibilang jelek, karena menggambar bukanlah hal yang mudah menurutku.

***


Beberapa hari kemudian, ketika hari sekolah dimulai—tepat beberapa hari sebelum ulang tahun Tasya yang jatuh pada hari Senin, ada teman sekolahku yang dengan senang hati menemaniku mencari bingkai foto untuk membingkai gambar-gambar yang sudah kami buat pada hari sabtu kemarin
.
Entah mengapa ide aneh itu secara tiba-tiba muncul dari benakku.

“Lo emang mau minta gw temenin kemana, Man?” tanya temanku itu, Satria namanya.

“Nyari bingkai, Sat..” kataku ketika kami ditengah jalan di dalam bus. Untungnya, Satria tak banyak bertanya dan langsung menyutujui ajakanku itu. Aku mengajaknya karena arah jalan pulangnya sama denganku.

Kami pun turun di sebuah tempat yang tak jauh dari Pasar Jatinegara, tempat yang sangat ramai dengan para pedagang, dan mencari-cari tempat yang sekiranya menjual bingkai foto. Tak butuh waktu lama sampai kami menemukan tempat itu karena ketika kami berjalan turun dari bus, kami segera menemukan tempat yang menjual bingkai tersebut.

“Mas, ada ukuran bingkai yang seukuran sama kertas ini nggak?” tanyaku sambil mengeluarkan kertas yang sudah selesai kugambar itu.

“Ada kok, Dek.” Jawab penjual bingkai tersebut. “Mau yang model gimana bingkainya?” tanyanya sambil memperlihatkan koleksi bingkai-bingkai di tempat itu.

“Yang biasa aja, Mas.” Kataku karena bingung melihat koleksi-koleksi tersebut. “Bingkainya dua ya..”

Karena mungkin ia mengerti apa yang kumaksud dengan ‘yang biasa saja’ itu, ia segera mengambilkan bingkai tersebut dan mengambil kertas gambarku itu dengan sopan. “Bentar ya, Dek.” Ujarnya sambil mengukur-ukur.

“Nanti gw sekalian mampir ke rumah lo ya, Man” kata Satria yang ikut kebingungan melihat bingkai yang sangat banyak itu.

“Boleh, Sat.” Jawabku. “Bantu gw bungkusin kadonya tapi, ya?”

“Lo udah ada bungkus kadonya?” tanyanya kemudian.

“Ada, kok..” kataku sambil mengingat-ingat.

Ditengah-tengah perbincangan itu, pegawai yang bekerja tadi pun menghampiri kami, “Ini dua bingkainya udah, Dek.” Kata pegawai itu sambil memberikan dua bingkai itu.

“Makasih ya, Mas!” ujarku dengan senang sambil mengambil dompet untuk membayar sesuai dengan yang ada dikertas bon itu.
Kami pun pulang ke rumahku dengan berjalan kaki karena rumahku tak jauh dari toko bingkai tersebut.

Sesampainya di rumah, kami segera menuju teras dan mengambil peralatan yang sekiranya perlu untuk membungkus kado itu. Pertama, kami sama-sama memasukkan gambar itu pada masing-masing bingkai sampai semuanya terasa pas.

“Lo yang ngukur-ngukurin bungkusnya gimana, Sat?” tanyaku. “Gw nggak jago ngukur soalnya.” Kataku kemudian. “Ukurnya buat bungkus semuanya ya, Sat.”

“Yaudah, tolong ambilin penggaris sama pensilnya dong.” Katanya menyuruh. Ia pun melakukan pekerjaan dengan sangat baik dan teliti. Sekarang giliranku untuk membungkus seluruh kado itu menjadi satu. Setelah sekian lama mencoba, akhirnya aku bisa membungkus kado tersebut! Walaupun tidak serapih dengan yang dibungkus oleh sang kasir toko musik sewaktu aku membelikan cd untuknya, setidaknya aku telah mencoba.

***


“Masalah kado sepertinya sudah selesai” pikirku dalam hati. “Sekarang tinggal gimana kasih kejutannya, ya?” aku menanyakan pertanyaan itu secara terus menerus kepada diriku sendiri.

Sebenarnya, aku telah menyusun sebuah rencana untuk memberikan kejutan kepada Tasya, namun nampaknya aku terlalu pesimis untuk mewujudkannya, dan cenderung ragu, apakah itu ide yang bagus atau buruk.

Pertama, aku terpikir mengajak adiknya Tasya—Tafa, untuk ikut mengejutkan Tasya—karena ia seseorang yang sangat asyik dan bisa diajak untuk gila-gilaan.

Kedua, tentu saja aku meminta bantuan bandku. Karena Afi dan Harrys sudah tahu, sekarang hanya tinggal kuberi tahu Fadjri tentang rencanaku itu. Rencana yang tak boleh gagal! Kami mendiskusikan hal tersebut dalam sebuah chat group di facebook, dan turut mengundang Tafa dalam chat group tersebut. Mereka semua tentu saja sangat mendukung dan sibuk berdiskusi mengenai ulang tahun Tasya tersebut.

Saat sekiranya semua sudah yakin dengan rencana itu, pikiran pesimisku pun hadir lagi. Aku takut kalau rencana itu akan gagal....


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 18-09-2015 20:32
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.