stuka1788Avatar border
TS
OWNER
stuka1788
[MILITARY FAN FICTION] PEMBAJAKAN DI METROTV
Disclaimer:


Cerpen Fan Fiction ini ane buat dan selesaikan pada tahun 2009 lalu, dan menggunakan nama tokoh-tokoh asli dengan urutan kejadian yang fiksi, tentu saja. Oleh karena cerita ini dibuat pada tahun 2009, maka keadaannya adalah sebagaimana pada tahun 2009, dan tidak untuk dilihat dengan kacamata pada tahun ini.

Cerpen ini akhirnya ane putuskan untuk rilis setelah menunggu selama 5 tahun, which is rentang waktu biasa dari sebuah statute of limitation, tapi terutama adalah menunggu sampai keadaan benar-benar lain dari saat ketika cerpen ini dibuat. Diharapkan cerpen akan update setidaknya 2 chapter setiap minggunya dimulai dari minggu ini hingga selesai.

Selamat menikmati...

DAFTAR ISI

Chapter I: Zero Hour

Chapter II: The V.I.Ps

Chapter III: Trojan Horse Pt 1

Chapter III: Trojan Horse Pt 2

Chapter IV: Breaking News

Chapter V: Executive Decision

Chapter VI: Fatal Mistake Pt 1

Chapter VI: Fatal Mistake Pt 2

Chapter VII: Father of Sons Pt 1

Chapter VII: Father of Sons Pt 2

Chapter VIII: Fortress Pt 1

Chapter VIII: Fortress Pt 2

Chapter IX: Company In Need

Chapter X: Inside Men

Chapter XI: The Fool's Plan Pt 1

Chapter XI: The Fool's Plan Pt 2

Chapter XII: March of The Volunteers Pt 1

Chapter XII: March of The Volunteers Pt 2

Chapter XIII: Enemies at The Gate Pt 1

Chapter XIII: Enemies at The Gate Pt 2

Chapter XIV: Thunderstorm Pt 1

Chapter XIV: Thunderstorm Pt 2

Chapter XV: Courage Under Fire Pt 1

Chapter XV: Courage Under Fire Pt 2

Chapter XV: Courage Under Fire Pt 3

Chapter XVI: Clean Shot


Diubah oleh stuka1788 13-11-2014 11:56
0
55.3K
179
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer
MiliterKASKUS Official
20KThread7KAnggota
Tampilkan semua post
stuka1788Avatar border
TS
OWNER
stuka1788
#71
Chapter IX: Company In Need


Gedung MetroTV
Kedoya, Jakarta Barat
00.15 WIB


Tidak ada yang berani berbicara, semua sama sekali terdiam mendengar kata-kata Andre. Ini adalah cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang telah menginspirasi pula banyak orang. Pada zaman dahulu, ketika Sparta (di Yunani) dipimpin oleh Raja Leonidas, Yunani menghadapi ancaman invasi dari Kerajaan Persia di bawah Xerxes. Pasukan Persia yang dikerahkan oleh Xerxes berjumlah amat banyak sehingga disebutkan hingga "satu juta pasukan". Dengan balatentaranya yang besar itulah, Xerxes mulai penaklukan atas Cappadocia, Asia Kecil, dan mulai merambah ke Yunani. Satu persatu kota di Yunani pun takluk di bawah Xerxes, yang kini mulai mengancam kota Sparta.

Menghadapi ancaman ini, Leonidas tentu saja tidak tinggal diam dan menyerukan agar seluruh rakyat Sparta dan Yunani mengangkat senjata melawan Xerxes. Sayangnya, perdebatan berkepanjangan di antara senat Yunani (bahkan di Sparta sendiri), membuat persiapan perang Sparta menjadi mulur. Kehilangan kesabaran, Leonidas pun akhirnya memimpin sendiri sejumlah 300 pasukan berani mati dari prajurit terbaik Sparta. Untuk mencegat balatentara Persia yang maha-dahsyat, maka Leonidas pun memilih tempat bertahan di Thermopylae.

Wilayah Thermopylae memang cukup unik. Di satu sisi adalah tebing yang sangat tinggi, yang hampir mustahil dipanjat, sementara sisi lainnya adalah jurang yang terhubung langsung dengan laut. Wilayah di antara tebing dan jurang ini adalah bagaikan jalan sempit, sehingga setiap kali, jumlah pasukan yang bisa melaluinya hanya sejumlah 300 orang saja, tidak lebih. Di tempat inilah Leonidas akan membentuk pertahanannya, karena di sini pula keunggulan jumlah pasukan Persia menjadi tidak berarti. Kenyataannya, tanpa bisa mengerahkan lebih dari 300 orang setiap kali, pasukan Persia akhirnya dibantai satu persatu oleh pasukan Sparta yang memang sudah dilatih kemiliteran dan dibentuk menjadi tentara tangguh semenjak kecil.

Pada akhirnya, walaupun seluruh pasukan Sparta akhirnya kalah dan dibantai (kecuali satu orang yang memang diperintahkan oleh Leonidas untuk menjadi kurir dan pulang ke Sparta), pertempuran di Thermopylae ini membawa dampak yang cukup signifikan. Dari segi fisik, tentu saja jumlah pasukan Persia sudah berkurang akibat pertempuran dengan pasukan Leonidas. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa pasukan Persia lalu mengalami krisis kepercayaan diri; bisa direpotkan oleh tentara yang "hanya" berjumlah 300 orang dan tidak bisa menaklukkan dengan cepat dan mudah. Sebagai akibatnya, ketika akhirnya berhadapan dengan pasukan utama Yunani yang berjumlah 10.000 orang dengan 3.000 di antaranya adalah pasukan Sparta, moral pasukan Persia sudah runtuh sehingga langsung dibabat habis, dan dengan begitu menggagalkan ambisi Xerxes untuk menguasai Yunani.

Tapi, jika pertahanan di Thermopylae begitu sempurna, kenapa pasukan Leonidas bisa kalah? Adalah seorang pria cacat yang bernama Ephialtes, yang awalnya memberitahukan Leonidas mengenai adanya jalan memutar yang biasa digunakan oleh penggembala domba. Apabila pasukan Persia menggunakan jalan itu, maka mereka bisa tiba di belakang posisi pasukan Leonidas, dan mengepung mereka dari dua penjuru. Dengan ini, Ephialtes pun meminta untuk turut serta dalam mempertahankan Thermopylae. Sayangnya, kecacatan bukan satu hal yang bisa diterima di masyarakat Sparta yang aristokratis militeris dan mengagungkan kesempurnaan tubuh. Bayi yang terlahir cacat di Sparta hampir bisa dipastikan langsung dibunuh, karena dianggap sebagai dosa, aib, menjijikkan, dan dipandang tidak ada gunanya di masyarakat. Dengan cara ini pula Leonidas memandang Ephialtes. Kecewa dengan penghinaan Leonidas, Ephialtes pun berbalik menemui Xerxes dan mengatakan mengenai jalan rahasia ini. Akibatnya, pasukan Sparta pun terkepung dari dua arah sehingga dapat dengan mudah digilas oleh pasukan Persia.

"Anggap saja kalau MetroTV ini adalah Thermopylae... Teroris ini adalah pasukan Sparta..." kata Andre, "maka kita adalah..."
"Ephialtes," jawab Andini lirih.

Semua terdiam sejenak.

"Kenapa kita harus jadi Ephialtes??" tanya Andini.

Mereka yang mengetahui cerita ini pasti memposisikan bahwa Ephialtes adalah sosok yang betul-betul buruk: sudah buruk rupanya, cacat, dan dia adalah pengkhianat yang busuk. Pandangan ini pasti mengalir begitu saja secara otomatis, dan biasanya semua orang melupakan fakta bahwa pengkhianatan Ephialtes sebenarnya disebabkan oleh penghinaan dan pelecehan yang pertama kali dilakukan oleh Leonidas. Dengan sikap congkak ini pula sebenarnya Leonidas lah yang sudah menggali kuburnya sendiri. Tapi... menjadi Ephialtes?

"Apa Aparat sudah menyerang?" tanya Andre.
"Tadi memang ada kontak tembak..." kata Yos.
"Iya, aku sampai takut," kata Cory.
"Lalu kenapa kita masih di sini?" tanya Andre.
"Itu..." kata Andini.
"Sudah kuduga..." kata Andre tertawa sedikit.

Andre pun menarik nafas sejenak dan terbatuk sedikit.

"Pertahanan mereka tidak bisa ditembus oleh penyerang...paling nggak keadaannya bakal sangat berat bagi penyerang," kata Andre, "ini yang aku lihat dari gedung MetroTV,"
"Aparat pasti akan nyerang lagi, dan kali ini pasti berhasil!" kata Andini.
"Kapan? Gimana? Trus kalau gagal lagi??" kata Andre, "cepet atau lambat mereka bakal nemuin atau bunuh kita, tergantung mana yang duluan,"
"Jadi kita harus nyerang mereka juga?" pekik Yos, "kita berlima, sementara mereka banyak dan bersenjata???"
"Bukan itu yang dilakuin ama Ephialtes, kan?" tanya Andre, "apa Ephialtes mengangkat tombak buat mbunuh semua pasukan Leonidas?"
"Jadi gimana, Bos?" tanya Faisal.
"Aku nggak tahu, tapi yang di luar pasti tahu," kata Andre, "dan apa pun itu, mereka akan butuh bantuan kita, bila kita beri tahu mereka kalau kita masih di sini; dan kita harus bantu mereka,"

Andini, Yos, dan Cory diam. Yos dan Cory bahkan saling berpandangan. Yos tampak agak skeptis, tapi Cory nampaknya lebih yakin dengan perkataan Andre.

"Aku nggak yakin," kata Yos lirih.
"Tapi dia bener...kita mau nunggu aja di sini atau apa?" tanya Cory juga lirih.
"Sha, aku nggak mau kamu kenapa-napa!" kata Yos.
"Lalu kita di sini cuman sembunyi kayak tikus, Yos? Ini MetroTV, Yos! Kantor kita! Kenapa justru malah orang lain yang lebih peduli ama kantor ini??" kata Cory.
"Sha..." kata Yos.
"Yos..." kata Cory.

Cory pun memegang tangan Yos dengan lembut, tapi mantap. Yos bisa merasakan tangan Cory dingin dan sedikit gemetaran. Yah, Yos bisa merasakan ketakutan dalam diri Cory, tapi pegangan tangan Cory tetap mantap. Andini pun heran melihat sinar di dalam mata Cory. Tubuh mungil itu, yang biasa menjadi adik kecil dari semua, kini pandangan matanya menyala bagai api yang berkobar-kobar. Yos menggenggam tangan Cory, kemudian dia mencium tangan itu, dalaaam sekali.

"Yos..." kata Cory dengan nada yang lembut menenangkan, "kamu jangan takut soal aku...bersama-sama, kita pasti kuat...kita pasti bisa,"

Kata-kata Cory cukup menenteramkan hati Yos, dan lewat sentuhan tangannya, Yos pun seolah bisa merasakan kebulatan tekad Cory mengalir bagai energi baru ke dalam tubuh Yos. Cory tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya, cantik, kuat, dan tegar bagaikan bidadari, dan Yos pun merasakan seolah dirinya terlahir kembali.

"Kamu benar, Sha...kita yang harus menentukan," kata Yos.
"Yos, makasih..." balas Cory dengan mata berkaca-kaca.
"Nggak, Sha... aku yang makasih..." kata Yos.

Yos kemudian mencium kening Cory, kemudian dengan lembut mencium bibirnya, dan diakhiri dengan pelukan yang hangat dan lembut. Airmata Cory pun membasahi pipinya, pun Cory tersenyum di balik airmata itu, sebuah senyuman yang amat tulus dan murni. Tanpa terasa, bahkan Andini pun sedikit menitikkan airmata melihat romansa ini.

"Mbak Andini, kamu gimana?" tanya Andre.
"Mbak..." kata Cory sambil mengusap airmatanya dan menatap Andini dengan penuh harap.
"Ayo, Ndin...kalau bukan kita, sapa lagi?" ajak Yos.
"Brengsek, lo semua sekongkol ya??" kata Andini, "tapi Mbak Henny udah nitipin kalian berdua sama aku, masa aku biarin kalian semua lari ke sana cari mati?? Nggak bisa, aku kudu ikut,"
"Jadi?" tanya Yos.
"Udah, cepetan! Ntar ilang lagi, lho!" kata Andini, "yuk, Ndre, sekarang kita ngapain?"

Andre pun tersenyum, lalu dia memperlihatkan layar TV-nya yang saat itu tengah menunjukkan gambar Metta Sagita yang walaupun tidak sedang menyampaikan berita, tapi terlihat jelas tengah bersama reporter lain yang duduk.

"Metta?" tanya Andini.
"Psst!!" kata Andre sambil memberi isyarat agar semuanya diam.

Jalan Arjuna
Kedoya, Jakarta Barat
00.25 WIB


Tidak ada reporter yang banyak bicara pasca eksekusi 10 orang sandera yang dilakukan oleh para teroris. Semua, kecuali yang tengah stand-up, tampak terduduk gontai. Peristiwa tadi, disiarkan secara langsung dan semua orang melihat, memang membuat semua orang terpukul dan semua jiwa yang normal pasti akan menangis melihat kebiadaban ini. Elvira Khairunnisa terduduk di sudut dengan mata kosong, bersandar pada kakaknya yang terus memeluknya. Semakin waktu berlalu, semakin harapan menjadi tipis bagi semua orang. Kol. Basuki belum berani lagi memerintahkan persiapan lagi, sehingga keadaan menjadi status quo.

Metta terduduk di sebuah sudut yang lain, dan hampir tidak bisa bergerak. Ia amat sangat lelah sekali setelah tadi liputan seharian, dan kini harus kembali tampil marathon entah sampai kapan. Meskipun ada Wahyu Wiwoho, dan kini sudah datang pula Risca Indah dan Maya Intan, tapi ia tetap tak bisa pulang. Sebagian karena solidaritas pada rekan sesama reporter, tapi ia pun turut shock melihat kekejaman para teroris. Ia melihat bahwa para reporter terus menerus berdatangan hingga terkumpul banyak sekali di jalan ini. Jumlah reporter terbesar yang Metta lihat pernah diturunkan dalam satu titik. Tapi hampir semuanya tanpa harapan, dan waktu semakin tipis.

Metta mendadak terbangun, HP-nya berbunyi. Dengan agak malas-malasan, Metta pun melihat siapa yang meneleponnya malam-malam begini.

"Andre?" gumam Metta.

Andre tak pernah menelepon Metta lebih dari jam 10 malam untuk keadaan apapun. Pun Andre juga jarang menelepon tanpa sebelumnya memberitahukan lewat SMS lebih dulu. Biasanya, jika Andre melakukannya, pasti ada sesuatu yang penting atau mendesak, karena Andre pun bukan tipe orang yang suka menelepon kalau tak ada sesuatu yang mutlak perlu dibicarakan.

"Kenapa sih, telepon?" gumam Metta lagi.

Dalam keadaan lelah fisik dan mental, Metta pun tergoda untuk tidak menjawab telepon itu. Toh dia sering juga melakukannya, dan Andre pun tidak pernah marah seandainya dia melakukannya. Tapi entah kenapa, Metta pun, walaupun masih agak enggan, menjawab juga. Yah, mungkin bicara sebentar dengan Andre ada gunanya...

"Mbak Metta?" tanya Andre.
"Kenapa, Ndre?" tanya Metta agak gontai, "kita lagi ada krisis di sini..."
"Mbak Metta..." kata Andre lagi.

Kali ini Metta agak heran. Apabila Metta menjawab telepon dengan nada seperti sekarang ini, biasanya Andre selalu bertanya apakah Metta sedang tidur, dan jika memang seperti itu, Andre sering langsung undur diri dan akan menelepon lain kali, atau jika memang penting, akan disampaikan tanpa membuang waktu. Lagipula, nada bicara Andre agak aneh, agak lemah, tapi bukan lemah seperti Metta, ada sesuatu yang membuat Metta sedikit merinding.

"Mbak Metta..." kata Andre.

Metta pun kali ini betul-betul memberi atensi sepenuhnya, karena apabila Andre membuang waktu dengan mengulang kata yang sama sampai tiga kali, pasti ada apa-apanya.

"Iya, kamu kenapa, Ndre?" tanya Metta.
"Mbak Metta di luar ya? Aku di dalam..." kata Andre.
"Di dalam? Ndre, kamu mau ngomongin apaan, sih?...jangan bercanda, ah..." kata Metta.
"Aku serius...aku sekarang lagi di dalam..." kata Andre.
"Yang jelas, dong! Di dalam mana!!?" tanya Metta sambil berdiri.

Entah kenapa secara refleks Metta berbalik sehingga ia menghadap ke gedung MetroTV, dan saat itu mengertilah dia apa yang dimaksud dengan "di dalam" itu.

"Ya Tuhan..." Metta pun tak mampu mengekspresikan keterkejutannya.
"Aku di dalam gedung Metro... sekarang lagi sembunyi dari teroris," kata Andre, "Mbak Metta, aku minta tolong..."
"Ya ya ya...aku di sini, Ndre! Kamu tetep ama aku, ya!" kata Metta.

Metta pun segera menghambur dengan mimik mukanya menunjukkan perasaan khawatir. Ia bahkan tidak bereaksi ketika melewati Risca Indah, rekannya, juga tidak bereaksi ketika dipanggil oleh yang lain.

"Ada lima orang di sini, aku, temenku, Mbak Andini, Mas Yos, Mbak Cory..." kata Andre, "keadaanku nggak gitu bagus, aku ketembak…"
"Ndre, tenang, kamu bertahan aja di situ, tapi jangan tutup ya, kamu sama aku, ya!" kata Metta sambil berlari.

Semua orang jelas tidak mengerti mengapa Metta tiba-tiba berlari, dan yang lebih tidak mengerti lagi, Metta berusaha untuk mendekati ring I yang dijaga dengan pagar betis oleh tentara.

"Metta!! Kamu mau kemana!!?" panggil Wahyu.

Metta tidak menghiraukannya, dan ia terus saja berlari berusaha menembus ring I.

"Berhenti! Berhenti! Anda tidak boleh lewat!!" kata tentara yang ada di depannya.

Metta langsung saja merangsek, tapi segera ditahan oleh dua tentara. Bagaimanapun, Metta tetap keras kepala dan merangsek terus untuk masuk.

"Aku mau bicara sama Kolonel Basuki!! Aku mau bicara sama Kolonel Basuki!!" teriak Metta seperti orang gila.
"Orang sipil nggak boleh masuk!! Bahaya!!" kata tentara yang menahannya.
"Kolonel Basuki!!" teriak Metta.

Metta pun lalu mengacungkan HP-nya ke atas setinggi yang dia bisa dengan layar menghadap ke depan. Pergumulan ini tentu saja menarik perhatian dari para reporter, maupun Kolonel Basuki sendiri.

"Pak! Ada yang berusaha masuk ring I, katanya mau ketemu Bapak," kata seorang tentara.
"Siapa?" tanya Kol. Basuki.
"Kayaknya reporter GlobalTV," kata tentara, "apa kami usir aja dia?"

Kolonel Basuki melihat ke arah Metta yang masih bergumul berusaha untuk masuk. Wahyu pun segera berlari ke arah Metta, untuk menarik Metta kembali.

"Metta, ayo udah, kita balik!" kata Wahyu.
"Nggak bisa, Yu! Bantu aku, aku mau masuk!!" kata Metta.
"Metta!! Kamu kenapa, sih!?" tanya Wahyu.
"Kalau nggak mau, aku aja!" kata Metta terus berusaha merangsek.

"Berhenti!!" teriak Kol. Basuki segera.

Semua orang pun menghentikan tindakannya.

"Kolonel Basuki, aku mau bicara!" kata Metta.
"Oke, kamu masuk!" kata Kol. Basuki.

Tentara itu pun lalu mengendurkan penjagaan dan membiarkan Metta menerobos masuk. Tapi ketika Wahyu hendak mengikuti Metta, penjaga menghalanginya. Memang hanya Metta yang diizinkan masuk, bukan Wahyu. Metta segera saja menghampiri Kol. Basuki.

"Ada apa, Nona...?" tanya Kol. Basuki.
"Saya Metta, Pak...Metta Sagita..." kata Metta memperkenalkan diri dengan nafas masih agak tersengal-sengal.
"Ada perlu apa dengan saya, Nona Metta?" tanya Kol. Basuki.

Metta pun lalu memperlihatkan HP-nya yang masih aktif.

"Telepon?" tanya Kol. Basuki.
"Teman saya telepon, dan ini penting..." kata Metta.
"Saya tidak ada waktu untuk main-main!" hardik Kol. Basuki.
"Anda harus dengar ini, Pak!" kata Metta dengan nada tinggi, "teman saya ada di dalam MetroTV...sekarang!"

Kol. Basuki jelas saja terkejut mendengar klaim dari Metta ini. Buru-buru ia segera mengambil telepon Metta dan berbicara dari sana.

"Halo, ini Kolonel Basuki, yang berwenang di sini..." kata Kol. Basuki.
"Kolonel... saya Andre..." kata Andre.
"Saudara Andre, apa benar anda berada di dalam gedung MetroTV saat ini?" tanya Kol. Basuki.
"Benar...kami berlima sedang bersembunyi dari teroris," kata Andre.
"Kalian berlima?? Siapa saja?" tanya Kol. Basuki.
"Kolonel, mohon dengar, ini amat penting dan saya tidak bisa bicara terlalu lama," kata Andre, "setiap saat, teroris bisa mengaktifkan jammer kembali dan kita tidak bisa berbicara lagi entah sampai kapan,"
"Apa maksud Anda? Jammer??" tanya Kol. Basuki.
"Ya, teroris punya jammer, Kolonel! Itu yang menghalangi komunikasi masuk dan keluar dari gedung MetroTV," kata Andre.
"Pantas saja ada yang aneh..." kata Kol. Basuki, "Saudara Andre, karena Anda dan teman-teman ada di dalam... saya hendak meminta sesuatu..."

<TUUUT!!>...

"HALO!!" teriak Kol. Basuki, "SAUDARA ANDRE!!??"
"Benar, Kolonel! Ada sinyal pengganggu," kata salah seorang ajudan.

Andre menjatuhkan handphone-nya.

"Berengsek! Mereka menyalakan lagi jammer-nya," kata Andre.
"Jadi gimana sekarang?" tanya Andini, "kita gagal?"
"Eh, diam dulu, ada orang di luar!!" kata Yos lirih.

Buru-buru semua orang mencari tempat sembunyi. Cory langsung saja menutupi tubuh Andre dengan sebuah selimut kumal yang besar, sehingga tampak seperti tumpukan barang biasa. Untung lampu tidak dinyalakan di ruangan ini, dan hanya mengandalkan penerangan dari koridor yang masuk lewat jendela kaca kecil di atas.

"Di sini pasang juga?" kata sebuah suara sayup-sayup dari luar.
"Iya, di sini juga," kata suara satunya lagi.

Sejenak kemudian terdengar suara tampaknya dua orang itu tengah melakukan sesuatu.

"Oke... eh, apa menurut antum ada orang di daerah sini?" tanya suara pertama.
"Antum ada-ada saja, lebih baik antum bantu ana buat pasang ini," kata suara kedua.
"Ana periksa sejenak," kata suara pertama.

Suasana dalam ruangan pun menjadi mencekam ketika terdengar suara langkah kaki orang yang berjalan semakin mendekat.

"Ana mau periksa gudang ini," kata suara pertama.
"Hei, antum sini saja!" cegah suara kedua.

Tiba-tiba jantung semua orang serasa berhenti. Handel pintu berputar dan pintu pun pelan-pelan terbuka. Yos, yang posisinya paling dekat dengan pintu segera meraih benda terdekat yang bisa dia temukan, sebuah kamera untuk peliputan. Kamera berat ini bernilai juga sebagai sebuah senjata. Moncong AK-47 pun terlihat memasuki ruangan sementara pintu terbuka semakin lebar. Inilah dia...
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.