“Sialan, Gila!!” Widka mengumpat, “aku bahkan tidak menduga jika kejadiannya bakal begini. Ah!”

Widka uring-uringan sendiri, lantas berusaha tenang dari segala emosi yang memuncak. Ia kemudian melihat Komandan Jo yang mengemudi: tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sekiranya bayangan apa yang ada di dalam kepala bossnya itu membuat Widka bertanya-tanya: apakah setelah ini ia akan mendapat masalah atau tidak. Berharap tidak. Namun apapun itu, ia melihat sendiri bossnya terlihat kalem. Seolah memberikan selamat pada bawahannya karena telah memberikan petunjuk yang menjanjikan. Widka bisa membaca dari gelagat dan ekspresinya yang senang. Ia pun asal bicara sebagai upaya untuk memecah keheningan.

“Sama sekali aku tidak dapat membaca pikiranmu, Ndan.”

Dia menoleh sejenak. Lantas melihat ke depan lagi.

“Kau pikir aku percaya dengan semua ucapan ibu-ibu itu?”

“Aku? Tidak!” Katanya menegaskan. “Dia pasti menyembunyikan sesuatu. Itulah kenapa dia kelihatan ketakukan begitu. Iyakan?”

“Betul itu. Dia boleh saja berbicara bohong, tapi usahanya itu sama sekali tidak berhasil,” kata Komandan Jo, “tapi ada satu hal yang harus aku pastikan kepadamu sebelum kita menggendak Ibu itu. Apa kiranya yang membuat gadis itu tahu keberadaanmu? Apa kau pernah bertatap muka dengannya?”

“Belum secuilpun Komandan.”

“Lantas apa yang membuatmu yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang sama dengan Alina?”

Widka membayangkan rupa-rupa Komandan Jo jika tahu perbuatan jorok yang ia lakukan terhadap gadis misterius tersebut. Sekarang dia memutuskan untuk bicara terang-terangan, menelan ludah.

“Aku.. aku tidak tahu apa ini baik atau tidak? Yaa.. Bagaimana aku menjelaskan ini semua. Uhff..” –ia berpeluh – “entahlah apa ini sopan atau tidak, karena aku..”

“Situasi seperti ini masih bicara sopan atau tidak. Itulah kenapa kau menderita seperti ini. Bisa saja kejahatan bersembunyi dibalik topeng kesopanan. Kau tahu itu. Nah sekarang coba cerita yang kau punya.”

“Iya.. iya aku mengerti.” Widka menegaskan, lama menimbang akhirnya dia bicara: “Telah aku habiskan selama 3 hari hanya karena ingin melakukan hal ini. Maaf Komandan Jo tetapi ini jujur.” – Ia menghirup nafas panjang – “A.. Aku mengintipnya dari balik kosan yang aku sewa. Ya.. kau tahu itu. Semacam tindakan…ya itulah.. .mengintip saat dia buka baju.. mengintip saat dia mandi.”

Widka langsung menatap Komandan Jo untuk melihat reaksi apa yang akan bossnya itu tunjukan: lagi-lagi terlihat itu kalem.

“Ok! Lantas dia memergokimu saat mengintip, begitu?”

“Aku tidak tahu pasti. Apa tahu, apa tidak. Tapi..” Widka kembali membongkar ladi ingatannya, saat itulah dia menyadari sesuatu yang membuat mulutnya bergetar: “aku telah memberikan baju satin merah itu kepadanya. Gaun yang sama yang dipakai oleh Alina.”

“Kau bertatap muka dengannya?

“Tidak Komandan. Aku tinggalkan bungkusan yang berisi gaun itu di depan pintu kosannya tanpa surat apa-apa. Mungkin saat itulah dia menyadarinya. Bukan begitu?”

“Kapan kamu memberi itu kepadanya?” Tanya lagi dengan raut wajah yang serius.

“Tadi malam.”

“Mungkin itu cukup baginya untuk mengetahui keberadaanmu,” lantas merendahkan nada suaranya, “kalau tidak salah gadis yang kau lihat itu adalah Alina yang kau kenal.”

Mendengar ucapan bossnya itu membuat jantung Widka berdebar-debar kencang.

“Intuisiku juga berkata demikian, Komandan.” kata Widka spontan.

“Kalau saja kau cerita ini dari awal-awal, aku tidak akan pernah meragukanmu. Ini pasti gara-gara gossip dimarkas. Sial!” Katanya mengumpat, “kadang kita dihujani oleh pendapat-pendapat sosial yang membuat keputusan kita tergelincir kearahnya. Padahal dalam beberapa hal pendapat itulah yang menipu.”

“Sungguh benar itu, Komandan.”

Komandan memutar balik mobilnya sebelum masuk ke jalan raya. Seolah tidak ada lagi keraguan untuk kembali ke kosan Ibu Mariana.

Tidak beberapa lama, lagi-lagi mobil itu mendempet di pagar kos-kosan ibu Mariana. Sebelum keduanya turun Komandan Jo bicara sesuatu:

“Kali ini ibu itu tidak bisa lagi berkutik tentang segala sesuatunya.” Katanya cerah. “Akan aku gendak agar dia mau bicara.”

“Me… menurutmu apa arti semua ini, Komandan?”

“Sama sekali tidak ada artinya.” Ia mendesah, “kau akan tahu semua duduk perkaranya setelah kita paksa ibu itu bicara. Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau ada yang aneh dengan gelagat ibu kos itu?”

Mereka berdua keluar dari mobil. Widka merubah arah pandangnya, dari kejauhan, ia melihat si gempal pemilik warung, teringat bahwa orang itu tahu sesuatu tentang gadis misterius yang kemudian meghilang. Buru-buru Widka mendekat ke arahnya menatap tajam ke arah si gempal.

“Kamu ingat gadis putih yang aku tanya waktu itu… Masih ingat?”

Untuk sementara si gempal tidak bicara sedikitpun. Mencoba mengingat-ingat siapa lawan bicaranya. Pada akhirnya dia tahu sesuatu.

“Ah! Masnya.. “ si gempal berkoak. “Namanya Ruby mas. Saya tanya-tanya kemarin dengan ibu kos. Cantik ya mas? Kalau emang benar dia begitu, pasti mahal mas bayarannya. Barang bagus sih.” Katanya sambil terkekeh-kekeh.

Widka sama sekali tidak berhasrat untuk ikut tertawa. Ia justru meringis sambil melihat Komandan Jo yang sudah menunggu di depan rumah tersebut. Rasa-rasanya, bossnya itu memiliki siasat untuk mengorek informasi dari targetnya. Seperti yang sudah-sudah, Widka selalu kagum dengan cara Komandan Jo dalam menginterogasi seseorang. Inilah saatnya si Gila pramuria itu beraksi.

Babak baru akan segera dimulai. Widka mengangkat celana dan mengencangkan tali pinggangnya sambil berpeluh. Entah kegilaan apa lagi yang akan ia alami setelah ini. “Ya Tuhaan.”