stuka1788Avatar border
TS
OWNER
stuka1788
[MILITARY FAN FICTION] PEMBAJAKAN DI METROTV
Disclaimer:


Cerpen Fan Fiction ini ane buat dan selesaikan pada tahun 2009 lalu, dan menggunakan nama tokoh-tokoh asli dengan urutan kejadian yang fiksi, tentu saja. Oleh karena cerita ini dibuat pada tahun 2009, maka keadaannya adalah sebagaimana pada tahun 2009, dan tidak untuk dilihat dengan kacamata pada tahun ini.

Cerpen ini akhirnya ane putuskan untuk rilis setelah menunggu selama 5 tahun, which is rentang waktu biasa dari sebuah statute of limitation, tapi terutama adalah menunggu sampai keadaan benar-benar lain dari saat ketika cerpen ini dibuat. Diharapkan cerpen akan update setidaknya 2 chapter setiap minggunya dimulai dari minggu ini hingga selesai.

Selamat menikmati...

DAFTAR ISI

Chapter I: Zero Hour

Chapter II: The V.I.Ps

Chapter III: Trojan Horse Pt 1

Chapter III: Trojan Horse Pt 2

Chapter IV: Breaking News

Chapter V: Executive Decision

Chapter VI: Fatal Mistake Pt 1

Chapter VI: Fatal Mistake Pt 2

Chapter VII: Father of Sons Pt 1

Chapter VII: Father of Sons Pt 2

Chapter VIII: Fortress Pt 1

Chapter VIII: Fortress Pt 2

Chapter IX: Company In Need

Chapter X: Inside Men

Chapter XI: The Fool's Plan Pt 1

Chapter XI: The Fool's Plan Pt 2

Chapter XII: March of The Volunteers Pt 1

Chapter XII: March of The Volunteers Pt 2

Chapter XIII: Enemies at The Gate Pt 1

Chapter XIII: Enemies at The Gate Pt 2

Chapter XIV: Thunderstorm Pt 1

Chapter XIV: Thunderstorm Pt 2

Chapter XV: Courage Under Fire Pt 1

Chapter XV: Courage Under Fire Pt 2

Chapter XV: Courage Under Fire Pt 3

Chapter XVI: Clean Shot


Diubah oleh stuka1788 13-11-2014 11:56
0
55.3K
179
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer
MiliterKASKUS Official
20KThread7KAnggota
Tampilkan semua post
stuka1788Avatar border
TS
OWNER
stuka1788
#85
Chapter XII: March of The Volunteers


Jalan Arjuna
Kedoya, Jakarta Barat
01.30 WIB


Segera setelah pembicaraan itu selesai, Kol. Basuki tampak amat bingung sekali. Sebuah pengalih perhatian? Andre mengatakan dia akan menembak alat jammer itu, tapi untuk itu dia butuh pengalih perhatian. Suara tembakan senapan jelas akan amat mencolok, apalagi jika ditambah dengan hancurnya jammer, dan bisa-bisa para teroris akan mulai membunuh sandera, mengetahui bahwa kedok mereka telah ketahuan. Dan lebih buruk lagi, adalah bahwa para teroris akan segera ke atap dan membunuh Andre dkk.

Tapi menutupi suara tembakan bukanlah sesuatu hal yang mudah. Dalam kasus pertama, ternyata bahwa tembakan dari sniper itu bisa terdengar cukup keras, bahkan di sisi jalan Pilar Mas Raya. Suara ini tak akan bisa ditutupi bahkan oleh suara keras lain, kecuali jika sebuah mesin jumbo jet ditempatkan di sini.

"Kita butuh suara letusan yang lain," kata Kol. Basuki kemudian.
"Bagaimana kalau kita luncurkan kembang api, Kolonel?" tanya salah satu ajudannya.

Kol. Basuki menggeleng saja. Letusan kembang api tak sekeras suara senapan, dan apabila letusan senapan terdengar terlambat saja, maka bisa runyam semuanya. Lagipula, Kol. Basuki tak tahu apakah para teroris ini menggunakan juga kembang api sebagai sinyal. Apabila betul, dan ternyata kembang api ini berarti "bunuh semua sandera", maka hancurlah rencana ini.

"Paling aman ya tembakkan meriam," kata Kol. Basuki.
"Tapi kalau kita menembakkan meriam, bukannya itu berarti..." kata ajudannya.
"Iya, mereka akan membalas dengan membuka pertempuran lagi, dan pasti hasilnya buruk," kata Kol. Basuki.
"Kalau suara tembakan lain?" tanya ajudannya.
"Suara tembakan kita kalau dari sisi mereka akan terdengar cukup lemah," kata Kol. Basuki, "bagaimanapun, hal itu pasti kentara; kecuali kalau mereka yang menembak,"
"Bisa kita pancing dengan pura-pura maju menyerang," kata ajudan.
"Pasti akan timbul korban di pihak kita," kata Kol. Basuki.
"Kami siap berkorban, Kolonel!" kata ajudan.
"Lagipula, mana tahu mereka kalau kita cuma pura-pura menyerang? Pasti akan dianggap sebagai agresi sekali lagi," kata Kol. Basuki.
"Susah juga," kata ajudan, "gimana ya, cara memancing mereka menembak?"

Pembicaraan itu rupanya bukan hanya antara Kol. Basuki dan ajudannya saja. Ada orang lain yang ada di sana, nyaris tak terperhatikan oleh semua orang. Ya, dia adalah Metta. Metta mendengarkan ketika Kol. Basuki menjelaskan semua rencananya pada Andre, dan juga mengetahui kesulitan yang kini tengah dihadapi. Mau tak mau, Metta pun ikut pula memutar otaknya. Andre adalah temannya, saat mengalami kesulitan dulu, Andre pernah menolongnya. Bagaimana sekarang? Apa yang harus ia lakukan? Andai saja dia bisa menerima peluru demi Andre...

Metta tiba-tiba terhenyak. Betul juga, itu dia...

"Tembakan peringatan!" kata Metta tiba-tiba.

Kol. Basuki, dan juga semua orang pun menoleh ke arah Metta. Mereka tampak kaget dengan celetukan Metta ini.

"Kalau aparat yang maju, pasti dianggap tindakan agresif, kan? Bagaimana kalau orang sipil yang maju?" tanya Metta, "mereka pasti cuma akan kasih tembakan peringatan buat mengusir,"
"Tapi orang sipil siapa? Siapa yang mau maju buat itu?" tanya Kol. Basuki.
"Kami, reporter," kata Metta, "Kolonel, ada banyak sekali reporter sudah berkumpul di sini, baik yang bertugas maupun yang cuma ingin memberikan dukungan semangat sama temen-temen yang kekurung di sana; kalau kami maju, mungkin bisa kasih Andre kesempatan,"
"LALU APA!!?" tanya Kol. Basuki sambil menggebrak meja komandonya.

Metta surut sejenak dengan suara Kol. Basuki yang cukup keras ini.

"AKU TIDAK AKAN MENGORBANKAN RAKYAT SIPIL!!" teriak Kol. Basuki, "Tidak dengan alasan apapun!!"
"Kolonel, please!!" kata Metta sambil bangkit dan langsung menatap tajam mata Kol. Basuki.
"Gimana kalau mereka bukan cuma menembak buat peringatan!? Gimana kalau mereka malah langsung membunuh kalian!?" tanya Kol. Basuki.
"Kolonel, kami siap!" kata Metta.

Kol. Basuki menatap wajah lawan bicaranya ini. Wajah Metta tampak bergetar ketakutan, tapi sinar matanya menunjukkan kebulatan tekad. Tentu saja Metta bukannya tidak tahu kalau teroris kali ini bisa saja langsung melepaskan tembakan ke arah para reporter yang akan maju, tapi dia sudah siap. Lagipula, pengalaman tadi, belum ada korban sama sekali dari pihak sipil, hanya tembakan peringatan. Beberapa kali tembakan langsung pun hanya diarahkan ke personal polisi atau militer, bukan orang sipil.

Seorang ajudan lain pun tergopoh-gopoh menghampiri Kol. Basuki sambil memberikan sebuah telegram. Pesan ini adalah dari Jenderal TNI Djoko Santoso. Isinya, sepertinya sudah kita semua ketahui. Kol. Basuki pun menutup matanya, sadar bahwa ini mungkin adalah satu-satunya kesempatan.

"Kita tidak punya waktu banyak, Nona Metta," kata Kol. Basuki.
"Serahkan saja pada saya, Kolonel, akan saya ajak mereka yang mau, yang siap," kata Metta.
"Pergilah, akan saya beri kode kalau Andre juga sudah siap," kata Kol. Basuki.
"Terima kasih!" kata Metta.
"Hati-hati..." kata Kol. Basuki.

Metta pun segera saja meninggalkan Kol. Basuki. Bagi Kol. Basuki, menempatkan warga sipil di antara dua front jelas bertentangan sekali dengan sikapnya selama ini. Ia malah lebih suka untuk menempatkan dirinya sendiri atau anak buahnya di posisi itu. Setidaknya untuk inilah para tentara dilatih, untuk inilah mereka hidup: melindungi warga sipil. Tapi sekali lagi, ini bukanlah pilihan. Apabila tentara yang maju, jelas akan dianggap sebagai tindak agresi, dan teroris pasti akan membunuh beberapa orang lagi, belum melihat korban di pihak anak buahnya. Apabila Metta dan kawan-kawannya yang maju... mungkin masih ada kesempatan. Selama ini teroris tidak pernah menyentuh warga sipil yang bukan sandera mereka. Tapi ini betul-betul harapan yang bodoh.

Metta sendiri pun juga tidak tahu mengapa dia menyetujui dan mengusulkan hal itu kepada Kol. Basuki. Kalau terjadi sesuatu yang salah, jelas bahwa Metta sendiri merasa bahwa ia masih terlalu muda untuk mati. Bagaimanapun, ini adalah suatu hal yang harus ia lakukan. Tapi menghadapi peluru bukanlah kekhawatiran dari Metta saat ini. Bagaimana dia mengajak rekan-rekan reporter lain untuk melakukannya, itulah pertanyaannya.

Gedung MetroTV
Kedoya, Jakarta Barat
01.32 WIB


"Jadi... begini akhirnya, yah?" tanya Yos.
"Ya, persis kayak yang udah kita bicarain tadi," kata Andre, "cepat atau lambat, harus begini akhirnya,"
"Kita semua harus ke atap, ya?" tanya Faisal.

Suara semua orang terdengar perlahan dan tidak bersemangat. Wajar saja, karena yang akan mereka lakukan ini amat sangat berbahaya.

"Kalian di sini saja, biar aku yang ke atap," kata Yos.
"Kamu mau lawan mereka sendirian, Yos?" pekik Andini, "tidak bisa! Aku ikut!"
"Andini..." kata Yos.
"Yos! Ini bukan untuk didiskusikan! Aku ikut! Titik!" kata Andini, "lagian, kamu juga nggak bisa ngelawan mereka sendirian,"

Yos menepuk pundak Andini, yang kali ini tersenyum.

"Lagipula, sudah saatnya, kan, orang MetroTV sendiri berjuang demi MetroTV?" kata Andini lagi.
"Baik, ayo kalau gitu," kata Yos.
"Tunggu! Aku ikut," kata Andre.
"Gila kamu ya!? Dengan keadaanmu kayak gitu??" pekik Yos.
"Aku masih bisa jalan," kata Andre, "lagian aku yang kudu nembak jammer itu,"
"Luka kamu kayak gini emangnya kamu masih bisa nembak?" tanya Andini.
"Senjata sungguhan di alam terbuka, apa kalian bisa?" Andre balik bertanya, "kita sudah bicarakan ini tadi,"

Yos dan Andini hanya gelagapan saja. Untuk memegang senjata, mungkin mereka pernah. Toh, mereka sebagai reporter sudah bepergian ke berbagai tempat dan mengalami banyak hal, bahkan Yos adalah juara menembak di lapangan tembak. Tapi menembakkan senjata asli, apalagi dalam keadaan penuh tekanan seperti ini?

"Jaraknya jauh, sasarannya kecil," kata Andre, "perhitungannya harus tepat, tembakannya nggak boleh meleset,"
"Terus luka kamu?" tanya Andini.
"Cuma perut yang luka, bukan mata, tangan, atau otak," kata Andre, "penembak tepat cuman butuh itu,"
"Kamu bisa jalan?" tanya Yos.
"Pasti..." kata Andre.
"Kalau dia pergi, aku juga ikut!" kata Cory, "harus ada yang njagain dia,"
"Aku juga!" kata Faisal.

Andre mengangkat tangannya kecil saja.

"Sudahlah, cukup kalian bantu aku malam ini," kata Andre.
"Ndre..." kata Cory.
"Bos..." kata Faisal.
"Ini sesuatu yang aku kudu lakukan sendiri," kata Andre, "habis ini, kalian kudu bisa cari perlindungan; jangan sampai ketahuan,"

Andre menatap ke arah Yos, yang hanya memberikan anggukan setuju. Cory menunduk sejenak, lalu segera memeluk Yos. Cory tampak menangis.

"Sha, udahlah, emang harus gini," kata Yos, "kan kamu sendiri yang bilang, kita kudu maju dan melawan,"
"Tapi pisah ama kamu, Yos..." kata Cory.

Yos memeluk Cory lebih erat, berusaha menenangkan Cory di dalam pelukannya. Andini sendiri bergeser untuk memberikan tempat bagi Cory dan Yos untuk saling mengucap salam perpisahan.

"Kamu siap?" tanya Andini pada Andre.
"Siap," kata Andre, "ini tembakan paling menentukan,"
"Terus aku gimana, Bos?" tanya Faisal.
"Kudu ada yang jagain Cory, Sal, dan kamu sekarang cowok satu-satunya," kata Andre, "jagain aja Cory baik-baik, yah,"
"Apa kita bakal ketemu lagi, Bos?" tanya Faisal.

Andini dan Andre pun saling berpandangan sejenak.

"Pasti! Kalau nggak di sini, ya di seberang sana," kata Andre sambil menerawang jauh.

Faisal mengambil nafas panjang, dia mengerti maksudnya. Ia kemudian menjabat tangan Andre.

"Bos, Bos udah kayak kakak buat aku," kata Faisal, "semoga berhasil aja; aku bangga bisa bareng ama Bos selama ini,"
"Sama-sama, Sal, kamu juga anak baik," kata Andre.
"Mbak Andini, tolong jagain Bos ya," kata Faisal.
"Pasti," kata Andini, "aku seneng bisa temenan ama kalian semua,"

Suasana menjadi agak canggung sejenak, tapi kemudian Andini segera memeluk Andre dan Faisal. Terasa bahwa Andini pun menitikkan airmata. Bahkan momen ini pun menjadi amat emosional bagi semua orang.

"Ingatlah saat-saat ini," kata Andini, "ingat..."

Cory, masih dengan pipi yang basah, pun menghampiri Andre. Ia memberikannya sebungkus coklat yang hampir habis, beserta sebotol air minum.

"Aku nggak bisa ngerawat kamu lagi," kata Cory sedikit sesenggukan, "jadi..."
"Makasih," kata Andre sambil tersenyum, "semuanya udah lebih dari cukup,"
"Maaf ya, kalau perkenalan kita nggak bisa lebih baik," kata Cory.
"Nggak papa," kata Andre, "inget aja soal aku nanti,"

Maka Cory pun menjabat tangan Andre, kemudian ia memeluk Andini, mengucapkan selamat tinggal pada reporter senior yang ia anggap sebagai Kakak itu. Terakhir, Cory pun memberikan ciuman selamat jalan di bibir Yos. Yos sendiri pun tidak bisa untuk tidak menitikkan airmata.

"Oke, kita nggak boleh buang waktu lagi," kata Yos sambil mengusap airmatanya.
"Ayo," kata Andini.
"Sal, aku titip Cory ke kamu, ya," kata Yos.
"Siap, Mas Yos," kata Faisal.
"Sha, ketemu lagi nanti," kata Yos.

Cory hanya mengangguk saja, dan kemudian Andre, Andini, dan Yos pun segera keluar dari ruangan. Mereka sedikit menyempatkan diri untuk melihat Faisal dan Cory terakhir kalinya sebelum akhirnya pintu itu tertutup. Suasana agak hening di antara Faisal dan Cory ketika semua orang akhirnya pergi.

"Kayaknya kita kudu nunggu," kata Faisal.
"Aku nggak mau nunggu," kata Cory.
"Tapi..." kata Faisal.
"Psst!" kata Cory sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir.

Faisal sama sekali tak menyangka apa yang kemudian dikatakan oleh Cory.

"Kita udah liat banyak bom kan, di sini? Tapi kita cuman tahu ada satu," kata Cory lirih, "mending kita pergi juga, cari bom yang lain,"
"Mbak Cory, tapi itu bahaya!" teriak Faisal.
"Psst! Jangan keras-keras! Yos mungkin belum jauh!" kata Cory.

Cory menunggu sejenak, lalu dia membuka pintu sedikit saja dan melihat keadaan. Tampaknya aman, semua orang sudah pergi.

"Sal, kamu ikut nggak?" tanya Cory.
"Mbak Cory! Kita kudu sembunyi di sini!" kata Faisal.
"Ah, ya udah, aku pergi sendiri," kata Cory sambil berlalu.
"Mbak Cory! Ah, sh**!" umpat Faisal.

Faisal teringat kata-kata Yos dan Andre bahwa dia harus menjaga Cory. Tapi kalau caranya begini? Sambil mengumpati dirinya sendiri, Faisal pun beranjak mengejar Cory. Gerakan Cory cukup cepat juga, sehingga Faisal sedikit kerepotan sebelum akhirnya berhasil menyusul Cory. Mereka pun kini sudah melewati koridor yang tadi mereka lewati dan segera turun ke lantai bawah. Ajaibnya, mereka masih belum bertemu dengan seorang teroris pun.

"Mbak Cory, yakin nih nggak papa?" tanya Faisal sambil mengikuti Cory yang setengah berlari menuruni tangga darurat.
"Kita kan cuman ngecekin tempat-tempatnya, Sal, nggak iseng ngejinakin," kata Cory.
"Sama aja bahayanya!" kata Faisal.
"Udah deh Sal, kamu tenang aja, pasti nggak akan apa-a... HMPH!!!!"

Perkataan Cory terputus, karena sebuah tangan tiba-tiba membungkam mulutnya, kemudian menyekapnya hingga ia tak bisa bergerak ataupun berontak. Faisal pun tak sempat bereaksi karena orang lain sudah meringkusnya dan membungkamnya juga, persis seperti Cory. Cory dan Faisal pun mendelik ketakutan, sebuah moncong senapan sudah tertodong ke mereka, dalam jarak yang amat dekat.
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.