Kaskus

Hobby

ketek.bersahajaAvatar border
TS
ketek.bersahaja
[Orifict] Arothellisius
[Orifict] Arothellisius

Daftar Isi

Karakter

Bagian Pertama "Bunga Perang"
01E01
01E02

Bagian Kedua "Pasir dalam Gengaman"
02E01
02E02

Bagian Ketiga "Api Beku"
03E01
03E02
03E03

Bagian Keempat "Akar Ilalang"






Diubah oleh ketek.bersahaja 27-12-2014 00:16
0
2.1K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
Fanstuff
KASKUS Official
1.9KThread343Anggota
Tampilkan semua post
ketek.bersahajaAvatar border
TS
ketek.bersahaja
#3
kaskus-image


Pada suatu hari datanglah raja Marandhier yang berhati kejam bersama dengan orang – orang kepercayaannya menemui raja tua Artosalies untuk kali ketiga menawarkan penaklukan secara damai tersirat. Saat itu Marandhier telah paham bahwa walaupun negri si raja tua Artosalies sangat makmur, namun dengan kekuatan kavaleri yang ia miliki, si raja tua itu pasti terkalahkan. Ia telah banyak menempatkan matanya di negri makmur itu. Dan mata majemuknya itu mengamati dari mana saja. Mulai dari bingkai benteng pinggir laut yang berbatu cadas hingga ke roti selai para penduduk negri itu. Marandhier paham kekuatannya sampai dimana. Lalu ia akan membunuh si raja tua itu dan semua keluarganya yang darah keluarga itu mengalir dalam tubuh mereka tanpa kecuali. Akan dia kejar sampai ke semua dimensi demi membumihanguskan darah – darah itu. Seperti yang selama ini ia telah lakukan pada semua raja yang menentang kekuasaannya dan juga termasuk pada anak sahabat si raja tua Artosalies, si raja gemuk, Boghomord yang pipi gemuknya kemerah – merahan dan semua darahnya yang mempunyai pipi yang sama dengan si gemuk Boghomord. Kalau saja ia tidak teringat akan kata – kata nasihat dari penasihatnya, pastilah tanpa buang waktu sudah dihabisinya darah – darah Artosalies itu tanpa sisa.

Raja Marandhier bersengaja mengatakan lagi bahwa mungkin hadiah – hadiah kemarin tidak sebanding dengan kemakmuran negri si raja tua, maka pantaslah hadiah – hadiah itu dikembalikan. Hal itu ia sebarluaskan melalui orang – orangnya dan ia lakukan demi menghasut pikiran orang – orang yang mendengarnya. Maka di hadapan raja tua Artosalies, ia bersiasat meminta maaf dan mempersembahkan hadiah – hadiah baru yang lebih sepadan dengan kemakmuran negri si raja tua.
Sambil berjalan – jalan di taman kastil kerajaan Pryore, Marandhier masih mencari celah untuk menyusup memataharangkan Artosalieis.

“Aku rasa sangatlah menarik bagi kita, untuk negri kita membangun kerjasama yang saling menguntungkan, bukankah begitu Raja Artosalies ?” Marandhier bersiasat, “dengan semua kebaikan negrimu dan negriku, kecuali jika engkau merasa aku atau negriku belumlah sepadan dengan keadaanmu atau negrimu barangkali.”

Walaupun raja Marandhier datang dengan membawa hadiah – hadiah yang lebih bagus, serta dengan alasan ingin menjadi sahabat negri, raja Artosalies telah paham maksud asli dari si kejam Marandhier. Ia melihat di pinggang si kejam itu terselip dalam sarung pedang yang indah bertahtakan permata, pedang terbaik dan terindah di seluruh pelosok, pedang yang hulunya dan sarung pedangnya bertahtakan bermacam jenis permata langka, itulah Tressailles pedang klan Rodhemoir, keluarga sahabatnya mendiang Raja Macon dan anaknya Raja Boghomord si pipi merah.

Boghomord sangat bangga akan pedang itu. Konon menurut pembawa kabar kemangkatan Boghomord, Tressailleslah yang digunakan untuk membantai klan yang menciptakan dirinya sebagai pedang terbaik dan terindah, yang seharusnya dibela. Dua putra kecil Boghomord dan satu putrinya yang kecil juga, dibantai terlebih dahulu. Lalu menyusul sang ratu Verrona, istri raja Boghomord yang cantik berwajah bulat dan berambut coklat terang, setelah itu barulah si kejam Marandhier menyembelih raja Boghomord si pipi merah yang berambut merah.

“Tressailles dibuat dengan tujuan mengangkat dan mengharumkan Cassa L’Moire. Ayah Boghomord, Raja Macon adalah teman karibku. Memang pada saat itu L’Moire berada pada waktu yang sulit dan suram. Tidak ada satupun negri yang sudi untuk bekerjasama dengan mereka. Namun begitu suramnya, L’Moire mampu bertahan. L’Moire menghabiskan banyak harta simpanan untuk membuat kebanggaannya,” ujar Artosalies akhirnya menjawab tawaran Marandhier

”tak kupercaya mendiang Raja Macon sengaja memberinya nama yang terdengar mirip namaku hanya karena ingin berterima kasih padaku, karena hanya aku yang mau menerima ajakan bekerja sama. Sampai ketika Tressailles selesai dibuat, semua negri ingin melihat dan menyentuhnya lalu mengajak bekerja sama dengan Cassa L’Moire. Pada akhirnya seakan – akan akulah yang memutuskan leher mereka, melalui pedang yang namanya menyerupai namaku.”

Artosalies masih teringat pada saat kabar itu datang padanya. Pembawa kabar itu adalah tukang pembawa minum raja Boghomord yang pada saat itu sedang pergi mengisi teko hingga penuh kembali. Dan pada saat ia kembali pada rajanya, terlihat dari celah sekat ruangan, si kejam Marandhier sedang membantai satu – persatu dengan sangat singkat. Maka bersembunyilah ia di belakang patung raja – raja dengan jantung serasa hampir pecah. Ia melihat rajanya, Boghomord, telah tergeletak mandi darah di atas permadani biru bersama dengan keluarganya yang lain, bersama mentri – mentrinya, bersama pelayan - pelayannya. Leher mereka semua putus dan ia masih ingat tawa jahat si kejam hati Marandhier sambil mengatakan bahwa si gemuk Boghomord telah sama keadaannya dengan anak babi gemuk yang dipanggang untuk hidangan jamuan yang sudah ia makan bersama – sama barusan tadi. Pembawa minum raja Boghomord menelan ludah ketakutan sambil tak sadar buang air kecil di celananya. Dan pada saat beberapa prajurit kavaleri si kejam hati Marandhier membereskan permadani biru beserta semua jasad yang ada disitu untuk digantung pada tiang – tiang besi dengan kaki terikat ke atas lalu dibakar bahkan sengaja dipertontonkan pada rakyatnya, sedangkan kepala – kepala mereka yang telah lepas dari tubuh – tubuh mereka ditancapkan pada tombak – tombak besi serta dibiarkan membusuk sepanjang waktu, pemberi minum itu dapat melarikan diri dari sana tanpa ketahuan, maka ia secepatnya bergegas menuju pada raja tua lembut hati Artosalies. Dan sampailah kejadian itu pada Artosalies.

“Pedang yang baik bukan berada di atas meja dengan kaki - kaki penyangga pedang yang berkilau untuk dipertontonkan pada semua orang. Pedang yang baik harus melaksanakan fungsinya. Aku rasa untuk itulah Tressailles bergantung di pinggangku. Apakah engkau melihatnya sebagai perhiasan belaka, seperti halnya perhiasan yang dikenakan oleh wanita ? Aku mengembalikan kehormatannya sebagaimana pedang yang seharusnya,” Marandhier menyahuti Artosalies sambil membangun benteng pertahanan. Artosalies tersenyum.

“Kehormatan Tressailles adalah memang diletakkan pada tempat yang seharusnya, pada prinsipnya memang kau benar Raja Marandhier, diberikan sesuai kadarnya, memang merupakan hak dari Tressailles, bila berlebih akan dapat dikatakan sebagai penghinaan dan dimiliki serta diwarisi oleh yang memang puannya, termasuk jalan untuk memperolehnya. Semua benda di dunia ini tidak akan pernah dimiliki secara kekal. Begitu kita meninggalkan dunia ini, benda – benda itu telah beralih puan. Entah memang di tangan yang berhak atau sekedar dipinjamkan atau bahkan memang bukan pada tempat seharusnya.” Artosalies menimpali Marandhier dengan sikapnya yang santun namun menggerogoti benteng pertahanan Marandhier.

“Bila pada akhirnya, di manapun benda – benda yang telah ditinggal mati pemiliknya itu berada, maka disitulah tempat seharusnya ia berada. Karena sudah merupakan garis perjalanannya.” Marandhier membela diri sambil sedikit mengancam.

“Setiap sesuatu terdapat perhitungannya, demikian juga pada setiap perjalanan.” Sahut Artosalies menegaskan sikapnya. Artosalies tetap pada keputusannya, untuk ketiga kalinya Marandhier tertolak. Marandhier tidak dapat menyembunyikan kegusarannya.

“Seperti sudah seringkali tampak pada semua hadiah – hadiahku yang hanya sekedar mampir melancong ke Pryore, melekatkan sedikit debu – debu Pryore, lalu kembali lagi pada kampung halamannya, Gordia, bersama aku lagi,” Marandhier membuat - buat rancangan alasan.

Dengan alasan bahwa ia tersinggung semua hadiah – hadiahnya dianggap belum setara dengan kemakmuran negri si tua Artosalies, lalu ditolak mentah – mentah supaya dibawa pulang kembali. Marandhier semakin menuding Artosalies adalah raja yang sudah menjadi pongah karena telah memiliki negri yang paling makmur.

“Kau terdengar seperti sangat patah hati. Apakah Pryore terlihat olehmu seperti seorang wanita yang sedang menolak lamaran cintamu ?,” ujar Artosalies menangkap basah kartu kunci permainan Marandhier. Marandhier mendengus.

“Kaulah yang membuat aku terlihat seperti sedang mengemis cinta Pryore.” ketus Marandhier.

“Yang menjadikan pengemis atau bukan adalah maksud hati, prinsip hidup, sikap dan jalan yang kau tempuh untuk mendapatkannya. Lelaki yang terhormat dengan sendirinya akan menempuh hal - hal yang terhormat pula. Aku yakin kau lelaki yang terhormat,” Artosalies makin menegaskan bahwa ia telah paham maksud sebenarnya dari Marandhier.

“Tidak lebih terhormat dari engkau, Raja Artosalies,” balas Marandhier dengan kesal bergumpal.

“Kau belum menyimak maksudku dengan baik, raja muda,” ujar Artosalies bersungguh – sungguh.

“Aku telah menyimaknya sehingga aku mengerti Gordia tidak sepadan dengan Pryore,” Marandhier berkelit.

Artosalies tersenyum sambil menggeleng – geleng,” ah sikapmu merajuk, seperti sedang tertolak wanita lagi. Seakan – akan tidak ada wanita lainnya lagi bagi Gordia.”

Sebenarnya ini adalah siasat Marandhier untuk menutupi maksud jahatnya. Artosalies tidak bergeming atas tuduhan palsu Marandhier. Demikian pula tiga putranya, Asden, Heglar, dan Vorsalies yang menjadi raja – raja bagian negri, juga satu putrinya, Aiglentine bersama suaminya yang berambut emas berkilauan, Daught. Mereka akan bersikap serupa. Artosalies berlega hati mengingat istrinya Hara telah lama wafat, sehingga tidak perlu mengalami peristiwa ini. Dalam pikirannya Artosalies telah mengambil keputusan. Namun Artosalies masih belum tuntas bertanya dalam hati pada dirinya sendiri, telah adilkah keputusannya kali ini dihadapan Rajanya, Tuhan Semesta Alam. Ia segera meminta ampun pada Rajanya dan memohon diilhamkan jalan terbaik untuk membulatkan tekad. Marandhier yang berhati kejam semakin gusar menerima kesantunan sikap Artosalies dan keluarganya. Hasutannya tak membawa hasil. Hingga pada akhirnya sesuatu yang meluapkan hatinya terucap dari Artosalies yang telah tahu tujuan Marandhier mendatanginya.

“Aku rasa semua hadiah yang kau berikan terlalu indah dan terlalu menyanjung. Aku telah tua, tidak ada lagi yang aku harapkan kecuali melihat orang – orangku, rakyatku menjalankan ajaran kehidupannya dengan lurus sehingga sikap hidup mereka dapat diandalkan dan membawa ketentraman dalam bernegara dan bermasyarakat. Aku tidak akan keberatan untuk membayar harga perjalanan hadiah – hadiahmu dari Gordia – Pryore – Gordia untuk sekedar melekatkan sedikit debu – debu Pryore,” Artosalies menolak Marandhier, “kalah atau menang, hidup atau mati. Tentukanlah waktunya.”

Sebuah kebersediaan apabila kemungkinan diadakan perang. Marandhier tak menunggu lama, inilah Artosalies yang telah ia giring masuk jebakannya untuk mengucapkan undangan perang yang akan ia sambangi. Dengan alasan yang masih sama, ia menyanggupi peperangan itu. Marandhier berkilah sesuai dengan alasan awalnya, yaitu akan berperang demi untuk membela kehormatan dirinya dan Gordia yang telah dijatuhkan oleh Artosalies melalui penolakan – penolakannya. Setelah sepakat lalu Marandhier kembali ke negrinya, Gordia, dengan hati masih meluap.
Artosalies pergi ke ruang kerjanya untuk menulis pernyataan terhadap rakyatnya bahwa ia akan berperang melawan Marandhier Raja Gordia yang menghendaki Pryore. Untuk itu ia menulis pada rakyatnya bahwa negrinya adalah karunia Tuhan, Raja yang Paling Kuasa di semesta alam, lebih kuasa dari dirinya yang hanya seorang raja di dunianya, ia adalah rakyat Tuhannya, maka ia akan terlebih dahulu berusaha membela apa yang telah Tuhannya karuniakan pada dirinya melalui jalan yang sebenarnya dan terhormat walaupun harus mempertaruhan nyawanya termasuk keluarganya. Karena ia adalah seorang raja di dunia yang diletakkan ditangannya para rakyat beserta hal yang lainnya, yang harus ia lindungi dan ia bina dengan tangannya, bukan digenggam hingga lumat dan hancur dengan tangannya. Karena semua itu adalah titah rajanya, Tuhan Yang Paling Kuasa, Raja Semesta Alam Raya. Seperti telah ditunaikan oleh para leluhurnya yang telah mengajarkannya kelembutan hati dan kesantunan serta tanggung jawab pada Tuhannya, Raja Semesta Alam Raya. Maka dari itu ia meminta maaf serta menjelaskan alasan untuk pengambilan keputusan berperang dan memohonkan kerelaan hati pada rakyatnya di ibukota atupun negri – negri bagian Pryore untuk melepaskan anggota – anggota keluarganya yang akan ikut berperang dengannya melawan Marandhier Raja Gordia demi untuk menempuh jalan penuh kehormatan baik menang atau pun kalah. Lalu apa yang akan terjadi kemudian adalah ketetapan Tuhan, Raja Semesta Alam Raya.

“Aku, Artosalies Raja Pryore dari klan Aubine tidak akan menyerah mundur sampai titik darah penghabisan. Semoga Tuhan, Raja Semesta Alam Raya beserta kita dan menentukan hal terbaik bagi Pryore, pahit atau pun manis.” Demikianlah Artosalies menutup pernyataan itu yang ia bacakan sendiri pada sore harinya dihadapan rakyat ibukota yang mencintainya.

Rakyatnya masih ingat dan tidak pernah lupa pernyataan – pernyataan yang pernah dibuat oleh Artosalies. Khususnya tentang Tuhan yang Paling Penyayang, yang Paling Pemurah, maka disebutlah raja di dunia adalah sebagai utusan Tuhan di dunia untuk memanjangkan sifat penyayang lagi pemurah itu sampai kepada para rakyatnya. Lalu rakyatnya meneruskannya sampai pada seluruh keluarganya dan sesamanya. Sehingga Tuhan Yang Paling Kuasa, Raja Semesta Alam Raya berkenan memberi kemakmuran dan kelimpahan untuk negrinya juga untuk penduduk negrinya. Semua itu dipatuhi olehnya dan oleh rakyatnya, sama seperti para leluhurnya dan leluhur pendahulu rakyatnya yang juga mematuhi leluhur – leluhurnya. Maka Pryore tak pernah kekurangan apapun. Bahkan semakin makmur.

Artosalies ada di balkon depan kamarnya memandang negrinya di waktu malam. Ia mengingat ketangguhan pasukan perangnya di bawah pimpinan menantunya yang berambut emas itu. Telah banyak raja tamak yang juga menginginkan Pryore sebelum Marandhier si raja rampok itu berjaya. Namun semua berhasil dimenangkan oleh Pryore, maka semakin luaslah negrinya. Artosalies tidak takut mati apabila nanti ia harus kalah dan mati, demikian juga keluarganya yang bersifat sama seperti dirinya. Juga putri kesayangannya, Aiglentine dan menantunya si rambut emas, suami dari Aiglentine, Daught, yang tak lain adalah panglima perang tertinggi negrinya. Yang ia harapkan rakyatnya tak pernah lelah untuk menegakkan ajaran kebenaran yang ia ajarkan. Ia berharap Tuhan berkenan memberi negrinya pemimpin lurus hati sebagai pengganti dirinya, bila ia dan keluarganya harus tewas kelak, supaya rakyatnya tidak tergenggam lumat oleh tangan – tangan rampok Marandhier.






Diubah oleh ketek.bersahaja 24-12-2014 16:09
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.