- Beranda
- Stories from the Heart
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.
...
TS
pijar88
TENTANG SEBUAH KUTUKAN, SETAN, DAN PESUGIHAN.


Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By geabeautycare►serem bgt gan baca ceritanya mlm2 gini
Quote:
Original Posted By heymeymey►Idiiih cerita horor dari agan pijar,mantau trus ah pasti jadi ht nih
Quote:
Original Posted By hag3maru►udah ane cendolin gan buat penambah semangat
Quote:
Original Posted By emakotonk►ini suasana nya mirip daerah ane gan tegal laka2 tempo doeloe. ada gobak sodor ingkling.
Quote:
Original Posted By f.erge►gelar tikar dulu gan. baru nyampe bagian 3. keren dah om pijar
Quote:
Original Posted By doa.mamah.papah►nyimak di thread agan pijar lagi 

Quote:
Original Posted By km.airlangga►Ninggalin jejak. keren tulisannya
Quote:
Original Posted By archdrex46►Ijin gelar tiker plus ngampar gan...
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Curious ane gan, sm agan yg fenomenal ini
Lanjutkan gan..
(y)
Quote:
Original Posted By R310s►seru nih,pling demen sm yg berbau mistik
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
.syg ane blm iso gan,bantu rate excellent aj deh..
ane tggu kelanjutannya tar mlm gan
Quote:
Original Posted By Kaijjinmaru►Mantaapp..ikutan gelar tiker dah dimarih
Quote:
Original Posted By Balater►dilanjut skrg aja gan, tanggung nuh penasaran..
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga
daripada malem minggu bengong mending baca novel ente, mayan merinding juga

Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By morena90►Kata tiap kata di cerita ini mantep bener dah ga ada duanya emg agan pijar 88
Quote:
Original Posted By tins2000►Ikut nyimak gan, kayaknya rame cerita mistis/magis dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono dari kesenian sintren tsb. 

Quote:
Original Posted By sr.geek►ini agan pijar yg ceritanya dijadiin film itu ya, bookmark dulu deh, buat baca2.


Quote:
Original Posted By piringmelayang►bagus bgt gan critanya..
buat di jadikan novel horor mantep
buat di jadikan novel horor mantep
Quote:
Original Posted By yogipanjul►Wih ketemu agan pijar88 lg.. lanjut gan.. ane mau ngikutin ceritanya lg kayak dulu..
Quote:
Original Posted By peturuk►widih, om pijar bikin trit lagi 

Quote:
Original Posted By tresnokaroaku►Ane numpang gelar tiker sambil jualan kopi item ama kacang rebus ya gan.. 

Quote:
Original Posted By ian.putud►mantab ceritanya gan...ijin ninggalin jejak ya gan..makasih..
Quote:
Original Posted By rphen►Tinggalin jejak dulu gan ... Nice Thread !!
Quote:
Original Posted By imutkayamarmut►kisah horror namun untaian dan rangkaian kata2 yang menjadi kalimat demi kalimat begitu enak dibaca 

Quote:
Original Posted By pekrok►bad ending....lanjutanya mana,,,,yg kena kutukan ap...tapi bagus deh ceritanya
Quote:
Original Posted By hilton13►yang 4 tahun tinggal di rumah hantu udh beli buku + nonton filmnya (yg film agak gimana gitu asudahlah) yg ini siap siap nyari lagi udh ada di gramed kan om pijar ?
Quote:
Original Posted By Virgieuniquee►ane pertaama kali baca trit TS dluu bgt waktu 4ttdh masih trit biasa bgt,, baru dibuat malahan.. ga nyangka dr bacaan trit iseng bs suksesss..
matabelo
matabeloQuote:
Original Posted By FaizFatih►Bagus banget cerita nya.. bahasa yg di pakai benar2 membuat hanyut ke dalam alur cerita tsb. Mengingatkan sy ke novel "Ronggeng Dukuh Paruk" Ahmad Tohari. Yg sdh di film kan dgn judul Sang Penari.
Utk TS: "Two Thumbs up"
Utk TS: "Two Thumbs up"
Quote:
Original Posted By stylish16►ini kisah nyata gan?
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
setan kresek tuh kyk gmn ya gan wujud nya
di samping rmh ane jg ada sosok jelmaan macan nih, pnasaran ane
Diubah oleh pijar88 27-11-2014 18:48
itkgid dan mincli69 memberi reputasi
2
78.8K
Kutip
330
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pijar88
#3
KAVLING 2
Quote:
Pagi yang cerah. Wajah desa Krandekan berbunga-bunga. Sekawanan burung prenjak terbang ke arah utara. Semburat daun-daun padi keemasan terkena cahaya. Di mana-mana keceriaan warga tampak begitu nyata. Anak-anak dan remaja kecil bergembira dengan permainannya. Gobak sodor di sudut kampung, Ingling di teras-teras rumah. Remaja kecil bermain kelereng. Belasan pemuda tampak gembira bermain bola di lapangan desa. Sebagian lainnya membantu orang tua memanen padi di sawah-sawah, pergi ke ladang, atau memetik kelapa di kebun-kebun.
Hari ini panen hari ketiga. Seperti biasa bila masa panen tiba, para penduduk mengadakan selamatan dan pesta kecil sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang menggembirakan. Ada warga yang menggelar sintren, ada pula yang mengadakan Brendung. Seseorang yang menjadi sintren dipilih dari anak gadis yang cantik dan masih perawan. Konon mereka tampak lebih menarik dalam kehidupan sehari-harinya setelah menjadi seorang sintren. Sedangkan brendung, adalah permainan dewasa dengan boneka dari batok kelapa. Di kota, Brendung lebih dikenal dengan nama jaelangkung.
Kesibukan di sawah-sawah begitu riuh penuh semangat. Para penduduk saling bantu memanen padi milik tetangga dan para juragan. Lelah dan penat pun tak lagi dirasa, waktu berjalan begitu indah bagi mereka.
Hamparan sawah-sawah yang begitu luas itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Mereka yang memiliki banyak sawah dipandang sebagai orang yang dihormati. Di antara pemilik sawah yang terkenal di desa Krandekan dan desa-desa sekitarnya adalah Pak Jumadi. Keberhasilan Pak Jumadi keluar dari kemiskinan dan menjadi petani yang kaya raya telah menghenyakkan para juragan lainnya. Hidupnya berkecukupan dengan dua anak yang beranjak dewasa. Anak pertamanya bernama Wardoyo, berwajah tampan dan hampir selalu mendapat nilai bagus di sekolahnya.
Tak seperti anak-anak lainnya, Wardoyo memiliki cita-cita yang tinggi. Nasibnya lebih beruntung dibanding anak-anak lainnya. Keberuntungan Pak Jumadi yang begitu besar bagi turut mempengaruhi pemikiran Wardoyo untuk maju.
Selain sawah dan ladang, usaha-usaha lain yang dirintis Pak Jumadi hampir selalu sukses. Orang-orang berdecak kagum atas keberhasilan keluarga itu. Lihatlah toko-toko kecil yang didirikan Pak Jumadi, atau kios batik di pasar Kopenan yang lebih ramai dari kios lainnya. Orang-orang mengakui kesuksesan Pak Jumadi.
Tetapi bagi sebagian penduduk yang merasa iri, ada saja yang menghembuskan berita-berita miring tentang Pak Jumadi. Ada yang mengkait-kaitkan kesuksesan Pak Jumadi dengan sosok aneh yang kerap muncul di desa-desa sekitar.
“Kamu percaya nggak Dar, kalo kekayaan Pak Pak Jumadi itu bukan hal yang wajar?” suara seorang laki-laki di sebuah warung kopi.
“Yah, namanya nasib orang kan lain-lain, ada yang berhasil ada yang tidak.” Salah satu pembeli menimpali.
“Maksudku, kekayaannya itu rasa-rasanya tidak wajar. Dulu dia hanya orang miskin yang mengandalkan upah sebagai buruh, tapi tak sampai sepuluh tahun tahun kehidupannya sudah berubah total !”
“Terang saja begitu, bukankah usahanya ada di mana-mana? Kalau satu usaha saja bisa menghasilkan pemasukan yang banyak, gimana tidak cepet kaya, dengan usaha yang bermacam-macam dia lakukan?” pemilik warung menyahut.
“Tapi awalnya itu bagaimana? Uang awal sebagai modal itu dari mana?”
“Ya enggak tahu…”
“Sudah, sudah.. Tak baik ngomongin orang. Yang jelas, dari sejak jaman sekolah saja, Jumadi itu sudah pintar. Dia bahkan selalu rangking satu di kelas. Saya temannya satu sekolah. Jadi saya nggak heran kalo dia akan sukses begitu, Mungkin itu semua karena kepintarannya.” Seseorang menyahut. Wajahnya tampak kesal dengan pembicaraan kedua orang di sebelahnya.
Jauh dari warung kopi itu, di pinggir jalan besar yang menghadap persawahan Wardoyo memarkirkan sepeda motor merahnya. seorang gadis kecil turun dari jok belakang sepeda motor dan menenteng rantang susun di tangannya. Maya, adik Wardoyo itu, berjalan dengan riang.
“Cepetan Maya, aku tunggu di sini saja, selesai ini kita ke rumah paman” tukas Wardoyo.
Gadis kecil bernama Maya itu lincah menyusuri pematang sawah. Sedangkan Wardoyo menunggu di jembatan kecil sungai tersier. Pak Jumadi tampak sibuk mengawasi para buruh yang sedang mengayun batang-batang padi ke atas krapyak, memisahkan bulir-bulir padi dari batangnya.
“Laud, laud, lauuud... !” Teriak Pak Jumadi begitu melihat Maya. Satu persatu para buruh menghentikan kegiatannya.
Maya meletakan rantang susun yang dibawanya ke atas tikar. Rantang-rantang berisi makanan itu biasa disiapkan untuk Pak Jumadi dan dua pekerja setianya, sedangkan para buruh sudah membawa bekal mereka masing-masing.
Pak Jumadi menggamit tangan Maya, wajahnya tampak berwibawa. “Maya, besok tidak usah mengantar makanan lagi. Ayah sudah pesan nasi bungkusan untuk besok dan hari-hari selanjutnya.”
Maya mengangguk dan bergegas kembali ke tempat kakaknya menunggu.
Wardoyo melajukan sepeda motor merahnya menyusuri jalanan desa yang sepi. Mereka berhenti di sebuah rumah bercat kuning sederhana.
Seorang laki-laki berwajah mirip Pak Jumadi menyambut mereka. Laki-laki itu adalah Pak Darsono, adik Pak Jumadi.
“Sibuk sekali ayahmu, kenapa harus turun sendiri ke sawah, apa gunanya dia membayar mahal pekerja harian, bukankah mereka bisa memantau sendiri ke sawah kalian?” kata Pak Darsono.
“Memangnya kenapa paman?” Tanya Wardoyo.
“Kasihan ayahmu, harusnya dia banyak istirahat. Dia tak sadar kalau usianya tak muda lagi…”
“Itulah paman, kami kesini sekalian menyampaikan pesan dari ayah. Mulai lusa paman yang mengurus sawah-sawah di Karangsawit. Ayah kuwalahan. Kata ayah Lebih baik paman yang ngurus daripada diserahkan ke pekerja.” sahut Wardoyo.
Pak Darsono manggut-manggut. Di bibirnya terselip sebatang rokok kretek yang tinggal separuh. Asapnya mengepul mengitari wajahnya yang tampak keras.
Dipandanginya kedua keponakan yang mulai beranjak dewasa itu.
“Kamu sudah mulai libur Wardoyo?”
“Iya paman, sekolah sedang libur panjang sekarang.”
“Kamu yang rajin sekolahnya. Ingat, kekayaan tanpa ilmu tak ada gunanya.”, menoleh ke arah Maya, “Kamu juga Maya, jangan bermalas-malasan.”
“Iya paman, kami selalu rajin.” Ucap maya polos.
“Ayo Maya, kamu ikut bibik, temani bibik bikin rengginang…” Istri Pak Darsono menggamit tangan Maya.
Pak Darsono tersenyum bangga. “Iya, paman percaya. Maya, sebaiknya kamu pulang besok saja, kasihan bibikmu tak ada teman.”
Gadis kecil itu mengangguk, berjalan mengikuti bibiknya ke ruang dapur. Meskipun sudah duabelas tahun menikah, Pak Darsono dan istrinya belum dikaruniai anak hingga saat ini.
“Paman, ada yang mau saya tanyakan.” Bisik Wardoyo.
“Apa itu?”.
“Saya dengar di Karangsawit dan Tanjungsari ada makhluk aneh gentayangan, jelmaan pencari pesugihan..”
Pak Jumadi mendengarkan seksama.
“Paman percaya itu?”
“Ach, itu hanya isyu saja nak, tidak ada satupun orang yang bisa membuktikan kebenaran cerita-cerita miring seperti itu”
“Mardi bilang, ada orang yang mencuriagai ayah, bagaimana paman?” Wardoyo Nampak khawatir.
“Ach sudahlah, itu hanya kecurigaan orang yang merasa iri saja. Jangan berfikir macam-macam. Tidak ada itu. Ayahmu orang yang ulet dan rajin. Wajar jika dia memetik hasil dari keuletannya itu.”
Wardoyo terdiam. Dalam hati membenarkan kata-kata pamannya. Ditepisnya fikiran buruk yang beberapa hari ini telah mengganggu dirinya.
Hari ini panen hari ketiga. Seperti biasa bila masa panen tiba, para penduduk mengadakan selamatan dan pesta kecil sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang menggembirakan. Ada warga yang menggelar sintren, ada pula yang mengadakan Brendung. Seseorang yang menjadi sintren dipilih dari anak gadis yang cantik dan masih perawan. Konon mereka tampak lebih menarik dalam kehidupan sehari-harinya setelah menjadi seorang sintren. Sedangkan brendung, adalah permainan dewasa dengan boneka dari batok kelapa. Di kota, Brendung lebih dikenal dengan nama jaelangkung.
Kesibukan di sawah-sawah begitu riuh penuh semangat. Para penduduk saling bantu memanen padi milik tetangga dan para juragan. Lelah dan penat pun tak lagi dirasa, waktu berjalan begitu indah bagi mereka.
Hamparan sawah-sawah yang begitu luas itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Mereka yang memiliki banyak sawah dipandang sebagai orang yang dihormati. Di antara pemilik sawah yang terkenal di desa Krandekan dan desa-desa sekitarnya adalah Pak Jumadi. Keberhasilan Pak Jumadi keluar dari kemiskinan dan menjadi petani yang kaya raya telah menghenyakkan para juragan lainnya. Hidupnya berkecukupan dengan dua anak yang beranjak dewasa. Anak pertamanya bernama Wardoyo, berwajah tampan dan hampir selalu mendapat nilai bagus di sekolahnya.
Tak seperti anak-anak lainnya, Wardoyo memiliki cita-cita yang tinggi. Nasibnya lebih beruntung dibanding anak-anak lainnya. Keberuntungan Pak Jumadi yang begitu besar bagi turut mempengaruhi pemikiran Wardoyo untuk maju.
Selain sawah dan ladang, usaha-usaha lain yang dirintis Pak Jumadi hampir selalu sukses. Orang-orang berdecak kagum atas keberhasilan keluarga itu. Lihatlah toko-toko kecil yang didirikan Pak Jumadi, atau kios batik di pasar Kopenan yang lebih ramai dari kios lainnya. Orang-orang mengakui kesuksesan Pak Jumadi.
Tetapi bagi sebagian penduduk yang merasa iri, ada saja yang menghembuskan berita-berita miring tentang Pak Jumadi. Ada yang mengkait-kaitkan kesuksesan Pak Jumadi dengan sosok aneh yang kerap muncul di desa-desa sekitar.
“Kamu percaya nggak Dar, kalo kekayaan Pak Pak Jumadi itu bukan hal yang wajar?” suara seorang laki-laki di sebuah warung kopi.
“Yah, namanya nasib orang kan lain-lain, ada yang berhasil ada yang tidak.” Salah satu pembeli menimpali.
“Maksudku, kekayaannya itu rasa-rasanya tidak wajar. Dulu dia hanya orang miskin yang mengandalkan upah sebagai buruh, tapi tak sampai sepuluh tahun tahun kehidupannya sudah berubah total !”
“Terang saja begitu, bukankah usahanya ada di mana-mana? Kalau satu usaha saja bisa menghasilkan pemasukan yang banyak, gimana tidak cepet kaya, dengan usaha yang bermacam-macam dia lakukan?” pemilik warung menyahut.
“Tapi awalnya itu bagaimana? Uang awal sebagai modal itu dari mana?”
“Ya enggak tahu…”
“Sudah, sudah.. Tak baik ngomongin orang. Yang jelas, dari sejak jaman sekolah saja, Jumadi itu sudah pintar. Dia bahkan selalu rangking satu di kelas. Saya temannya satu sekolah. Jadi saya nggak heran kalo dia akan sukses begitu, Mungkin itu semua karena kepintarannya.” Seseorang menyahut. Wajahnya tampak kesal dengan pembicaraan kedua orang di sebelahnya.
Jauh dari warung kopi itu, di pinggir jalan besar yang menghadap persawahan Wardoyo memarkirkan sepeda motor merahnya. seorang gadis kecil turun dari jok belakang sepeda motor dan menenteng rantang susun di tangannya. Maya, adik Wardoyo itu, berjalan dengan riang.
“Cepetan Maya, aku tunggu di sini saja, selesai ini kita ke rumah paman” tukas Wardoyo.
Gadis kecil bernama Maya itu lincah menyusuri pematang sawah. Sedangkan Wardoyo menunggu di jembatan kecil sungai tersier. Pak Jumadi tampak sibuk mengawasi para buruh yang sedang mengayun batang-batang padi ke atas krapyak, memisahkan bulir-bulir padi dari batangnya.
“Laud, laud, lauuud... !” Teriak Pak Jumadi begitu melihat Maya. Satu persatu para buruh menghentikan kegiatannya.
Maya meletakan rantang susun yang dibawanya ke atas tikar. Rantang-rantang berisi makanan itu biasa disiapkan untuk Pak Jumadi dan dua pekerja setianya, sedangkan para buruh sudah membawa bekal mereka masing-masing.
Pak Jumadi menggamit tangan Maya, wajahnya tampak berwibawa. “Maya, besok tidak usah mengantar makanan lagi. Ayah sudah pesan nasi bungkusan untuk besok dan hari-hari selanjutnya.”
Maya mengangguk dan bergegas kembali ke tempat kakaknya menunggu.
Wardoyo melajukan sepeda motor merahnya menyusuri jalanan desa yang sepi. Mereka berhenti di sebuah rumah bercat kuning sederhana.
Seorang laki-laki berwajah mirip Pak Jumadi menyambut mereka. Laki-laki itu adalah Pak Darsono, adik Pak Jumadi.
“Sibuk sekali ayahmu, kenapa harus turun sendiri ke sawah, apa gunanya dia membayar mahal pekerja harian, bukankah mereka bisa memantau sendiri ke sawah kalian?” kata Pak Darsono.
“Memangnya kenapa paman?” Tanya Wardoyo.
“Kasihan ayahmu, harusnya dia banyak istirahat. Dia tak sadar kalau usianya tak muda lagi…”
“Itulah paman, kami kesini sekalian menyampaikan pesan dari ayah. Mulai lusa paman yang mengurus sawah-sawah di Karangsawit. Ayah kuwalahan. Kata ayah Lebih baik paman yang ngurus daripada diserahkan ke pekerja.” sahut Wardoyo.
Pak Darsono manggut-manggut. Di bibirnya terselip sebatang rokok kretek yang tinggal separuh. Asapnya mengepul mengitari wajahnya yang tampak keras.
Dipandanginya kedua keponakan yang mulai beranjak dewasa itu.
“Kamu sudah mulai libur Wardoyo?”
“Iya paman, sekolah sedang libur panjang sekarang.”
“Kamu yang rajin sekolahnya. Ingat, kekayaan tanpa ilmu tak ada gunanya.”, menoleh ke arah Maya, “Kamu juga Maya, jangan bermalas-malasan.”
“Iya paman, kami selalu rajin.” Ucap maya polos.
“Ayo Maya, kamu ikut bibik, temani bibik bikin rengginang…” Istri Pak Darsono menggamit tangan Maya.
Pak Darsono tersenyum bangga. “Iya, paman percaya. Maya, sebaiknya kamu pulang besok saja, kasihan bibikmu tak ada teman.”
Gadis kecil itu mengangguk, berjalan mengikuti bibiknya ke ruang dapur. Meskipun sudah duabelas tahun menikah, Pak Darsono dan istrinya belum dikaruniai anak hingga saat ini.
“Paman, ada yang mau saya tanyakan.” Bisik Wardoyo.
“Apa itu?”.
“Saya dengar di Karangsawit dan Tanjungsari ada makhluk aneh gentayangan, jelmaan pencari pesugihan..”
Pak Jumadi mendengarkan seksama.
“Paman percaya itu?”
“Ach, itu hanya isyu saja nak, tidak ada satupun orang yang bisa membuktikan kebenaran cerita-cerita miring seperti itu”
“Mardi bilang, ada orang yang mencuriagai ayah, bagaimana paman?” Wardoyo Nampak khawatir.
“Ach sudahlah, itu hanya kecurigaan orang yang merasa iri saja. Jangan berfikir macam-macam. Tidak ada itu. Ayahmu orang yang ulet dan rajin. Wajar jika dia memetik hasil dari keuletannya itu.”
Wardoyo terdiam. Dalam hati membenarkan kata-kata pamannya. Ditepisnya fikiran buruk yang beberapa hari ini telah mengganggu dirinya.
Diubah oleh pijar88 27-11-2014 18:03
itkgid dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas

Shortcut:








