Angin berhembus sepoi-sepoi. Kami berjalan bersama di atas pasir sore itu. Langit senja menyajikan semburat kekuningan dari matahari tenggelam. Jejak kaki-kaki telanjang kami berbekas dalam disapu deburan ombak ringan.

Aku dan Hanum berjalan sore itu di pinggiran pantai Kuta. Bayangan kami tampak memanjang ditimpa sinar matahari yang lambat laun makin melemah. Senyap, tak satupun bicara. Kita berdua seperti berdialog dalam diam, menebak-nebak apa yang ada di dalam hati masing-masing. Aku ingin memegang tangannya, menggandengnya. Aku ingin berkata, ingin kuhentikan waktu seandainya bisa. Namun yang terjadi hanyalah suara bisu. Aku...


Duuut..Duuuut...Duuuut... 1 message received from Lia.



Aku membuka mata, tersentak. Hanya mimpi, kenangan. Entah bagaimana rasanya tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Dalam sedetik aku berharap, itu tak hanya sebuah kenangan yang telah berlalu. Tapi, realita telah menunjukkan wajah aslinya padaku.



Dan beginilah hidup. Sehari sudah normal seperti biasa, sehari kemudian tiba-tiba menggalau seperti dunia hendak berakhir. Kadang ada masanya kupikir aku sudah move on. Namun ketika melihat Hanum bersanding dengan Bernard, satu sisi hatiku seperti berteriak bak vocalist metal menjeritkan isi hatinya. Perih.