TS
simamats
[Orifict] Naqoyqatsi
Terinspirasi dari peristiwa Revolusi Prancis dan Lushan Rebellion di Dinasti Tang (plus science fiction time machine?), gw persembahkan *sound effect trompet* :
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga
Naqoyqatsi: Life as War
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Genre: Seinen, Action, Psychological, Tragedy, Supranatural, Historical.
Spoiler for Sinopsis:
Lushan merupakan seorang pembrontak yang menjunjung tinggi kebebasan atas masyarakatnya yang tertindas dibawah kekuasaan dinasti Tang. Visinya semakin buyar dan di penuhi oleh tragedi yang membuatnya kehilangan banyak hal, istri, sahabat, dan semua hal yang disayanginya untuk meraih impian tersebut. Kehilangan pijakan, Lushan seperti api yang berkobar menghancurkan segala hal, bertranformasi menjadi monster. Ketika tinggal satu langkah lagi bagi Lushan untuk mendapatkan impiannya, dia terbunuh oleh orang terdekatnya, darah dagingnya sendiri yang menganggap ayahnya sudah dibutakan oleh ambisi. Ketika itu, dia diberi kesempatan oleh kekuatan misterius untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu.
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
Spoiler for Index:
Prolog - There is No Liberty With Blood Below Your Feet :
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga

Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:06
0
13.6K
Kutip
83
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
TS
simamats
#3

Spoiler for Chapter 1: A Land Without God (part 1):
Lagi-lagi aku bermimpi setelah kejadian aneh yang kualami tadi. Tempat ini familiar dengan khas bau amis darah, tanah yang basah memerah darah, dan langit yang mendung suram. Namun kusadari, tempat ini kosong, tak ada mayat-mayat tergorok lehernya bergelantungan di atas langit-langit. Yang jelas, di hadapanku kini terdapat kaca yang sungguh besar, tertancap di tanah yang lembek ini.
Kemudian aku berjalan ke arah kaca tersebut karena tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Disana, muncul wujudku yang tua, dengan tancapan pisau di perutnya. Dia adalah aku yang mati kemarin, dan wajahnya pucat, darah mengalir dari bibirnya yang biru, matanya menghitam.
Menatapnya, tiba-tiba aku terkagetkan hingga dibuatnya diriku terloncat ke belakang. Sosok di hadapanku bergerak dengan sendirinya, mengetukkan jarinya ke arah kaca. Seketika itu, di belakangnya terdapat lautan darah, manusia-manusia yang tergantung yang lehernya menetes darah, lalu juga tumpukan mayat-mayat manusia. Lokasi di kaca itu jelas adalah tempat mimpi-mimpiku sebelumnya.
“Hei diriku.”
“...!?”
“Ya, kamu!”
Ia panggil aku, dengan kedua tangan di pinggangnya, mata hitam kusamnya itu membuka lebar melotot.
“Kamu, atau diriku sendiri, ah, kita. Ya, kita telah mati Lushan, mati sia-sia, seperti apa yang mahluk gaib itu katakan. Tapi bayangkan, jika saja benar singgasana kaisar china berhasil kita duduki, apa benar impian kita akan benar-benar terwujud?”
Dia berjalan, dan seakan kaca itu mengikuti gerak-geriknya. Ia dekati tumpukan mayat, dan ia duduki. Tak lama, aku menyadari, tumpukan mayat itu mirip sekali dengan singgasana kerajaan.
“Begitu banyak yang terbunuh demi singgasana ini.”
“...Apa yang kau maksud adalah kebebasan? Mimpiku adalah untuk menyejahterakan masyarakat China lewat kebebasan mereka sebagai individu.”
“Bukan kebebasan, apalagi kesejahteraan, tapi singgasana Lushan. Simbol dari kekuasaan mutlak pada diri seseorang.”
Aku terhina dan merasa jijik mendengar ucapannya, kedengarannya refleksi kacaku ini bodoh sekali.
“Dengan kekuasaan di tangan itu lah kebebasan juga kesejahteraan mampu terlaksana!”
“Kau merasa bahwa dirimu adalah orang yang pantas untuk melakukan itu?”
“Ya.”
“Setelah apa yang kau lakukan pada rakyat China, kau merasa berhak melakukan itu?”
“Apa yang kau maksud? Kau menanyakan soal pengorbanan bukan? Perang memang begitu, revolusi pasti berdarah. ”
“Ah, Lushan. Ah, diriku sendiri. Lihat singgasana ini, tumpukan mayat, kemegahan yang membusuk oleh kumpulan belatung dan lalat, betapa menyedihkannya. Lihat lautan di tanah yang kita jejaki ini, darah. Jutaan manusia telah mati mempercayai bahwa kita, seorang An Lushan, sang masiah yang diutus dari langit ketujuh, membimbing mereka ke utopia yang dibangun dari darah dan daging yang membusuk.”
Bicaranya yang gemetar, wajahnya yang terlihat penuh sesal itu, matanya yang mengalir darah, benar-benar membuatku muak.
“Dan jika itu yang dibutuhkan, darah dan daging, maka aku juga manusia-manusia yang bermimpi untuk membuat surga di muka bumi akan menyiapkannya.”
“Sadarkah engkau mengapa kita selalu memimpikan tempat ini? Ini surgamu Lushan, ini surga yang berusaha kita ciptakan. Surga yang begitu menyedihkan, hingga engkau menyebutnya Neraka. Tak pernah bisa surga tercipta di muka bumi, manusia semenyedihkan itu. Dan kau mengetahuinya, karena kau adalah aku, bagaimana kita bisa begitu termakan ilusi-ilusi kita sendiri...”
“Tidak, ilusiku adalah kenaifan, percaya bahwa kemanusiaan, rasa kasih, dan moral adalah jalan suci menuju kemenangan. Dan karenanya aku menjadi lemah, yang percaya bahwa tuhan masih ada di muka bumi ini, yang memberi anugrahnya pada orang-orang naif ini...”
“Ya, kita berjejak pada tanah yang tidak memiliki Tuhan. Karenanya kita hanya mampu bersandar pada tangan-tangan manusia, sedangkan manusia begitu rapuh, hingga seumur hidup tenggelam oleh rasa gelisah, kita hanya belajar bahwa dengan darah dan darah saja sesuatu itu mampu kita raih... dan, aku menyesali pemikiran ini, meragukan pemikiran ini, dan hingga anak kita sendiri mampu menghunuskan pisau ke punggung kita, aku semakin yakin, betapa salahnya kita ini...”
Memerah wajahku marah, betapa lemahnya sosok di refleksi kaca ini!
“Bodoh! Tak pernah kusesali itu, tak pernah ada keraguan dalam benakku tentang apapun yang kupilih dan kujalani, dan kesedihanku adalah karena darah dagingku mengkhianatiku, dan bagaimana dia terbohongi oleh ilusi yang membutakan mataku dulu!”
“Tidak Lushan, ketika kau menyebutkan tak ada keraguan, maka kau sudah membohongi dirimu sendiri... Lagipula, kau itu aku. Dan aku adalah sosok yang ada di kaca ini, yang bersama neraka yang kita ciptakan. Lalu kau, adalah sosok yang berada pada tanah kosong yang masih belum ternodai mayat. Kau telah diberi kesempatan, aku yang berada pada sisi ini telah menjadi tidak pernah ada kecuali pikiran-pikiran saja.” Tiba-tiba sosokku di singgasana itu menutup matanya dengan salah satu tangannya, dan dia tertawa, tertawa terbahak-bahak, “Ya, betapa menyedihkan hidupku ini, yang hanya tahu darah, yang mati oleh anak sendiri, dan kini menjadi tidak pernah ada! Apa kau mau menjalani hidup seperti ini lagi!”
Pada saat itu aku hanya bisa berdiam diri, entah bagaimana aku tidak mampu lagi menolaknya, seakan menyetujui bahwa dia adalah perasaanku yang terpendam. Dan benarkah itu, benarkah aku ragu? Lalu kesempatan, aku mengingat sosok misterius itu, yang berkata bahwa dia berikan lagi aku kesempatan untuk menanggulangi kesalahanku. Begitukah, kesempatan yang seperti apa? Mengapa sosokku di dalam kaca ini seperti mengetahui nasibku setelah ini?
Belum sempat aku bertanya, sosokku di kaca telah mengambil salah satu pisau yang tertancap di perutnya, dan segera dengan tersenyum ia gorok lehernya sendiri dengan pisau tersebut.
Darah yang keluar dari lehernya perlahan mengalir, keluar dari kaca, dan pada refleksi di antara darah itu kulihat sosok diriku yang terlihat begitu muda.
"Ehh.."
Buku-buku berjatuhan dari pangkuanku karena terguncangnya kereta kuda yang bergerak begitu cepat ditanah yang belum rampung dibuat jalan.
“...”
Aku termenung oleh maksud dari mimpi yang baru saja kualami, dan ketika itu ibu dan kakak yang berada didepanku sepertinya terganggu dengan jatuhnya bukuku.
"Hei cepat ambil bukumu, Lushan si kutu buku"
Kakak mengejekku dengan senyumannya yang sinis. Mungkin dia bosan dengan perjalanan yang lama menuju tempat pernikahan Ibu sehingga dia mencoba membuat kemeriahan, dengan cara mengejekku.
Ketika itu segera kuambil bukuku yang kebanyakan berisikan karya sastra dan filosofi perang yang kini sangat kugemari. Seketika kubuka beberapa halaman, entah mengapa diriku seperti merasa sudah membaca semuanya..
"Lihat dirimu Lushan.. Pria dengan buku-bukunya. Klan Ashide yang tanpa kekuatan sihir karena dirinya adalah pria seharusnya menggerakan pedangnya, bukan dengan membaca buku yang usang seperti itu!"
Sekali lagi kakak mencoba membuatku kesal, kini dia mengkritikku yang tidak pernah tertarik berlatih pedang, dan bahkan membahas isu sensitif tentang tidak bisanya pria dari klan ashide dalam menggunakan sihir, padahal sudah jelas bahwa dilarang untuk membahas hal tersebut
"Buku ini adalah ilmu kakak, dan pengetahuan yang kudapatkan dari buku ini akan lebih tajam dari pedang, dan bahkan lebih menghancurkan dari sihirmu."
"Heh, argumentasi kosong,"
"Balthiq, adikmu benar.. Hanya dengan membaca buku, bangsa bar-bar seperti kita bisa diakui dan memasuki pemerintahan. Pria yang hanya mengayunkan pedangnya tanpa menggunakan otaknya hanya menjadi seorang tentara dengan pangkat biasa yang mati konyol dimedan perperangan. Kita klan Ashide tidak perlu pria bodoh seperti itu."
Sebenarnya aku tidak sependapat dengan ibu, dia melihat ilmu yang kudapat hanya sebagai alat meraih pangkat. Tapi yah setidaknya dia mendukungku..
"Lushan.. kau menangis?"
"Eh?"
Tiba-tiba air mata mengalir dari mataku, dan tiba-tiba muncul perasaan aneh dari dadaku. Aku merasa seperti sudah begitu lama tidak berbicara seperti ini dengan keluargaku.
"Aku.. sepertinya kelilipan kak"
"Heh, ternyata hatimu sensitif juga Lushan. Ayolah.. kakak cuman bosan karena gak ada bahan pembicaraan.."
"Cara meminta maafmu buruk sekali!"
Ketika itu segera kuusap air mataku. Entah mengapa saat itu perasaanku terasa seperti terombang-ambing setelah melihat mimpi tersebut.
"Omong-omong.. Lushan, ibu ingin berbicara padamu.."
Tiba-tiba ibu dengan muka khawatirnya memecahkan suasana yang tercipta dari kakak dan diriku. Wajahnya terlihat begitu serius sehingga make-up yang ia gunakan untuk pernikahan kini tidak bisa menutupi kerutan diwajahnya.
"Ini soal tadi malam, aku ingin menjelaskan padamu tentang marga yang kita perdebatkan tadi malam.."
"Aku akan pakai marga An ibu."
"Eh!!"
Ibu dan kakak memajang wajah kaget, dan yah.. tentu saja mereka kaget dengan perubahan hati yang begitu cepat ini.
"Emm.. ketika kupikir-pikir.. mungkin memakai marga An akan memudahkan diriku dalam banyak hal. Lagipula ini salah satu tujuan ibu menikahinya bukan?"
Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Tidak pernah sekalipun aku melihat wajah ibu yang terlihat sangat senang seperti ini, dia lebih cenderung berwajah serius, sedih, dan menyeramkan. Ketika ibu sudah begitu depresi, dia akan menghirup pipa opium yang sudah tersedia didalam bajunya, dan hanya disaat itu terlihat ketenangan dalam wajahnya.
"Ibu begitu senang kau mengerti Lushan.. Tapi perubahan suasana hati seperti bukan kamu saja.."
Ketika itu aku juga merasa aneh dengan perubahan hati ini, seakan tidak ada lagi rasa marah dalam hatiku mengenai ibu yang menikahi laki-laki lain setelah meninggalnya ayah setahun yang lalu. Aku seakan sudah benar-benar mengerti perasaan ibu, padahal ketika kita berdebat tadi malam, kubantah semua alasannya dan hal itu sempat membuat kita tidak berbicara sepanjang perjalanan dikereta kuda ini.
"Heh entah mengapa kakak merasa kau juga begitu berbeda Lushan.. hei, kau mimisan.."
Tanpa sadar darah mengalir dari hidungku, dan kepalaku terasa begitu pusing.
“Musuh! Segera ke formasi pertahanan!”
Tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan panik dari para ksatria yang menjaga kereta kuda kita, dan gerakan kereta kuda menjadi cepat. Ketika itu darah dari mimisanku berceceran kemana-mana, dan ibu segera menjauhiku karena takut gaun pernikahannya ternodai darahku.
"Hei Balthiq! Cepat kau tutupi mimisan adikmu itu!!"
"Tunggu!! Kita.."
Kepalaku begitu pusing seperti isi kepala ini ingin meledak. Kupegangi kepala ini yang rasanya begitu berat, dan kakak terlihat begitu panik melihat perilaku diriku dan segera menggunakan sapu tangannya untuk menahan darah dari hidungku.
"Kakak kau dalam bahaya!"
"Lushan kau kenapa sih!!"
Ketika itu tiba-tiba aku merasa panik, seperti merasakan terror dalam ingatanku. Aku seperti.. melihat panah menembus kepala kakakku.
Saat itu suara trompet terdengar dari mana-mana, dan aku mengetahui bahwa hal tersebut merupakan aba-aba untuk menyerang. Lalu seseorang penjaga mengetuk jendela kereta kuda kita, dan ibu segera membukanya.
"Maaf nona Ashide, sebaiknya kalian.. Aghh!!"
Tiba-tiba panah menembus kepala penjaga yang berbicara pada ibu, dan darah mengenai muka dan gaun dari ibu. Ketika itu mata dari penjaga tersebut terpental masuk kedalam kereta kuda. Seketika aku merasakan dejavu, dimana aku malah melihat kepala kakak yang berada diluar jendela tersebut.
"Gaunku!!"
"Kyaa!! Ibu!!"
Kakak terlihat ketakutan dengan terbunuhnya seseorang didepannya dan juga mata penjaga yang kini berada didekatnya, namun ibu malah panik akan gaunnya yang terkotori darah.
"Kalian semua! berpegangan pada sesuatu!!"
Tiba-tiba aku berteriak demikian, dan memegang pegangan yang berada dekat ditempat dudukku seperti tahu bahwa akan terjadi sesuatu. Di jendela, banyak sekali bandit-bandit menggunakan kudanya menyerang penjaga, dan saat itu tiba-tiba kereta kuda berguncang seperti menginjak sesuatu.
"Ibu kenapa kereta kudanya?"
"Kesini nak! Oh dewa pelindung, berilah kami perlindunganmu, kami yang.."
Ketika itu Balthiq segera ketempat ibu yang sedang membacakan mantranya, namun tiba-tiba disaat dirinya berjalan, terdengar suara ledakan yang begitu dahsyat dan karena sihir ibu yang mengelilingi kereta kuda ini membuat kita terlindungi dari dahsyatnya mesiu yang meledak melainkan terpental menuju keatas, dan saat itu Balthiq yang tengah berjalan kini terlihat melayang dan berputar sampai pada akhirnya kereta kuda terjatuh lagi ketanah, dan semuanya gelap seketika.
...
Tidak ada suara dari ibu maupun kakak. Kereta kuda ambruk karena terbentur tanah dan kita terjebak didalamnya. Ibu dan kakak sepertinya tidak sadarkan diri, dan diluar sepertinya masih terdengar suara pertarungan.
Saat itu rasa sakit dan pening dikepalaku menghilang, dan darah berhenti mengalir dari hidungku.
Aku ingat semuanya.. apa yang akan terjadi setelah ini, semua terlihat jelas seperti aku sudah mengalaminya..
Bukan, aku memang sudah mengalaminya. Ah, apa benar diriku kembali kemasa lalu? Ini kesempatan kedua yang mahluk tersebut maksudkan?
Tapi tidak salah lagi..
Tak lama setelah ini kakak akan menemui ajalnya.
Kemudian aku berjalan ke arah kaca tersebut karena tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Disana, muncul wujudku yang tua, dengan tancapan pisau di perutnya. Dia adalah aku yang mati kemarin, dan wajahnya pucat, darah mengalir dari bibirnya yang biru, matanya menghitam.
Menatapnya, tiba-tiba aku terkagetkan hingga dibuatnya diriku terloncat ke belakang. Sosok di hadapanku bergerak dengan sendirinya, mengetukkan jarinya ke arah kaca. Seketika itu, di belakangnya terdapat lautan darah, manusia-manusia yang tergantung yang lehernya menetes darah, lalu juga tumpukan mayat-mayat manusia. Lokasi di kaca itu jelas adalah tempat mimpi-mimpiku sebelumnya.
“Hei diriku.”
“...!?”
“Ya, kamu!”
Ia panggil aku, dengan kedua tangan di pinggangnya, mata hitam kusamnya itu membuka lebar melotot.
“Kamu, atau diriku sendiri, ah, kita. Ya, kita telah mati Lushan, mati sia-sia, seperti apa yang mahluk gaib itu katakan. Tapi bayangkan, jika saja benar singgasana kaisar china berhasil kita duduki, apa benar impian kita akan benar-benar terwujud?”
Dia berjalan, dan seakan kaca itu mengikuti gerak-geriknya. Ia dekati tumpukan mayat, dan ia duduki. Tak lama, aku menyadari, tumpukan mayat itu mirip sekali dengan singgasana kerajaan.
“Begitu banyak yang terbunuh demi singgasana ini.”
“...Apa yang kau maksud adalah kebebasan? Mimpiku adalah untuk menyejahterakan masyarakat China lewat kebebasan mereka sebagai individu.”
“Bukan kebebasan, apalagi kesejahteraan, tapi singgasana Lushan. Simbol dari kekuasaan mutlak pada diri seseorang.”
Aku terhina dan merasa jijik mendengar ucapannya, kedengarannya refleksi kacaku ini bodoh sekali.
“Dengan kekuasaan di tangan itu lah kebebasan juga kesejahteraan mampu terlaksana!”
“Kau merasa bahwa dirimu adalah orang yang pantas untuk melakukan itu?”
“Ya.”
“Setelah apa yang kau lakukan pada rakyat China, kau merasa berhak melakukan itu?”
“Apa yang kau maksud? Kau menanyakan soal pengorbanan bukan? Perang memang begitu, revolusi pasti berdarah. ”
“Ah, Lushan. Ah, diriku sendiri. Lihat singgasana ini, tumpukan mayat, kemegahan yang membusuk oleh kumpulan belatung dan lalat, betapa menyedihkannya. Lihat lautan di tanah yang kita jejaki ini, darah. Jutaan manusia telah mati mempercayai bahwa kita, seorang An Lushan, sang masiah yang diutus dari langit ketujuh, membimbing mereka ke utopia yang dibangun dari darah dan daging yang membusuk.”
Bicaranya yang gemetar, wajahnya yang terlihat penuh sesal itu, matanya yang mengalir darah, benar-benar membuatku muak.
“Dan jika itu yang dibutuhkan, darah dan daging, maka aku juga manusia-manusia yang bermimpi untuk membuat surga di muka bumi akan menyiapkannya.”
“Sadarkah engkau mengapa kita selalu memimpikan tempat ini? Ini surgamu Lushan, ini surga yang berusaha kita ciptakan. Surga yang begitu menyedihkan, hingga engkau menyebutnya Neraka. Tak pernah bisa surga tercipta di muka bumi, manusia semenyedihkan itu. Dan kau mengetahuinya, karena kau adalah aku, bagaimana kita bisa begitu termakan ilusi-ilusi kita sendiri...”
“Tidak, ilusiku adalah kenaifan, percaya bahwa kemanusiaan, rasa kasih, dan moral adalah jalan suci menuju kemenangan. Dan karenanya aku menjadi lemah, yang percaya bahwa tuhan masih ada di muka bumi ini, yang memberi anugrahnya pada orang-orang naif ini...”
“Ya, kita berjejak pada tanah yang tidak memiliki Tuhan. Karenanya kita hanya mampu bersandar pada tangan-tangan manusia, sedangkan manusia begitu rapuh, hingga seumur hidup tenggelam oleh rasa gelisah, kita hanya belajar bahwa dengan darah dan darah saja sesuatu itu mampu kita raih... dan, aku menyesali pemikiran ini, meragukan pemikiran ini, dan hingga anak kita sendiri mampu menghunuskan pisau ke punggung kita, aku semakin yakin, betapa salahnya kita ini...”
Memerah wajahku marah, betapa lemahnya sosok di refleksi kaca ini!
“Bodoh! Tak pernah kusesali itu, tak pernah ada keraguan dalam benakku tentang apapun yang kupilih dan kujalani, dan kesedihanku adalah karena darah dagingku mengkhianatiku, dan bagaimana dia terbohongi oleh ilusi yang membutakan mataku dulu!”
“Tidak Lushan, ketika kau menyebutkan tak ada keraguan, maka kau sudah membohongi dirimu sendiri... Lagipula, kau itu aku. Dan aku adalah sosok yang ada di kaca ini, yang bersama neraka yang kita ciptakan. Lalu kau, adalah sosok yang berada pada tanah kosong yang masih belum ternodai mayat. Kau telah diberi kesempatan, aku yang berada pada sisi ini telah menjadi tidak pernah ada kecuali pikiran-pikiran saja.” Tiba-tiba sosokku di singgasana itu menutup matanya dengan salah satu tangannya, dan dia tertawa, tertawa terbahak-bahak, “Ya, betapa menyedihkan hidupku ini, yang hanya tahu darah, yang mati oleh anak sendiri, dan kini menjadi tidak pernah ada! Apa kau mau menjalani hidup seperti ini lagi!”
Pada saat itu aku hanya bisa berdiam diri, entah bagaimana aku tidak mampu lagi menolaknya, seakan menyetujui bahwa dia adalah perasaanku yang terpendam. Dan benarkah itu, benarkah aku ragu? Lalu kesempatan, aku mengingat sosok misterius itu, yang berkata bahwa dia berikan lagi aku kesempatan untuk menanggulangi kesalahanku. Begitukah, kesempatan yang seperti apa? Mengapa sosokku di dalam kaca ini seperti mengetahui nasibku setelah ini?
Belum sempat aku bertanya, sosokku di kaca telah mengambil salah satu pisau yang tertancap di perutnya, dan segera dengan tersenyum ia gorok lehernya sendiri dengan pisau tersebut.
Darah yang keluar dari lehernya perlahan mengalir, keluar dari kaca, dan pada refleksi di antara darah itu kulihat sosok diriku yang terlihat begitu muda.
***
"Ehh.."
Buku-buku berjatuhan dari pangkuanku karena terguncangnya kereta kuda yang bergerak begitu cepat ditanah yang belum rampung dibuat jalan.
“...”
Aku termenung oleh maksud dari mimpi yang baru saja kualami, dan ketika itu ibu dan kakak yang berada didepanku sepertinya terganggu dengan jatuhnya bukuku.
"Hei cepat ambil bukumu, Lushan si kutu buku"
Kakak mengejekku dengan senyumannya yang sinis. Mungkin dia bosan dengan perjalanan yang lama menuju tempat pernikahan Ibu sehingga dia mencoba membuat kemeriahan, dengan cara mengejekku.
Ketika itu segera kuambil bukuku yang kebanyakan berisikan karya sastra dan filosofi perang yang kini sangat kugemari. Seketika kubuka beberapa halaman, entah mengapa diriku seperti merasa sudah membaca semuanya..
"Lihat dirimu Lushan.. Pria dengan buku-bukunya. Klan Ashide yang tanpa kekuatan sihir karena dirinya adalah pria seharusnya menggerakan pedangnya, bukan dengan membaca buku yang usang seperti itu!"
Sekali lagi kakak mencoba membuatku kesal, kini dia mengkritikku yang tidak pernah tertarik berlatih pedang, dan bahkan membahas isu sensitif tentang tidak bisanya pria dari klan ashide dalam menggunakan sihir, padahal sudah jelas bahwa dilarang untuk membahas hal tersebut
"Buku ini adalah ilmu kakak, dan pengetahuan yang kudapatkan dari buku ini akan lebih tajam dari pedang, dan bahkan lebih menghancurkan dari sihirmu."
"Heh, argumentasi kosong,"
"Balthiq, adikmu benar.. Hanya dengan membaca buku, bangsa bar-bar seperti kita bisa diakui dan memasuki pemerintahan. Pria yang hanya mengayunkan pedangnya tanpa menggunakan otaknya hanya menjadi seorang tentara dengan pangkat biasa yang mati konyol dimedan perperangan. Kita klan Ashide tidak perlu pria bodoh seperti itu."
Sebenarnya aku tidak sependapat dengan ibu, dia melihat ilmu yang kudapat hanya sebagai alat meraih pangkat. Tapi yah setidaknya dia mendukungku..
"Lushan.. kau menangis?"
"Eh?"
Tiba-tiba air mata mengalir dari mataku, dan tiba-tiba muncul perasaan aneh dari dadaku. Aku merasa seperti sudah begitu lama tidak berbicara seperti ini dengan keluargaku.
"Aku.. sepertinya kelilipan kak"
"Heh, ternyata hatimu sensitif juga Lushan. Ayolah.. kakak cuman bosan karena gak ada bahan pembicaraan.."
"Cara meminta maafmu buruk sekali!"
Ketika itu segera kuusap air mataku. Entah mengapa saat itu perasaanku terasa seperti terombang-ambing setelah melihat mimpi tersebut.
"Omong-omong.. Lushan, ibu ingin berbicara padamu.."
Tiba-tiba ibu dengan muka khawatirnya memecahkan suasana yang tercipta dari kakak dan diriku. Wajahnya terlihat begitu serius sehingga make-up yang ia gunakan untuk pernikahan kini tidak bisa menutupi kerutan diwajahnya.
"Ini soal tadi malam, aku ingin menjelaskan padamu tentang marga yang kita perdebatkan tadi malam.."
"Aku akan pakai marga An ibu."
"Eh!!"
Ibu dan kakak memajang wajah kaget, dan yah.. tentu saja mereka kaget dengan perubahan hati yang begitu cepat ini.
"Emm.. ketika kupikir-pikir.. mungkin memakai marga An akan memudahkan diriku dalam banyak hal. Lagipula ini salah satu tujuan ibu menikahinya bukan?"
Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Tidak pernah sekalipun aku melihat wajah ibu yang terlihat sangat senang seperti ini, dia lebih cenderung berwajah serius, sedih, dan menyeramkan. Ketika ibu sudah begitu depresi, dia akan menghirup pipa opium yang sudah tersedia didalam bajunya, dan hanya disaat itu terlihat ketenangan dalam wajahnya.
"Ibu begitu senang kau mengerti Lushan.. Tapi perubahan suasana hati seperti bukan kamu saja.."
Ketika itu aku juga merasa aneh dengan perubahan hati ini, seakan tidak ada lagi rasa marah dalam hatiku mengenai ibu yang menikahi laki-laki lain setelah meninggalnya ayah setahun yang lalu. Aku seakan sudah benar-benar mengerti perasaan ibu, padahal ketika kita berdebat tadi malam, kubantah semua alasannya dan hal itu sempat membuat kita tidak berbicara sepanjang perjalanan dikereta kuda ini.
"Heh entah mengapa kakak merasa kau juga begitu berbeda Lushan.. hei, kau mimisan.."
Tanpa sadar darah mengalir dari hidungku, dan kepalaku terasa begitu pusing.
“Musuh! Segera ke formasi pertahanan!”
Tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan panik dari para ksatria yang menjaga kereta kuda kita, dan gerakan kereta kuda menjadi cepat. Ketika itu darah dari mimisanku berceceran kemana-mana, dan ibu segera menjauhiku karena takut gaun pernikahannya ternodai darahku.
"Hei Balthiq! Cepat kau tutupi mimisan adikmu itu!!"
"Tunggu!! Kita.."
Kepalaku begitu pusing seperti isi kepala ini ingin meledak. Kupegangi kepala ini yang rasanya begitu berat, dan kakak terlihat begitu panik melihat perilaku diriku dan segera menggunakan sapu tangannya untuk menahan darah dari hidungku.
"Kakak kau dalam bahaya!"
"Lushan kau kenapa sih!!"
Ketika itu tiba-tiba aku merasa panik, seperti merasakan terror dalam ingatanku. Aku seperti.. melihat panah menembus kepala kakakku.
Saat itu suara trompet terdengar dari mana-mana, dan aku mengetahui bahwa hal tersebut merupakan aba-aba untuk menyerang. Lalu seseorang penjaga mengetuk jendela kereta kuda kita, dan ibu segera membukanya.
"Maaf nona Ashide, sebaiknya kalian.. Aghh!!"
Tiba-tiba panah menembus kepala penjaga yang berbicara pada ibu, dan darah mengenai muka dan gaun dari ibu. Ketika itu mata dari penjaga tersebut terpental masuk kedalam kereta kuda. Seketika aku merasakan dejavu, dimana aku malah melihat kepala kakak yang berada diluar jendela tersebut.
"Gaunku!!"
"Kyaa!! Ibu!!"
Kakak terlihat ketakutan dengan terbunuhnya seseorang didepannya dan juga mata penjaga yang kini berada didekatnya, namun ibu malah panik akan gaunnya yang terkotori darah.
"Kalian semua! berpegangan pada sesuatu!!"
Tiba-tiba aku berteriak demikian, dan memegang pegangan yang berada dekat ditempat dudukku seperti tahu bahwa akan terjadi sesuatu. Di jendela, banyak sekali bandit-bandit menggunakan kudanya menyerang penjaga, dan saat itu tiba-tiba kereta kuda berguncang seperti menginjak sesuatu.
"Ibu kenapa kereta kudanya?"
"Kesini nak! Oh dewa pelindung, berilah kami perlindunganmu, kami yang.."
Ketika itu Balthiq segera ketempat ibu yang sedang membacakan mantranya, namun tiba-tiba disaat dirinya berjalan, terdengar suara ledakan yang begitu dahsyat dan karena sihir ibu yang mengelilingi kereta kuda ini membuat kita terlindungi dari dahsyatnya mesiu yang meledak melainkan terpental menuju keatas, dan saat itu Balthiq yang tengah berjalan kini terlihat melayang dan berputar sampai pada akhirnya kereta kuda terjatuh lagi ketanah, dan semuanya gelap seketika.
...
Tidak ada suara dari ibu maupun kakak. Kereta kuda ambruk karena terbentur tanah dan kita terjebak didalamnya. Ibu dan kakak sepertinya tidak sadarkan diri, dan diluar sepertinya masih terdengar suara pertarungan.
Saat itu rasa sakit dan pening dikepalaku menghilang, dan darah berhenti mengalir dari hidungku.
Aku ingat semuanya.. apa yang akan terjadi setelah ini, semua terlihat jelas seperti aku sudah mengalaminya..
Bukan, aku memang sudah mengalaminya. Ah, apa benar diriku kembali kemasa lalu? Ini kesempatan kedua yang mahluk tersebut maksudkan?
Tapi tidak salah lagi..
Tak lama setelah ini kakak akan menemui ajalnya.
Diubah oleh simamats 16-05-2017 19:24
0
Kutip
Balas