TS
simamats
[Orifict] Naqoyqatsi
Terinspirasi dari peristiwa Revolusi Prancis dan Lushan Rebellion di Dinasti Tang (plus science fiction time machine?), gw persembahkan *sound effect trompet* :
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga
Naqoyqatsi: Life as War
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Genre: Seinen, Action, Psychological, Tragedy, Supranatural, Historical.
Spoiler for Sinopsis:
Lushan merupakan seorang pembrontak yang menjunjung tinggi kebebasan atas masyarakatnya yang tertindas dibawah kekuasaan dinasti Tang. Visinya semakin buyar dan di penuhi oleh tragedi yang membuatnya kehilangan banyak hal, istri, sahabat, dan semua hal yang disayanginya untuk meraih impian tersebut. Kehilangan pijakan, Lushan seperti api yang berkobar menghancurkan segala hal, bertranformasi menjadi monster. Ketika tinggal satu langkah lagi bagi Lushan untuk mendapatkan impiannya, dia terbunuh oleh orang terdekatnya, darah dagingnya sendiri yang menganggap ayahnya sudah dibutakan oleh ambisi. Ketika itu, dia diberi kesempatan oleh kekuatan misterius untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu.
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
Spoiler for Index:
Prolog - There is No Liberty With Blood Below Your Feet :
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga

Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:06
0
13.6K
Kutip
83
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
TS
simamats
#2
Spoiler for Prolog (part 2)::
"Lushan bangun!"
"Aghh! Ahh... hah...?"
"Lushan? Kau mimpi buruk?"
Aku terbangun dengan dahi yang penuh dengan tetes keringat, air mataku mengalir, dan segera tanganku mengecek segala tusukan yang ada di badanku. Tidak ada, rasa sakit dan perih itu seketika menghilang. Mimpikah itu? Dan, ah, siapa yang membangunkanku. Suara itu...
"Roxanna?"
"Ada apa denganmu sayang?"
Wanita itu, tangannya memegangi pementik api menyalakan lilin yang segera menerangi ruangan. Segera jelas kulihat paras wajahnya ovalnya, kulit sawo matangnya, yang indah matanya merahnya menatapku khawatir. Dan aku segera memeluknya, deras air mataku keluar, kupeluk dan kuciumi dia, baunya, aroma tubuhnya yang telah lama kurindukan. Kehangatan ini, yang telah hilang dalam hidupku, yang hampir membuatku gila. Lalu Roxanna mendorongku lembut, wajahnya memerah malu.
"Oh Lushanku, apa mimpimu seburuk itu?"
"Aku... aku bermimpi buruk, dan panjang sekali mimpi itu... Oh Roxanna..."
"Oh Lushan..., sini tidur di pangkuanku, ceritakan padaku isi mimpimu itu."
Dan Roxanna memposisikan dirinya duduk bersimpuh, dan mengarahkan kepalaku ke pangkuannya. Ya, aku ingat dalam keadaan sedih dan depresi, Roxanna akan membuatku tidur dalam pangkuannya setelah mencurahkan isi hatiku semalaman. Betapa aku merindukan perasaan menenangkan hati seperti ini, dan aku kembali melanjutkan ceritaku:
"Di mimpiku itu, aku telah kehilangan banyak hal, termasuk dirimu."
"Itukah yang membuatmu sedih?"
"Lebih-lebih lagi, aku gagal dalam melaksanakan mimpi kita Roxanna, dan kau tahu siapa yang menggagalkannya? Darah daging kita sendiri, anak kita sendiri! Ia tusuk aku dari belakang, dan perasaan terkhianati oleh orang yang kusayangi benar-benar menyiksa batinku..."
Roxanna langsung menatap ke arah lain, dan kulihat, ia menatap kasur bayi di dekat dinding kamar. Wajahnya terlihat khawatir, dan kutakuti bahwa dia merasa anak kita terancam oleh mimpiku tersebut. Pada saat itu juga langsung kupegangi tangannya yang mengelus kepalaku: "Tapi syukurlah ini hanya mimpi Roxanna, syukurlah kau masih hidup, dan aku...aku..."
Kemudian tiba-tiba lilin yang menerangi kamar mati, dan rasa hangat pangkuan Roxanna perlahan menghilang.
...
"Roxanna?"
Cahaya menyilaukan mataku, dan kusadari bahwa aku telah berpindah tempat.
Aku kini tengah berada di lapangan eksekusi. Bau darah amis tercium di hidungku, dan disana kulihat diriku yang lain, masih muda, dengan baju zirah dan golok besar yang ada di punggungku, bermuka cemas dan takut, suatu ekspresi yang tak pernah kuingat pernah kukeluarkan. Roxanna juga ada disana, tepat berada di tempat pemancungan.
Disini aku merasakan sakit yang begitu ngilu di dadaku, pemandangan yang ingin kulupakan, ingatan yang membuatku mengamuk tidak karuan ketika seorang mengingatkannya.
Roxanna mati hari ini, ya, aku begitu ingat momen ini. Masa muda yang penuh ambisi dan kenaifan, awal dari pemberontakanku terhadap kaisar. Invasi merebut kota Louyang membuatku berhadapan dengan seorang jendral bernama Feng Cangqing, nama seorang bajingan yang selalu kuingat seumur hidupku, di daerah Fanyang yang merupakan lokasi strategis untuk menguasai Luoyang yang berada pada garis jalur sutra.
Pada saat-saat kami berhasil menaklukan benteng Fanyang, dengan bodohnya diriku melakukan negoisasi pada pihak yang kalah untuk berpihak padaku dalam pemberontakan. Saat itu, aku selalu mengelu-ngelukan bahwa tidak butuh suatu pertumpahan darah demi satu impian yang sama, kesejahteraan bagi masyarakat China. Untuk membuatnya percaya, kujanjikan keamanan setelah tunduknya Fanyang di tanganku, dan kuberikan setengah persediaan makanan dan minuman pasukanku untuk masyarakat Fanyang yang telah lama terkurung tanpa suatu bantuanpun dari kaisar, membuat mereka kelaparan setelah persediaan makanan yang mulai habis .
Namun air susu dibalas dengan air tuba, dalam negoisasi tertutup yang ia minta, dia tangkap istriku dengan bantuan para penyihirnya, dan membawanya ke tempat pemancungan. Kemudian dalam pengepungan pasukanku, dan juga pasukannya yang telah mengabdi padaku, dia meneriakan sesuatu yang tidak kumengerti. Ah, persis seperti sesuatu yang An Qing'xu katakan padaku.
"Dimana kau sembunyikan Artifak Kaisar An Lushan! Istrimu seharusnya memegangnya!"
"Lushan!! Jangan kau berikan— Agh!!"
Feng Cangqing menampar istriku, segera ia taruh leher istriku ke balok kayu yang tepat di atasnya terdapat suatu silet besar yang akan jatuh tepat di atas lehernya jika saja pedangnya menebas tali simpul yang menahan silet tersebut. Saat-saat itu, ketika istriku berteriak kesakitan, pemanah elit di sebelahku segera menarik tali busurnya. Menyadari itu aku berteriak, menyuruh pemanah untuk tidak melepas panahnya tanpa perintahku.
"Aku tak paham apa yang kau maksud, Feng Cangqing... Tolong lepaskan istriku, kita bicarakan ini baik-baik..."
"Tidak mungkin kau tidak tahu, wanita barbar ini memegangnya, mencurinya dari paduka Kaisar! Dan kutahu ia tidak memilikinya, pasti telah dia berikan padamu!"
"Lushan tinggalkan aku..."
"Oh sayangku... Hei, Feng Cangqing, tolong, tidak kuketahui apa yang kau maksud, apa pemberian istriku yang merupakan barang penting bagi Kaisar. Kau beritahu barang apa itu, bagaimana ciri-cirinya..."
Dan Feng Cangqing mulai menjelaskan, dan pikiranku berada di tempat yang lain. Di otakku segera pilihan-pilihan muncul untuk menyelesaikan konflik ini, menyelamatkan istriku dengan memberikannya artifak yang ia maksud, namun aku tahu jelas setelah apa yang kudengar dan kulihat sekarang, bahwa artifak ini bukan barang biasa. Feng Cangqing telah rela berbuat nekat juga mengkhianati prajuritnya yang kelaparan, juga melihat reaksi Roxanna, aku tahu barang ini tidak boleh jatuh di tangannya. Pilihan kedua, tentu menyuruh pasukan pemanah elit untuk segera membunuhnya, kemungkinannya besar bahwa panah itu cukup cepat dan tepat mengenai kepalanya, namun ada kemungkinan juga bahwa reflek tangannya cukup cepat untuk memutuskan tali yang membuat istriku mati karenanya. Pilihan terakhir, adalah tetap menegosiasikan keadaan ini tanpa harus memberikannya artifak.
Ketika itu pilihan pertama kutolak, begitupula pilihan kedua karena pikiran tololku menolak untuk adanya pertumpahan darah lagi, takut bahwa terjadi kejatuhan moral pasukan yang telah pindah ke tanganku. Aku mencoba pilihan terakhir, pilihan paling naif yang pernah kupilih.
"Feng, ayolah. Aku berjanji untuk mengembalikan gelarmu, dan bahkan, kau akan kujadikan jendralku. Alasanku bernegosiasi karena aku tahu kemampuanmu Feng, dan Kaisar tidak mengetahui ini, makanya ia merelakan tanah Fanyang jatuh begitu saja tanpa memberi bantuan sedikitpun. Ya, kau telah dikhianati Kaisar, kau telah dibiarkan mati di tanah ini, dan aku memberikanmu harapan untuk bersinar, untuk tercatat dalam sejarah ini sebagai orang yang mampu menjatuhkan kekaisaran yang korup!"
"Hahaha... Kau kira aku akan percaya padamu? Setelah apa yang kulakukan pada istrimu ini? Persetan!" Feng menarik rambut istriku, membuat kepala istriku menatap ke atas silet. Anehnya istriku tidak terlihat ketakutan walau air matanya mengalir, Feng yang menatap istriku langsung mengalihkan wajahnya. "Lihat ini Lushan! Dalam momen sekejap, kepala istrimu ini akan lepas dari tubuhnya, jika saja kau masih mencoba menghasutku!"
Keringatku bercucuran, kepalaku penuh dengan kebisingan orang-orang yang panik. Kulihat pedang Feng semakin mantap berada di atas tali yang membatasi antara silet pemenggal dan leher istriku. Ketika itu pikiranku menyerah, ya, aku harus memberikannya artifak. Tapi tiba-tiba suara muncul dari keramaian.
"Jendral hentikan tindakanmu! Kita tahu bahwa Dinasti Tang kini sudah begitu hancur dari dalam, istri dan anakku kelaparan, siapa orang dari kerajaan yang datang menolong? Tidak ada! Dan malah uang pajak ditinggikan. Tolong Jendral, kita mengikutimu karena kekaguman kita padamu, dan kami tahu bahwa paduka Lushan merupakan orang yang bisa dipercaya!"
Pasukan-pasukan Feng kemudian saling bernyautan menyuruh jendralnya berhenti melakukan tindakan bodohnya ini. Pada saat itu Feng terlihat kaget, ini barangkali pertama kali keputusannya sebagai seorang jendral dilawan oleh pasukannya sendiri. Tapi tak terlihat pedangnya itu bergeming, telunjuk di tangan kirinya mengarah pada pasukan pemanah yang bersembunyi di pepohonan, dan baru kutahu pemanah yang bersembunyi itu bukan atas komandoku, tapi salah jendralku Bian.
"Kau kira bisa menipu diriku Lushan? Dengan pasukanku?! Kau bayar berapa mereka! Kau ingin buatku lengah, dan membunuhku dengan pemanah elitmu itu kan!"
"Bodoh, Bian, mana Bian! Suruh pasukannya mundur!!"
Bingung, pasukan melirik satu sama lain. Beberapa berlarian untuk memberi intruksi ke pasukan pemanah yang berada di atas pepohonan jauh dari tempat eksekusi. Tapi mungkin hal ini diartikan lain oleh pemanah elit tersebut, mereka malah melepas panah, yang kemudian menancap pada salah pundak Feng.
Aku segera berlari bersama juga tentara-tentara yang mengepung Feng yang kehilangan pijakannya setelah terkenai panah, tapi pada detik itu Feng kembali mantap berdiri, tersenyum walau darah mengalir deras dari pundaknya. Dan pada momen-momen itu, tatapanku segera mengarah ke Roxanna dengan pasrah, dan entah bagaimana aku bisa mendengarkan apa yang Roxanna ucapkan padaku, seakan ia membisikannya langung ke telingaku:
"Lushan sayangku... Maaf... Maafkan aku, aku tak bisa menepati janjiku untuk terus bersamamu, melihatmu menggapai mimpimu, mimpi kita berdua."
Feng mengibaskan pedangnya, tali terputus, diikuti silet tajam yang terjatuh.
Waktu seakan melambat saat itu, Roxanna terlihat mantap menatap kematiannya, dan dia tersenyum padaku, sebelum silet itu menebas kepalanya, yang kemudian jatuh dari atas panggung, menggelinding ke tanah tanpa kehilangan senyumnya. Orang-orang segera menibani tubuh Feng, namun semuanya sudah terlambat...
Roxanna telah mati.
Suasana yang ramai tiba-tiba menjadi bisu, dan akupun tak bisa berkata-kata.
Aku hanya melangkah mendekati kepalanya yang kini berlumuran darah. Kupeluki kepalanya itu, yang masih membekas senyum itu, kuciumi dia, pikiranku berteriak, momohon-mohon pada tuhan "Oh Tuhan, jangan kau ambil dia Tuhan!!" yang ia jawab dengan bisu.
Lalu jenderal Bian datang dengan pasukan pemanahnya. Dia tak mampu berkata-kata setelah tahu kesalahan fatalnya, dan aku menatapnya dengan tatapan murka.
Hari itu, tiga orang mati dalam panggung pemenggalan di tanah Fanyang, dan pada momen ini dimulai saat-saat diriku membuang rasa kemanusianku yang naif, dan banyak darah tertumpah di negeri china, hingga sungai Yangtze dibuat pekat oleh darah manusia.
***
"Hei Lushan, sudah cukup mimpinya!"
Kini aku berada dalam dunia kosong dan putih, sekali lagi suara asing menyadarkanku, membuatku terbangun dalam dunia yang asing. Hatiku sudah lelah setelah melihat penampakan ingatanku. Apa ini dunia setelah kematian? Dibawa, diombang-ambing dalam keabsurdan ini?
Di hadapanku kini terdapat seseorang dengan pakaian yang aneh. Aku tak bisa mendefinisikan wajahnya, absurd, abstrak, bukan manusia. Dan kini aku sudah enggan untuk mengartikan apa yang kualami ini sebagai mimpi atau kenyataan.
Aku saat itu segera menyeka air mataku, dan berdiri menghadapinya.
"Tuhan? Itukah kau?"
"Bukan, oh bukan Lushan, aku jauh dari apa yang manusia percayai tentang konsep tuhan. Dan ya, ini perbuatanku."
Suaranya begitu aneh, rangkaian suara kacau yang mencoba menirukan suara manusia.
"Lalu siapa engkau?"
"Nah, untuk menjawab ini, aku bukan sesuatu yang kau akan kenali."
Apa sosok ini menghindari pertanyaanku? Tapi kenapa?
"Ini dimana?"
"Untuk dimana, ini bukan tempat yang bisa kau sebut ada, dan kau takkan menjelajahinya untuk kedua kalinya. Kau sudah membuang-buang nafas untuk pertanyaan yang tidak ada gunanya Lushan."
"Lalu bagaimana aku memanggilmu? Mengidentitaskanmu?"
"Dan apa pentingnya identitas itu Lushan?"
Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan. Perasaanku begitu aneh, begitu pasif, begitu enggan untuk marah atas jawaban yang tidak serius itu. Saat itu, sosok asing ini menepuk tangannya, membuatku kembali fokus padanya.
"Oke Lushan, yang penting kini adalah mengapa aku membawamu kesini, mengapa aku membuatmu melihat ingatanmu tadi, momen peralihan besar dalam hidupmu. Pertanyaanku adalah, apa kematianmu, kematian orang-orang yang kau sayangi, benar-benar berdampak pada dunia ini?"
Ya, tentu saja. Kalau tidak, untuk apa semua hal yang telah kulakukan selama ini?
"Tentu. Aku tidak tahu apakah anakku gagal melanjutkan pemberontakanku. Tapi aku telah menanam benih perlawanan atas suatu penindasan. Sistem monarki yang kini dijalani kekaisaran adalah sistem rusak, korup, dan tidak masuk akal. Kasta-kasta yang terbentuk, perbedaan kelas, juga merupakan budaya konyol, ditolerir karena telah hidup ribuan tahun yang menumpulkan logika masyarakat."
Menjawab ini, tiba-tiba aku merasakan semangat, luapan harapan dalam hatiku. Ya, aku yakin bahwa usahaku selama ini telah menanamkan benih tersebut.
"Suatu saat China akan berdiri atas nama rakyat, dan negara tersebut akan mengayomi masyarakatnya, bukan masyarakat yang mengayomi raja dan keluarga-keluarganya dalam kemewahan. Ketika itu kebebasan yang sesungguhnya akan muncul, yaitu kesamaan hak ketika lahir. Seseorang dalam usahanya bisa menjadi sesuatupun tanpa ada yang membatasinya, semuanya mampu beropini tanpa harus takut ditekan oleh pemerintah. Kita bukan lagi sapi ataupun hewan ternak yang seenaknya diperah, disiksa, dan mati atas kemauan seseorang yang sesungguhnya tak lebih nilainya dari kita, dan—"
"Cukup Lushan"
Sosok tersebut memotong omonganku, dan aku sadar telah terbawa suasana.
"Bagaimana jika kuceritakan kisah yang sesungguhnya padamu? Agak sedikit membosankan, pahit, dan ironis. Kisah yang tidak begitu menarik untuk diceritakan."
Aku menelan ludahku. Perasaan janggal apa ini? Mengapa aku begitu takut? Lalu menjawab apakah sesuatu yang telah kuperbuat meninggalkan hasil, apa yang ia maksud adalah bahwa dirinya mampu melihat masa depan? Absurd! Tapi memang aneh dunia ini, aku yang sudah mati bisa ada disini, juga sosoknya sendiri, semuanya tidak masuk akal. Mampu melihat masa depan dalam segala keabsurdan ini malah menjadikannya tidak aneh lagi. Dalam perasaan janggal ini, aku juga ingin mengetahui kebenarannya mengenai apakah aku berhasil meninggalkan sesuatu di dunia atau tidak.
"Ceritakan."
"Baiklah, pertama anakmu terbunuh oleh salah satu sahabatmu Shi Shiming dalam proses negosiasi, dia percaya bahwa Shi Shiming adalah aset penting yang tidak boleh dijadikan musuh pasca meninggalnya dirimu setelah kudeta yang ia lakukan sendiri."
Ironis, dan entah, perasaanku kesal mendengarnya. Bagaimana aku melihat sosokku yang muda berada dalam diri An Qing'xu, begitu konyol kematiannya.
"Shi Shiming yang telah mendapatkan kekuasaan dari anakmu, menemukan artifak sihir istrimu di liotin yang kau pakai, kemudian menggunakan kekuatan artifak tersebut yang mampu menjatuhkan Luo Yang dalam waktu semalam."
Artifak sihir itu, sesungguhnya kekuatan apa yang dipegangnya hingga ia mampu menjatuhkan Luo Yang dalam waktu semalam? Bagaimana aku yang dulu merupakan tangan kanan Kaisar bisa tidak mengetahui keberadaannya? Aku ingin bertanya pada sosok ini, tapi dia begitu serius, dan cepat, tanpa mengambil nafas masih berupaya menjelaskan padaku apa saja yang sedang terjadi.
"Shi Shiming, seperti apa yang kau ketahui, si Lembu Gila itu begitu tergila-gila oleh kekuatan barunya ini. Dalam kehancuran massal yang diperbuatnya, Kaisar Dinasti Tang berhasil melarikan diri ke gunung Qing. Lucunya, Shi Shiming kemudian mati terbunuh oleh anaknya, Shi Chayoi, yang juga menginginkan kekuatan dari artifak sihir tersebut. Sayangnya, Shi Chayoi tidak tahu cara menggunakan fragmen sihir tersebut, dan berbeda dari ayahnya, Shi Chayoi tidak memiliki reputasi secara militer ataupun politik, dan hal ini membuat pembrontakan-pembrontakan kecil muncul di berbagai wilayah yang kehilangan pengaruh maupun pengawasan setelah jatuhnya kerajaan. Dalam kekacauan, kaisar keluar dari persembunyiannya, dan menyatukan fraksi yang masih mendukungnya. Shi Chayoi dalam keteledorannya jatuh dari singsana dan dieksekusi mati. Dinasti Tang berdiri kembali dalam waktu yang tidak lama."
"Ya, walau memang telah gagal usahaku dalam merebut kekuasaan dari Dinasti Tang dan menyatukan China dalam kebijakanku, tapi pengaruhku jelas tak lekas hilang..."
"Sayangnya Lushan, ceritamu adalah cerita kekalahan, dan yang kalah takkan pernah dipandang sebagai seorang penyelamat. Pikiran-pikiranmu dan ideologi-ideologimu yang tertulis dibakar habis, pengikut-pengikutmu beserta keluargamu dibunuh dengan sadis. Yang tersisa hanyalah sejarahmu yang dibuat oleh para pemenang sebagai seorang yang hampir menghancurkan dinasti dengan budayanya yang kaya, yang jutaan mati dalam prosesnya. Tak penting alasanmu, kau adalah tokoh antagonist dalam peristiwa sejarah."
Jadi aku benar-benar gagal...
"Ceritamu membosankan Lushan, telah banyak yang pakai, tapi tak pernah ada yang mampu meraihnya. Manusia-manusia jatuh dalam kemarukannya sendiri, dia melawan monster dan menjadi monster itu sendiri, dan yang terburuknya, proses dimana kebenaran hilang dan tak pernah tercatat dalam sejarah."
Suaranya merendah, begitu pesimis ia melihat dunia, melihat manusia, dan aku tak bisa menolaknya, aku yang telah gagal total ini.
"Akupun punya impian Lushan, makanya aku membawamu kesini. Aku diberikan kuasa untuk memberikan dunia ini cerita yang lebih menarik."
"Apa yang kau maksud?"
"Aku akan memberikanmu satu kesempatan Lushan! Berikan aku kisah yang lebih baik dari ini!!"
Kisah? Apa dia kira dunia ini fiksi?
"Hei, jangan bercanda!"
Aku pegang badannya, dan tiba-tiba tanganku menghilang seperti terhisap di dalamnya. Aku mundur panik mengetahui tanganku menghilang, dan kini tanganku seperti bongkahan batu, tidak ada daging maupun darah di dalamnya.
"Lushan, aku bukanlah dzat yang sama dengan kalian. Lebih baik kau segera terbangun dari mimpi ini, dan... selamat bersenang-senang."
Tiba-tiba muncul cahaya dari badannya yang begitu silau hingga aku secara spontan menutup mataku. Ruangan ini bergemuruh, gempa, dan tiba-tiba saja lantai di bawahku runtuh.
Aku terjatuh dalam ruangan kosong tanpa ujung, dan cahaya di atasku menerangi diriku di antara kekosongan ini.
Kurasakan sesuatu yang aneh tengah terjadi pada badanku, dan aku bisa melihat bahwa tanganku mengecil dan cahaya di atasku redup kemudian mati.
***
Prologue end.
"Aghh! Ahh... hah...?"
"Lushan? Kau mimpi buruk?"
Aku terbangun dengan dahi yang penuh dengan tetes keringat, air mataku mengalir, dan segera tanganku mengecek segala tusukan yang ada di badanku. Tidak ada, rasa sakit dan perih itu seketika menghilang. Mimpikah itu? Dan, ah, siapa yang membangunkanku. Suara itu...
"Roxanna?"
"Ada apa denganmu sayang?"
Wanita itu, tangannya memegangi pementik api menyalakan lilin yang segera menerangi ruangan. Segera jelas kulihat paras wajahnya ovalnya, kulit sawo matangnya, yang indah matanya merahnya menatapku khawatir. Dan aku segera memeluknya, deras air mataku keluar, kupeluk dan kuciumi dia, baunya, aroma tubuhnya yang telah lama kurindukan. Kehangatan ini, yang telah hilang dalam hidupku, yang hampir membuatku gila. Lalu Roxanna mendorongku lembut, wajahnya memerah malu.
"Oh Lushanku, apa mimpimu seburuk itu?"
"Aku... aku bermimpi buruk, dan panjang sekali mimpi itu... Oh Roxanna..."
"Oh Lushan..., sini tidur di pangkuanku, ceritakan padaku isi mimpimu itu."
Dan Roxanna memposisikan dirinya duduk bersimpuh, dan mengarahkan kepalaku ke pangkuannya. Ya, aku ingat dalam keadaan sedih dan depresi, Roxanna akan membuatku tidur dalam pangkuannya setelah mencurahkan isi hatiku semalaman. Betapa aku merindukan perasaan menenangkan hati seperti ini, dan aku kembali melanjutkan ceritaku:
"Di mimpiku itu, aku telah kehilangan banyak hal, termasuk dirimu."
"Itukah yang membuatmu sedih?"
"Lebih-lebih lagi, aku gagal dalam melaksanakan mimpi kita Roxanna, dan kau tahu siapa yang menggagalkannya? Darah daging kita sendiri, anak kita sendiri! Ia tusuk aku dari belakang, dan perasaan terkhianati oleh orang yang kusayangi benar-benar menyiksa batinku..."
Roxanna langsung menatap ke arah lain, dan kulihat, ia menatap kasur bayi di dekat dinding kamar. Wajahnya terlihat khawatir, dan kutakuti bahwa dia merasa anak kita terancam oleh mimpiku tersebut. Pada saat itu juga langsung kupegangi tangannya yang mengelus kepalaku: "Tapi syukurlah ini hanya mimpi Roxanna, syukurlah kau masih hidup, dan aku...aku..."
Kemudian tiba-tiba lilin yang menerangi kamar mati, dan rasa hangat pangkuan Roxanna perlahan menghilang.
...
"Roxanna?"
Cahaya menyilaukan mataku, dan kusadari bahwa aku telah berpindah tempat.
Aku kini tengah berada di lapangan eksekusi. Bau darah amis tercium di hidungku, dan disana kulihat diriku yang lain, masih muda, dengan baju zirah dan golok besar yang ada di punggungku, bermuka cemas dan takut, suatu ekspresi yang tak pernah kuingat pernah kukeluarkan. Roxanna juga ada disana, tepat berada di tempat pemancungan.
Disini aku merasakan sakit yang begitu ngilu di dadaku, pemandangan yang ingin kulupakan, ingatan yang membuatku mengamuk tidak karuan ketika seorang mengingatkannya.
Roxanna mati hari ini, ya, aku begitu ingat momen ini. Masa muda yang penuh ambisi dan kenaifan, awal dari pemberontakanku terhadap kaisar. Invasi merebut kota Louyang membuatku berhadapan dengan seorang jendral bernama Feng Cangqing, nama seorang bajingan yang selalu kuingat seumur hidupku, di daerah Fanyang yang merupakan lokasi strategis untuk menguasai Luoyang yang berada pada garis jalur sutra.
Pada saat-saat kami berhasil menaklukan benteng Fanyang, dengan bodohnya diriku melakukan negoisasi pada pihak yang kalah untuk berpihak padaku dalam pemberontakan. Saat itu, aku selalu mengelu-ngelukan bahwa tidak butuh suatu pertumpahan darah demi satu impian yang sama, kesejahteraan bagi masyarakat China. Untuk membuatnya percaya, kujanjikan keamanan setelah tunduknya Fanyang di tanganku, dan kuberikan setengah persediaan makanan dan minuman pasukanku untuk masyarakat Fanyang yang telah lama terkurung tanpa suatu bantuanpun dari kaisar, membuat mereka kelaparan setelah persediaan makanan yang mulai habis .
Namun air susu dibalas dengan air tuba, dalam negoisasi tertutup yang ia minta, dia tangkap istriku dengan bantuan para penyihirnya, dan membawanya ke tempat pemancungan. Kemudian dalam pengepungan pasukanku, dan juga pasukannya yang telah mengabdi padaku, dia meneriakan sesuatu yang tidak kumengerti. Ah, persis seperti sesuatu yang An Qing'xu katakan padaku.
"Dimana kau sembunyikan Artifak Kaisar An Lushan! Istrimu seharusnya memegangnya!"
"Lushan!! Jangan kau berikan— Agh!!"
Feng Cangqing menampar istriku, segera ia taruh leher istriku ke balok kayu yang tepat di atasnya terdapat suatu silet besar yang akan jatuh tepat di atas lehernya jika saja pedangnya menebas tali simpul yang menahan silet tersebut. Saat-saat itu, ketika istriku berteriak kesakitan, pemanah elit di sebelahku segera menarik tali busurnya. Menyadari itu aku berteriak, menyuruh pemanah untuk tidak melepas panahnya tanpa perintahku.
"Aku tak paham apa yang kau maksud, Feng Cangqing... Tolong lepaskan istriku, kita bicarakan ini baik-baik..."
"Tidak mungkin kau tidak tahu, wanita barbar ini memegangnya, mencurinya dari paduka Kaisar! Dan kutahu ia tidak memilikinya, pasti telah dia berikan padamu!"
"Lushan tinggalkan aku..."
"Oh sayangku... Hei, Feng Cangqing, tolong, tidak kuketahui apa yang kau maksud, apa pemberian istriku yang merupakan barang penting bagi Kaisar. Kau beritahu barang apa itu, bagaimana ciri-cirinya..."
Dan Feng Cangqing mulai menjelaskan, dan pikiranku berada di tempat yang lain. Di otakku segera pilihan-pilihan muncul untuk menyelesaikan konflik ini, menyelamatkan istriku dengan memberikannya artifak yang ia maksud, namun aku tahu jelas setelah apa yang kudengar dan kulihat sekarang, bahwa artifak ini bukan barang biasa. Feng Cangqing telah rela berbuat nekat juga mengkhianati prajuritnya yang kelaparan, juga melihat reaksi Roxanna, aku tahu barang ini tidak boleh jatuh di tangannya. Pilihan kedua, tentu menyuruh pasukan pemanah elit untuk segera membunuhnya, kemungkinannya besar bahwa panah itu cukup cepat dan tepat mengenai kepalanya, namun ada kemungkinan juga bahwa reflek tangannya cukup cepat untuk memutuskan tali yang membuat istriku mati karenanya. Pilihan terakhir, adalah tetap menegosiasikan keadaan ini tanpa harus memberikannya artifak.
Ketika itu pilihan pertama kutolak, begitupula pilihan kedua karena pikiran tololku menolak untuk adanya pertumpahan darah lagi, takut bahwa terjadi kejatuhan moral pasukan yang telah pindah ke tanganku. Aku mencoba pilihan terakhir, pilihan paling naif yang pernah kupilih.
"Feng, ayolah. Aku berjanji untuk mengembalikan gelarmu, dan bahkan, kau akan kujadikan jendralku. Alasanku bernegosiasi karena aku tahu kemampuanmu Feng, dan Kaisar tidak mengetahui ini, makanya ia merelakan tanah Fanyang jatuh begitu saja tanpa memberi bantuan sedikitpun. Ya, kau telah dikhianati Kaisar, kau telah dibiarkan mati di tanah ini, dan aku memberikanmu harapan untuk bersinar, untuk tercatat dalam sejarah ini sebagai orang yang mampu menjatuhkan kekaisaran yang korup!"
"Hahaha... Kau kira aku akan percaya padamu? Setelah apa yang kulakukan pada istrimu ini? Persetan!" Feng menarik rambut istriku, membuat kepala istriku menatap ke atas silet. Anehnya istriku tidak terlihat ketakutan walau air matanya mengalir, Feng yang menatap istriku langsung mengalihkan wajahnya. "Lihat ini Lushan! Dalam momen sekejap, kepala istrimu ini akan lepas dari tubuhnya, jika saja kau masih mencoba menghasutku!"
Keringatku bercucuran, kepalaku penuh dengan kebisingan orang-orang yang panik. Kulihat pedang Feng semakin mantap berada di atas tali yang membatasi antara silet pemenggal dan leher istriku. Ketika itu pikiranku menyerah, ya, aku harus memberikannya artifak. Tapi tiba-tiba suara muncul dari keramaian.
"Jendral hentikan tindakanmu! Kita tahu bahwa Dinasti Tang kini sudah begitu hancur dari dalam, istri dan anakku kelaparan, siapa orang dari kerajaan yang datang menolong? Tidak ada! Dan malah uang pajak ditinggikan. Tolong Jendral, kita mengikutimu karena kekaguman kita padamu, dan kami tahu bahwa paduka Lushan merupakan orang yang bisa dipercaya!"
Pasukan-pasukan Feng kemudian saling bernyautan menyuruh jendralnya berhenti melakukan tindakan bodohnya ini. Pada saat itu Feng terlihat kaget, ini barangkali pertama kali keputusannya sebagai seorang jendral dilawan oleh pasukannya sendiri. Tapi tak terlihat pedangnya itu bergeming, telunjuk di tangan kirinya mengarah pada pasukan pemanah yang bersembunyi di pepohonan, dan baru kutahu pemanah yang bersembunyi itu bukan atas komandoku, tapi salah jendralku Bian.
"Kau kira bisa menipu diriku Lushan? Dengan pasukanku?! Kau bayar berapa mereka! Kau ingin buatku lengah, dan membunuhku dengan pemanah elitmu itu kan!"
"Bodoh, Bian, mana Bian! Suruh pasukannya mundur!!"
Bingung, pasukan melirik satu sama lain. Beberapa berlarian untuk memberi intruksi ke pasukan pemanah yang berada di atas pepohonan jauh dari tempat eksekusi. Tapi mungkin hal ini diartikan lain oleh pemanah elit tersebut, mereka malah melepas panah, yang kemudian menancap pada salah pundak Feng.
Aku segera berlari bersama juga tentara-tentara yang mengepung Feng yang kehilangan pijakannya setelah terkenai panah, tapi pada detik itu Feng kembali mantap berdiri, tersenyum walau darah mengalir deras dari pundaknya. Dan pada momen-momen itu, tatapanku segera mengarah ke Roxanna dengan pasrah, dan entah bagaimana aku bisa mendengarkan apa yang Roxanna ucapkan padaku, seakan ia membisikannya langung ke telingaku:
"Lushan sayangku... Maaf... Maafkan aku, aku tak bisa menepati janjiku untuk terus bersamamu, melihatmu menggapai mimpimu, mimpi kita berdua."
Feng mengibaskan pedangnya, tali terputus, diikuti silet tajam yang terjatuh.
Waktu seakan melambat saat itu, Roxanna terlihat mantap menatap kematiannya, dan dia tersenyum padaku, sebelum silet itu menebas kepalanya, yang kemudian jatuh dari atas panggung, menggelinding ke tanah tanpa kehilangan senyumnya. Orang-orang segera menibani tubuh Feng, namun semuanya sudah terlambat...
Roxanna telah mati.
Suasana yang ramai tiba-tiba menjadi bisu, dan akupun tak bisa berkata-kata.
Aku hanya melangkah mendekati kepalanya yang kini berlumuran darah. Kupeluki kepalanya itu, yang masih membekas senyum itu, kuciumi dia, pikiranku berteriak, momohon-mohon pada tuhan "Oh Tuhan, jangan kau ambil dia Tuhan!!" yang ia jawab dengan bisu.
Lalu jenderal Bian datang dengan pasukan pemanahnya. Dia tak mampu berkata-kata setelah tahu kesalahan fatalnya, dan aku menatapnya dengan tatapan murka.
Hari itu, tiga orang mati dalam panggung pemenggalan di tanah Fanyang, dan pada momen ini dimulai saat-saat diriku membuang rasa kemanusianku yang naif, dan banyak darah tertumpah di negeri china, hingga sungai Yangtze dibuat pekat oleh darah manusia.
***
"Hei Lushan, sudah cukup mimpinya!"
Kini aku berada dalam dunia kosong dan putih, sekali lagi suara asing menyadarkanku, membuatku terbangun dalam dunia yang asing. Hatiku sudah lelah setelah melihat penampakan ingatanku. Apa ini dunia setelah kematian? Dibawa, diombang-ambing dalam keabsurdan ini?
Di hadapanku kini terdapat seseorang dengan pakaian yang aneh. Aku tak bisa mendefinisikan wajahnya, absurd, abstrak, bukan manusia. Dan kini aku sudah enggan untuk mengartikan apa yang kualami ini sebagai mimpi atau kenyataan.
Aku saat itu segera menyeka air mataku, dan berdiri menghadapinya.
"Tuhan? Itukah kau?"
"Bukan, oh bukan Lushan, aku jauh dari apa yang manusia percayai tentang konsep tuhan. Dan ya, ini perbuatanku."
Suaranya begitu aneh, rangkaian suara kacau yang mencoba menirukan suara manusia.
"Lalu siapa engkau?"
"Nah, untuk menjawab ini, aku bukan sesuatu yang kau akan kenali."
Apa sosok ini menghindari pertanyaanku? Tapi kenapa?
"Ini dimana?"
"Untuk dimana, ini bukan tempat yang bisa kau sebut ada, dan kau takkan menjelajahinya untuk kedua kalinya. Kau sudah membuang-buang nafas untuk pertanyaan yang tidak ada gunanya Lushan."
"Lalu bagaimana aku memanggilmu? Mengidentitaskanmu?"
"Dan apa pentingnya identitas itu Lushan?"
Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan. Perasaanku begitu aneh, begitu pasif, begitu enggan untuk marah atas jawaban yang tidak serius itu. Saat itu, sosok asing ini menepuk tangannya, membuatku kembali fokus padanya.
"Oke Lushan, yang penting kini adalah mengapa aku membawamu kesini, mengapa aku membuatmu melihat ingatanmu tadi, momen peralihan besar dalam hidupmu. Pertanyaanku adalah, apa kematianmu, kematian orang-orang yang kau sayangi, benar-benar berdampak pada dunia ini?"
Ya, tentu saja. Kalau tidak, untuk apa semua hal yang telah kulakukan selama ini?
"Tentu. Aku tidak tahu apakah anakku gagal melanjutkan pemberontakanku. Tapi aku telah menanam benih perlawanan atas suatu penindasan. Sistem monarki yang kini dijalani kekaisaran adalah sistem rusak, korup, dan tidak masuk akal. Kasta-kasta yang terbentuk, perbedaan kelas, juga merupakan budaya konyol, ditolerir karena telah hidup ribuan tahun yang menumpulkan logika masyarakat."
Menjawab ini, tiba-tiba aku merasakan semangat, luapan harapan dalam hatiku. Ya, aku yakin bahwa usahaku selama ini telah menanamkan benih tersebut.
"Suatu saat China akan berdiri atas nama rakyat, dan negara tersebut akan mengayomi masyarakatnya, bukan masyarakat yang mengayomi raja dan keluarga-keluarganya dalam kemewahan. Ketika itu kebebasan yang sesungguhnya akan muncul, yaitu kesamaan hak ketika lahir. Seseorang dalam usahanya bisa menjadi sesuatupun tanpa ada yang membatasinya, semuanya mampu beropini tanpa harus takut ditekan oleh pemerintah. Kita bukan lagi sapi ataupun hewan ternak yang seenaknya diperah, disiksa, dan mati atas kemauan seseorang yang sesungguhnya tak lebih nilainya dari kita, dan—"
"Cukup Lushan"
Sosok tersebut memotong omonganku, dan aku sadar telah terbawa suasana.
"Bagaimana jika kuceritakan kisah yang sesungguhnya padamu? Agak sedikit membosankan, pahit, dan ironis. Kisah yang tidak begitu menarik untuk diceritakan."
Aku menelan ludahku. Perasaan janggal apa ini? Mengapa aku begitu takut? Lalu menjawab apakah sesuatu yang telah kuperbuat meninggalkan hasil, apa yang ia maksud adalah bahwa dirinya mampu melihat masa depan? Absurd! Tapi memang aneh dunia ini, aku yang sudah mati bisa ada disini, juga sosoknya sendiri, semuanya tidak masuk akal. Mampu melihat masa depan dalam segala keabsurdan ini malah menjadikannya tidak aneh lagi. Dalam perasaan janggal ini, aku juga ingin mengetahui kebenarannya mengenai apakah aku berhasil meninggalkan sesuatu di dunia atau tidak.
"Ceritakan."
"Baiklah, pertama anakmu terbunuh oleh salah satu sahabatmu Shi Shiming dalam proses negosiasi, dia percaya bahwa Shi Shiming adalah aset penting yang tidak boleh dijadikan musuh pasca meninggalnya dirimu setelah kudeta yang ia lakukan sendiri."
Ironis, dan entah, perasaanku kesal mendengarnya. Bagaimana aku melihat sosokku yang muda berada dalam diri An Qing'xu, begitu konyol kematiannya.
"Shi Shiming yang telah mendapatkan kekuasaan dari anakmu, menemukan artifak sihir istrimu di liotin yang kau pakai, kemudian menggunakan kekuatan artifak tersebut yang mampu menjatuhkan Luo Yang dalam waktu semalam."
Artifak sihir itu, sesungguhnya kekuatan apa yang dipegangnya hingga ia mampu menjatuhkan Luo Yang dalam waktu semalam? Bagaimana aku yang dulu merupakan tangan kanan Kaisar bisa tidak mengetahui keberadaannya? Aku ingin bertanya pada sosok ini, tapi dia begitu serius, dan cepat, tanpa mengambil nafas masih berupaya menjelaskan padaku apa saja yang sedang terjadi.
"Shi Shiming, seperti apa yang kau ketahui, si Lembu Gila itu begitu tergila-gila oleh kekuatan barunya ini. Dalam kehancuran massal yang diperbuatnya, Kaisar Dinasti Tang berhasil melarikan diri ke gunung Qing. Lucunya, Shi Shiming kemudian mati terbunuh oleh anaknya, Shi Chayoi, yang juga menginginkan kekuatan dari artifak sihir tersebut. Sayangnya, Shi Chayoi tidak tahu cara menggunakan fragmen sihir tersebut, dan berbeda dari ayahnya, Shi Chayoi tidak memiliki reputasi secara militer ataupun politik, dan hal ini membuat pembrontakan-pembrontakan kecil muncul di berbagai wilayah yang kehilangan pengaruh maupun pengawasan setelah jatuhnya kerajaan. Dalam kekacauan, kaisar keluar dari persembunyiannya, dan menyatukan fraksi yang masih mendukungnya. Shi Chayoi dalam keteledorannya jatuh dari singsana dan dieksekusi mati. Dinasti Tang berdiri kembali dalam waktu yang tidak lama."
"Ya, walau memang telah gagal usahaku dalam merebut kekuasaan dari Dinasti Tang dan menyatukan China dalam kebijakanku, tapi pengaruhku jelas tak lekas hilang..."
"Sayangnya Lushan, ceritamu adalah cerita kekalahan, dan yang kalah takkan pernah dipandang sebagai seorang penyelamat. Pikiran-pikiranmu dan ideologi-ideologimu yang tertulis dibakar habis, pengikut-pengikutmu beserta keluargamu dibunuh dengan sadis. Yang tersisa hanyalah sejarahmu yang dibuat oleh para pemenang sebagai seorang yang hampir menghancurkan dinasti dengan budayanya yang kaya, yang jutaan mati dalam prosesnya. Tak penting alasanmu, kau adalah tokoh antagonist dalam peristiwa sejarah."
Jadi aku benar-benar gagal...
"Ceritamu membosankan Lushan, telah banyak yang pakai, tapi tak pernah ada yang mampu meraihnya. Manusia-manusia jatuh dalam kemarukannya sendiri, dia melawan monster dan menjadi monster itu sendiri, dan yang terburuknya, proses dimana kebenaran hilang dan tak pernah tercatat dalam sejarah."
Suaranya merendah, begitu pesimis ia melihat dunia, melihat manusia, dan aku tak bisa menolaknya, aku yang telah gagal total ini.
"Akupun punya impian Lushan, makanya aku membawamu kesini. Aku diberikan kuasa untuk memberikan dunia ini cerita yang lebih menarik."
"Apa yang kau maksud?"
"Aku akan memberikanmu satu kesempatan Lushan! Berikan aku kisah yang lebih baik dari ini!!"
Kisah? Apa dia kira dunia ini fiksi?
"Hei, jangan bercanda!"
Aku pegang badannya, dan tiba-tiba tanganku menghilang seperti terhisap di dalamnya. Aku mundur panik mengetahui tanganku menghilang, dan kini tanganku seperti bongkahan batu, tidak ada daging maupun darah di dalamnya.
"Lushan, aku bukanlah dzat yang sama dengan kalian. Lebih baik kau segera terbangun dari mimpi ini, dan... selamat bersenang-senang."
Tiba-tiba muncul cahaya dari badannya yang begitu silau hingga aku secara spontan menutup mataku. Ruangan ini bergemuruh, gempa, dan tiba-tiba saja lantai di bawahku runtuh.
Aku terjatuh dalam ruangan kosong tanpa ujung, dan cahaya di atasku menerangi diriku di antara kekosongan ini.
Kurasakan sesuatu yang aneh tengah terjadi pada badanku, dan aku bisa melihat bahwa tanganku mengecil dan cahaya di atasku redup kemudian mati.
***
Prologue end.
Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:11
0
Kutip
Balas