Namaku Boy. Lelaki tampan yang terlahir ganteng di dunia. Meski aku dari keluarga biasa, aku percaya tampanku luar biasa.

Lama sudah aku patah hati dan aku sudah bosan merasakannya. Pagi ini aku bersiap-siap berangkat ke sekolah sembari menyanyikan lagunya Johnny Iskandar. Aku bukan pengemis cintaaaaaaaa~ yang harus selalu mengalah...~ teroret..

Ya Riyani, bulan-bulan berlalu, tahun berganti. Tak terasa patah hatiku terobati. Putus cinta itu soal biasa, aku tak putus asa. ~sambil pegang roll rexona diumpamakan mic.

Aku tahu kau pasti bertanya-tanya dalam hati. Setiap hari yang kupikirkan cuma cintaaaa saja, gimana sekolahnya. Well, sekolahku baik-baik saja. Bangunannya tetap megah berdiri tanpa ada yang namanya gempa bumi. Dan diriku ini tetap pintar dan kece badai.

Hati ini boleh patah, tapi semangat tidak. Cinta ini boleh hancur, tapi tampanku tidak. Kataku dalam hati memotivasi diri sendiri sambil dandan di depan kaca.

Semenjak pertama kali diriku ini melihat video klip My Chemical Romance yang berjudul Helena di MTV, aku menyadari ternyata ada cara lain yang lebih cool, keren, dan tampan untuk patah hati. Semangat juang 45 yang berkobar ini lah yang mengembalikan semangat hidupku. Meskipun kini aku tahu sebenarnya tak ada sangkut pautnya lagu Helena itu dengan patah hati, namun setidaknya dulu aku bisa kembali ceria.

Kusibakkan rambut panjangku yang bergaya sok rock n roll. Pagi itu aku merasa lebih gaul daripada Joe Amstrong. Kupakai celana abu-abuku yang berbentuk pensil. Aku ingat betul ekspresi si Cepot saat melihat celanaku kemarin. Seperti melihat orang-orangan sawah dia bilang. Si Endro beda lagi, dia bilang aku bisa ditangkap polisi. Ketika kutanya mengapa? Karena di kakiku ada dua pensil katanya.

Ya, kala itu memang belum trend celana model menyempit. Anak-anak lelaki saat itu masih merasa keren dengan model celana besar dan kedodoran dibawahnya, sudah bagai sarung sajalah pokoknya. Tapi itulah kenapa aku memakai celana pensil. Karena aku berbeda.



Aku berjalan menuju kelasku, dua cewek adek kelas tampak duduk dan saling berbisik sembari menutupi mulut dengan tangan imut mereka. Kulirik sepintas ketika melewati mereka, kece juga. Aku tersenyum sembari mengangkat satu alis, menggoda. Keduanya pun cekikikan sembari cepat-cepat berpaling.

Ya, bolehlah aku patah hati. Tapi tak akan kulewatkan masa SMAku dengan bersedih diri.