- Beranda
- Stories from the Heart
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.
...
TS
pijar88
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.


Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By geabeautycare►serem bgt gan baca ceritanya mlm2 gini
Quote:
Original Posted By heymeymey►Idiiih cerita horor dari agan pijar,mantau trus ah pasti jadi ht nih
Quote:
Original Posted By hag3maru►udah ane cendolin gan buat penambah semangat
Quote:
Original Posted By emakotonk►ini suasana nya mirip daerah ane gan tegal laka2 tempo doeloe. ada gobak sodor ingkling.
Quote:
Original Posted By f.erge►gelar tikar dulu gan. baru nyampe bagian 3. keren dah om pijar
Quote:
Original Posted By doa.mamah.papah►nyimak di thread agan pijar lagi 

Quote:
Original Posted By km.airlangga►Ninggalin jejak. keren tulisannya
Quote:
Original Posted By archdrex46►Ijin gelar tiker plus ngampar gan...
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Quote:
Original Posted By R310s►seru nih,pling demen sm yg berbau mistik
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
Quote:
Original Posted By Kaijjinmaru►Mantaapp..ikutan gelar tiker dah dimarih
Quote:
Original Posted By Balater►dilanjut skrg aja gan, tanggung nuh penasaran..
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga

Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By morena90►Kata tiap kata di cerita ini mantep bener dah ga ada duanya emg agan pijar 88
Quote:
Original Posted By tins2000►Ikut nyimak gan, kayaknya rame cerita mistis/magis dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono dari kesenian sintren tsb. 

Quote:
Original Posted By sr.geek►ini agan pijar yg ceritanya dijadiin film itu ya, bookmark dulu deh, buat baca2.


Quote:
Original Posted By piringmelayang►bagus bgt gan critanya..
buat di jadikan novel horor mantep
buat di jadikan novel horor mantep
Quote:
Original Posted By yogipanjul►Wih ketemu agan pijar88 lg.. lanjut gan.. ane mau ngikutin ceritanya lg kayak dulu..
Quote:
Original Posted By peturuk►widih, om pijar bikin trit lagi 

Quote:
Original Posted By tresnokaroaku►Ane numpang gelar tiker sambil jualan kopi item ama kacang rebus ya gan.. 

Quote:
Original Posted By ian.putud►mantab ceritanya gan...ijin ninggalin jejak ya gan..makasih..
Quote:
Original Posted By rphen►Tinggalin jejak dulu gan ... Nice Thread !!
Quote:
Original Posted By imutkayamarmut►kisah horror namun untaian dan rangkaian kata2 yang menjadi kalimat demi kalimat begitu enak dibaca 

Quote:
Original Posted By pekrok►bad ending....lanjutanya mana,,,,yg kena kutukan ap...tapi bagus deh ceritanya
Quote:
Original Posted By hilton13►yang 4 tahun tinggal di rumah hantu udh beli buku + nonton filmnya (yg film agak gimana gitu asudahlah) yg ini siap siap nyari lagi udh ada di gramed kan om pijar ?
Quote:
Original Posted By Virgieuniquee►ane pertaama kali baca trit TS dluu bgt waktu 4ttdh masih trit biasa bgt,, baru dibuat malahan.. ga nyangka dr bacaan trit iseng bs suksesss..
matabelo
matabeloQuote:
Original Posted By FaizFatih►Bagus banget cerita nya.. bahasa yg di pakai benar2 membuat hanyut ke dalam alur cerita tsb. Mengingatkan sy ke novel "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari. Yg sdh di film kan dgn judul Sang Penari.
Utk TS: "Two Thumbs up"
Utk TS: "Two Thumbs up"
Quote:
Original Posted By stylish16►ini kisah nyata gan?
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
Diubah oleh pijar88 27-11-2014 18:48
itkgid dan mincli69 memberi reputasi
2
78.8K
Kutip
330
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pijar88
#143
KAVLING- 7
Quote:
Rumah Pak Jumadi tampak paling besar dari rumah-rumah di sekitarnya. Gapura kayu terpahat indah menghiasi bagian luar rumah itu. Temboknya terbuat dari bata merah pilihan yang dipesan dari pengrajin bata terbesar di Sanggrahan. Di depannya persis, tampak Jalan setapak yang melintang di tengah taman berhias rumput, tertata rapi menuju ke pintu utama.
Rumah itu terasa kontras dari rumah-rumah sekitarnya yang sederhana. Halamannya sebagian disemen dan lainnya berhias rerumputan. Saat musim panen, halaman yang disemen licin dijadikan sebagai tempat menjemur hasil panen sebelum diselip menjadi beras.
Agak jauh dari rumah itu terdapat lumbung padi tempat keluarga Jumadi menyimpan hasil penennya. Di dekat lumbung padi tampak bangunan bekas selipan beras milik keluarga itu. Karena letaknya yang terlalu dekat dengan rumah, selipan padi itu dipindah ke lokasi lain dekat persawahan.
Paman Wardoyo ditugasi memantau penggilingan padi itu. Ada tiga pekerja yang mengoperasikan penggilingan itu setiap harinya. Pak Darsono hanya duduk tenang di depan meja kasir menunggu orang-orang membayar ongkos gabah-gabah mereka yang diselip.
Dua pekerja di penggilingan itu adalah orang ketiga setelah pekerja sebelumnya mengundurkan diri. Konon, salah satu dari pekerja itu meninggal karena kecelakaan.
Angin bertiup semilir. Di kejauhan suara anjing menyalak kencang. Hari sudah petang. Pak Darsono baru saja pulang meninggalkan rumah itu setelah memberikan laporan mingguan dari penggilingan beras yang dikelolanya.
Lampu-lampu di rumah Pak Jumadi sudah tampak dinyalakan. Beberapa pengguna jalan sesekali tampak melintas di depan rumah itu.
Di bangku panjang teras rumah, Wardoyo duduk ditemani bapaknya. Sang bapak dengan telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya.
“Ayah, apakah benar di kampung sebelah ada makhluk jelmaan pencari pesugihan?”
Pak Jumadi terdiam beberapa saat. Ditatapnya wajah Wardoyo yang tampak penasaran. “Kamu percaya?” Tanya Pak Jumadi kemudian.
“Banyak orang bilang, ada orang-orang yang memuja setan untuk mendapat kesuksesan, dan aku sendiri juga pernah melihat bayangan aneh melesat ke tengah sawah.” ujar Wardoyo.
“Anakku, kesuksesan itu dapat diraih siapa saja sepanjang dia sanggup bekerja keras, tekun dan ulet” kata Pak Jumadi.
“Saya ingin jadi orang sukses Pak, ingin jadi menteri jika besar nanti!” Sahut Wardoyo penuh semangat.
“Tak ada yang tidak bisa. Berdoalah anakku..”
“Saya ingin terus sekolah biar jadi Sarjana…”
“Harus. Itu yang harus kamu perjuangkan. Ilmu akan membawa hidupmu kelak lebih baik, menjadi bekal hidupmu sampai kapanpun nanti.”
“Jadi cerita-cerita yang kudengar di Tanjungsari itu tidak benar pak? Bahkan di sana banyak teras rumah dipasangi jimat dan bonggol bawang putih, katanya untuk penangkal...“
“Buktinya, tidak ada yang bisa menangkap makhluk atau apapun itu kan?“ Wardoyo tampak mengangguk-angguk.
Pak Jumadi ibarat guru sekaligus teman bagi Wardoyo. Laki-laki setengah baya itu seolah mengerti apapun yang terlintas di benak Wardoyo. Konon, di jamannya dulu, Pak Jumadi adalah murid terpandai. Sayangnya Jumadi kecil terlahir di keluarga yang kekurangan. Kemiskinan memaksa Pak Jumadi putus sekolah. Sekolah Dasar pun tak sempat ditamatkannya. Tetapi wawasan Pak Jumadi begitu luas seolah tak ada habisnya. Jujur, rajin, dan ulet. Setidaknya di mata keluarga, terutama Wardoyo.
Sebuah mobil jip berhenti tepat di depan rumah Pak Jumadi. Seorang lelaki tegap turun dari mobil itu. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Pak Jumadi, berbaju safari dan sepatu hitam berkilat. Wardoyo langsung mengenali siapa laki-laki itu. Pak Kades! Sehari-harinya Pak Kades Krandekan ini memang sering mengenakan pakaian safari.
Melihat ada tamu yang datang, Pak Jumadi dan Wardoyo buru-buru bangkit dari tempat duduknya.
Mereka bersalaman dan masuklah Pak Kades bersama stafnya yang menenteng sebuah tas.
“Pak, saya pergi dulu njemput Maya.“ Kata Wardoyo.
“Ya sudah, jangan lama-lama.“ Sahut Pak Jumadi.
Pak Kades berdiri dan tersenyum menghampiri Wardoyo.
“Bener kata orang, anak lelaki Pak Jumadi rajin dan cerdas.“ menepuk-nepuk bahu Wardoyo, “Sudah punya pacar belum dik?“ tanya Pak Kades.
“Ach Pak Kades, biasa saja kok... dan saya belum berani pacaran..“ tukas Wardoyo malu.
Pak Kades tampak kagum dengan Wardoyo. “Setelah lulus SMA nanti mau kuliah di mana Dik?“
“Pinginnya sih di UGM pak,“ sahut Wardoyo.
“Cita-citanya memang tinggi pak, pingin jadi menteri, pengin jadi Sarjana...“ Pak Jumadi menimpali kemudian tersenyum bangga.
“Bagus, bagus... Jika nanti sudah lulus kuliah Dik Wardoyo saya kenalkan dengan keponakan saya, orangnya cantiiik“ kata Pak kades lalu tertawa, disambut tawa gembira Pak Jumadi.
Bu Harti keluar menghidangkan aneka makanan dan minuman. Malam ini dia membuatkan wedang jahe kegemaran Pak Jumadi.
“Silahkan diminum dulu pak, wedang khas penghilang masuk angin…” kata Pak Jumadi pada kedua tamunya.
Mereka bertiga menyeruput wedang Jahe dengan nikmat.
“Saya berangkat dulu Pak,“ ke Pak Jumadi, “Pak Kades... Pak Carik...“
Kemudian Wardoyo berangkat menjemput Maya di tempat kursusnya di Karangsawit.
Pak Kades dan Pak Jumadi tampak begitu akrab. Keduanya sama-sama aktif di lingkungan desa. Dulu, Enam tahun lalu Pak Kades yang bernama asli Sutaryo itu masih belum menjadi siapa-siapa. Konon Sutaryo berhasil menjadi Kades karena dukungan penuh dari Pak Jumadi ketika proses pemilihan Kades enam tahun lalu.
Setelah tiga tahun lalu Pak Jumadi mendapat ijasah paket C atas program kejar dari balaidesa dan kecamatan, kiprah Pak Jumadi semakin aktif di desanya. Dia bersama Pak Sasmita dan Pak Kades telah banyak berbuat memelopori kemajuan untuk desa. Mereka bertiga pula yang paling gigih menperjuangkan berdirinya pasar Kopenan untuk mempermudah kegiatan jual beli warga.
Pak Jumadi dan Pak Kades asyik berbincang-bincang sementara Pak Carik mengeluarkan lembar-lembar dokumen.
“Ini pak, berkas rencana pendirian koperasi kita.” ucap Pak Kades sembari menunjuk lembaran berkas dokumen di atas meja.
“Pak Jumadi sudah mantab untuk investasi dana ke koperasi kita hingga 40 persen modal kan? Kebetulan Pak Sasmita juga menyanggupi dan sudah
menginvestasikan sebagian dananya pula. ”
“Iya, iya pak. Hitung-hitung membantu warga desa. Agar mereka yang kesulitan dana dapat lebih mudah mencari pinjaman.”
“Oh, bisa pak, bisa… Kita atur saja bagaimana baiknya.”
“Biar saja nanti kita carikan tenaga akunting dari kecamatan atau kabupaten jika di desa ini belum ada tenaga untuk itu.“
“Baguslah kalau begitu, mudah-mudahan dengan adanya koperasi di desa ini nanti, akan meningkatkan minat berorganisasi di desa kita pak..”
Tak berapa lama Pak Kades dan stafnya memohon diri. Hari sudah beranjak sore, burung-burung pipit tampak meliuk-liuk di atas rumah para penduduk. Awan bergulung-gulung pertanda akan segera hujan. Hujan yang telah dinanti-nantikan selama berpekan-pekan.
Gerimis turun tipis-tipis, suasana rumah itu kembali sepi dan lengang.
Seorang diri, pak Jumadi masuk ke dalam kamar paling belakang.
SMA Satya Bahari adalah SMA baru tapi menjadi incaran para siswa di sebagian daerah Pantura. SMA Swasta yang baru lima tahun berdiri di kota kecamatan itu tak pernah sepi. Para siswanya tersebar dari desa-desa sekitar yang berjarak satu hingga lima kilo dari kota kecamatan. Dari desa Krandekan hanya beberapa anak saja yang melanjutkan sekolahnya di SMA tersebut. Mereka adalah Wardoyo, Ranti, Kandar dan Mardi. Biasanya, anak-anak desa Krandekan lebih memilih bekerja setelah lulus dari SMP atau bahkan SD. Mereka sudah dianggap seperti pahlawan bagi keluarga setelah bekerja di tempat-tempat para juragan, atau turut mengolah sawah milik orang tua. Lainnya, lebih memilih merantau ke kota Jakarta.
Siang itu matahari bersinar terik. Udara panas terasa menyengat hingga siswa-siswa di sekolah itu tampak kegerahan. Hari ini adalah hari pertama masuk setelah seminggu lamanya diadakan Test semester.
Setelah pembagian nilai hasil Tes Semester, jam pelajaran di kelas 2-IPS.1 kosong. Beberapa guru tidak hadir karena suatu alasan. Pak Amir selaku Wali kelas 2-IPS.1 sengaja mengisi jam kosong dengan memberi pencerahan kepada anak didiknya. Para siswa tampak serius mendengarkan kata-kata Pak Amir yang berbicara di depan kelas.
“Jadi demikianlah anak-anak, tidak ada sesuatu usaha yang tidak beroleh hasil jika kita mau bersungguh-sungguh” kata Pak Amir mengakhiri wejangannya. Guru muda itu memang dikenal rajin dan perhatian kepada anak didiknya.
“Saya mau bertanya Pak guru…” Warso, murid yang duduk di bangku paling belakang mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi.
“Apa yang mau kamu tanyakan Warso?” tukas Pak Amir.
“Bagaimana jika seorang Siswa sudah belajar mati-matian sampai jatuh bangun siang dan malam, tapi masih juga tidak mendapat nilai yang bagus?” tanya Warso.
“Gerrrr” Serentak siswa-siswa lain di sekolah itu tertawa mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut Warso. Semua sudah mafhum, bahwa pertanyaan Warso itu seolah mewakili dirinya sendiri.
“Sudah, sudah… ” ucap Pak Amir, “Tak ada yang perlu ditertawakan.”
Para siswa terdiam. Siswa-siswa yang tadi tertawa lepas jadi salah tingkah.
“Memang, jika kita sudah berusaha keras, belajar mati-matian tetapi belum mendapat hasil maksimal, mungkin karena metode atau cara belajar kita yang keliru.
Cobalah ubah cara belajar kita lebih efektif, insya Allah bisa.” lanjut Pak Amir menjawab pertanyaan Warso.
“Sebenarnya Warso menanyakan kisah hidupnya sendiri pak,” celetuk Shanti, gadis bawel yang duduk di sebelah Ranti. Beberapa siswa menahan tawa mendengar celetukan Shanti, bahkan ada yang sampai mengatupkan telapak tangan di depan mulutnya.
“Tidak apa-apa, Itu bagus. Itu tandanya Warso memiliki niat dan semangat yang besar untuk mewujudkan keinginannya. Nanti juga kamu akan jadi anak yang pintar Warso.” Ujar Pak Amir, bijak.
Merasa mendapat angin, Warso tersenyum bangga. “Nah, tuh kan, tuh kan…??”
Siswa-siswa lain pun tertawa. Kelas tampak begitu hidup siang itu.
“Cobalah kamu tanyakan kepada Wardoyo atau Ranti yang selalu mendapat nilai bagus. Kamu tanya metodenya bagaimana, cara mereka belajar bagaimana. Mungkin bisa kamu tiru Warso.”
Ranti dan Wardoyo tersenyum malu sekaligus bangga mendengar kata-kata Pak Amir.
“Ya sudah anak-anak, bapak tinggalkan kelas ini sebentar. Ada yang mau bapak kerjakan di ruang kantor. Sebagai penyemangat kalian, sekali lagi bapak mengucapkan terimakasih atas keseriusan kalian dalam belajar hingga nilai rata-rata kelas ini sangat baik. Dan surprise, SELAMAT UNTUK RANTI KUSUMANINGATI yang mendapat rangking satu. untuk WARDOYO, tetap bapak kasih SELAMAT dan semangat meskipun dari rangking satu sekarang turun menjadi rangking dua.”
Pak Amir meninggalkan ruang kelas 2-IPS.1. Masih ada waktu satu jam dari jam pelajaran terakhir yang kosong. Para siswa tampak riuh. Mereka asyik ngobrol satu sama lain.
Wardoyo dan Ranti duduk di bangkunya masing-masing. Ranti tampak begitu puas dan bangga akhirnya berhasil mendapat rangking satu.
Predikat nilai tertinggi di kelas itu setelah semester sebelumnya Wardoyo yang selalu mendapat nilai tertinggi. Kini Ranti sangat berbangga hati bisa melampaui nilai Wardoyo.
"Sebenarnya kamu mendapat nilai tertinggi karena aku telah berkorban untukmu Ranti." Kata Wardoyo.
"Berkorban bagaimana, jangan mencari-cari pembenaran sendiri kamu Yok." sergah Ranti.
"Aku tidak mencari pembenaran, tapi memang itu yang terjadi."
"Seandainya kamu tidak sekolah di sini, tentulah aku yang selalu mendapat rangking satu" Ranti sengit.
"Berarti kamu ingin aku keluar dari sekolah ini?" Wardoyo ketus. Ada rasa kesal mendengar kata-kata Ranti.
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu bagaimana?"
"Justru kamu yang membuatku rajin belajar. Memaksaku untuk selalu semangat. Semangat untuk mengalahkanmu."
Wardoyo menimbang-nimbang apa maksud dari ucapan Ranti. Seingatnya, dia tak pernah menyuruh Ranti belajar, apalagi sampai memaksa. Wardoyo tersenyum kecil. Dia menangkap maksud terselubung dari ucapan Ranti.
“Benarkah itu? Oh, Tuhan..” bisiknya dalam hati.
"Ran, antar aku ke kantin sebentar," Shanti menggamit tangan Ranti. Kedua gadis cantik itu pun keluar meninggalkan kelas.
Kandar menghampiri Wardoyo. Dia duduk di sebelah bangku wardoyo yang kosong.
“Mardi kenapa nggak masuk Yok?” tanya Kandar.
“Mardi ada keperluan ke Pekalongan.”
“Oh, kok bisa? Bukannya seorang pelajar tugasnya belajar, bukan keluyuran sampai ke Pekalongan..?” Kandar menggeleng-gelengkan kepala geli.
“Maklum sajalah, dia kan harus kulakan barang di Pekalongan untuk dagangan ibunya. Kasihan juga sih, semenjak bapaknya meninggal Mardi jadi tulang punggung keluarganya.”
Kandar terdiam. Dalam hatinya mengiyakan kata-kata Wardoyo. Ada rasa sesal menyeruak karena telah menilai negatif temannya sendiri.
"Yok, sudah lama banget kita nggak pernah mencari belut sawah lagi."
"Ach, memangnya masih ada belut-belut sawah di jaman sekarang?"
Kandar tertawa, "Ya jelas masih adalah. Emangnya pada ngungsi kemana mereka?"
"Coba nanti malam kita cari deh, sudah lama banget rasanya...."
Keduanya lalu membayangkan kenangan mereka dulu, hampir di setiap musim tanam mereka berempat memperoleh begitu banyak belut hasil tangkapan di sawah-sawah. Sudah lama sekali. Kegiatan mencari belut tak pernah lagi mereka lakukan.
Pak Amir kembali masuk ke ruang kelas mereka. Para siswa duduk rapi di bangkunya masing-masing.
"Anak-anak, sekali lagi bapak katakan, bapak bangga sama kalian. Kedepan kita pertahankan prestasi ini, kalau bisa ditingkatkan lagi"
Para siswa antusias mendengarkan kata-kata Pak Amir. Mereka semua merasa dekat dengan Pak Amir yang selalu bisa menempatkan dirinya sebagai orang tua selama di sekolah.
“Wardoyo, kamu ke sini” Seru Pak Amir dari balik meja guru.
“Iya pak,” Wardoyo menghampiri gurunya.
“Kamu bagikan Undangan ini, Undangan Rapat Wali murid untuk Senin besok.” Pak Amir menyodorkan setumpuk surat undangan berwarna putih.
“Iya pak, saya bagikan.” ucap Wardoyo sembari menerima surat-surat itu.
“Oya, si Ranti dan Shanti kemana?”
“Mereka tadi ke belakang pak,”
Wardoyo mulai membagi-bagikan undangan tersebut. Selesai pembagian undangan Pak Amir keluar dari ruang kelas dan kelaspun kembali kosong.
Para Siswa riuh. Ranti masuk ke dalam kelas. Wajahnya tampak lebih segar.
"Seger amat nih, pasti habis cuci muka..." celetuk salah satu teman mereka.
"Ranti mah nggak usah cuci muka juga udah cakep, selalu tampak kayak orang habis mandi." Celetuk siswa lain.
“Maklumlah dia kan bekas sintren, jadi pernah didandani bidadari,” kata Warso
“Dari sebelum jadi sintren pun dia sudah sangat cantik kok, aku ini saksinya.” Tukas Kandar.
Tepat pukul 1 siang Lonceng tanda usai pelajaran berdentang berkali-kali. Para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas bagaikan air bah tumpah dari tanggul yang jebol.
Wardoyo berjalan beberapa meter di belakang Ranti menuju ke tempat parkir sekolah. Berkali-kali dia menghela nafas. Hari ini udara panas sekali, tetapi di dalam hatinya lebih terasa panas. Bagaimana pun juga dia merasa kesal predikat rangking satu tak lagi disandangnya.
"Nanti malam ya Yok,..." suara Kandar mengagetkan Wardoyo.
"Ada apa dengan nanti malam?"
Ranti yang mendengar kata-kata Wardoyo menyahut sekenanya. Sedetik kemudian wajahnya bersemu merah seolah menyesal telah menyambar kata-kata Wardoyo.
“Enggak, kami mau mencari belut. Kamu mau ikutan?” Kandar tersenyum meledek.
“Ikh, kalian ini… emangnya aku perempuan apaan?”
“Tenang saja Ranti, nanti kami kirimkan jatah belut untuk kamu. Mau enggak?” ujar Wardoyo.
“Serius? Eh, biar bapakku saja yang membeli belut-belutnya,”
“Ya deh, gampang itu. Lihat nanti saja yah…”
Puluhan siswa tampak berdesakan melewati lorong sekolah. Semua merasa ingin cepat-cepat meninggalkan sekolah dan kembali ke rumah untuk menunjukkan nilai hasil ulangan semesternya. Tetapi bagi yang mendapat nilai jelek seperti Warso, lebih memilih berlama-lama menghabiskan waktu di seputaran sekolah.
Ranti menuju pintu gerbang sekolah. Di halte bus depan sekolah telah menunggu seorang laki-laki muda. Rupanya Marwan. Saudara jauh Ranti ini sengaja menjemput Ranti untuk diajak ke rumahnya. Ranti semula menolak untuk dibonceng Marwan tapi akhirnya menurut karena Marwan memaksa dengan mengatasnamakan pak Sasmita.
Wardoyo yang sempat melihat sekilas ketika Marwan memboncengkan Ranti semakin panas hatinya. Wardoyo terbakar api cemburu. Tetapi Wardoyo tak kuasa untuk marah karena pada kenyataannya antara dia dan Ranti tidak ada hubungan apa-apa selain sahabat.
Wardoyo memacu sepeda motornya pelan. Sepanjang perjalanan ke rumah, benaknya dipenuhi fikiran-fikiran aneh.
Entah mengapa tiba-tiba Wardoyo merasa takut kehilangan Ranti.
Pak Sasmita terhenyak di tempat duduknya. Pandangan matanya tak lepas dari Mbah Darmo yang sedang merapal mantra-mantra. Suara yang keluar dari mulut Mbah Darmo hanya desisan menyerupai desis ular.
“Jadi bagaimana pak, bagaimana menghilangkan kutukan yang menimpa anak saya?” Tanya pak Sasmita cemas.
Laki-laki tua di depannya itu terdiam. Mulutnya mendesis beberapa saat kemudian berbicara datar: “Anakmu sudah terlalu jauh diikuti pengaruh halus”
“Terus?”
“Dia tak bisa diruwat begitu saja. Kutukan itu akan hilang dengan sendirinya jika roh Lastri sudah tenang di alamnya” ucap Mbah Darmo tegas.
Pak Sasmita menghela nafas. Kebingungannya semakin memuncak. Dia merasa berdosa atas kutukan yang telah menimpa keluarganya.
“Anak saya sudah menjadi sintren pak…”
“Itu bukan jaminan. Itu hanya meringankan saja dari campur tangan makhluk halus di sekitar Ranti, tapi kutukan di dalam tanda lahir itu akan terus berjalan. Sintren hanya untuk ruwatan-ruwatan ringan...”
“Saya tak sengaja menyakiti hati Lastri pak, saya benar-benar tidak sengaja.” Ucap Pak Sasmita menyesali diri.
“Sasmita, kamu tega menghancurkan hidupku, kamu akan merasakan kepedihanku. Anak-anakmu nanti akan memiliki tanda lahir sepertiku...!”
Suara itu kembali terngiang di telinganya, seolah begitu keras suara itu didengungkan ke gendang telinganya. Hanya dia sendiri yang mendengarnya.
Pak Sasmita menundukkan kepalanya, sedih.
“Kutukan itu datang dengan sendirinya atas kemauan alam. Alam tak terima atas perlakuan jahat Pak Sasmita yang menyia-nyiakan Lastri.” Kata Mbah Darmo.
Pak Sasmita keluar dari ruangan itu. Wajahnya tampak gelisah. Dia merasa tak sanggup lagi menyimpan beban di hatinya sendirian. Dia harus mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Tetapi kini Pak Sasmita hanya bisa pasrah. Pasrah atas kesalahannya di masa lalu.
BERSAMBUNG
Rumah itu terasa kontras dari rumah-rumah sekitarnya yang sederhana. Halamannya sebagian disemen dan lainnya berhias rerumputan. Saat musim panen, halaman yang disemen licin dijadikan sebagai tempat menjemur hasil panen sebelum diselip menjadi beras.
Agak jauh dari rumah itu terdapat lumbung padi tempat keluarga Jumadi menyimpan hasil penennya. Di dekat lumbung padi tampak bangunan bekas selipan beras milik keluarga itu. Karena letaknya yang terlalu dekat dengan rumah, selipan padi itu dipindah ke lokasi lain dekat persawahan.
Paman Wardoyo ditugasi memantau penggilingan padi itu. Ada tiga pekerja yang mengoperasikan penggilingan itu setiap harinya. Pak Darsono hanya duduk tenang di depan meja kasir menunggu orang-orang membayar ongkos gabah-gabah mereka yang diselip.
Dua pekerja di penggilingan itu adalah orang ketiga setelah pekerja sebelumnya mengundurkan diri. Konon, salah satu dari pekerja itu meninggal karena kecelakaan.
Angin bertiup semilir. Di kejauhan suara anjing menyalak kencang. Hari sudah petang. Pak Darsono baru saja pulang meninggalkan rumah itu setelah memberikan laporan mingguan dari penggilingan beras yang dikelolanya.
Lampu-lampu di rumah Pak Jumadi sudah tampak dinyalakan. Beberapa pengguna jalan sesekali tampak melintas di depan rumah itu.
Di bangku panjang teras rumah, Wardoyo duduk ditemani bapaknya. Sang bapak dengan telaten menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya.
“Ayah, apakah benar di kampung sebelah ada makhluk jelmaan pencari pesugihan?”
Pak Jumadi terdiam beberapa saat. Ditatapnya wajah Wardoyo yang tampak penasaran. “Kamu percaya?” Tanya Pak Jumadi kemudian.
“Banyak orang bilang, ada orang-orang yang memuja setan untuk mendapat kesuksesan, dan aku sendiri juga pernah melihat bayangan aneh melesat ke tengah sawah.” ujar Wardoyo.
“Anakku, kesuksesan itu dapat diraih siapa saja sepanjang dia sanggup bekerja keras, tekun dan ulet” kata Pak Jumadi.
“Saya ingin jadi orang sukses Pak, ingin jadi menteri jika besar nanti!” Sahut Wardoyo penuh semangat.
“Tak ada yang tidak bisa. Berdoalah anakku..”
“Saya ingin terus sekolah biar jadi Sarjana…”
“Harus. Itu yang harus kamu perjuangkan. Ilmu akan membawa hidupmu kelak lebih baik, menjadi bekal hidupmu sampai kapanpun nanti.”
“Jadi cerita-cerita yang kudengar di Tanjungsari itu tidak benar pak? Bahkan di sana banyak teras rumah dipasangi jimat dan bonggol bawang putih, katanya untuk penangkal...“
“Buktinya, tidak ada yang bisa menangkap makhluk atau apapun itu kan?“ Wardoyo tampak mengangguk-angguk.
Pak Jumadi ibarat guru sekaligus teman bagi Wardoyo. Laki-laki setengah baya itu seolah mengerti apapun yang terlintas di benak Wardoyo. Konon, di jamannya dulu, Pak Jumadi adalah murid terpandai. Sayangnya Jumadi kecil terlahir di keluarga yang kekurangan. Kemiskinan memaksa Pak Jumadi putus sekolah. Sekolah Dasar pun tak sempat ditamatkannya. Tetapi wawasan Pak Jumadi begitu luas seolah tak ada habisnya. Jujur, rajin, dan ulet. Setidaknya di mata keluarga, terutama Wardoyo.
Sebuah mobil jip berhenti tepat di depan rumah Pak Jumadi. Seorang lelaki tegap turun dari mobil itu. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Pak Jumadi, berbaju safari dan sepatu hitam berkilat. Wardoyo langsung mengenali siapa laki-laki itu. Pak Kades! Sehari-harinya Pak Kades Krandekan ini memang sering mengenakan pakaian safari.
Melihat ada tamu yang datang, Pak Jumadi dan Wardoyo buru-buru bangkit dari tempat duduknya.
Mereka bersalaman dan masuklah Pak Kades bersama stafnya yang menenteng sebuah tas.
“Pak, saya pergi dulu njemput Maya.“ Kata Wardoyo.
“Ya sudah, jangan lama-lama.“ Sahut Pak Jumadi.
Pak Kades berdiri dan tersenyum menghampiri Wardoyo.
“Bener kata orang, anak lelaki Pak Jumadi rajin dan cerdas.“ menepuk-nepuk bahu Wardoyo, “Sudah punya pacar belum dik?“ tanya Pak Kades.
“Ach Pak Kades, biasa saja kok... dan saya belum berani pacaran..“ tukas Wardoyo malu.
Pak Kades tampak kagum dengan Wardoyo. “Setelah lulus SMA nanti mau kuliah di mana Dik?“
“Pinginnya sih di UGM pak,“ sahut Wardoyo.
“Cita-citanya memang tinggi pak, pingin jadi menteri, pengin jadi Sarjana...“ Pak Jumadi menimpali kemudian tersenyum bangga.
“Bagus, bagus... Jika nanti sudah lulus kuliah Dik Wardoyo saya kenalkan dengan keponakan saya, orangnya cantiiik“ kata Pak kades lalu tertawa, disambut tawa gembira Pak Jumadi.
Bu Harti keluar menghidangkan aneka makanan dan minuman. Malam ini dia membuatkan wedang jahe kegemaran Pak Jumadi.
“Silahkan diminum dulu pak, wedang khas penghilang masuk angin…” kata Pak Jumadi pada kedua tamunya.
Mereka bertiga menyeruput wedang Jahe dengan nikmat.
“Saya berangkat dulu Pak,“ ke Pak Jumadi, “Pak Kades... Pak Carik...“
Kemudian Wardoyo berangkat menjemput Maya di tempat kursusnya di Karangsawit.
Pak Kades dan Pak Jumadi tampak begitu akrab. Keduanya sama-sama aktif di lingkungan desa. Dulu, Enam tahun lalu Pak Kades yang bernama asli Sutaryo itu masih belum menjadi siapa-siapa. Konon Sutaryo berhasil menjadi Kades karena dukungan penuh dari Pak Jumadi ketika proses pemilihan Kades enam tahun lalu.
Setelah tiga tahun lalu Pak Jumadi mendapat ijasah paket C atas program kejar dari balaidesa dan kecamatan, kiprah Pak Jumadi semakin aktif di desanya. Dia bersama Pak Sasmita dan Pak Kades telah banyak berbuat memelopori kemajuan untuk desa. Mereka bertiga pula yang paling gigih menperjuangkan berdirinya pasar Kopenan untuk mempermudah kegiatan jual beli warga.
Pak Jumadi dan Pak Kades asyik berbincang-bincang sementara Pak Carik mengeluarkan lembar-lembar dokumen.
“Ini pak, berkas rencana pendirian koperasi kita.” ucap Pak Kades sembari menunjuk lembaran berkas dokumen di atas meja.
“Pak Jumadi sudah mantab untuk investasi dana ke koperasi kita hingga 40 persen modal kan? Kebetulan Pak Sasmita juga menyanggupi dan sudah
menginvestasikan sebagian dananya pula. ”
“Iya, iya pak. Hitung-hitung membantu warga desa. Agar mereka yang kesulitan dana dapat lebih mudah mencari pinjaman.”
“Oh, bisa pak, bisa… Kita atur saja bagaimana baiknya.”
“Biar saja nanti kita carikan tenaga akunting dari kecamatan atau kabupaten jika di desa ini belum ada tenaga untuk itu.“
“Baguslah kalau begitu, mudah-mudahan dengan adanya koperasi di desa ini nanti, akan meningkatkan minat berorganisasi di desa kita pak..”
Tak berapa lama Pak Kades dan stafnya memohon diri. Hari sudah beranjak sore, burung-burung pipit tampak meliuk-liuk di atas rumah para penduduk. Awan bergulung-gulung pertanda akan segera hujan. Hujan yang telah dinanti-nantikan selama berpekan-pekan.
Gerimis turun tipis-tipis, suasana rumah itu kembali sepi dan lengang.
Seorang diri, pak Jumadi masuk ke dalam kamar paling belakang.
***
SMA Satya Bahari adalah SMA baru tapi menjadi incaran para siswa di sebagian daerah Pantura. SMA Swasta yang baru lima tahun berdiri di kota kecamatan itu tak pernah sepi. Para siswanya tersebar dari desa-desa sekitar yang berjarak satu hingga lima kilo dari kota kecamatan. Dari desa Krandekan hanya beberapa anak saja yang melanjutkan sekolahnya di SMA tersebut. Mereka adalah Wardoyo, Ranti, Kandar dan Mardi. Biasanya, anak-anak desa Krandekan lebih memilih bekerja setelah lulus dari SMP atau bahkan SD. Mereka sudah dianggap seperti pahlawan bagi keluarga setelah bekerja di tempat-tempat para juragan, atau turut mengolah sawah milik orang tua. Lainnya, lebih memilih merantau ke kota Jakarta.
Siang itu matahari bersinar terik. Udara panas terasa menyengat hingga siswa-siswa di sekolah itu tampak kegerahan. Hari ini adalah hari pertama masuk setelah seminggu lamanya diadakan Test semester.
Setelah pembagian nilai hasil Tes Semester, jam pelajaran di kelas 2-IPS.1 kosong. Beberapa guru tidak hadir karena suatu alasan. Pak Amir selaku Wali kelas 2-IPS.1 sengaja mengisi jam kosong dengan memberi pencerahan kepada anak didiknya. Para siswa tampak serius mendengarkan kata-kata Pak Amir yang berbicara di depan kelas.
“Jadi demikianlah anak-anak, tidak ada sesuatu usaha yang tidak beroleh hasil jika kita mau bersungguh-sungguh” kata Pak Amir mengakhiri wejangannya. Guru muda itu memang dikenal rajin dan perhatian kepada anak didiknya.
“Saya mau bertanya Pak guru…” Warso, murid yang duduk di bangku paling belakang mengangkat jari telunjuknya tinggi-tinggi.
“Apa yang mau kamu tanyakan Warso?” tukas Pak Amir.
“Bagaimana jika seorang Siswa sudah belajar mati-matian sampai jatuh bangun siang dan malam, tapi masih juga tidak mendapat nilai yang bagus?” tanya Warso.
“Gerrrr” Serentak siswa-siswa lain di sekolah itu tertawa mendengar pertanyaan yang meluncur dari mulut Warso. Semua sudah mafhum, bahwa pertanyaan Warso itu seolah mewakili dirinya sendiri.
“Sudah, sudah… ” ucap Pak Amir, “Tak ada yang perlu ditertawakan.”
Para siswa terdiam. Siswa-siswa yang tadi tertawa lepas jadi salah tingkah.
“Memang, jika kita sudah berusaha keras, belajar mati-matian tetapi belum mendapat hasil maksimal, mungkin karena metode atau cara belajar kita yang keliru.
Cobalah ubah cara belajar kita lebih efektif, insya Allah bisa.” lanjut Pak Amir menjawab pertanyaan Warso.
“Sebenarnya Warso menanyakan kisah hidupnya sendiri pak,” celetuk Shanti, gadis bawel yang duduk di sebelah Ranti. Beberapa siswa menahan tawa mendengar celetukan Shanti, bahkan ada yang sampai mengatupkan telapak tangan di depan mulutnya.
“Tidak apa-apa, Itu bagus. Itu tandanya Warso memiliki niat dan semangat yang besar untuk mewujudkan keinginannya. Nanti juga kamu akan jadi anak yang pintar Warso.” Ujar Pak Amir, bijak.
Merasa mendapat angin, Warso tersenyum bangga. “Nah, tuh kan, tuh kan…??”
Siswa-siswa lain pun tertawa. Kelas tampak begitu hidup siang itu.
“Cobalah kamu tanyakan kepada Wardoyo atau Ranti yang selalu mendapat nilai bagus. Kamu tanya metodenya bagaimana, cara mereka belajar bagaimana. Mungkin bisa kamu tiru Warso.”
Ranti dan Wardoyo tersenyum malu sekaligus bangga mendengar kata-kata Pak Amir.
“Ya sudah anak-anak, bapak tinggalkan kelas ini sebentar. Ada yang mau bapak kerjakan di ruang kantor. Sebagai penyemangat kalian, sekali lagi bapak mengucapkan terimakasih atas keseriusan kalian dalam belajar hingga nilai rata-rata kelas ini sangat baik. Dan surprise, SELAMAT UNTUK RANTI KUSUMANINGATI yang mendapat rangking satu. untuk WARDOYO, tetap bapak kasih SELAMAT dan semangat meskipun dari rangking satu sekarang turun menjadi rangking dua.”
Pak Amir meninggalkan ruang kelas 2-IPS.1. Masih ada waktu satu jam dari jam pelajaran terakhir yang kosong. Para siswa tampak riuh. Mereka asyik ngobrol satu sama lain.
Wardoyo dan Ranti duduk di bangkunya masing-masing. Ranti tampak begitu puas dan bangga akhirnya berhasil mendapat rangking satu.
Predikat nilai tertinggi di kelas itu setelah semester sebelumnya Wardoyo yang selalu mendapat nilai tertinggi. Kini Ranti sangat berbangga hati bisa melampaui nilai Wardoyo.
"Sebenarnya kamu mendapat nilai tertinggi karena aku telah berkorban untukmu Ranti." Kata Wardoyo.
"Berkorban bagaimana, jangan mencari-cari pembenaran sendiri kamu Yok." sergah Ranti.
"Aku tidak mencari pembenaran, tapi memang itu yang terjadi."
"Seandainya kamu tidak sekolah di sini, tentulah aku yang selalu mendapat rangking satu" Ranti sengit.
"Berarti kamu ingin aku keluar dari sekolah ini?" Wardoyo ketus. Ada rasa kesal mendengar kata-kata Ranti.
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu bagaimana?"
"Justru kamu yang membuatku rajin belajar. Memaksaku untuk selalu semangat. Semangat untuk mengalahkanmu."
Wardoyo menimbang-nimbang apa maksud dari ucapan Ranti. Seingatnya, dia tak pernah menyuruh Ranti belajar, apalagi sampai memaksa. Wardoyo tersenyum kecil. Dia menangkap maksud terselubung dari ucapan Ranti.
“Benarkah itu? Oh, Tuhan..” bisiknya dalam hati.
"Ran, antar aku ke kantin sebentar," Shanti menggamit tangan Ranti. Kedua gadis cantik itu pun keluar meninggalkan kelas.
Kandar menghampiri Wardoyo. Dia duduk di sebelah bangku wardoyo yang kosong.
“Mardi kenapa nggak masuk Yok?” tanya Kandar.
“Mardi ada keperluan ke Pekalongan.”
“Oh, kok bisa? Bukannya seorang pelajar tugasnya belajar, bukan keluyuran sampai ke Pekalongan..?” Kandar menggeleng-gelengkan kepala geli.
“Maklum sajalah, dia kan harus kulakan barang di Pekalongan untuk dagangan ibunya. Kasihan juga sih, semenjak bapaknya meninggal Mardi jadi tulang punggung keluarganya.”
Kandar terdiam. Dalam hatinya mengiyakan kata-kata Wardoyo. Ada rasa sesal menyeruak karena telah menilai negatif temannya sendiri.
"Yok, sudah lama banget kita nggak pernah mencari belut sawah lagi."
"Ach, memangnya masih ada belut-belut sawah di jaman sekarang?"
Kandar tertawa, "Ya jelas masih adalah. Emangnya pada ngungsi kemana mereka?"
"Coba nanti malam kita cari deh, sudah lama banget rasanya...."
Keduanya lalu membayangkan kenangan mereka dulu, hampir di setiap musim tanam mereka berempat memperoleh begitu banyak belut hasil tangkapan di sawah-sawah. Sudah lama sekali. Kegiatan mencari belut tak pernah lagi mereka lakukan.
Pak Amir kembali masuk ke ruang kelas mereka. Para siswa duduk rapi di bangkunya masing-masing.
"Anak-anak, sekali lagi bapak katakan, bapak bangga sama kalian. Kedepan kita pertahankan prestasi ini, kalau bisa ditingkatkan lagi"
Para siswa antusias mendengarkan kata-kata Pak Amir. Mereka semua merasa dekat dengan Pak Amir yang selalu bisa menempatkan dirinya sebagai orang tua selama di sekolah.
“Wardoyo, kamu ke sini” Seru Pak Amir dari balik meja guru.
“Iya pak,” Wardoyo menghampiri gurunya.
“Kamu bagikan Undangan ini, Undangan Rapat Wali murid untuk Senin besok.” Pak Amir menyodorkan setumpuk surat undangan berwarna putih.
“Iya pak, saya bagikan.” ucap Wardoyo sembari menerima surat-surat itu.
“Oya, si Ranti dan Shanti kemana?”
“Mereka tadi ke belakang pak,”
Wardoyo mulai membagi-bagikan undangan tersebut. Selesai pembagian undangan Pak Amir keluar dari ruang kelas dan kelaspun kembali kosong.
Para Siswa riuh. Ranti masuk ke dalam kelas. Wajahnya tampak lebih segar.
"Seger amat nih, pasti habis cuci muka..." celetuk salah satu teman mereka.
"Ranti mah nggak usah cuci muka juga udah cakep, selalu tampak kayak orang habis mandi." Celetuk siswa lain.
“Maklumlah dia kan bekas sintren, jadi pernah didandani bidadari,” kata Warso
“Dari sebelum jadi sintren pun dia sudah sangat cantik kok, aku ini saksinya.” Tukas Kandar.
Tepat pukul 1 siang Lonceng tanda usai pelajaran berdentang berkali-kali. Para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas bagaikan air bah tumpah dari tanggul yang jebol.
Wardoyo berjalan beberapa meter di belakang Ranti menuju ke tempat parkir sekolah. Berkali-kali dia menghela nafas. Hari ini udara panas sekali, tetapi di dalam hatinya lebih terasa panas. Bagaimana pun juga dia merasa kesal predikat rangking satu tak lagi disandangnya.
"Nanti malam ya Yok,..." suara Kandar mengagetkan Wardoyo.
"Ada apa dengan nanti malam?"
Ranti yang mendengar kata-kata Wardoyo menyahut sekenanya. Sedetik kemudian wajahnya bersemu merah seolah menyesal telah menyambar kata-kata Wardoyo.
“Enggak, kami mau mencari belut. Kamu mau ikutan?” Kandar tersenyum meledek.
“Ikh, kalian ini… emangnya aku perempuan apaan?”
“Tenang saja Ranti, nanti kami kirimkan jatah belut untuk kamu. Mau enggak?” ujar Wardoyo.
“Serius? Eh, biar bapakku saja yang membeli belut-belutnya,”
“Ya deh, gampang itu. Lihat nanti saja yah…”
Puluhan siswa tampak berdesakan melewati lorong sekolah. Semua merasa ingin cepat-cepat meninggalkan sekolah dan kembali ke rumah untuk menunjukkan nilai hasil ulangan semesternya. Tetapi bagi yang mendapat nilai jelek seperti Warso, lebih memilih berlama-lama menghabiskan waktu di seputaran sekolah.
Ranti menuju pintu gerbang sekolah. Di halte bus depan sekolah telah menunggu seorang laki-laki muda. Rupanya Marwan. Saudara jauh Ranti ini sengaja menjemput Ranti untuk diajak ke rumahnya. Ranti semula menolak untuk dibonceng Marwan tapi akhirnya menurut karena Marwan memaksa dengan mengatasnamakan pak Sasmita.
Wardoyo yang sempat melihat sekilas ketika Marwan memboncengkan Ranti semakin panas hatinya. Wardoyo terbakar api cemburu. Tetapi Wardoyo tak kuasa untuk marah karena pada kenyataannya antara dia dan Ranti tidak ada hubungan apa-apa selain sahabat.
Wardoyo memacu sepeda motornya pelan. Sepanjang perjalanan ke rumah, benaknya dipenuhi fikiran-fikiran aneh.
Entah mengapa tiba-tiba Wardoyo merasa takut kehilangan Ranti.
***
Pak Sasmita terhenyak di tempat duduknya. Pandangan matanya tak lepas dari Mbah Darmo yang sedang merapal mantra-mantra. Suara yang keluar dari mulut Mbah Darmo hanya desisan menyerupai desis ular.
“Jadi bagaimana pak, bagaimana menghilangkan kutukan yang menimpa anak saya?” Tanya pak Sasmita cemas.
Laki-laki tua di depannya itu terdiam. Mulutnya mendesis beberapa saat kemudian berbicara datar: “Anakmu sudah terlalu jauh diikuti pengaruh halus”
“Terus?”
“Dia tak bisa diruwat begitu saja. Kutukan itu akan hilang dengan sendirinya jika roh Lastri sudah tenang di alamnya” ucap Mbah Darmo tegas.
Pak Sasmita menghela nafas. Kebingungannya semakin memuncak. Dia merasa berdosa atas kutukan yang telah menimpa keluarganya.
“Anak saya sudah menjadi sintren pak…”
“Itu bukan jaminan. Itu hanya meringankan saja dari campur tangan makhluk halus di sekitar Ranti, tapi kutukan di dalam tanda lahir itu akan terus berjalan. Sintren hanya untuk ruwatan-ruwatan ringan...”
“Saya tak sengaja menyakiti hati Lastri pak, saya benar-benar tidak sengaja.” Ucap Pak Sasmita menyesali diri.
“Sasmita, kamu tega menghancurkan hidupku, kamu akan merasakan kepedihanku. Anak-anakmu nanti akan memiliki tanda lahir sepertiku...!”
Suara itu kembali terngiang di telinganya, seolah begitu keras suara itu didengungkan ke gendang telinganya. Hanya dia sendiri yang mendengarnya.
Pak Sasmita menundukkan kepalanya, sedih.
“Kutukan itu datang dengan sendirinya atas kemauan alam. Alam tak terima atas perlakuan jahat Pak Sasmita yang menyia-nyiakan Lastri.” Kata Mbah Darmo.
Pak Sasmita keluar dari ruangan itu. Wajahnya tampak gelisah. Dia merasa tak sanggup lagi menyimpan beban di hatinya sendirian. Dia harus mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Tetapi kini Pak Sasmita hanya bisa pasrah. Pasrah atas kesalahannya di masa lalu.
***
BERSAMBUNG
Diubah oleh pijar88 24-11-2014 13:08
itkgid dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas

Shortcut:








