- Beranda
- Stories from the Heart
Kereta terakhir ke kamar kita
...
TS
rahan
Kereta terakhir ke kamar kita
Quote:
Diubah oleh rahan 17-02-2016 01:29
anasabila memberi reputasi
1
28.8K
213
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
rahan
#182
Update Kembara Hati
EPISODE 4: SOMEWHERE ONLY WE KNOW - 30 SEPTEMBER 2009
Mama dan tante Wina terus berciuman. Bukan ciuman biasa. Ciuman bibir.Dan terus seperti itu selama beberapa saat.
Tapi Fiona kecil lebih terkejut lagi saat menyadari ada seseorang mengintip dari kaca jendela luar. Seorang lelaki!
Ia tak begitu jelas siapa lelaki tersebut dan tampaknya Mama dan tante Wina yang kini sudah bergulingan di sofa ruang tamu, juga tidak menyadari bahwa ada bayangan yang mengamati mereka dan bahwa tirai putih itu sama sekali tak menutupi tingkah polah mereka.
Beberapa detik kemudian, kaca ruang tamu tersebut pecah berantakan berkeping-keping.
Fiona kecil merapatkan pintu kamarnya dan hanya ada sedikit celah tersisa untuknya melihat apa yang sebenarnya terjadi. Pria yang menghantam kaca ruang tamu dengan kursi teras tersebut tak lain adalah ayahnya!
Tante Wina berlari menghambur ke arah pintu belakang, masuk ke kamarnya.
"Dasar wanita jalang!" pekik ayahnya penuh amarah.
"Sam! Jangan salah .." tapi belum selesai Mama berucap tangan ayahnya menjambak rambut Mama dengan kasarnya.
"Plaaak!" Tamparan sangat kuat menghantam wajah mama hingga darah langsung mengucur dari bibir Mama.
Fiona kecil mulai menangis ketakutan di kamarnya. Tapi ia mencoba sebisanya untuk tak bersuara.
Mama terkulai lemas di sofa. Menangis dan menahan nyeri yang sangat.
"Kamu pikir aku tak tahu gila kamu kumat lagi!" pekik sang ayah.
"Wina! Buka pintu. Biar aku beri pelajaran agar kau tak ikut gila seperti kakak iparmu ini!"
Fiona kecil menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Ia tak tahu lagi apa yang terjadi di hari itu. Ia hanya ingat setelah hari itu Tante Wina wajahnya babak belur lebam biru dan dirawat oleh Mama. Sedangkan sang ayah sejak hari itu, tak pernah lagi terdengar kabar beritanya. Pria itu meninggalkan Mama dan dirinya untuk selamanya.
Fiona tersadar dari lamunannya. Terbaring di kamar tidurnya, Matanya nanar menatap langit - langit. Setiap pagi selalu sama seperti ini. Menerawang. Ingatan pahit yang tak pernah bisa dihapuskan. Hidup tapi penuh dengan tanda tanya. Raine ada di luar saat ini. Orang yang paling ia sayangi ada di luar kamarnya saat ini. Dan ia tak tahu harus berbuat apa.
Mereka tadinya hanya teman sekolah biasa saat kecil. Dari SD selalu bersama. Lumrah bila mereka akrab. Tapi semua berubah saat ia duduk di bangku SMP. Saat peristiwa itu terjadi. Dulu ia selalu gemetar mengingat semua kegilaan mengerikan itu. Sekarang sudah tidak terlalu. Tapi memori itu terlalu pekat dan nyata untuk bisa dilupakan dan secara tak sadar ia mulai menganggap bahwa hubungan antara pria dan wanita terlalu riskan untuk dijalani.
"Fio." Suara Raine memanggilnya pelan dari luar kamar. "Udah bangun belum sih? Sini dong."
Fio pun bangkit dari pembaringan, menuju ke si pemilik suara.
"Lo katanya mau bantuin gw cari Sierra?" Raine bertanya.
Fio diam saja. Berdiri. Tak menjawab. Lalu beranjak ke kulkas, membuka sekaleng bir dingin dan meminumnya hingga tandas.
Raine hanya memperhatikan.
"Raine, kalo gw suka sama lo. Bener-bener suka. Lo gimana?"
"Oh my god! This again? Kenapa sih lo terobsesi banget sekarang ngomongin yang kaya ginian? Maksudnya apa?" Raine menjawab dengan tak sabaran.
"Ya, maksud gw, lo sama gw. Kita hidup bareng terus. Sama-sama terus sampai tua."
"Jadi... Lesbi?" Raine bertanya dengan tak yakin.
Fiona mengangguk.
Raine cuma tersenyum simpul.
"Ini lo, miss-nya dimananya sih? Bagian mananya sih yang lo nggak ngerti Fio. Bagian pelajaran biologinya? Apa bagian pelajaran agamanya? Apa bagian ilmu sosialnya? Yang lo nggak ngerti tuh di bagian yang mananya sampe bisa berpikiran dan keluarin omongan kaya begitu?"
"Maksud lo?"
"Maksud gw, biologi, masalah seksual dan kenikmatan seksual, serta masalah reproduksi. Agama: Sodom, Gomorrah, Konsep Azab, Konsep Dosa. Sosial, lo pikir hidup model begitu di Indonesia ini bisa tenang? Mungkin lo bisa cuek, tapi bisa dipastikan hidup lo bakal penuh tekanan dari masyarakat."
"I don't think anyone need to know. This is our life."
"Ya sekarang lo ngomongnya begitu. Tapi lo nggak bisa menihilkan masyarakat begitu saja. Lo ga bisa keluar rumah telanjang bulat. Lo ga bisa nyanyi teriak-teriak 24 jam. Manusia selalu pengen dianggap ama orang-orang sekitarnya. Itu fitrah. Makanya kita beli rumah, beli mobil dan pakai baju."
"Gw ga mikir dari semua segi itu sih."
"Lah terus lo mikir dari segi apa?"
"Gw pengen ngejaga lo."
Raine bingung. "Dari? Dari siapa?"
"Dari Sierra," ucap Fio pelan.
"Loh? Emang Sierra kenapa? Emang lo kenal dia?" cecar Raine.
"Enggak, gw ngga kenal dia. Tapi dia itu laki-laki, dan menurut gw laki-laki bisa jadi sangat berbahaya. Dan gw ga mau liat lo disakitin."
Raine tidak buru-buru menanggapi kali ini. Ia bisa lihat dengan jelas bahwa Fiona benar-benar tulus dengan semua kata-katanya barusan.
Setelah diam beberapa saat, ia melambaikan tangannya meminta Fio duduk di dekatnya.
"Fio, gw cari Sierra bukan karena gw cinta mati sama dia. Bukan. Bukan karena gw mau buru-buru jadiin dia suami gw. Itu juga bukan. Sekarang ini, selama ini, dan lo tau kan, sejak kejadian hari itu. Hati gw terperangkap Fio. Gw lengah. Jadi hati gw dicuri. Dan kalo gw ga bisa nemuin lagi orang ini, si Sierra ini, gw khawatir gw selamanya bakal hidup dalam bayang-bayang, dalam sesalan. Dan gw engga mau kaya gitu. Dan .. ya gw juga terimakasih banget Fio, yang lo bilang barusan, bahwa lo mau jaga gw. Lo sayang gw. Tapi terlepas dari itu semua, hati gw masih menuntut untuk ketemu satu kali lagi senggaknya sama pria itu. Untuk bisa lihat, apa ada yang bisa diperjuangkan dari semua ini. Lo bisa ngertiin gw kan? Lo mau kasi tau gw apa yang lo tau tentang Sierra?"
Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar itu Fiona hanya tersenyum.
"Lo nggak kasian sama gw ya?"
"Maksud lo?" tanya Raine.
Selintas tersirat keinginannya untuk menceritakan semua tragedi kelam yang ia alami di masa kecilnya kepada karibnya itu. Tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin hanya mengemis empati dari orang yang ia sayangi itu. Ia masih punya harga diri. Jadi ia hanya tersenyum simpul.
"Raine, you know what?"
"Apa?"
"Gw akan kasi tau lo yang gw tau tentang Sierra. Tapi gw mau lo comblangin gw sama si Max, mantan lo itu."
"Hah? Si Max? Koq?" Raine melongo.
"Tadi gw bilang gw mau jadi lesbi sama lo, lo gak mau bla-bla-bla. Sekarang gw mau coba sama cowok, dan kayanya mantan lo itu orang baik-baik. Lo udah nggak ada rasa sama dia kan? Ada keberatan lain?"
"Ya nggak sih, cuma aneh aja Fio. Lo kan ga kenal siapa dia?"
"Ya makanya gw minta lo comblangin gw. Apa gw mesti cari cowok di biro jodoh? Mulai dari yang deket ajalah. Gw udah liat dia, gw udah tau sedikit banyaknya kaya apa. Lo sama dia putus bukan salah gw. Nah. Ngga ada yang salah kan dengan gw mau kenalan sama Max? Ayolah, win-win solution. Lo dapet Sierra. Gw dapet Max."
"Ih, lo sakit lo ya? Mana ada cewek mau sama mantan temennya."
"Ah ga masalah. Orangnya ganteng, baek gitu koq. Lo aja yang keblinger sama si Sierra. Udah gih buruan comblangin gw. Biar beres urusannya."
Pada akhirnya Fio mencoba untuk pertama kalinya membuka diri terhadap pria. Dan ia yakin, antara dirinya dan Raine tidak terlalu jauh berbeda. Tapi ia juga cerdas dan sadar, bahwa ia tak bisa menghalangi pertemuan Raine dan Sierra untuk selamanya, tak adil bila ia lakukan itu pada orang yang disayanginya. Dan dengan besarnya kemungkinan mereka akan bahagia dan saling mencintai, Fiona akan kembali sendirian, terlupakan, dan kehilangan itu akan datang satu kali lagi. Mungkin kali ini ia menyadari bahwa kapalnya sedang tenggelam, dan mencoba mendekati Max, artinya sama dengan meraih pelampung terdekat yang terlihat, untuk menyelamatkan diri agar tidak hanyut tenggelam diluluh lantak arus nestapa, saat orang yang kita sayangi berbahagia dengan orang lain.
Max mengangkat telponnya setengah tak percaya.
"Raine?"
"Max, dengar aku baik-baik."
"Ya, aku mendengarkan."
"A friend of mine, Fiona, she wants to know you. Is it okay with you?"
"Ha?" Max bingung.
""A friend of mine, Fiona, she wants to know you. Is it okay with you?" Raine mengulangi.
"Oh yeah, well, it's okay I guess." Max akhirnya mengiyakan.
"Well, thank you Max. She'll see you soon enough. I've given her your office address and phone number. Bye Max." Raine memutuskan panggilan tersebut.
"You hear that Fio? It's a done deal."
Fio tersenyum dan masuk ke kamarnya. Mengambil dompetnya, mengeluarkan kartu nama studio musik profesional yang dikelola Sierra dan Lowry. Menyerahkan kartu nama tersebut pada Raine. "You can find your Sierra here."
Raine menerima kartu nama itu dengan debar kencang di dadanya.
Hari sudah sore dan bel pulang berdentang kencang dari sekolah tersebut.
Lowry menunggu Kikan di pelataran parkiran sekolah. Tak berapa lama, yang ditunggu datang dengan jalan sangat pelan. Sekolah baru saja masuk setelah libur hari raya lebaran beberapa waktu lamanya. Tapi bagi Kikan, semua itu tak ada artinya, karena hubungannya dengan Sierra kandas berkeping-keping. Tak ada raut bahagia sama sekali di wajahnya sore itu.
Lowry pun menyadari hal tersebut, jadi ia memutuskan untuk diam saja selama perjalanan berkendara pulang.
Sesampainya di depan rumah Kikan, Lowry bergegas membukakan pintu mobil untuk Kikan, dan ia membantunya agar bisa menggunakan penopangnya dengan baik.
"Udah ga usah, aku bisa sendiri Kak Low."
"Kamu masih marah ya?"
"Enggak."
"Koq diam aja?"
"Aku udah mikir semalaman."
"Tentang?"
"Tentang Kak Low." ucap Kikan.
"Aku kenapa?"
"Aku nggak bisa jadian sama Kak Low."
Lowry tak bersuara mendengar kalimat itu.
"Aku nggak bisa lupain Kak Sierra, kalau aku terus ketemu Kak Low, terus sama Kak Low. Kak Low bisa ngerti kan?"
Yang ditanya memalingkan wajahnya ke arah lain. Melempar pandangan kosong.
"Kita anggap aja Kikan nggak pernah kenal Kak Low ataupun Kak Sierra. Mungkin nanti juga Kikan mau berangkat ke luar. Terlalu menyakitkan disini."
Kedua tangan Lowry mengepal. Matanya memerah sekuat tenaga menahan tetesan air mata.
"Sigh, kamu benar Kikan. Terlalu menyakitkan disini." keluhnya.
Lowry pun bergegas masuk ke mobilnya ingin secepatnya meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Lowry, Kikan masih tetap berdiri di situ. berderai air mata. Teringatkan saat pertama ia bertemu dengan Lowry dan Sierra. Betapa Sierra tak pernah betul-betul memperhatikan dirinya, dan betapa Lowry selalu menatapnya dengan mata berbinar. Kikan tahu ia mengambil keputusan yang salah dengan mengidolakan Sierra saat itu. Ia menangis sekarang karena ia tahu ia juga mengambil keputusan yang salah hari ini, mencampakkan perasaan Lowry begitu saja. Tapi itu keputusan yang harus ia ambil untuk tidak terluka lebih jauh lagi.
Fiona di kamarnya menekan-nekan tombol HP. Mengirim SMS pertamanya kepada Max.
"Hi Max, this is Fiona, I know you from Raine. Can we meet sometime soon?"
Dan menunggu balasan pesan tersebut.
Oh, simple thing, where have you gone?
I'm getting old, and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired, and I need somewhere to begin
I'm getting old, and I need something to rely on
So tell me when you're gonna let me in
I'm getting tired, and I need somewhere to begin
Mama dan tante Wina terus berciuman. Bukan ciuman biasa. Ciuman bibir.Dan terus seperti itu selama beberapa saat.
Tapi Fiona kecil lebih terkejut lagi saat menyadari ada seseorang mengintip dari kaca jendela luar. Seorang lelaki!
Ia tak begitu jelas siapa lelaki tersebut dan tampaknya Mama dan tante Wina yang kini sudah bergulingan di sofa ruang tamu, juga tidak menyadari bahwa ada bayangan yang mengamati mereka dan bahwa tirai putih itu sama sekali tak menutupi tingkah polah mereka.
Beberapa detik kemudian, kaca ruang tamu tersebut pecah berantakan berkeping-keping.
Fiona kecil merapatkan pintu kamarnya dan hanya ada sedikit celah tersisa untuknya melihat apa yang sebenarnya terjadi. Pria yang menghantam kaca ruang tamu dengan kursi teras tersebut tak lain adalah ayahnya!
Tante Wina berlari menghambur ke arah pintu belakang, masuk ke kamarnya.
"Dasar wanita jalang!" pekik ayahnya penuh amarah.
"Sam! Jangan salah .." tapi belum selesai Mama berucap tangan ayahnya menjambak rambut Mama dengan kasarnya.
"Plaaak!" Tamparan sangat kuat menghantam wajah mama hingga darah langsung mengucur dari bibir Mama.
Fiona kecil mulai menangis ketakutan di kamarnya. Tapi ia mencoba sebisanya untuk tak bersuara.
Mama terkulai lemas di sofa. Menangis dan menahan nyeri yang sangat.
"Kamu pikir aku tak tahu gila kamu kumat lagi!" pekik sang ayah.
"Wina! Buka pintu. Biar aku beri pelajaran agar kau tak ikut gila seperti kakak iparmu ini!"
Fiona kecil menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Ia tak tahu lagi apa yang terjadi di hari itu. Ia hanya ingat setelah hari itu Tante Wina wajahnya babak belur lebam biru dan dirawat oleh Mama. Sedangkan sang ayah sejak hari itu, tak pernah lagi terdengar kabar beritanya. Pria itu meninggalkan Mama dan dirinya untuk selamanya.
Fiona tersadar dari lamunannya. Terbaring di kamar tidurnya, Matanya nanar menatap langit - langit. Setiap pagi selalu sama seperti ini. Menerawang. Ingatan pahit yang tak pernah bisa dihapuskan. Hidup tapi penuh dengan tanda tanya. Raine ada di luar saat ini. Orang yang paling ia sayangi ada di luar kamarnya saat ini. Dan ia tak tahu harus berbuat apa.
Mereka tadinya hanya teman sekolah biasa saat kecil. Dari SD selalu bersama. Lumrah bila mereka akrab. Tapi semua berubah saat ia duduk di bangku SMP. Saat peristiwa itu terjadi. Dulu ia selalu gemetar mengingat semua kegilaan mengerikan itu. Sekarang sudah tidak terlalu. Tapi memori itu terlalu pekat dan nyata untuk bisa dilupakan dan secara tak sadar ia mulai menganggap bahwa hubungan antara pria dan wanita terlalu riskan untuk dijalani.
"Fio." Suara Raine memanggilnya pelan dari luar kamar. "Udah bangun belum sih? Sini dong."
Fio pun bangkit dari pembaringan, menuju ke si pemilik suara.
"Lo katanya mau bantuin gw cari Sierra?" Raine bertanya.
Fio diam saja. Berdiri. Tak menjawab. Lalu beranjak ke kulkas, membuka sekaleng bir dingin dan meminumnya hingga tandas.
Raine hanya memperhatikan.
"Raine, kalo gw suka sama lo. Bener-bener suka. Lo gimana?"
"Oh my god! This again? Kenapa sih lo terobsesi banget sekarang ngomongin yang kaya ginian? Maksudnya apa?" Raine menjawab dengan tak sabaran.
"Ya, maksud gw, lo sama gw. Kita hidup bareng terus. Sama-sama terus sampai tua."
"Jadi... Lesbi?" Raine bertanya dengan tak yakin.
Fiona mengangguk.
Raine cuma tersenyum simpul.
"Ini lo, miss-nya dimananya sih? Bagian mananya sih yang lo nggak ngerti Fio. Bagian pelajaran biologinya? Apa bagian pelajaran agamanya? Apa bagian ilmu sosialnya? Yang lo nggak ngerti tuh di bagian yang mananya sampe bisa berpikiran dan keluarin omongan kaya begitu?"
"Maksud lo?"
"Maksud gw, biologi, masalah seksual dan kenikmatan seksual, serta masalah reproduksi. Agama: Sodom, Gomorrah, Konsep Azab, Konsep Dosa. Sosial, lo pikir hidup model begitu di Indonesia ini bisa tenang? Mungkin lo bisa cuek, tapi bisa dipastikan hidup lo bakal penuh tekanan dari masyarakat."
"I don't think anyone need to know. This is our life."
"Ya sekarang lo ngomongnya begitu. Tapi lo nggak bisa menihilkan masyarakat begitu saja. Lo ga bisa keluar rumah telanjang bulat. Lo ga bisa nyanyi teriak-teriak 24 jam. Manusia selalu pengen dianggap ama orang-orang sekitarnya. Itu fitrah. Makanya kita beli rumah, beli mobil dan pakai baju."
"Gw ga mikir dari semua segi itu sih."
"Lah terus lo mikir dari segi apa?"
"Gw pengen ngejaga lo."
Raine bingung. "Dari? Dari siapa?"
"Dari Sierra," ucap Fio pelan.
"Loh? Emang Sierra kenapa? Emang lo kenal dia?" cecar Raine.
"Enggak, gw ngga kenal dia. Tapi dia itu laki-laki, dan menurut gw laki-laki bisa jadi sangat berbahaya. Dan gw ga mau liat lo disakitin."
Raine tidak buru-buru menanggapi kali ini. Ia bisa lihat dengan jelas bahwa Fiona benar-benar tulus dengan semua kata-katanya barusan.
Setelah diam beberapa saat, ia melambaikan tangannya meminta Fio duduk di dekatnya.
"Fio, gw cari Sierra bukan karena gw cinta mati sama dia. Bukan. Bukan karena gw mau buru-buru jadiin dia suami gw. Itu juga bukan. Sekarang ini, selama ini, dan lo tau kan, sejak kejadian hari itu. Hati gw terperangkap Fio. Gw lengah. Jadi hati gw dicuri. Dan kalo gw ga bisa nemuin lagi orang ini, si Sierra ini, gw khawatir gw selamanya bakal hidup dalam bayang-bayang, dalam sesalan. Dan gw engga mau kaya gitu. Dan .. ya gw juga terimakasih banget Fio, yang lo bilang barusan, bahwa lo mau jaga gw. Lo sayang gw. Tapi terlepas dari itu semua, hati gw masih menuntut untuk ketemu satu kali lagi senggaknya sama pria itu. Untuk bisa lihat, apa ada yang bisa diperjuangkan dari semua ini. Lo bisa ngertiin gw kan? Lo mau kasi tau gw apa yang lo tau tentang Sierra?"
Setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar itu Fiona hanya tersenyum.
"Lo nggak kasian sama gw ya?"
"Maksud lo?" tanya Raine.
Selintas tersirat keinginannya untuk menceritakan semua tragedi kelam yang ia alami di masa kecilnya kepada karibnya itu. Tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin hanya mengemis empati dari orang yang ia sayangi itu. Ia masih punya harga diri. Jadi ia hanya tersenyum simpul.
"Raine, you know what?"
"Apa?"
"Gw akan kasi tau lo yang gw tau tentang Sierra. Tapi gw mau lo comblangin gw sama si Max, mantan lo itu."
"Hah? Si Max? Koq?" Raine melongo.
"Tadi gw bilang gw mau jadi lesbi sama lo, lo gak mau bla-bla-bla. Sekarang gw mau coba sama cowok, dan kayanya mantan lo itu orang baik-baik. Lo udah nggak ada rasa sama dia kan? Ada keberatan lain?"
"Ya nggak sih, cuma aneh aja Fio. Lo kan ga kenal siapa dia?"
"Ya makanya gw minta lo comblangin gw. Apa gw mesti cari cowok di biro jodoh? Mulai dari yang deket ajalah. Gw udah liat dia, gw udah tau sedikit banyaknya kaya apa. Lo sama dia putus bukan salah gw. Nah. Ngga ada yang salah kan dengan gw mau kenalan sama Max? Ayolah, win-win solution. Lo dapet Sierra. Gw dapet Max."
"Ih, lo sakit lo ya? Mana ada cewek mau sama mantan temennya."
"Ah ga masalah. Orangnya ganteng, baek gitu koq. Lo aja yang keblinger sama si Sierra. Udah gih buruan comblangin gw. Biar beres urusannya."
Pada akhirnya Fio mencoba untuk pertama kalinya membuka diri terhadap pria. Dan ia yakin, antara dirinya dan Raine tidak terlalu jauh berbeda. Tapi ia juga cerdas dan sadar, bahwa ia tak bisa menghalangi pertemuan Raine dan Sierra untuk selamanya, tak adil bila ia lakukan itu pada orang yang disayanginya. Dan dengan besarnya kemungkinan mereka akan bahagia dan saling mencintai, Fiona akan kembali sendirian, terlupakan, dan kehilangan itu akan datang satu kali lagi. Mungkin kali ini ia menyadari bahwa kapalnya sedang tenggelam, dan mencoba mendekati Max, artinya sama dengan meraih pelampung terdekat yang terlihat, untuk menyelamatkan diri agar tidak hanyut tenggelam diluluh lantak arus nestapa, saat orang yang kita sayangi berbahagia dengan orang lain.
Max mengangkat telponnya setengah tak percaya.
"Raine?"
"Max, dengar aku baik-baik."
"Ya, aku mendengarkan."
"A friend of mine, Fiona, she wants to know you. Is it okay with you?"
"Ha?" Max bingung.
""A friend of mine, Fiona, she wants to know you. Is it okay with you?" Raine mengulangi.
"Oh yeah, well, it's okay I guess." Max akhirnya mengiyakan.
"Well, thank you Max. She'll see you soon enough. I've given her your office address and phone number. Bye Max." Raine memutuskan panggilan tersebut.
"You hear that Fio? It's a done deal."
Fio tersenyum dan masuk ke kamarnya. Mengambil dompetnya, mengeluarkan kartu nama studio musik profesional yang dikelola Sierra dan Lowry. Menyerahkan kartu nama tersebut pada Raine. "You can find your Sierra here."
Raine menerima kartu nama itu dengan debar kencang di dadanya.
-- // --
Hari sudah sore dan bel pulang berdentang kencang dari sekolah tersebut.
Lowry menunggu Kikan di pelataran parkiran sekolah. Tak berapa lama, yang ditunggu datang dengan jalan sangat pelan. Sekolah baru saja masuk setelah libur hari raya lebaran beberapa waktu lamanya. Tapi bagi Kikan, semua itu tak ada artinya, karena hubungannya dengan Sierra kandas berkeping-keping. Tak ada raut bahagia sama sekali di wajahnya sore itu.
Lowry pun menyadari hal tersebut, jadi ia memutuskan untuk diam saja selama perjalanan berkendara pulang.
Sesampainya di depan rumah Kikan, Lowry bergegas membukakan pintu mobil untuk Kikan, dan ia membantunya agar bisa menggunakan penopangnya dengan baik.
"Udah ga usah, aku bisa sendiri Kak Low."
"Kamu masih marah ya?"
"Enggak."
"Koq diam aja?"
"Aku udah mikir semalaman."
"Tentang?"
"Tentang Kak Low." ucap Kikan.
"Aku kenapa?"
"Aku nggak bisa jadian sama Kak Low."
Lowry tak bersuara mendengar kalimat itu.
"Aku nggak bisa lupain Kak Sierra, kalau aku terus ketemu Kak Low, terus sama Kak Low. Kak Low bisa ngerti kan?"
Yang ditanya memalingkan wajahnya ke arah lain. Melempar pandangan kosong.
"Kita anggap aja Kikan nggak pernah kenal Kak Low ataupun Kak Sierra. Mungkin nanti juga Kikan mau berangkat ke luar. Terlalu menyakitkan disini."
Kedua tangan Lowry mengepal. Matanya memerah sekuat tenaga menahan tetesan air mata.
"Sigh, kamu benar Kikan. Terlalu menyakitkan disini." keluhnya.
Lowry pun bergegas masuk ke mobilnya ingin secepatnya meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Lowry, Kikan masih tetap berdiri di situ. berderai air mata. Teringatkan saat pertama ia bertemu dengan Lowry dan Sierra. Betapa Sierra tak pernah betul-betul memperhatikan dirinya, dan betapa Lowry selalu menatapnya dengan mata berbinar. Kikan tahu ia mengambil keputusan yang salah dengan mengidolakan Sierra saat itu. Ia menangis sekarang karena ia tahu ia juga mengambil keputusan yang salah hari ini, mencampakkan perasaan Lowry begitu saja. Tapi itu keputusan yang harus ia ambil untuk tidak terluka lebih jauh lagi.
--//--
Fiona di kamarnya menekan-nekan tombol HP. Mengirim SMS pertamanya kepada Max.
"Hi Max, this is Fiona, I know you from Raine. Can we meet sometime soon?"
Dan menunggu balasan pesan tersebut.
And if you have a minute, why don't we go
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don't we go
Somewhere only we know?
Talk about it somewhere only we know?
This could be the end of everything
So why don't we go
Somewhere only we know?
'SOMEWHERE ONLY WE KNOW'
Diubah oleh rahan 21-12-2014 13:44
0