- Beranda
- Stories from the Heart
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.
...
TS
pijar88
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.


Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By geabeautycare►serem bgt gan baca ceritanya mlm2 gini
Quote:
Original Posted By heymeymey►Idiiih cerita horor dari agan pijar,mantau trus ah pasti jadi ht nih
Quote:
Original Posted By hag3maru►udah ane cendolin gan buat penambah semangat
Quote:
Original Posted By emakotonk►ini suasana nya mirip daerah ane gan tegal laka2 tempo doeloe. ada gobak sodor ingkling.
Quote:
Original Posted By f.erge►gelar tikar dulu gan. baru nyampe bagian 3. keren dah om pijar
Quote:
Original Posted By doa.mamah.papah►nyimak di thread agan pijar lagi 

Quote:
Original Posted By km.airlangga►Ninggalin jejak. keren tulisannya
Quote:
Original Posted By archdrex46►Ijin gelar tiker plus ngampar gan...
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Quote:
Original Posted By R310s►seru nih,pling demen sm yg berbau mistik
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
Quote:
Original Posted By Kaijjinmaru►Mantaapp..ikutan gelar tiker dah dimarih
Quote:
Original Posted By Balater►dilanjut skrg aja gan, tanggung nuh penasaran..
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga

Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By morena90►Kata tiap kata di cerita ini mantep bener dah ga ada duanya emg agan pijar 88
Quote:
Original Posted By tins2000►Ikut nyimak gan, kayaknya rame cerita mistis/magis dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono dari kesenian sintren tsb. 

Quote:
Original Posted By sr.geek►ini agan pijar yg ceritanya dijadiin film itu ya, bookmark dulu deh, buat baca2.


Quote:
Original Posted By piringmelayang►bagus bgt gan critanya..
buat di jadikan novel horor mantep
buat di jadikan novel horor mantep
Quote:
Original Posted By yogipanjul►Wih ketemu agan pijar88 lg.. lanjut gan.. ane mau ngikutin ceritanya lg kayak dulu..
Quote:
Original Posted By peturuk►widih, om pijar bikin trit lagi 

Quote:
Original Posted By tresnokaroaku►Ane numpang gelar tiker sambil jualan kopi item ama kacang rebus ya gan.. 

Quote:
Original Posted By ian.putud►mantab ceritanya gan...ijin ninggalin jejak ya gan..makasih..
Quote:
Original Posted By rphen►Tinggalin jejak dulu gan ... Nice Thread !!
Quote:
Original Posted By imutkayamarmut►kisah horror namun untaian dan rangkaian kata2 yang menjadi kalimat demi kalimat begitu enak dibaca 

Quote:
Original Posted By pekrok►bad ending....lanjutanya mana,,,,yg kena kutukan ap...tapi bagus deh ceritanya
Quote:
Original Posted By hilton13►yang 4 tahun tinggal di rumah hantu udh beli buku + nonton filmnya (yg film agak gimana gitu asudahlah) yg ini siap siap nyari lagi udh ada di gramed kan om pijar ?
Quote:
Original Posted By Virgieuniquee►ane pertaama kali baca trit TS dluu bgt waktu 4ttdh masih trit biasa bgt,, baru dibuat malahan.. ga nyangka dr bacaan trit iseng bs suksesss..
matabelo
matabeloQuote:
Original Posted By FaizFatih►Bagus banget cerita nya.. bahasa yg di pakai benar2 membuat hanyut ke dalam alur cerita tsb. Mengingatkan sy ke novel "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari. Yg sdh di film kan dgn judul Sang Penari.
Utk TS: "Two Thumbs up"
Utk TS: "Two Thumbs up"
Quote:
Original Posted By stylish16►ini kisah nyata gan?
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
Diubah oleh pijar88 27-11-2014 18:48
itkgid dan mincli69 memberi reputasi
2
78.8K
Kutip
330
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pijar88
#20
KAVLING 4
Quote:
Hari-hari yang mendebarkan bagi Ranti akhirnya tiba juga. Saatnya pertunjukan sintren di gelar. Orang-orang yang terlibat dalam pertunjukan sintren sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Seperti biasa, dusun Segeran menjadi tempat digelarnya acara itu. Pak Sasmita bersama istrinya sejak sore sudah berada di rumah Pak Gimar yang jadi pawang sintren. Mereka mendampingi Ranti yang akan menjadi sintren malam nanti.
"Ini tak sekedar Sintren Ranti, kamu sekaligus diruwat dari sengkala..." Ucap Pak Sasmita dalam hati. Dia gembira akhirnya Ranti mau menjadi Sintren.
Jalanan desa tampak sepi. Pasar Kopenan tutup sejak sore hari. Angin malam merayapi sendi-sendi desa Krandekan yang menggigil. Awan tebal yang sedari tadi menggantung di atas langit Krandekan telah bergeser ke sisi langit lainnya. Hujan yang diperkirakan segera turun telah beralih. Dan langit pun kini tampak cerah oleh ribuan bintang-bintang.
Suara jangkrik tak putus-putus mengisi malam yang indah. Kunang-kunang tampak bertebaran di pucuk-pucuk pohon Sonokeling. Udara terasa panas. Sejak sore Pak Jumadi sudah tidak kelihatan di rumah besarnya. Sementara Maya tampak sedang berbincang dengan temannya di teras rumah.
Wardoyo keluar dari rumahnya yang besar. Wajahnya berseri-seri. Malam ini dia begitu bersemangat untuk menonton sintren di dusun Segeran, ujung desa Krandekan.
Bersama kedua temannya, Kandar dan Mardi, Selepas magrib mereka tampak berjalan kaki menyusuri jalanan desa yang bermandi cahaya bintang. Sejak siang mereka sepakat untuk menonton sintren bersama-sama. Satu alasan yang membuat Wardoyo begitu bersemangat adalah karena yang jadi sintren adalah Ranti, gadis cantik anak Pak Sasmita.
Kandar berjalan paling depan. Berbaju kotak-kotak dengan kain sarung diselempangkan di atas bahu. Pemuda tanggung itu tampak percaya diri dengan dandanan seperti itu. Begitupun Wardoyo, dibahunya terselempang kain sarung dari kios bapaknya. Mardi, pemuda gendut yang langkahnya terseok dan selalu ketinggalan dari kedua temannya itu mengalungkan kain sarungnya di leher. Mereka sama bercelana pendek. Bersandal jepit dan membawa beberapa perak uang logam.
Mereka melewati jalanan kecil berbatu yang konon akan diaspal beberapa bulan lagi. Kemudian melintas di bulak segera, bulak yang sering mereka lewati saat malam ketika mencari belut di persawahan timur. Ketika berada di area persawahan yang gelap oleh daun-daun petai cina, Wardoyo melihat sekelebat bayangan melesat cepat ke tengah sawah.
"Apa itu, apa ituu...?“ teriak Wardoyo pada kedua temannya.
Kandar dan Mardi serentak memandang ke arah yang ditunjuk Wardoyo tapi tak sempat melihat bayangan itu. Di atas langit timur seberkas cahaya kebiruan melintas dan jatuh di atas rumah penduduk, luput dari pandangan mata mereka.
"Memangnya apa yang kamu lihat tadi Yok?“ tanya Kandar.
"Entahlah, seperti binatang atau apa, tak begitu jelas. Dia hitam besar dan bergerak sangat cepat!“ Wardoyo menjelaskan.
"Itu, kata orang, namanya Hantu Celeng. Hantu celeng itu selalu gentayangan mencari mangsa.“ Ujar Mardi.
"Bukan, bukan... Kamu salah. Itu bukan hantu. Itu adalah...“ Kandar langsung menyanggah.
"Apa?“ Wardoyo penasaran.
"Kalau dari penjelasanmu tadi, itu sepertinya Celeng kresek. Jelmaan orang yang mencari pesugihan!“ Ujar Kandar yakin.
"Ach sudahlah, ngapain juga mikirin itu? Yang penting kita selamat dan tujuan kita kan mau nonton Sintren?“
"Coba periksa kantong celanamu, masih ada nggak uangmu?“
Wardoyo merogoh kantong celananya. Tidak ada yang berubah, uangnya masih utuh. Kedua temannya juga mengikuti Wardoyo memeriksa kantong celana mereka, tak ada yang mencurigakan.
Ketiga sahabat itu pun kembali melanjutkan perjalanan.
Mereka tiba di dusun Segeran ketika baru beberapa menit acara dimulai. Gema nyanyian merdu terdengar mendayu-dayu. Empat buah lampu petromax besar tampak tergantung di atas tiang penyangga dari bambu yang saling bertaut pada ujungnya.
Para pedagang malam menggelar dagangan mereka di sepanjang jalan. Kacang rebus, jagung bakar, dan para pedagang mainan memadati sekeliling arena pertunjukan. Ada dua bandar judi koprok yang juga menggelar taruhan dengan hadiah rokok yang dipajang di atas tikar pandan.
Puluhan orang tampak mengerumuni para bandar itu. Ada yang sekedar melihat-lihat, ada pula yang ikut menjajal keberuntungan demi mendapatkan sebungkus atau beberapa bungkus rokok. Tukang es, mie ayam dan bakso tampak berderet di pinggir-pinggir jalan dekat acara.
Wardoyo menatap ke depan. Mencari-cari makanan yang kira-kira menarik hatinya. Dia tersenyum senang. Tukang jenang gaplok yang biasa berjualan setiap ada pertunjukan ternyata tak ketinggalan menempati salah satu tempat di ujung jalan. Mereka, sepasang suami istri berusia lanjut yang mengabdikan dirinya berjualan jenang dari saat mereka masih muda.
Dulu, semasa kecil Wardoyo sering ketakutan saat melihat kakek tua berjanggut panjang itu mengayunkan pisau besarnya di atas jenang gaplok yang keras.
Wardoyo melihat sekilas angkringan dari bambu yang teronggok di pinggir jalan. Tempat itu remang dan tak seramai tempat lainnya. Sebuah lampu teplok tampak menyala redup tak sanggup mengusir kegelapan di sekitar angkringan itu. Sinarnya hanya mampu menerangi sebagian kecil angkringan. Tapi kedua orang tua itu tampak semangat dengan jualannya. Semasa kecil dulu, bahkan sejak dari kanak-kanak ayahnya sering membelikan jenang gaplok buatan kakek tua itu.
Wardoyo ingat cerita ayahnya dulu, bahwa si kakek sebenarnya mempunyai anak perempuan yang sering menemaninya berjualan. Tapi semenjak anaknya menghilang, si kakek selalu mengajak istrinya menjajakan jenang gaploknya.
Konon mereka berjualan jenang gaplok sembari mencari anaknya yang hilang.
"Hei, Mardi, Kandar... Siapa yang mau jenang gaplok? Aku bayarin kalian!“ Seru Wardoyo.
Kedua temannya diam saja. Sesaat mereka tak bereaksi. Wardoyo kembali berseru menawari Jenang. Barulah kedua temannya mengangguk setuju. Mereka pun berhenti. Wardoyo langsung menghampiri kakek tua penjual jenang itu. Dilihatnya si kakek sedang mengasah pisau besarnya dengan batu wungkal.
"Kek, jenangnya tiga biji.“ Kata Wardoyo.
"Berapa?“ Kakek tua itu mengambil pisaunya dan bersiap memotong makanan pipih keras berwarna hitam.
"Tiga biji“
Kakek tua itu mengayunkan pisaunya yang tajam dan mengenai makanan berbentuk lebar kotak itu, dipotongnya menjadi beberapa bagian seukuran tiga jari orang dewasa.
"Blukk ! blukk ! blukk !!“ Suara pisau beradu dengan papan pipih terdengar keras di telinga Wardoyo.
Tiba-tiba Wardoyo ternganga. Dia merasa ngeri dan ketakutan saat melihat cairan merah kental meleleh dari sayatan-sayatan lembaran jenang gaplok itu. Merah tua semerah darah! Perutnya tiba-tiba terasa mual.
Kandar dan Mardi melihat keanehan pada diri Wardoyo tapi tak tahu apa yang telah terjadi. Mereka keheranan melihat Wardoyo menutupi kedua matanya.
"Kek, kakek... ! Ini apa?“ ucap wardoyo sambil menyentuh cairan kental berwarna merah itu. Kakek penjual jenang itu tak menjawab.
Wardoyo bingung. Diangakatnya jari yang terkena cairan dan didekatkannya ke hidung, seketika tercium bau amis darah. Di sebelah kakek tua itu, si nenek tersenyum dan memperhatikan Wardoyo. Tatapannya begitu tajam.
"Kayak darah ini kek, ini... Ini... Darah?!“ Wardoyo terbata-bata.
"Kamu salah lihat nak, apa yang terjadi sama kamu? Tidak ada darah di sini.“ Suara nenek berujar. Si kakek tampak mengangguk-angguk.
Wardoyo kembali mendekatkan jari tangannya ke hidung. Tak ada darah. Dipandanginya papan alas jenang tempat dia tadi melihat darah mengalir.
Tak ada darah. Tak ada apa-apa di sana.
"Hati-hatilah kamu menjaga diri nak, sepertinya ada aura jahat di sekelilingmu.“
"Maksud kakek?“
"Kamu akan mengerti pada saatnya nanti.“
Wardoyo segera membayar jenang yang dipesannya. Jenang di dalam bungkusan plastik itu diberikannya kepada Mardi.
"Kamu bawa saja dulu Di.“
Mardi menatap Wardoyo keheranan. Dia tak mengerti apa maksud Wardoyo.
"Apa Yok? Ini apa?“ tanya Mardi.
"Ini jenangnya. Kamu bawa dulu, kita makan jenang ini nanti...“
Karena penasaran Mardi spontan membuka bungkusan plastik hitam itu sementara Kandar memperhatikan dengan seksama.
Terbukalah bungkusan itu. Tiba-tiba Mardi dan Kandar tertawa terkekehkekeh.
"Mana..., mana jenangnya... Kamu jangan ngaco Yok. Masa bungkusan sampah begini kamu bilang Jenang?“
Wardoyo ternganga tak mengerti dengan ucapan kedua temannya. Dia membalikkan tubuhnya dan memanggil kakek penjual jenang tadi, "Kek, kakek...“
Wardoyo terkejut setengah mati. Tidak ada apa-apa di sana. Di lokasi itu hanya tampak tumpukan sampah-sampah kardus dan pelepah pisang. Terdapat lubang berukuran lingkar tubuh orang dewasa dengan taburan bunga melati di atasnya.
"Dari tadi kami keheranan melihat kamu diam lama di tempat itu Yok.“ Kandar berubah serius.
“Waktu kami panggil-panggil kamu diam saja...“ Mardi menimpali.
“Tahu-tahu kamu pungut bungkusan itu dari onggokan sampah !” tukas Kandar.
Jantung Wardoyo berdesir. Hati dan perasaannya kacau. Tetapi demi niat semula untuk melihat pertunjukan sintren, dia tak menghiraukan kejadian itu.
Merekapun bergegas menuju tanah lapang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Wardoyo menoleh ke tempat itu kembali, tidak ada tukang jenang gaplok. Tidak ada angkringan tua. Tak ada apa-apa selain onggokan sampah dan pelepah pisang.
Suasana bersih desa itu benar-benar meriah seperti pasar malam. Di tengah tanah lapang tersebut suasana lebih riuh lagi. Orang-orang berdiri teratur mengelilingi arena. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, mengikuti dengan khidmat acara inti yang sebentar lagi akan digelar. Ketiga pemuda tanggung itu tampak menikmati suasana pertunjukan di depan matanya.
Pak Kades tampil ke tengah arena memberi sepatah dua patah kata sambutan. Mereka semua berdoa agar prosesi berjalan lancar. Gendang ditabuh dan pertunjukan sintrenpun segera dimulai.
Ranti mengenakan kaus putih dan berjongkok di tengah tanah lapang. Di sebelahnya sebuah sangkar tinggi berhias kain coklat keemasan tampak tegak mengerikan. Semerbak harum kemenyan terbawa angin. Pak Gimar berkeliling arena sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra.
Nyanyian para pengiring terus bergema bersahutan mengiringi laku sang pawang.
Setelah memandang berkeliling, sang plandang mengangkat lalu menutupkan sangkar besar itu hingga menyelubungi tubuh Ranti. Dalam sekejab tubuh Ranti tak lagi terlihat. Tersembunyi di dalam sangkar. Wardoyo tak berkedip menatap prosesi ritual sintren itu. Jantungnya berdegup kencang.
Beberapa menit kemudian Sangkar kembali dibuka. Semua orang terpana takjub melihat perubahan terjadi pada diri Ranti. Gadis cantik itu sudah berpakaian rapi dan anggun selayaknya bidadari. Ranti seolah berubah menjadi orang lain, sosok agung bidadari yang turun dari kahyangan. Tetapi Ranti yang berjongkok dan sudah berpakaian Sintren itu masih terikat tali temali yang melilit tubuhnya. Para pengiring segera menyanyikan tembang pembuka tali,
Solasih solandana, menyan putih pengundang dewa, ala dewa saking sukma, widadari temuruna. Solasih ...
Kemben coklat melilit tubuh Ranti. Rumbai-rumbai jalinan bunga melati tampak indah di atas rambut yang sebagian tergelung dan sebagian terurai. Sebuah kacamata hitam menghias wajahnya, sementara selendang kuning melambai di pinggang. Saputangan di jari kanannya menambah anggun dan mistis penampilan Ranti malam ini.
Gendang ketipung ditabuh. Perlahan Ranti mulai menari dengan gemulai di tengah arena. Lagu Turun Sintren menyambut Ranti yang siap menghibur penonton. Teriakan dan siulan para pemuda bersahut-sahutan menambah hingar suasana.
Wardoyo terkagum-kagum. Ranti sungguh memukau dirinya. Kejadian aneh dan mengerikan di jalanan tadi telah dilupakannya. Wardoyo hanya menikmati melihat gadis pujaan hatinya mengenakan pakaian sintren yang serba gemerlap. Ranti dengan sepasang mata indah dan kulit putihnya yang mengkilap. Dalam hati Wardoyo terus memuji Ranti yang paling cantik di antara gadis-gadis lain di desanya. Selama ini mereka telah berteman selayaknya pertemanan anak desa. Tak lebih dari itu.
Kadang-kadang rasa rindu menggelayut di hati Wardoyo jika sehari saja dia tak melihat Ranti. Biasanya Wardoyo akan mencari alasan untuk bisa bertemu Ranti. Wardoyo ke kios orang tuanya jika Ranti menemani ibunya di pasar. Dia sengaja ke sawah untuk melihat Ranti mengantar makanan para pekerja. Jika musim bajak sawah tiba, Wardoyo sering memberikan belut hasil tangkapan bersama teman-temannya kepada Ranti. Begitu besar kerinduan yang sering dirasakannya.
Hari ini Wardoyo begitu gembira melihat Ranti dalam sosok yang berbeda. Malam bersih desa ini, pertama kalinya Ranti menjadi seorang sintren.
“Turun, turun sintren… sintrene widodari…”Suara kur pengiring dan para pawang berpadu dengan suara ketipung terdengar merdu di telinga para penonton. Satu persatu para penonton meminta lagu dengan melempar kain sarung ke tubuh sintren. Berulangkali pula sintren Ranti jatuh tak sadarkan diri, bangkit menari, dan jatuh lagi.
Wardoyo terhenyak menikmati alunan merdu nyanyian sintren. Satu jam sudah sintren Ranti tak lelah menari. Diliriknya Kandar yang berdiri di sebelahnya. Kandar juga tampak begitu menikmati acara. Kandar melepas dan menggulung kain sarungnya bersiap untuk mbalang sintren. Tak berapa lama kemudian gulungan kain sarung kandar meluncur deras mengenai tubuh Ranti yang sedang menari.
Ranti jatuh pingsan lagi. Para Plandang langsung menyergap tubuh Ranti yang limbung. Sangkar kembali ditutupkan ke tubuh Ranti yang terduduk. Nyanyian koor pengiring kembali terdengar. Tak berapa lama tembang pilihan Kandar pun mengalun mengiringi tarian sintren.
Wardoyo tergoda untuk turut mbalang seperti orang-orang itu. Dilepaskannya kain sarung yang tersampir di bahu, lalu dibentuk menyerupai bulatan kemudian dilemparkannya pelan ke arah Ranti yang sedang menari dengan indah. Wardoyo menghela nafas.
“Brett !” Kain sarung itu halus mengenai tubuh Ranti, tubuh gemulai Ranti yang indah itupun jatuh dan tak sadarkan diri. Kembali sang plandang sigap menangkap tubuh Ranti yang hendak ambruk ke tanah. Wajah cantiknya yang berhias rumbai-rumbai gabus dan untaian melati itupun terkulai di atas lengan sang Plandang. Lagu dan suara ketipung tetap mengalun seolah tak terjadi apa-apa.
“Minta tembang apa dik?” Teriak sang plandang ke arah Wardoyo
“Kembang telo…” Teriak Wardoyo. Entah bagaimana tiba-tiba saja terucap judul tembang itu.
“Tidak boleh, tidak boleh nyanyi lagu itu !” Teriak Pak Gimar langsung merangsek ke tengah arena.
“Kenapa Pak?”
“Siapa yang akan bertanggungjawab kalau tembang itu tetap dinyanyikan?” Tak ada yang menjawab. Semua tampak terdiam.
“Tembang Mliwis Putih saja Pak,” ucap Wardoyo kemudian.
Sintren kembali diselubungi sangkar besar. Pak Gimar komat-kamit dengan sebelah tangannya meremas gumpalan dupa yang langsung terjatuh di atas cawan pembakaran. Bau kemenyan menyebar kemana-mana bercampur wangi serimpi yang harum baunya.
Sangkar dibuka bersamaan dengan tembang Mliwis putih yang dinyanyikan para pengiring dengan merdu, iramanya terdengar mendayu-dayu. Hingga lagu itu hampir selesai dinyanyikan, Sintren yang menari diiringi musik gendang ketipung berjalan pelan menghampiri Wardoyo. Tangan Plandang menjulur memberikan kain sarung Wardoyo. Kain Sarung itu kini telah berbau harum serimpi. Berulang kali Wardoyo mencium kain sarungnya seolah diri Ranti ada di sana.
Di tengah suasana yang begitu meriah tiba-tiba terdengar suara gaduh dari ujung jalan. Sekelabat bayangan hitam melesat cepat. Sekian detik kemudian empat orang tampak berlarian mengejar bayangan yang tampak seperti binatang. Besar dan berwarna gelap kecoklatan. “Celeeeeng… Celeeeeng…. !!” Teriak orang-orang yang berlari kencang mengejar bayangan hitam itu.
Orang-orang disekitar pertunjukan sintren itu pun berhamburan turut memburu binatang yang dimaksud, tapi dalam sekejap saja mereka kecewa. Mereka saling pandang tak mengerti dengan apa yang terjadi.
Sesuatu yang mereka kejar itu menghilang begitu cepat. Tidak ada yang tahu kemana larinya. Bayangan itu hilang begitu saja di depan mata mereka.
Wardoyo dan Kandar ternganga melihat pemandangan di depan matanya. Mereka tak sempat melihat wujud dari sesuatu yang dikejar oleh keempat orang yang kini tampak kesal dan kecewa. Ke empat orang itu berteriak-teriak memaki.
“Celeng kresek…! Celeng kresek..! Awas kamu, tak cincang-cincang tubuhmu kalo ketemu!”
“Cari lagi, cari lagi..!! Ayo bunuh !! Kita bunuuuh !”
Teriakan-teriakan mereka membuat suasana jadi kacau balau. Orang-orang turut mencari-cari celeng kresek itu. Tapi nihil, tak ada seorang pun menemukan yang mereka cari.
“Sudah, sudah… Mungkin kalian salah lihat.” Teriak Pak Gimar tak kalah keras. Laki-laki kurus yang setiap musim panen menjadi plandang itu merasa terusik dengan kedatangan keempat orang yang membuat acara sintren itu berantakan.
“Benar Pak Gimar, kami benar-benar melihat Celeng itu tadi…” teriak salah satu dari mereka.
“Wah, rupanya ada celeng kresek di desa kita, ada babi ngepeeet” Seru Pak Sasmita yang sedari tadi cemas mengikuti jalannya pertunjukan sintren. Dia menyesalkan ribut-ribut itu terjadi pas ketika Ranti sudah akan diruwat.
“Sudah, sudah. Kalian kejar saja sana kalau bisa. Biarkan pertunjukan sintren ini tetap berjalan, jangan ganggu lagi.” Teriak kencang Pak Gimar.
Gendang ketipung kembali berbunyi dengan suara menghentak. Pertunjukan sintren pun dilanjutkan kembali.
Turun, turun sintren, sintrene widodari, nemu kembang ning ayunan, kembange putri mahendra, Widodari temuruno, manjing maring sing dadi.
Pertunjukan sintren berakhir tepat jam 1 malam. Orang-orang pun bubar. Wardoyo dan ketiga temannnya kembali melewati jalan berbatu mengarah ke rumah mereka di dusun Kopenan. Langkah-langkah mereka terasa berat karena kantuk yang mulai mendera.
“Kandar, bagaimana penampilan Ranti tadi menurutmu?” Tanya Wardoyo.
Kandar yang berjalan sambil memakan kacang rebus menjawab,”Duh, yang punya pacar…”
“Pacar bagaimana, orang kami tidak pacaran kok…” wajah Wardoyo terlihat malu.
“Kalian belum pacaran..?” tukas Mardi.
“Saya tanya, penampilan Ranti tadi bagaimana? Cantik bukan?”
“Iya, iya.. Cantik!”
Hari sudah larut ketika Wardoyo dan ketiga temannya sampai di rumah masing-masing. Mereka merasa puas. Setidaknya Wardoyo sudah sangat puas melihat Ranti menari dan berlenggak-lenggok mengikuti permintaan lagunya.
Di kamarnya, Wardoyo terbayang-bayang wajah Ranti yang sangat menarik di matanya. Jauh di dasar hatinya dia berharap kata-kata Kandar akan menjadi kenyataan. Setelah sama-sama dewasa nanti, Ranti mau menjadi pacarnya. Untuk saat ini, Wardoyo tak hendak berfikir macam-macam. Dia merasa belum pantas memiliki seorang kekasih.
"Ini tak sekedar Sintren Ranti, kamu sekaligus diruwat dari sengkala..." Ucap Pak Sasmita dalam hati. Dia gembira akhirnya Ranti mau menjadi Sintren.
Jalanan desa tampak sepi. Pasar Kopenan tutup sejak sore hari. Angin malam merayapi sendi-sendi desa Krandekan yang menggigil. Awan tebal yang sedari tadi menggantung di atas langit Krandekan telah bergeser ke sisi langit lainnya. Hujan yang diperkirakan segera turun telah beralih. Dan langit pun kini tampak cerah oleh ribuan bintang-bintang.
Suara jangkrik tak putus-putus mengisi malam yang indah. Kunang-kunang tampak bertebaran di pucuk-pucuk pohon Sonokeling. Udara terasa panas. Sejak sore Pak Jumadi sudah tidak kelihatan di rumah besarnya. Sementara Maya tampak sedang berbincang dengan temannya di teras rumah.
Wardoyo keluar dari rumahnya yang besar. Wajahnya berseri-seri. Malam ini dia begitu bersemangat untuk menonton sintren di dusun Segeran, ujung desa Krandekan.
Bersama kedua temannya, Kandar dan Mardi, Selepas magrib mereka tampak berjalan kaki menyusuri jalanan desa yang bermandi cahaya bintang. Sejak siang mereka sepakat untuk menonton sintren bersama-sama. Satu alasan yang membuat Wardoyo begitu bersemangat adalah karena yang jadi sintren adalah Ranti, gadis cantik anak Pak Sasmita.
Kandar berjalan paling depan. Berbaju kotak-kotak dengan kain sarung diselempangkan di atas bahu. Pemuda tanggung itu tampak percaya diri dengan dandanan seperti itu. Begitupun Wardoyo, dibahunya terselempang kain sarung dari kios bapaknya. Mardi, pemuda gendut yang langkahnya terseok dan selalu ketinggalan dari kedua temannya itu mengalungkan kain sarungnya di leher. Mereka sama bercelana pendek. Bersandal jepit dan membawa beberapa perak uang logam.
Mereka melewati jalanan kecil berbatu yang konon akan diaspal beberapa bulan lagi. Kemudian melintas di bulak segera, bulak yang sering mereka lewati saat malam ketika mencari belut di persawahan timur. Ketika berada di area persawahan yang gelap oleh daun-daun petai cina, Wardoyo melihat sekelebat bayangan melesat cepat ke tengah sawah.
"Apa itu, apa ituu...?“ teriak Wardoyo pada kedua temannya.
Kandar dan Mardi serentak memandang ke arah yang ditunjuk Wardoyo tapi tak sempat melihat bayangan itu. Di atas langit timur seberkas cahaya kebiruan melintas dan jatuh di atas rumah penduduk, luput dari pandangan mata mereka.
"Memangnya apa yang kamu lihat tadi Yok?“ tanya Kandar.
"Entahlah, seperti binatang atau apa, tak begitu jelas. Dia hitam besar dan bergerak sangat cepat!“ Wardoyo menjelaskan.
"Itu, kata orang, namanya Hantu Celeng. Hantu celeng itu selalu gentayangan mencari mangsa.“ Ujar Mardi.
"Bukan, bukan... Kamu salah. Itu bukan hantu. Itu adalah...“ Kandar langsung menyanggah.
"Apa?“ Wardoyo penasaran.
"Kalau dari penjelasanmu tadi, itu sepertinya Celeng kresek. Jelmaan orang yang mencari pesugihan!“ Ujar Kandar yakin.
"Ach sudahlah, ngapain juga mikirin itu? Yang penting kita selamat dan tujuan kita kan mau nonton Sintren?“
"Coba periksa kantong celanamu, masih ada nggak uangmu?“
Wardoyo merogoh kantong celananya. Tidak ada yang berubah, uangnya masih utuh. Kedua temannya juga mengikuti Wardoyo memeriksa kantong celana mereka, tak ada yang mencurigakan.
Ketiga sahabat itu pun kembali melanjutkan perjalanan.
Mereka tiba di dusun Segeran ketika baru beberapa menit acara dimulai. Gema nyanyian merdu terdengar mendayu-dayu. Empat buah lampu petromax besar tampak tergantung di atas tiang penyangga dari bambu yang saling bertaut pada ujungnya.
Para pedagang malam menggelar dagangan mereka di sepanjang jalan. Kacang rebus, jagung bakar, dan para pedagang mainan memadati sekeliling arena pertunjukan. Ada dua bandar judi koprok yang juga menggelar taruhan dengan hadiah rokok yang dipajang di atas tikar pandan.
Puluhan orang tampak mengerumuni para bandar itu. Ada yang sekedar melihat-lihat, ada pula yang ikut menjajal keberuntungan demi mendapatkan sebungkus atau beberapa bungkus rokok. Tukang es, mie ayam dan bakso tampak berderet di pinggir-pinggir jalan dekat acara.
Wardoyo menatap ke depan. Mencari-cari makanan yang kira-kira menarik hatinya. Dia tersenyum senang. Tukang jenang gaplok yang biasa berjualan setiap ada pertunjukan ternyata tak ketinggalan menempati salah satu tempat di ujung jalan. Mereka, sepasang suami istri berusia lanjut yang mengabdikan dirinya berjualan jenang dari saat mereka masih muda.
Dulu, semasa kecil Wardoyo sering ketakutan saat melihat kakek tua berjanggut panjang itu mengayunkan pisau besarnya di atas jenang gaplok yang keras.
Wardoyo melihat sekilas angkringan dari bambu yang teronggok di pinggir jalan. Tempat itu remang dan tak seramai tempat lainnya. Sebuah lampu teplok tampak menyala redup tak sanggup mengusir kegelapan di sekitar angkringan itu. Sinarnya hanya mampu menerangi sebagian kecil angkringan. Tapi kedua orang tua itu tampak semangat dengan jualannya. Semasa kecil dulu, bahkan sejak dari kanak-kanak ayahnya sering membelikan jenang gaplok buatan kakek tua itu.
Wardoyo ingat cerita ayahnya dulu, bahwa si kakek sebenarnya mempunyai anak perempuan yang sering menemaninya berjualan. Tapi semenjak anaknya menghilang, si kakek selalu mengajak istrinya menjajakan jenang gaploknya.
Konon mereka berjualan jenang gaplok sembari mencari anaknya yang hilang.
"Hei, Mardi, Kandar... Siapa yang mau jenang gaplok? Aku bayarin kalian!“ Seru Wardoyo.
Kedua temannya diam saja. Sesaat mereka tak bereaksi. Wardoyo kembali berseru menawari Jenang. Barulah kedua temannya mengangguk setuju. Mereka pun berhenti. Wardoyo langsung menghampiri kakek tua penjual jenang itu. Dilihatnya si kakek sedang mengasah pisau besarnya dengan batu wungkal.
"Kek, jenangnya tiga biji.“ Kata Wardoyo.
"Berapa?“ Kakek tua itu mengambil pisaunya dan bersiap memotong makanan pipih keras berwarna hitam.
"Tiga biji“
Kakek tua itu mengayunkan pisaunya yang tajam dan mengenai makanan berbentuk lebar kotak itu, dipotongnya menjadi beberapa bagian seukuran tiga jari orang dewasa.
"Blukk ! blukk ! blukk !!“ Suara pisau beradu dengan papan pipih terdengar keras di telinga Wardoyo.
Tiba-tiba Wardoyo ternganga. Dia merasa ngeri dan ketakutan saat melihat cairan merah kental meleleh dari sayatan-sayatan lembaran jenang gaplok itu. Merah tua semerah darah! Perutnya tiba-tiba terasa mual.
Kandar dan Mardi melihat keanehan pada diri Wardoyo tapi tak tahu apa yang telah terjadi. Mereka keheranan melihat Wardoyo menutupi kedua matanya.
"Kek, kakek... ! Ini apa?“ ucap wardoyo sambil menyentuh cairan kental berwarna merah itu. Kakek penjual jenang itu tak menjawab.
Wardoyo bingung. Diangakatnya jari yang terkena cairan dan didekatkannya ke hidung, seketika tercium bau amis darah. Di sebelah kakek tua itu, si nenek tersenyum dan memperhatikan Wardoyo. Tatapannya begitu tajam.
"Kayak darah ini kek, ini... Ini... Darah?!“ Wardoyo terbata-bata.
"Kamu salah lihat nak, apa yang terjadi sama kamu? Tidak ada darah di sini.“ Suara nenek berujar. Si kakek tampak mengangguk-angguk.
Wardoyo kembali mendekatkan jari tangannya ke hidung. Tak ada darah. Dipandanginya papan alas jenang tempat dia tadi melihat darah mengalir.
Tak ada darah. Tak ada apa-apa di sana.
"Hati-hatilah kamu menjaga diri nak, sepertinya ada aura jahat di sekelilingmu.“
"Maksud kakek?“
"Kamu akan mengerti pada saatnya nanti.“
Wardoyo segera membayar jenang yang dipesannya. Jenang di dalam bungkusan plastik itu diberikannya kepada Mardi.
"Kamu bawa saja dulu Di.“
Mardi menatap Wardoyo keheranan. Dia tak mengerti apa maksud Wardoyo.
"Apa Yok? Ini apa?“ tanya Mardi.
"Ini jenangnya. Kamu bawa dulu, kita makan jenang ini nanti...“
Karena penasaran Mardi spontan membuka bungkusan plastik hitam itu sementara Kandar memperhatikan dengan seksama.
Terbukalah bungkusan itu. Tiba-tiba Mardi dan Kandar tertawa terkekehkekeh.
"Mana..., mana jenangnya... Kamu jangan ngaco Yok. Masa bungkusan sampah begini kamu bilang Jenang?“
Wardoyo ternganga tak mengerti dengan ucapan kedua temannya. Dia membalikkan tubuhnya dan memanggil kakek penjual jenang tadi, "Kek, kakek...“
Wardoyo terkejut setengah mati. Tidak ada apa-apa di sana. Di lokasi itu hanya tampak tumpukan sampah-sampah kardus dan pelepah pisang. Terdapat lubang berukuran lingkar tubuh orang dewasa dengan taburan bunga melati di atasnya.
"Dari tadi kami keheranan melihat kamu diam lama di tempat itu Yok.“ Kandar berubah serius.
“Waktu kami panggil-panggil kamu diam saja...“ Mardi menimpali.
“Tahu-tahu kamu pungut bungkusan itu dari onggokan sampah !” tukas Kandar.
Jantung Wardoyo berdesir. Hati dan perasaannya kacau. Tetapi demi niat semula untuk melihat pertunjukan sintren, dia tak menghiraukan kejadian itu.
Merekapun bergegas menuju tanah lapang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Wardoyo menoleh ke tempat itu kembali, tidak ada tukang jenang gaplok. Tidak ada angkringan tua. Tak ada apa-apa selain onggokan sampah dan pelepah pisang.
Suasana bersih desa itu benar-benar meriah seperti pasar malam. Di tengah tanah lapang tersebut suasana lebih riuh lagi. Orang-orang berdiri teratur mengelilingi arena. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, mengikuti dengan khidmat acara inti yang sebentar lagi akan digelar. Ketiga pemuda tanggung itu tampak menikmati suasana pertunjukan di depan matanya.
Pak Kades tampil ke tengah arena memberi sepatah dua patah kata sambutan. Mereka semua berdoa agar prosesi berjalan lancar. Gendang ditabuh dan pertunjukan sintrenpun segera dimulai.
Ranti mengenakan kaus putih dan berjongkok di tengah tanah lapang. Di sebelahnya sebuah sangkar tinggi berhias kain coklat keemasan tampak tegak mengerikan. Semerbak harum kemenyan terbawa angin. Pak Gimar berkeliling arena sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra.
Nyanyian para pengiring terus bergema bersahutan mengiringi laku sang pawang.
Setelah memandang berkeliling, sang plandang mengangkat lalu menutupkan sangkar besar itu hingga menyelubungi tubuh Ranti. Dalam sekejab tubuh Ranti tak lagi terlihat. Tersembunyi di dalam sangkar. Wardoyo tak berkedip menatap prosesi ritual sintren itu. Jantungnya berdegup kencang.
Beberapa menit kemudian Sangkar kembali dibuka. Semua orang terpana takjub melihat perubahan terjadi pada diri Ranti. Gadis cantik itu sudah berpakaian rapi dan anggun selayaknya bidadari. Ranti seolah berubah menjadi orang lain, sosok agung bidadari yang turun dari kahyangan. Tetapi Ranti yang berjongkok dan sudah berpakaian Sintren itu masih terikat tali temali yang melilit tubuhnya. Para pengiring segera menyanyikan tembang pembuka tali,
Solasih solandana, menyan putih pengundang dewa, ala dewa saking sukma, widadari temuruna. Solasih ...
Kemben coklat melilit tubuh Ranti. Rumbai-rumbai jalinan bunga melati tampak indah di atas rambut yang sebagian tergelung dan sebagian terurai. Sebuah kacamata hitam menghias wajahnya, sementara selendang kuning melambai di pinggang. Saputangan di jari kanannya menambah anggun dan mistis penampilan Ranti malam ini.
Gendang ketipung ditabuh. Perlahan Ranti mulai menari dengan gemulai di tengah arena. Lagu Turun Sintren menyambut Ranti yang siap menghibur penonton. Teriakan dan siulan para pemuda bersahut-sahutan menambah hingar suasana.
Wardoyo terkagum-kagum. Ranti sungguh memukau dirinya. Kejadian aneh dan mengerikan di jalanan tadi telah dilupakannya. Wardoyo hanya menikmati melihat gadis pujaan hatinya mengenakan pakaian sintren yang serba gemerlap. Ranti dengan sepasang mata indah dan kulit putihnya yang mengkilap. Dalam hati Wardoyo terus memuji Ranti yang paling cantik di antara gadis-gadis lain di desanya. Selama ini mereka telah berteman selayaknya pertemanan anak desa. Tak lebih dari itu.
Kadang-kadang rasa rindu menggelayut di hati Wardoyo jika sehari saja dia tak melihat Ranti. Biasanya Wardoyo akan mencari alasan untuk bisa bertemu Ranti. Wardoyo ke kios orang tuanya jika Ranti menemani ibunya di pasar. Dia sengaja ke sawah untuk melihat Ranti mengantar makanan para pekerja. Jika musim bajak sawah tiba, Wardoyo sering memberikan belut hasil tangkapan bersama teman-temannya kepada Ranti. Begitu besar kerinduan yang sering dirasakannya.
Hari ini Wardoyo begitu gembira melihat Ranti dalam sosok yang berbeda. Malam bersih desa ini, pertama kalinya Ranti menjadi seorang sintren.
“Turun, turun sintren… sintrene widodari…”Suara kur pengiring dan para pawang berpadu dengan suara ketipung terdengar merdu di telinga para penonton. Satu persatu para penonton meminta lagu dengan melempar kain sarung ke tubuh sintren. Berulangkali pula sintren Ranti jatuh tak sadarkan diri, bangkit menari, dan jatuh lagi.
Wardoyo terhenyak menikmati alunan merdu nyanyian sintren. Satu jam sudah sintren Ranti tak lelah menari. Diliriknya Kandar yang berdiri di sebelahnya. Kandar juga tampak begitu menikmati acara. Kandar melepas dan menggulung kain sarungnya bersiap untuk mbalang sintren. Tak berapa lama kemudian gulungan kain sarung kandar meluncur deras mengenai tubuh Ranti yang sedang menari.
Ranti jatuh pingsan lagi. Para Plandang langsung menyergap tubuh Ranti yang limbung. Sangkar kembali ditutupkan ke tubuh Ranti yang terduduk. Nyanyian koor pengiring kembali terdengar. Tak berapa lama tembang pilihan Kandar pun mengalun mengiringi tarian sintren.
Wardoyo tergoda untuk turut mbalang seperti orang-orang itu. Dilepaskannya kain sarung yang tersampir di bahu, lalu dibentuk menyerupai bulatan kemudian dilemparkannya pelan ke arah Ranti yang sedang menari dengan indah. Wardoyo menghela nafas.
“Brett !” Kain sarung itu halus mengenai tubuh Ranti, tubuh gemulai Ranti yang indah itupun jatuh dan tak sadarkan diri. Kembali sang plandang sigap menangkap tubuh Ranti yang hendak ambruk ke tanah. Wajah cantiknya yang berhias rumbai-rumbai gabus dan untaian melati itupun terkulai di atas lengan sang Plandang. Lagu dan suara ketipung tetap mengalun seolah tak terjadi apa-apa.
“Minta tembang apa dik?” Teriak sang plandang ke arah Wardoyo
“Kembang telo…” Teriak Wardoyo. Entah bagaimana tiba-tiba saja terucap judul tembang itu.
“Tidak boleh, tidak boleh nyanyi lagu itu !” Teriak Pak Gimar langsung merangsek ke tengah arena.
“Kenapa Pak?”
“Siapa yang akan bertanggungjawab kalau tembang itu tetap dinyanyikan?” Tak ada yang menjawab. Semua tampak terdiam.
“Tembang Mliwis Putih saja Pak,” ucap Wardoyo kemudian.
Sintren kembali diselubungi sangkar besar. Pak Gimar komat-kamit dengan sebelah tangannya meremas gumpalan dupa yang langsung terjatuh di atas cawan pembakaran. Bau kemenyan menyebar kemana-mana bercampur wangi serimpi yang harum baunya.
Sangkar dibuka bersamaan dengan tembang Mliwis putih yang dinyanyikan para pengiring dengan merdu, iramanya terdengar mendayu-dayu. Hingga lagu itu hampir selesai dinyanyikan, Sintren yang menari diiringi musik gendang ketipung berjalan pelan menghampiri Wardoyo. Tangan Plandang menjulur memberikan kain sarung Wardoyo. Kain Sarung itu kini telah berbau harum serimpi. Berulang kali Wardoyo mencium kain sarungnya seolah diri Ranti ada di sana.
Di tengah suasana yang begitu meriah tiba-tiba terdengar suara gaduh dari ujung jalan. Sekelabat bayangan hitam melesat cepat. Sekian detik kemudian empat orang tampak berlarian mengejar bayangan yang tampak seperti binatang. Besar dan berwarna gelap kecoklatan. “Celeeeeng… Celeeeeng…. !!” Teriak orang-orang yang berlari kencang mengejar bayangan hitam itu.
Orang-orang disekitar pertunjukan sintren itu pun berhamburan turut memburu binatang yang dimaksud, tapi dalam sekejap saja mereka kecewa. Mereka saling pandang tak mengerti dengan apa yang terjadi.
Sesuatu yang mereka kejar itu menghilang begitu cepat. Tidak ada yang tahu kemana larinya. Bayangan itu hilang begitu saja di depan mata mereka.
Wardoyo dan Kandar ternganga melihat pemandangan di depan matanya. Mereka tak sempat melihat wujud dari sesuatu yang dikejar oleh keempat orang yang kini tampak kesal dan kecewa. Ke empat orang itu berteriak-teriak memaki.
“Celeng kresek…! Celeng kresek..! Awas kamu, tak cincang-cincang tubuhmu kalo ketemu!”
“Cari lagi, cari lagi..!! Ayo bunuh !! Kita bunuuuh !”
Teriakan-teriakan mereka membuat suasana jadi kacau balau. Orang-orang turut mencari-cari celeng kresek itu. Tapi nihil, tak ada seorang pun menemukan yang mereka cari.
“Sudah, sudah… Mungkin kalian salah lihat.” Teriak Pak Gimar tak kalah keras. Laki-laki kurus yang setiap musim panen menjadi plandang itu merasa terusik dengan kedatangan keempat orang yang membuat acara sintren itu berantakan.
“Benar Pak Gimar, kami benar-benar melihat Celeng itu tadi…” teriak salah satu dari mereka.
“Wah, rupanya ada celeng kresek di desa kita, ada babi ngepeeet” Seru Pak Sasmita yang sedari tadi cemas mengikuti jalannya pertunjukan sintren. Dia menyesalkan ribut-ribut itu terjadi pas ketika Ranti sudah akan diruwat.
“Sudah, sudah. Kalian kejar saja sana kalau bisa. Biarkan pertunjukan sintren ini tetap berjalan, jangan ganggu lagi.” Teriak kencang Pak Gimar.
Gendang ketipung kembali berbunyi dengan suara menghentak. Pertunjukan sintren pun dilanjutkan kembali.
Turun, turun sintren, sintrene widodari, nemu kembang ning ayunan, kembange putri mahendra, Widodari temuruno, manjing maring sing dadi.
***
Pertunjukan sintren berakhir tepat jam 1 malam. Orang-orang pun bubar. Wardoyo dan ketiga temannnya kembali melewati jalan berbatu mengarah ke rumah mereka di dusun Kopenan. Langkah-langkah mereka terasa berat karena kantuk yang mulai mendera.
“Kandar, bagaimana penampilan Ranti tadi menurutmu?” Tanya Wardoyo.
Kandar yang berjalan sambil memakan kacang rebus menjawab,”Duh, yang punya pacar…”
“Pacar bagaimana, orang kami tidak pacaran kok…” wajah Wardoyo terlihat malu.
“Kalian belum pacaran..?” tukas Mardi.
“Saya tanya, penampilan Ranti tadi bagaimana? Cantik bukan?”
“Iya, iya.. Cantik!”
Hari sudah larut ketika Wardoyo dan ketiga temannya sampai di rumah masing-masing. Mereka merasa puas. Setidaknya Wardoyo sudah sangat puas melihat Ranti menari dan berlenggak-lenggok mengikuti permintaan lagunya.
Di kamarnya, Wardoyo terbayang-bayang wajah Ranti yang sangat menarik di matanya. Jauh di dasar hatinya dia berharap kata-kata Kandar akan menjadi kenyataan. Setelah sama-sama dewasa nanti, Ranti mau menjadi pacarnya. Untuk saat ini, Wardoyo tak hendak berfikir macam-macam. Dia merasa belum pantas memiliki seorang kekasih.
***
Diubah oleh pijar88 24-11-2014 13:09
itkgid dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas

Shortcut:








