- Beranda
- Stories from the Heart
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.
...
TS
pijar88
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.


Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By geabeautycare►serem bgt gan baca ceritanya mlm2 gini
Quote:
Original Posted By heymeymey►Idiiih cerita horor dari agan pijar,mantau trus ah pasti jadi ht nih
Quote:
Original Posted By hag3maru►udah ane cendolin gan buat penambah semangat
Quote:
Original Posted By emakotonk►ini suasana nya mirip daerah ane gan tegal laka2 tempo doeloe. ada gobak sodor ingkling.
Quote:
Original Posted By f.erge►gelar tikar dulu gan. baru nyampe bagian 3. keren dah om pijar
Quote:
Original Posted By doa.mamah.papah►nyimak di thread agan pijar lagi 

Quote:
Original Posted By km.airlangga►Ninggalin jejak. keren tulisannya
Quote:
Original Posted By archdrex46►Ijin gelar tiker plus ngampar gan...
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Quote:
Original Posted By R310s►seru nih,pling demen sm yg berbau mistik
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
Quote:
Original Posted By Kaijjinmaru►Mantaapp..ikutan gelar tiker dah dimarih
Quote:
Original Posted By Balater►dilanjut skrg aja gan, tanggung nuh penasaran..
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga

Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By morena90►Kata tiap kata di cerita ini mantep bener dah ga ada duanya emg agan pijar 88
Quote:
Original Posted By tins2000►Ikut nyimak gan, kayaknya rame cerita mistis/magis dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono dari kesenian sintren tsb. 

Quote:
Original Posted By sr.geek►ini agan pijar yg ceritanya dijadiin film itu ya, bookmark dulu deh, buat baca2.


Quote:
Original Posted By piringmelayang►bagus bgt gan critanya..
buat di jadikan novel horor mantep
buat di jadikan novel horor mantep
Quote:
Original Posted By yogipanjul►Wih ketemu agan pijar88 lg.. lanjut gan.. ane mau ngikutin ceritanya lg kayak dulu..
Quote:
Original Posted By peturuk►widih, om pijar bikin trit lagi 

Quote:
Original Posted By tresnokaroaku►Ane numpang gelar tiker sambil jualan kopi item ama kacang rebus ya gan.. 

Quote:
Original Posted By ian.putud►mantab ceritanya gan...ijin ninggalin jejak ya gan..makasih..
Quote:
Original Posted By rphen►Tinggalin jejak dulu gan ... Nice Thread !!
Quote:
Original Posted By imutkayamarmut►kisah horror namun untaian dan rangkaian kata2 yang menjadi kalimat demi kalimat begitu enak dibaca 

Quote:
Original Posted By pekrok►bad ending....lanjutanya mana,,,,yg kena kutukan ap...tapi bagus deh ceritanya
Quote:
Original Posted By hilton13►yang 4 tahun tinggal di rumah hantu udh beli buku + nonton filmnya (yg film agak gimana gitu asudahlah) yg ini siap siap nyari lagi udh ada di gramed kan om pijar ?
Quote:
Original Posted By Virgieuniquee►ane pertaama kali baca trit TS dluu bgt waktu 4ttdh masih trit biasa bgt,, baru dibuat malahan.. ga nyangka dr bacaan trit iseng bs suksesss..
matabelo
matabeloQuote:
Original Posted By FaizFatih►Bagus banget cerita nya.. bahasa yg di pakai benar2 membuat hanyut ke dalam alur cerita tsb. Mengingatkan sy ke novel "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari. Yg sdh di film kan dgn judul Sang Penari.
Utk TS: "Two Thumbs up"
Utk TS: "Two Thumbs up"
Quote:
Original Posted By stylish16►ini kisah nyata gan?
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
Diubah oleh pijar88 27-11-2014 18:48
itkgid dan mincli69 memberi reputasi
2
78.8K
Kutip
330
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pijar88
#5
KAVLING- 3
Quote:
Di tengah persawahan desa Karangsawit, setelah seharian bertarung dengan batang-batang jerami, para pemanen padi tampak sibuk memasukkan gabah ke dalam karung-karung mereka. Sebagian buruh tampak kepayahan menggotong karung-karung gabah ke bangunan kecil pinggir sawah.
Matahari mulai bergesar ke utara. Beduk Ashar bertalu-talu disusul suara adzan. Di sawah Pak Jumadi yang luas, sambil melepas lelah di bangunan kecil pinggir sawah itu, para buruh makan dengan lahap. Nasi bungkus jadi santapan nikmat mereka. Pak Jumadi sengaja memesan nasi-nasi bungkus itu di warung bu Carmi. Satu hal yang belum pernah dilakukan oleh juragan-juragan lain. Inilah yang membuat Pak Jumadi semakin disegani di desa Krandekan maupun Karangsawit. Dia sering royal kepada para pekerjanya. Seperti sore ini, puluhan nasi bungkus dengan lauk yang enak dibagi-bagikannya gratis.
Mendekati petang, para buruh pulang dengan wajah berbinar-binar membawa hasil kerja seharian. Mereka berderet-deret memenuhi jalanan desa bagai serdadu pulang membawa kemenangan. Punggung-punggung mereka tampak kokoh menggendong sekarung gabah. Beberapa orang membawa gabahnya dengan sepeda. Seperti biasa, karung-karung gabah itu mereka bawa ke penggilingan padi milik pak Jumadi. Ada dua orang kepercayaan pak Jumadi yang mengurus gabah-gabah itu sekaligus memberikan upah berupa persenan gabah kepada para buruh.
Sepeda motor merah melaju pelan. Wardoyo berboncengan dengan ayahnya menyusuri jalanan desa. Keningnya tampak berkilau karena keringat melumuri wajah tampannya. Pak Jumadi menyetir dengan bangga. Musim panen kali ini benar-benar menggembirakan hatinya. Tiga sawahnya panen dengan hasil melimpah. Berulangkali mereka tampak mengangguk dan tersenyum ramah membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Melintasi jalanan depan Sekolah Dasar, Wardoyo menepuk pinggang ayahnya. “Ayah, aku turun di sini saja,”
“Mau kemana kamu nak? Hari sudah sore…” ucap laki-laki setengah baya itu sembari menghentikan laju sepeda motornya.
“Aku mau menengok Ranti, ada yang ingin kusampaikan...” Wardoyo meloncat dari jok sepeda motor.
Pak Jumadi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari arah pertigaan seorang laki-laki gemuk menghampiri mereka. Pak Sasmita segera menyetandarkan sepeda motornya.
“Jumadi, nampaknya bahagia sekali kamu hari ini,“ sapa laki-laki gemuk itu. Rupanya Pak Sasmita. Laki-laki setengah baya itu tampak gelisah.
“Ach, Sasmita... Petang-petang gini mau kemana?“ sahut Pak Jumadi.
“Saya mau ke Mbah Darmo.“ Jawab Pak Sasmita.
“Buat apa lagi kamu kesana?“ Pak Jumadi menyelidik.
“Tidak apa-apa, saya kangen saja.“ Wajah Pak Sasmita berubah panik tetapi segera disembunyikannya. “Oya, bagaimana sawahmu, gembira sekali kamu
kayaknya...?“
“Sasmita, sasmita... Kamu ini bisa saja, lebih gembira kamulah, biasanya sawahmu lebih berhasil dari sawah-sawahku ” sahut Pak Jumadi tertawa.
Kedua sahabat karib itu saling memuji keberhasilan usaha mereka. Keduanya adalah orang yang sama-sama disegani di desa itu.
“Bagaimana bersih desa besok, saya dengar anakmu mau dijadikan sintren?” tanya Pak Jumadi.
“Oh, iya.. Iya. Jadi Jum. Sekalian buat pengalaman Ranti, biar dia merasakan jadi sintren…” sahut pak Sasmita yakin.
“Lalu?“
“Tidak apa-apa. Ohya Jum, Saya percaya kamu. Dan kamu juga harus menjaga kepercayaan saya...“ Pak Sasmita lalu melanjutkan perjalannya dengan diiringi tatapan aneh Pak Jumadi.
Ranti sedang duduk di teras bersama Laksmi kakaknya ketika Wardoyo memasuki pekarangan rumah besar itu. Mereka tampak asyik membuat kain sulaman dengan motif untaian bunga.
Wardoyo terhenyak. Teman sekolahnya itu tampak begitu cantik. Rambut panjangnya tergerai indah. Aroma wangi merang langsung menyergap hidung wardoyo yang bangir. Wardoyo menduga bahwa Ranti sudah memakai sampo merang buatan Pak Gimar, sampo khusus untuk para sintren.
"Wangi sekali...“ Ujar Wardoyo.
Ranti tersenyum bangga. Laksmi turut tersenyum kemudian bangkit.
Sambil menenteng kain sulaman yang baru dikerjakan, Laksmi berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuk saja dik,“ucapnya.
Wardoyo tersenyum sekilas. Kakak Ranti ini juga cantik tetapi garis wajahnya jauh berbeda dengan wajah Ranti, tidak ada kemiripan di antara keduanya. Kembali Wardoyo memandangi wajah Ranti yang dikaguminya.
Ranti tersipu malu menyadari Wardoyo terus memperhatikan dirinya.
“Ranti, bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah sehat benar?”
“Alhamdulillah, saya sehat Yok..”
“Syukurlah Ranti. Lain kali hati-hati kalo mengerjakan sesuatu. Oya, tadi pagi aku mampir ke kiosmu. Kenapa tadi nggak menemani ibumu ke kios?” Wardoyo tampak malu-malu.
“Enggak, seharian ini saya bantu mbak Laksmi bikin sulaman…” jawab Ranti.
“Lagi pula Mbak Kus dan Ratih sudah mulai kerja lagi.“
"Memangnya kain-kain sulaman itu mau dijual juga?“
"Hanya untuk contoh saja sih. Tapi ibuku memang berniat menyediakan kain sulaman untuk kios kami nanti.“ Mata lentik Ranti tampak mengerjap, terlihat agak cekung seperti kurang tidur.
Wajah Wardoyo berubah serius, “Ran, kamu tetap mau jadi sintren di bersih desa besok?”
Ranti memandang sekilas ke arah Wardoyo, kemudian ke jalan raya yang mulai sepi.
“Ach, kamu…, kenapa …”
“Aku khawatir Ranti, kamu kan sering pingsan, sedangkan sintren biasanya akan pingsan di setiap pertunjukannya. Kamu tak tahu itu?”
“Sebenarnya ini hanya masalah tradisi saja Yok, dan aku tak mau mengecewakan kedua orang tuaku.” Kata Ranti, tegas.
“Kenapa tidak kakakmu saja?”
“Kakakku sudah menikah, tidak mungkin dia bisa jadi sintren..”
“Kalau memang begitu.. Aku akan jadi penonton setiamu Ranti..” Wardoyo tersenyum setelah beberapa detik tampak berfikir.
Pipi Ranti bersemu merah mendengar kata-kata Wardoyo. Dengan gugup dia mengajak Wardoyo masuk ke dalam rumah, tapi Wardoyo tetap tegak di tempatnya berdiri.
“Kenapa?”
“Tidak, saya hanya sebentar saja. Saya khawatir sama kamu Ranti…”
Tak berapa lama Wardoyo meninggalkan rumah Ranti. Hatinya sungguh berbunga-bunga. Dia tampak begitu senang telah bertemu Ranti. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya Wardoyo bersiul-siul senang. Hatinya sedang bahagia.
Hari beranjak sore dan petang pun menjelang. Angin dingin lereng gunung Slamet merayap menggelapi suasana desa Krandekan yang temaram. Lampu-lampu jalan bersinar redup tak mampu menerangi seluruh bagian desa yang begitu luas. Serangga malam mulai bertebaran mencari penghidupan, katak-katak tanah bernyanyi merdu.
Beberapa orang tampak berkumpul di warung kopi. Berbagai cerita, tawa dan canda membahana di warung kecil Bu Carmi. Wedang jahe tampak berkepul-kepul di atas gelas bening.
Dua orang duduk di pojok terpisah dari para pengunjung lain. Pak Jumadi tampak menikmati wedang jahe di depannya.
"Jadi, saya minta bantuan dana untuk membangun rumah pak.." Kata orang di sebelahnya mengharap.
"Berapa Har, memangnya kamu sudah siap segala sesuatunya?" Sahut Pak Jumadi.
Orang yang dipanggil ‘har’ itu merapatkan posisi duduknya. "Saya butuh buat beli semennya pak, mungkin Pak Jum bisa bantu 10 atau 20 zak, saat Pak Jum menikahkan Wardoyo kelak, gantian saya menyumbang senilai sumbangan Pak Jum." Jawabnya yakin.
Pak Jumadi mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sangat memahami bagaimana rasanya kesulitan dana selagi keinginan dan kebutuhan sudah memuncak. Pak Jumadi pun tergerak untuk membantu, apalagi kepada pekerjanya sendiri seperti Harsoyo itu.
"Ya sudah, nanti saya menyumbang 25 zak semen"
Harsoyo tampak lega. Dihelanya nafas panjang, batinnya benar-benar puas. "Makasih pak, makasih... Pak Jum memang baik hati."
"Sama-sama. Selagi bisa saya bantu ya saya bantu. Kalo lagi tidak ada, saya tidak bisa bantu."
"Iya pak."
"Kamu tidak usah ganti dana itu. Kalau kamu perlu cepat, besok sore datanglah ke rumah."
Harsoyo terharu mendengar kata-kata Pak Jumadi. Diraihnya tangan Pak Jumadi dan diciuminya telapak tangan kasar itu berulangkali.
Di kamarnya, Wardoyo termenung membayangkan Ranti yang akan jadi sintren. Ada rasa khawatir muncul begitu saja terhadap sahabatnya itu. Terlebih Wardoyo merasa dekat dengan Ranti. Dia tak tega membayangkan sahabatnya pingsan di pertunjukan Sintren nanti. Di sisi lain, Wardoyo penasaran untuk melihat Ranti berpakaian sintren. Wardoyo ingin melihat Ranti didandani seperti bidadari.
"Kamu pasti akan bertambah cantik, secantik bidadari...“ desisnya.
Itulah kerinduan tulus seorang Wardoyo, seorang remaja kelas 1 SMP.
Matahari mulai bergesar ke utara. Beduk Ashar bertalu-talu disusul suara adzan. Di sawah Pak Jumadi yang luas, sambil melepas lelah di bangunan kecil pinggir sawah itu, para buruh makan dengan lahap. Nasi bungkus jadi santapan nikmat mereka. Pak Jumadi sengaja memesan nasi-nasi bungkus itu di warung bu Carmi. Satu hal yang belum pernah dilakukan oleh juragan-juragan lain. Inilah yang membuat Pak Jumadi semakin disegani di desa Krandekan maupun Karangsawit. Dia sering royal kepada para pekerjanya. Seperti sore ini, puluhan nasi bungkus dengan lauk yang enak dibagi-bagikannya gratis.
Mendekati petang, para buruh pulang dengan wajah berbinar-binar membawa hasil kerja seharian. Mereka berderet-deret memenuhi jalanan desa bagai serdadu pulang membawa kemenangan. Punggung-punggung mereka tampak kokoh menggendong sekarung gabah. Beberapa orang membawa gabahnya dengan sepeda. Seperti biasa, karung-karung gabah itu mereka bawa ke penggilingan padi milik pak Jumadi. Ada dua orang kepercayaan pak Jumadi yang mengurus gabah-gabah itu sekaligus memberikan upah berupa persenan gabah kepada para buruh.
Sepeda motor merah melaju pelan. Wardoyo berboncengan dengan ayahnya menyusuri jalanan desa. Keningnya tampak berkilau karena keringat melumuri wajah tampannya. Pak Jumadi menyetir dengan bangga. Musim panen kali ini benar-benar menggembirakan hatinya. Tiga sawahnya panen dengan hasil melimpah. Berulangkali mereka tampak mengangguk dan tersenyum ramah membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Melintasi jalanan depan Sekolah Dasar, Wardoyo menepuk pinggang ayahnya. “Ayah, aku turun di sini saja,”
“Mau kemana kamu nak? Hari sudah sore…” ucap laki-laki setengah baya itu sembari menghentikan laju sepeda motornya.
“Aku mau menengok Ranti, ada yang ingin kusampaikan...” Wardoyo meloncat dari jok sepeda motor.
Pak Jumadi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari arah pertigaan seorang laki-laki gemuk menghampiri mereka. Pak Sasmita segera menyetandarkan sepeda motornya.
“Jumadi, nampaknya bahagia sekali kamu hari ini,“ sapa laki-laki gemuk itu. Rupanya Pak Sasmita. Laki-laki setengah baya itu tampak gelisah.
“Ach, Sasmita... Petang-petang gini mau kemana?“ sahut Pak Jumadi.
“Saya mau ke Mbah Darmo.“ Jawab Pak Sasmita.
“Buat apa lagi kamu kesana?“ Pak Jumadi menyelidik.
“Tidak apa-apa, saya kangen saja.“ Wajah Pak Sasmita berubah panik tetapi segera disembunyikannya. “Oya, bagaimana sawahmu, gembira sekali kamu
kayaknya...?“
“Sasmita, sasmita... Kamu ini bisa saja, lebih gembira kamulah, biasanya sawahmu lebih berhasil dari sawah-sawahku ” sahut Pak Jumadi tertawa.
Kedua sahabat karib itu saling memuji keberhasilan usaha mereka. Keduanya adalah orang yang sama-sama disegani di desa itu.
“Bagaimana bersih desa besok, saya dengar anakmu mau dijadikan sintren?” tanya Pak Jumadi.
“Oh, iya.. Iya. Jadi Jum. Sekalian buat pengalaman Ranti, biar dia merasakan jadi sintren…” sahut pak Sasmita yakin.
“Lalu?“
“Tidak apa-apa. Ohya Jum, Saya percaya kamu. Dan kamu juga harus menjaga kepercayaan saya...“ Pak Sasmita lalu melanjutkan perjalannya dengan diiringi tatapan aneh Pak Jumadi.
***
Ranti sedang duduk di teras bersama Laksmi kakaknya ketika Wardoyo memasuki pekarangan rumah besar itu. Mereka tampak asyik membuat kain sulaman dengan motif untaian bunga.
Wardoyo terhenyak. Teman sekolahnya itu tampak begitu cantik. Rambut panjangnya tergerai indah. Aroma wangi merang langsung menyergap hidung wardoyo yang bangir. Wardoyo menduga bahwa Ranti sudah memakai sampo merang buatan Pak Gimar, sampo khusus untuk para sintren.
"Wangi sekali...“ Ujar Wardoyo.
Ranti tersenyum bangga. Laksmi turut tersenyum kemudian bangkit.
Sambil menenteng kain sulaman yang baru dikerjakan, Laksmi berjalan masuk ke dalam rumah. "Masuk saja dik,“ucapnya.
Wardoyo tersenyum sekilas. Kakak Ranti ini juga cantik tetapi garis wajahnya jauh berbeda dengan wajah Ranti, tidak ada kemiripan di antara keduanya. Kembali Wardoyo memandangi wajah Ranti yang dikaguminya.
Ranti tersipu malu menyadari Wardoyo terus memperhatikan dirinya.
“Ranti, bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah sehat benar?”
“Alhamdulillah, saya sehat Yok..”
“Syukurlah Ranti. Lain kali hati-hati kalo mengerjakan sesuatu. Oya, tadi pagi aku mampir ke kiosmu. Kenapa tadi nggak menemani ibumu ke kios?” Wardoyo tampak malu-malu.
“Enggak, seharian ini saya bantu mbak Laksmi bikin sulaman…” jawab Ranti.
“Lagi pula Mbak Kus dan Ratih sudah mulai kerja lagi.“
"Memangnya kain-kain sulaman itu mau dijual juga?“
"Hanya untuk contoh saja sih. Tapi ibuku memang berniat menyediakan kain sulaman untuk kios kami nanti.“ Mata lentik Ranti tampak mengerjap, terlihat agak cekung seperti kurang tidur.
Wajah Wardoyo berubah serius, “Ran, kamu tetap mau jadi sintren di bersih desa besok?”
Ranti memandang sekilas ke arah Wardoyo, kemudian ke jalan raya yang mulai sepi.
“Ach, kamu…, kenapa …”
“Aku khawatir Ranti, kamu kan sering pingsan, sedangkan sintren biasanya akan pingsan di setiap pertunjukannya. Kamu tak tahu itu?”
“Sebenarnya ini hanya masalah tradisi saja Yok, dan aku tak mau mengecewakan kedua orang tuaku.” Kata Ranti, tegas.
“Kenapa tidak kakakmu saja?”
“Kakakku sudah menikah, tidak mungkin dia bisa jadi sintren..”
“Kalau memang begitu.. Aku akan jadi penonton setiamu Ranti..” Wardoyo tersenyum setelah beberapa detik tampak berfikir.
Pipi Ranti bersemu merah mendengar kata-kata Wardoyo. Dengan gugup dia mengajak Wardoyo masuk ke dalam rumah, tapi Wardoyo tetap tegak di tempatnya berdiri.
“Kenapa?”
“Tidak, saya hanya sebentar saja. Saya khawatir sama kamu Ranti…”
Tak berapa lama Wardoyo meninggalkan rumah Ranti. Hatinya sungguh berbunga-bunga. Dia tampak begitu senang telah bertemu Ranti. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumahnya Wardoyo bersiul-siul senang. Hatinya sedang bahagia.
***
Hari beranjak sore dan petang pun menjelang. Angin dingin lereng gunung Slamet merayap menggelapi suasana desa Krandekan yang temaram. Lampu-lampu jalan bersinar redup tak mampu menerangi seluruh bagian desa yang begitu luas. Serangga malam mulai bertebaran mencari penghidupan, katak-katak tanah bernyanyi merdu.
Beberapa orang tampak berkumpul di warung kopi. Berbagai cerita, tawa dan canda membahana di warung kecil Bu Carmi. Wedang jahe tampak berkepul-kepul di atas gelas bening.
Dua orang duduk di pojok terpisah dari para pengunjung lain. Pak Jumadi tampak menikmati wedang jahe di depannya.
"Jadi, saya minta bantuan dana untuk membangun rumah pak.." Kata orang di sebelahnya mengharap.
"Berapa Har, memangnya kamu sudah siap segala sesuatunya?" Sahut Pak Jumadi.
Orang yang dipanggil ‘har’ itu merapatkan posisi duduknya. "Saya butuh buat beli semennya pak, mungkin Pak Jum bisa bantu 10 atau 20 zak, saat Pak Jum menikahkan Wardoyo kelak, gantian saya menyumbang senilai sumbangan Pak Jum." Jawabnya yakin.
Pak Jumadi mengangguk-anggukan kepalanya. Dia sangat memahami bagaimana rasanya kesulitan dana selagi keinginan dan kebutuhan sudah memuncak. Pak Jumadi pun tergerak untuk membantu, apalagi kepada pekerjanya sendiri seperti Harsoyo itu.
"Ya sudah, nanti saya menyumbang 25 zak semen"
Harsoyo tampak lega. Dihelanya nafas panjang, batinnya benar-benar puas. "Makasih pak, makasih... Pak Jum memang baik hati."
"Sama-sama. Selagi bisa saya bantu ya saya bantu. Kalo lagi tidak ada, saya tidak bisa bantu."
"Iya pak."
"Kamu tidak usah ganti dana itu. Kalau kamu perlu cepat, besok sore datanglah ke rumah."
Harsoyo terharu mendengar kata-kata Pak Jumadi. Diraihnya tangan Pak Jumadi dan diciuminya telapak tangan kasar itu berulangkali.
Di kamarnya, Wardoyo termenung membayangkan Ranti yang akan jadi sintren. Ada rasa khawatir muncul begitu saja terhadap sahabatnya itu. Terlebih Wardoyo merasa dekat dengan Ranti. Dia tak tega membayangkan sahabatnya pingsan di pertunjukan Sintren nanti. Di sisi lain, Wardoyo penasaran untuk melihat Ranti berpakaian sintren. Wardoyo ingin melihat Ranti didandani seperti bidadari.
"Kamu pasti akan bertambah cantik, secantik bidadari...“ desisnya.
Itulah kerinduan tulus seorang Wardoyo, seorang remaja kelas 1 SMP.
***
Diubah oleh pijar88 27-11-2014 18:04
itkgid dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas

Shortcut:








