Aku menutup buku kumpulan puisi bang Chairil Anwar. Puisi yang berjudul senja di pelabuhan kecil itu seperti menusuk hatiku. Entah bagaimana tiba-tiba diriku ini terdampar di perpustakaan sekolah. Tempat yang tak pernah kujamah sejak setahun yang lalu. Aku menghela nafas, kembali. Rasanya khawatir juga lama-lama bakalan jadi asma akut, tapi semoga tidak. Hujan sepertinya sudah langganan turun. Bukan lagi saat pulang sekolah, tapi saat pelajaran.

Jam 11 siang yang mendung, pelajaran Matematika kosong. Bu guru yang pipinya ada chocochipnya itu sepertinya sedang sibuk entah karena apa. Maka tiba-tiba berubah tempatlah aku disini, di perpustakaan yang hening dan sepi. Aku berjalan dan duduk dipojokan masih dengan buku puisi Chairil Anwar. Mencoba mendalami sedalam-dalamnya sambil berusaha dicocok-cocokan dengan keadaanku saat ini, maklum masih labil. Kau mungkin tahu Riyani bahwa aku sering membuat puisi, ya setidaknya dahulu sebelum kita mengikat hati.

Darimana awalnya? Ya dari patah hati ini yang mengantarkanku pada barisan puisi Chairil Anwar.Seakan setengah bersyukur karena patah hati ini, meski membuatku lebay, tidak membuatku alay sampai menyilet-nyilet tangan dan diposting di sosial media. Barisan puisi-puisi beliau menginspirasiku untuk ikut mencurahkan perasaanku melalui kata-kata. Untuk pertama kalinya, aku mencoba menulis puisi dengan kata-kata yang sedikit sakti dan high end. Saat sedang asyik konsentrasi membuat puisi tiba-tiba..



Kudengar pelan namun pasti, suara seorang gadis membaca sebuah puisi dari Sapardi Djoko Damono. Aku tersentak. Hanya orang-orang yang terberkati oleh cintalah yang tahu puisi itu. Hatiku berdesir. Ketika pandanganku kuarahkan ke arah sumber suara, mata kami bertatapan.