TS
simamats
[Orifict] Naqoyqatsi
Terinspirasi dari peristiwa Revolusi Prancis dan Lushan Rebellion di Dinasti Tang (plus science fiction time machine?), gw persembahkan *sound effect trompet* :
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga
Naqoyqatsi: Life as War
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Genre: Seinen, Action, Psychological, Tragedy, Supranatural, Historical.
Spoiler for Sinopsis:
Lushan merupakan seorang pembrontak yang menjunjung tinggi kebebasan atas masyarakatnya yang tertindas dibawah kekuasaan dinasti Tang. Visinya semakin buyar dan di penuhi oleh tragedi yang membuatnya kehilangan banyak hal, istri, sahabat, dan semua hal yang disayanginya untuk meraih impian tersebut. Kehilangan pijakan, Lushan seperti api yang berkobar menghancurkan segala hal, bertranformasi menjadi monster. Ketika tinggal satu langkah lagi bagi Lushan untuk mendapatkan impiannya, dia terbunuh oleh orang terdekatnya, darah dagingnya sendiri yang menganggap ayahnya sudah dibutakan oleh ambisi. Ketika itu, dia diberi kesempatan oleh kekuatan misterius untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu.
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
Spoiler for Index:
Prolog - There is No Liberty With Blood Below Your Feet :
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga

Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:06
0
13.6K
Kutip
83
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
TS
simamats
#1

Spoiler for Prolouge (part 1):
Prouloge : There is no such liberty with blood below your feet
Darah segar menetes seperti rintik hujan, jatuh dari banyaknya orang yang tergantung di langit-langit dengan leher mereka yang tergorok, mata mereka yang terbuka menatapku sambil mengutuk, meludahi diriku yang berjalan di bawah mereka.
"Mereka" adalah orang-orang yang mati dalam perasaan terkhianati, korban dari harapan dan janji manis yang kutebar. Walau demikian aku tidak menawarkan harapan palsu, dan mewujudkan harapan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan keputusasaan memang butuh suatu pengorbanan yang besar.
Aku mengingat kata-kata filsuf terkenal, salah satu buddhis di kuil utara, bahwa kebebasan tak lebih dari sebuah ilusi ketika masih ada darah di bawah kaki. Naif, dan apa harapanku untuk seorang biksu yang menyendiri di atas kuil, yang melakukan simulasi penderitaan tanpa pernah benar-benar turun ke rakyat, bekerja bersama rakyat, bisa tahu akan sejarah? Hanya dengan revolusi, perlawanan, pembrontakan, dan darah yang tumpah karenanya merupakan cara yang bisa mengubah negeri ini, dan sejarah telah membuktikan hal-hal tersebut. Ya, cara-caraku telah terbukti mampu menaklukkan dunia, dan dengan menaklukkan, kebebasan yang sesungguhnya bisa tercapai.
Ah, mengapa kalian masih melototiku, wahai tentaraku, seakan menyalahkanku atas kematian kalian? Kalian seharusnya bangga! Mati dalam keadaan berdiri di medan perang, bukan dalam keadaan berlutut karena kelaparan dari penindasan orang-orang yang bersantai-santai melahap hasil jerih payah kalian! Melawan adalah sebaik-baiknya hidup daripada tunduk pada penindasan, atau kalian lebih memilih menjadi mayat hidup, yang keseharian kalian, hak kalian untuk hidup berbahagia semena-mena direbut karena kalian lahir di tempat yang salah? Maka apa beda kalian dengan kerbau di sawah! Yang hidup hanya untuk membajak sawah, lalu dimakan.
Namun dalam keadaan marah itu, aku tidak meneriakannya. Sudah kasihan mereka, tergantung di neraka begitu, dan aku malah masih bisa bebas berjalan. Memang baik bahwa nasib manusia tak lebih dari sekedar ini, hidup dalam ketersiksaan hanya untuk jatuh dalam kubang neraka, selama-lamanya seperti ini, digantung untuk menatap kelam pemandangan merah tumpahan darah mereka sendiri yang tak ada habis-habisnya itu. Sedangkan aku, yang masih hidup, berjalan menuju singgasanaku di neraka ini. Pada saat-saat itu kudengar suara-suara yang mulai familiar:
"Suamiku.."
"Lushan!!"
Sahabat-sahabatku, istriku, ternyata juga digantung dalam keadaan tragis, meneriakiku dengan suara yang merintih. Aku tidak mampu menatap mereka. Dalam jalan penuh darah ini memang banyak pula yang kukorbankan, orang-orang yang kukasihi, kucintai, semua ini demi beban yang kuemban, demi sesuatu yang lebih besar dan hebat dibanding diriku sendiri, dan aku rela mengorbankan segalanya demi itu.
Tidak boleh aku ragu, dalam suatu ketelanjuran hidup, hanya boleh berjalan ke depan.
"Yang mulia... An Lushan."
Di hadapanku tiba-tiba muncul seseorang tentara menghadapku. Baju zirahnya compang-camping dengan sayatan pedang di penutup dadanya, memperlihatkan daging beserta tulang rusuknya. Punggungnya dipenuhi oleh panah, dan matanya bergelantungan keluar. Walau kondisinya yang demikian, tak kulihat ia menunjukan rasa sakit sama sekali.
"Siapa engkau wahai pemuda?"
"Hamba adalah prajuritmu yang mulia. Baru saja kau kirim hamba ke medan perang, dan tiba-tiba saja hamba berada disini. Dimana kita yang mulia? Kenapa banyak sekali orang-orang yang tergantung diatas kita? Siapa mereka?"
"Musuh... dan tempat ini adalah neraka."
Mukanya ceria. Betapa senang musuh yang selama ini ia kutuk, ia bunuh, dan kini membunuhi dia kemudian tersiksa di neraka. Tak bisa kuberkata bahwa disana juga ada istri dan sahabat-sahabatku, begitupula prajurit-prajuritku. Apalah kebenaran itu dibanding kecerian dan harapan yang membunga-bunga. Biar dia tahu bahwa dia berada di pihak yang benar, lupa bahwa dia juga tengah menjejaki neraka, bukan surga.
"Yang mulia, Tuhan benar-benar berpihak pada kita."
"Ya prajuritku..."
Aku menjawab itu dengan rasa lidah yang pahit. Tidak sesungguhnya, aku menolak keberadaan tuhan dalam hal ini. Tuhan, yang muncul dalam pikiran manusia, adalah konsep yang kita paksa percayai, produk untuk memunculkan harapan palsu setelah ketertindasan yang demikian panjangnya. Sedangkan tuhan yang sesungguhnya tak lebih dari sosok yang membiarkan drama tragedi berlanjut dari generasi ke generasi selanjutnya, seakan ia mengutuk manusia itu sendiri, ia tentu dalam akal sehat manusia bukanlah suatu pribadi yang baik. Jika demikian, lebih baik memandang tuhan tidak pernah ada dan mempercayai bahwa perubahan menuju keadaan yang lebih baik hanya bisa direngut oleh tangan kita sendiri, ya, tangan manusia.
Dengan pikiran yang seperti itu, membuatku berada pada satu momen terakhir ini.
Satu momen dimana pada akhirnya, dinasti yang telah berdiri ribuan tahun akan hancur, dan aku akan menjadi raja yang membebaskan...
Bukan, masyarakatlah yang akan menang.
Dalam pikiran yang seperti ini, jalanku menjadi tegar, langkahku kian mantap walau bergelinang darah, biar rintih tangis mencoba menteror hidupku. Ya, biar aku menanggung segala beban ini demi impian-impian tersebut, impianku, masyarakat, manusia...
***
"Ah!"
Penuh keringat aku terbangun. Suara ketuk membangunkanku, dan tanpa sadar aku sudah memegang sarung pedang. Rasa panik dan paranoidku berubah seketika suara menyusul ketukan tersebut.
"Ayahanda, bolehkah hamba masuk?"
Suara itu, ah, An Qingxu, anakku yang berjanji akan mengunjungiku setelah pengembaraannya mencari ilmu untuk melihatku menjatuhkan Chang'an, tempat kaisar bersembunyi di istana megahnya itu. Telah lama aku merindukannya, anak semata wayangku itu, dalam ketakutan-ketakutan bahwa dia juga ikut pergi bersama ibunya ke alam barkah. Tapi tak mampu kutahan dia, karena begitupula kebijaksanaanku adalah hasil mengembara juga, dan dia harus lebih dari ayahnya ini.
"Masuklah nak."
"Baik ayah, maaf menganggu tidurmu..."
Ketika An Qingxu masuk ke dalam kemah, aku tidak merasakan adanya penjaga di depan. Sekali lagi mereka lalai, dan aku tidak bisa menyalahkan mereka, masyarakat yang tidak pernah dididik militer itu. Aku segera melupakan itu, lagipula An Qingxu anakku ini lebih tangguh dari 100 prajurit, ia perlihatkan kegagahan dan ketangguhan ayahnya di masa-masa mudanya lewat matanya yang hitam garang, dan badannya yang tinggi juga tegap. Aku percaya, bahwa dia sendiri mampu melindungi ayahnya yang mulai tua dan rentan ini.
"Sini nak, sudah lama tidak bertemu kau sudah terlihat dewasa."
Kemudian aku segera memeluk anakku, memang benar-benar kokoh badannya itu. Kuciumi pipi kiri dan kanannya, dan kurasakan aroma tubuhnya yang membuatku jatuh dalam nostalgia, sesuatu yang juga dimiliki ibunya Roxanna. Bau ini yang barangkali membuatku susah melepasnya dalam pengembaraan. Semoga setelah penaklukan negeri ini, anakku mau merubah pikirannya untuk meneruskan penjelajahannya dan ikut bersamaku memimpin negeri ini.
"..."
Kita saling bertatap dalam rindu seorang Ayah dengan anaknya, sebelum tiba-tiba suara yang lain lagi muncul dari luar.
"Boleh aku masuk?"
"Li Zhu'er? Masuk, masuk... Ah rupa-rupanya kalian sama-sama gagah sekarang!"
Anak sahabatku, yang mati dalam peperangan, kini telah menjadi anak angkatku. Ia kusuruh ikut mengembara bersama anakku, dan kubuat dirinya bersumpah bahwa segala raganya adalah untuk dirinya, aku begitu percaya pada anak ini. Li Zhu'er sendiri seperti anakku sudah menjadi seseorang yang gagah, bersorban bulu domba seperti orang-orang di pegunungan nepal, di punggungnya terdapat golok besar yang aku sendiri ragu bisa membawanya di masa-masa sekarang ini. Benar-benar kurasai mereka memiliki aura yang sungguh berbeda sebelum mereka pergi mengembara, membuatku teringat masa-masa mudaku dulu.
"Ayo kita ngobrol dulu, mau minum teh? Kau tahu anakku, ayahmu ini seringkali bermimpi. Mau kau dengar cerita ayahmu ini?"
Aku pergi ke sudut kemahku, menaruh daun-daun teh ke atas poci yang kemudian kunyalakan sulut api dalam tungku perapian. An Qingxu entah tidak menjawab, dan aku melanjutkan bicaraku.
"Aku bermimpi Ibumu, dan juga ayahmu Li Zhu'er. Dan, Agh..."
Kurasakan perasaan sakit, perih, menusuk punggungku.
"Maafkan diriku ayahanda."
Aku membalikan badan, dan An Qingxu melihatku dengan tangan berdarahnya, sedangkan Li Zhu'er mengeluarkan golok hijaunya itu. Aku tak percaya apa yang kulihat dan kurasakan. An Qingxu... bisa-bisanya, anakku sendiri! Darah dagingku sendiri!! Tidak, tidak bisa. Satu langkah lagi, satu langkah lagi!!! Sialan! Jahanam!!
Aku harus selamat, persetan, kulihat pedangku jauh di kasur kutinggalkan, dan darah perlahan mulai menetes ke lantai. Kucoba meraba-raba punggungku, tak bisa kutarik belati yang menusuk punggungku ini. Seketika pandanganku buyar dan aku terjatuh ke lantai. Darah terus mengalir deras, dan kemudian An Qingxu mengarahkan pedang yang ia tarik dari pinggangnya ke padaku.
"Beritahu kami dimana kau letakan artifak yang Ibu berikan padamu."
"Persetan dengan artifak... ugh.. kenapa kau lakukan ini An Qingxu! Hanya selangkah lagi..."
"Ayah, kumohon, dimana peninggalan terakhir yang ibu berikan padamu?"
Kemudian aku mengingat kalung liontin yang Roxanna berikan padaku. Itukah? Itukah alasanmu membunuhku anakku? Pada saat itu Li Zhu'er mulai memberantakkan kamarku, mencari liontin yang An Qingxu maksud. baik, ada apa dengan liontin itu?
Ah... ah...
Tidak mungkin, ya, tidak mungkin anak yang pendiam, manja, yang sangat kusayangi bisa berbuat ini padaku. Ya, Li Zhu'er ini pasti telah mencuci otak anakku, dasar bajingan tak tahu diuntung! Ah, atau mungkin seseorang di perjalanan mereka melakukannya. Harusnya kutahu, membiarkan mereka mengembara adalah kesalahan besar. Mengapa aku tak berpikir, bahwa terdapat kelompok-kelompok politik tersembunyi di seluruh negara Dinasti Tang berkomplot untuk menjatuhkanku lewat anakku yang masih polos ini, dan tetap, tak habis pikir mereka bisa-bisanya mengkhianati diriku seperti ini, melanggar sumpah mereka untuk mengabdi padaku seumur hidup mereka.
"Li Zhuer, aku sungguh menghormati ayahmu! Kini lihat dirimu, kau khianati diriku, begitupula kau pengaruhi anakku hingga dia tega menusuk darah dagingnya sendiri, menanggung dosa yang tak pernah termpuni sebanyak apapun dia bereinkarnasi!"
LiZhu'er tidak memedulikan teriakanku, ia terus mencari-cari artifak sihir tersebut, dan malah An Qingxu yang berjongkok, menatapku begitu rendah dengan tatapannya itu.
"Kau salah Ayahanda, ini merupakan keputusanku sendiri. Peperangan telah membuatmu gila, paranoid! Kau bunuh seluruh keturunan suku barbar, lalu jendral-jendralmu, dan bahkan selir-selirmu setelah ibu meninggal! Aku yakin kau juga yang membunuh ibu, dan tidak sadarkah engkau betapa banyak yang telah menderita juga mati demi menggapai impian kosongmu itu? Jutaan!"
"Kau salah, aku tidak membunuh ibumu, suku barbar memiliki kekuatan yang terlalu liar, lemahnya negara setelah hilangnya kekuatan dan pengabdian pada kaisar akan membuat mereka semena-mena, dan jendral-jendral begitu pula selir-selir itu memang berencana untuk melakukan kudeta, percayahlah nak, politik dalam peperangan ini begitu pelik. Ini semua pengorbanan anakku, dan segala cara akan kulakukan demi suatu tujuan yang lebih besar daripada pengorbanan-pengorbanan itu... Ugh," Darah keluar dari mulutku, kutahu salah satu organku sudah mulai tidak berfungsi, "Ya, Jutaan nyawa itu mati demi impianku, dan karenanya tak ada satupun nyawa itu yang mati dengan sia-sia! Bayangkan, bahwa jutaan nyawa itu tak lebih sama nasibnya lewat kelaparan, kesemena-menaan, jika saja mereka tidak melawan! Dan lewat perlawanan, mereka memiliki arti dari hidup. Kau dengar aku anakku! Jika kau lepaskan aku, aku berjanji nak..."
"Tidak ayah!!"
An Qingxu merapatkan giginya hingga darah keluar dari gusinya. Wajahnya memerah marah, dan air matanya keluar, tangannya bergetar.
"Aku tahu kau ragu nak, ya, kutahu bahwa kau hanya meminjam pikiran seseorang. Aku tahu bahwa ini bukan dari hasil keputusanmu sendiri..."
"DIAM!"
"Agh!!!"
Ia pukulkan gagang pedangnya ke kepalaku, dan aku semakin tergolek lemas. baik, benar-benar baik. Dia tersenyum, dan senyumnya benar-benar aneh.
"Ah Ayah, aku adalah pengaggum terbesarmu, ideologi-ideologi yang kau pegang, idealitasmu... Tapi kau dengan seenaknya menginjakan kakimu di atas darah masyarakat yang telah kau rangkul, melakukan kekejian yang tak ada satupun manusia yang berakal mampu melakukannya, dan lagi, kau merasa benar semata-mata karena impian jahanammu itu. Aku tidak bisa melihat surga yang kau sebut dengan 'kebebasan' bisa menjadi ada di antara kekejian-kekejian itu. Ya, kau tak layak menyebut kata-kata suci itu dengan segala najis yang telah kau perbuat, ayah."
"An Qingxu, inikah artifak sihir tersebut?"
Li Zhu'er memperlihatkan sebuah batu bereliku, dan An Qingxu langsung teralihkan perhatian kearahnya, dan pada saat-saat itu!
"Naif!!"
Aku meloncat dan menghantamkan badanku ke arahnya dengan segala kekuatan yang tersisa, membuat An Qingxu terjatuh, semua usaha ini adalah emosi yang memuncak mendengar ucapan anakku. Betapa pencapaian yang telah kuperbuat, yang telah kukorbankan banyak orang yang kusayangi selama perjalanan hidup, yang telah kukorbankan jutaan nyawa untuk mencapainya, hancur oleh seorang bocah naif yang tak tahu dunia ini?! Benar-benar setan itu licik, dia adalah kenaifan yang lucunya memakai wujud anakku kali ini.
Aku kemudian berdiri, melangkah ke belakang. Anakku masih terlihat panik, kemudian berdiri sambil mengambil pedangnya.
"Mati kalian semua!!"
Dan tiba-tiba setelah kuteriakan kata-kata yang ingin sekali kukatakan pada kedua bocah sialan itu, kusadari telah terbentuk pedang di tanganku, seakan ia muncul dari seluruh sisa energi hidupku yang sudah sampai di tenggorokan. Seketika itu juga, aku seakan terbangun, merasa memiliki kekuatan untuk tetap memberdirikan tubuhku untuk beberapa menit lagi, dan kurasai perasaan nostalgia, suatu yang kurasai dahulu sekali, sihir.
"An Qing'xu, ayahmu menggunakan sihir—"
"Setan kalian semua. Karena sifat-sifat kenaifan kalian, Istriku... Jika saja sikap itu tidak pernah ada dalam diriku, sialan!"
Aku mengibaskan pedang itu, namun tak punya kekuatan aku untuk mengalahkan anak yang masih muda ini. Dengan segala kekuatannya, ia dorong diriku ke arah Li Zhu'er, yang segera mengunci tanganku. Saat itu, sisa energiku semuanya terpakai, pedang perlahan menghilang dari tanganku, dan aku tak bisa melakukan apa-apa lagi.
"An Qing'xu, ayahmu bisa gunakan sihir, sesuatu yang sudah tidak ada di negeri china ini, dan dia adalah seorang pria! Barangkali, jika kau biarkan dia hidup, dia bisa berikanmu rahasianya."
Sekarang dia mencoba mengambil keuntungan dariku dan hal itu membuatku semakin yakin bahwa anak inilah biang keladinya.
"Dia takkan mengucapkannya Li zhu'er, lagipula waktu kita tidak banyak."
An Qingxu membuang pedangnya, mengambil pisau yang berada di pinggang Lhi Zu'er, dan ukiran naga yang berada di besi pisau itu kuketahui adalah milik salah satu jendral tangan kananku, Yang Guzhong, dan saat itu seseorang tentara menyeret mayatnya memasuki kemahku. Aku sadar, mereka berdua sedang membangun sebuah panggung konspirasi untuk mengkambing hitamkan dirinya.
"Bisa-bisanya kau lakukan ini... Dan hanya tinggal satu langkah lagi... satu langkah lagi..."
"Tidak ayah."
"Agghhh!!!"
Dia menusukku, lagi, dan lagi. Kemudian Li Zhu'er melepaskan kunciannya, membuatku terjatuh terluntai ke lantai yang terasa begitu dingin bersebelahan dengan jendralku. An Qing'xu menaruh pisau tersebut di tangan sang jendral, dan menarik pisau di punggungku kemudian menaruhnya di tanganku, seakan-akan kami saling membunuh satu sama lain.
Ketika itu pandanganku mulai buyar, dan tak ada kekuatan lagi untuk menggerakkan mulutku. Dan aku mulai merasakan gambar-gambaran seluruh kehidupanku, ayahku yang mati, kakak perempuanku yang mati, ibuku yang mati, istriku yang mati, dan kemudian melihat diriku sendiri yang kini tergenang dalam darahnya sendiri. Pada detik-detik itu, aku kembali bangun, dalam rasa sakit yang teramat parah, inikah yang namanya detik-detik menjelang kematian itu?
Saat itu aku masih bisa mendengar sedikit pembicaraan:
"Apa? Shi Shiming kabur?!"
Sepertinya salah satu sahabatku mengetahui adanya pembrontakan dari dalam, semoga dia bisa membalaskan dendamku. Kurestui dia untuk membunuh anakku. Kemudian lantai dipenuhi gemuruh kaki tentara yang berlarian keluar, dan hanya tersisa anakku masih berada di hadapanku, mungkin berpikir tentang apa yang mau dikatakannya pada ayahnya yang sudah sekarat ini.
"Ayah, aku akan mewujudkan mimpimu. Aku berjanji akan hal itu, tapi bukan dengan caramu."
Dia menciumi pipiku, dan bau-bau Roxanna itu, ah, kemudian dia tinggali aku.
Dan kurasakan hangat memenuhi dadaku, liontin pemberian Roxanna. Ah iya, mereka tidak mengambil artifak yang mereka sebut-sebut itu, aku tidak pernah memberitahu mereka.
Hangat ini, ah, benar-benar membuatku tenang menghadapi kegelapan yang segera menyusulku.
Lalu semuanya mulai buyar.
...
Darah segar menetes seperti rintik hujan, jatuh dari banyaknya orang yang tergantung di langit-langit dengan leher mereka yang tergorok, mata mereka yang terbuka menatapku sambil mengutuk, meludahi diriku yang berjalan di bawah mereka.
"Mereka" adalah orang-orang yang mati dalam perasaan terkhianati, korban dari harapan dan janji manis yang kutebar. Walau demikian aku tidak menawarkan harapan palsu, dan mewujudkan harapan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan keputusasaan memang butuh suatu pengorbanan yang besar.
Aku mengingat kata-kata filsuf terkenal, salah satu buddhis di kuil utara, bahwa kebebasan tak lebih dari sebuah ilusi ketika masih ada darah di bawah kaki. Naif, dan apa harapanku untuk seorang biksu yang menyendiri di atas kuil, yang melakukan simulasi penderitaan tanpa pernah benar-benar turun ke rakyat, bekerja bersama rakyat, bisa tahu akan sejarah? Hanya dengan revolusi, perlawanan, pembrontakan, dan darah yang tumpah karenanya merupakan cara yang bisa mengubah negeri ini, dan sejarah telah membuktikan hal-hal tersebut. Ya, cara-caraku telah terbukti mampu menaklukkan dunia, dan dengan menaklukkan, kebebasan yang sesungguhnya bisa tercapai.
Ah, mengapa kalian masih melototiku, wahai tentaraku, seakan menyalahkanku atas kematian kalian? Kalian seharusnya bangga! Mati dalam keadaan berdiri di medan perang, bukan dalam keadaan berlutut karena kelaparan dari penindasan orang-orang yang bersantai-santai melahap hasil jerih payah kalian! Melawan adalah sebaik-baiknya hidup daripada tunduk pada penindasan, atau kalian lebih memilih menjadi mayat hidup, yang keseharian kalian, hak kalian untuk hidup berbahagia semena-mena direbut karena kalian lahir di tempat yang salah? Maka apa beda kalian dengan kerbau di sawah! Yang hidup hanya untuk membajak sawah, lalu dimakan.
Namun dalam keadaan marah itu, aku tidak meneriakannya. Sudah kasihan mereka, tergantung di neraka begitu, dan aku malah masih bisa bebas berjalan. Memang baik bahwa nasib manusia tak lebih dari sekedar ini, hidup dalam ketersiksaan hanya untuk jatuh dalam kubang neraka, selama-lamanya seperti ini, digantung untuk menatap kelam pemandangan merah tumpahan darah mereka sendiri yang tak ada habis-habisnya itu. Sedangkan aku, yang masih hidup, berjalan menuju singgasanaku di neraka ini. Pada saat-saat itu kudengar suara-suara yang mulai familiar:
"Suamiku.."
"Lushan!!"
Sahabat-sahabatku, istriku, ternyata juga digantung dalam keadaan tragis, meneriakiku dengan suara yang merintih. Aku tidak mampu menatap mereka. Dalam jalan penuh darah ini memang banyak pula yang kukorbankan, orang-orang yang kukasihi, kucintai, semua ini demi beban yang kuemban, demi sesuatu yang lebih besar dan hebat dibanding diriku sendiri, dan aku rela mengorbankan segalanya demi itu.
Tidak boleh aku ragu, dalam suatu ketelanjuran hidup, hanya boleh berjalan ke depan.
"Yang mulia... An Lushan."
Di hadapanku tiba-tiba muncul seseorang tentara menghadapku. Baju zirahnya compang-camping dengan sayatan pedang di penutup dadanya, memperlihatkan daging beserta tulang rusuknya. Punggungnya dipenuhi oleh panah, dan matanya bergelantungan keluar. Walau kondisinya yang demikian, tak kulihat ia menunjukan rasa sakit sama sekali.
"Siapa engkau wahai pemuda?"
"Hamba adalah prajuritmu yang mulia. Baru saja kau kirim hamba ke medan perang, dan tiba-tiba saja hamba berada disini. Dimana kita yang mulia? Kenapa banyak sekali orang-orang yang tergantung diatas kita? Siapa mereka?"
"Musuh... dan tempat ini adalah neraka."
Mukanya ceria. Betapa senang musuh yang selama ini ia kutuk, ia bunuh, dan kini membunuhi dia kemudian tersiksa di neraka. Tak bisa kuberkata bahwa disana juga ada istri dan sahabat-sahabatku, begitupula prajurit-prajuritku. Apalah kebenaran itu dibanding kecerian dan harapan yang membunga-bunga. Biar dia tahu bahwa dia berada di pihak yang benar, lupa bahwa dia juga tengah menjejaki neraka, bukan surga.
"Yang mulia, Tuhan benar-benar berpihak pada kita."
"Ya prajuritku..."
Aku menjawab itu dengan rasa lidah yang pahit. Tidak sesungguhnya, aku menolak keberadaan tuhan dalam hal ini. Tuhan, yang muncul dalam pikiran manusia, adalah konsep yang kita paksa percayai, produk untuk memunculkan harapan palsu setelah ketertindasan yang demikian panjangnya. Sedangkan tuhan yang sesungguhnya tak lebih dari sosok yang membiarkan drama tragedi berlanjut dari generasi ke generasi selanjutnya, seakan ia mengutuk manusia itu sendiri, ia tentu dalam akal sehat manusia bukanlah suatu pribadi yang baik. Jika demikian, lebih baik memandang tuhan tidak pernah ada dan mempercayai bahwa perubahan menuju keadaan yang lebih baik hanya bisa direngut oleh tangan kita sendiri, ya, tangan manusia.
Dengan pikiran yang seperti itu, membuatku berada pada satu momen terakhir ini.
Satu momen dimana pada akhirnya, dinasti yang telah berdiri ribuan tahun akan hancur, dan aku akan menjadi raja yang membebaskan...
Bukan, masyarakatlah yang akan menang.
Dalam pikiran yang seperti ini, jalanku menjadi tegar, langkahku kian mantap walau bergelinang darah, biar rintih tangis mencoba menteror hidupku. Ya, biar aku menanggung segala beban ini demi impian-impian tersebut, impianku, masyarakat, manusia...
***
"Ah!"
Penuh keringat aku terbangun. Suara ketuk membangunkanku, dan tanpa sadar aku sudah memegang sarung pedang. Rasa panik dan paranoidku berubah seketika suara menyusul ketukan tersebut.
"Ayahanda, bolehkah hamba masuk?"
Suara itu, ah, An Qingxu, anakku yang berjanji akan mengunjungiku setelah pengembaraannya mencari ilmu untuk melihatku menjatuhkan Chang'an, tempat kaisar bersembunyi di istana megahnya itu. Telah lama aku merindukannya, anak semata wayangku itu, dalam ketakutan-ketakutan bahwa dia juga ikut pergi bersama ibunya ke alam barkah. Tapi tak mampu kutahan dia, karena begitupula kebijaksanaanku adalah hasil mengembara juga, dan dia harus lebih dari ayahnya ini.
"Masuklah nak."
"Baik ayah, maaf menganggu tidurmu..."
Ketika An Qingxu masuk ke dalam kemah, aku tidak merasakan adanya penjaga di depan. Sekali lagi mereka lalai, dan aku tidak bisa menyalahkan mereka, masyarakat yang tidak pernah dididik militer itu. Aku segera melupakan itu, lagipula An Qingxu anakku ini lebih tangguh dari 100 prajurit, ia perlihatkan kegagahan dan ketangguhan ayahnya di masa-masa mudanya lewat matanya yang hitam garang, dan badannya yang tinggi juga tegap. Aku percaya, bahwa dia sendiri mampu melindungi ayahnya yang mulai tua dan rentan ini.
"Sini nak, sudah lama tidak bertemu kau sudah terlihat dewasa."
Kemudian aku segera memeluk anakku, memang benar-benar kokoh badannya itu. Kuciumi pipi kiri dan kanannya, dan kurasakan aroma tubuhnya yang membuatku jatuh dalam nostalgia, sesuatu yang juga dimiliki ibunya Roxanna. Bau ini yang barangkali membuatku susah melepasnya dalam pengembaraan. Semoga setelah penaklukan negeri ini, anakku mau merubah pikirannya untuk meneruskan penjelajahannya dan ikut bersamaku memimpin negeri ini.
"..."
Kita saling bertatap dalam rindu seorang Ayah dengan anaknya, sebelum tiba-tiba suara yang lain lagi muncul dari luar.
"Boleh aku masuk?"
"Li Zhu'er? Masuk, masuk... Ah rupa-rupanya kalian sama-sama gagah sekarang!"
Anak sahabatku, yang mati dalam peperangan, kini telah menjadi anak angkatku. Ia kusuruh ikut mengembara bersama anakku, dan kubuat dirinya bersumpah bahwa segala raganya adalah untuk dirinya, aku begitu percaya pada anak ini. Li Zhu'er sendiri seperti anakku sudah menjadi seseorang yang gagah, bersorban bulu domba seperti orang-orang di pegunungan nepal, di punggungnya terdapat golok besar yang aku sendiri ragu bisa membawanya di masa-masa sekarang ini. Benar-benar kurasai mereka memiliki aura yang sungguh berbeda sebelum mereka pergi mengembara, membuatku teringat masa-masa mudaku dulu.
"Ayo kita ngobrol dulu, mau minum teh? Kau tahu anakku, ayahmu ini seringkali bermimpi. Mau kau dengar cerita ayahmu ini?"
Aku pergi ke sudut kemahku, menaruh daun-daun teh ke atas poci yang kemudian kunyalakan sulut api dalam tungku perapian. An Qingxu entah tidak menjawab, dan aku melanjutkan bicaraku.
"Aku bermimpi Ibumu, dan juga ayahmu Li Zhu'er. Dan, Agh..."
Kurasakan perasaan sakit, perih, menusuk punggungku.
"Maafkan diriku ayahanda."
Aku membalikan badan, dan An Qingxu melihatku dengan tangan berdarahnya, sedangkan Li Zhu'er mengeluarkan golok hijaunya itu. Aku tak percaya apa yang kulihat dan kurasakan. An Qingxu... bisa-bisanya, anakku sendiri! Darah dagingku sendiri!! Tidak, tidak bisa. Satu langkah lagi, satu langkah lagi!!! Sialan! Jahanam!!
Aku harus selamat, persetan, kulihat pedangku jauh di kasur kutinggalkan, dan darah perlahan mulai menetes ke lantai. Kucoba meraba-raba punggungku, tak bisa kutarik belati yang menusuk punggungku ini. Seketika pandanganku buyar dan aku terjatuh ke lantai. Darah terus mengalir deras, dan kemudian An Qingxu mengarahkan pedang yang ia tarik dari pinggangnya ke padaku.
"Beritahu kami dimana kau letakan artifak yang Ibu berikan padamu."
"Persetan dengan artifak... ugh.. kenapa kau lakukan ini An Qingxu! Hanya selangkah lagi..."
"Ayah, kumohon, dimana peninggalan terakhir yang ibu berikan padamu?"
Kemudian aku mengingat kalung liontin yang Roxanna berikan padaku. Itukah? Itukah alasanmu membunuhku anakku? Pada saat itu Li Zhu'er mulai memberantakkan kamarku, mencari liontin yang An Qingxu maksud. baik, ada apa dengan liontin itu?
Ah... ah...
Tidak mungkin, ya, tidak mungkin anak yang pendiam, manja, yang sangat kusayangi bisa berbuat ini padaku. Ya, Li Zhu'er ini pasti telah mencuci otak anakku, dasar bajingan tak tahu diuntung! Ah, atau mungkin seseorang di perjalanan mereka melakukannya. Harusnya kutahu, membiarkan mereka mengembara adalah kesalahan besar. Mengapa aku tak berpikir, bahwa terdapat kelompok-kelompok politik tersembunyi di seluruh negara Dinasti Tang berkomplot untuk menjatuhkanku lewat anakku yang masih polos ini, dan tetap, tak habis pikir mereka bisa-bisanya mengkhianati diriku seperti ini, melanggar sumpah mereka untuk mengabdi padaku seumur hidup mereka.
"Li Zhuer, aku sungguh menghormati ayahmu! Kini lihat dirimu, kau khianati diriku, begitupula kau pengaruhi anakku hingga dia tega menusuk darah dagingnya sendiri, menanggung dosa yang tak pernah termpuni sebanyak apapun dia bereinkarnasi!"
LiZhu'er tidak memedulikan teriakanku, ia terus mencari-cari artifak sihir tersebut, dan malah An Qingxu yang berjongkok, menatapku begitu rendah dengan tatapannya itu.
"Kau salah Ayahanda, ini merupakan keputusanku sendiri. Peperangan telah membuatmu gila, paranoid! Kau bunuh seluruh keturunan suku barbar, lalu jendral-jendralmu, dan bahkan selir-selirmu setelah ibu meninggal! Aku yakin kau juga yang membunuh ibu, dan tidak sadarkah engkau betapa banyak yang telah menderita juga mati demi menggapai impian kosongmu itu? Jutaan!"
"Kau salah, aku tidak membunuh ibumu, suku barbar memiliki kekuatan yang terlalu liar, lemahnya negara setelah hilangnya kekuatan dan pengabdian pada kaisar akan membuat mereka semena-mena, dan jendral-jendral begitu pula selir-selir itu memang berencana untuk melakukan kudeta, percayahlah nak, politik dalam peperangan ini begitu pelik. Ini semua pengorbanan anakku, dan segala cara akan kulakukan demi suatu tujuan yang lebih besar daripada pengorbanan-pengorbanan itu... Ugh," Darah keluar dari mulutku, kutahu salah satu organku sudah mulai tidak berfungsi, "Ya, Jutaan nyawa itu mati demi impianku, dan karenanya tak ada satupun nyawa itu yang mati dengan sia-sia! Bayangkan, bahwa jutaan nyawa itu tak lebih sama nasibnya lewat kelaparan, kesemena-menaan, jika saja mereka tidak melawan! Dan lewat perlawanan, mereka memiliki arti dari hidup. Kau dengar aku anakku! Jika kau lepaskan aku, aku berjanji nak..."
"Tidak ayah!!"
An Qingxu merapatkan giginya hingga darah keluar dari gusinya. Wajahnya memerah marah, dan air matanya keluar, tangannya bergetar.
"Aku tahu kau ragu nak, ya, kutahu bahwa kau hanya meminjam pikiran seseorang. Aku tahu bahwa ini bukan dari hasil keputusanmu sendiri..."
"DIAM!"
"Agh!!!"
Ia pukulkan gagang pedangnya ke kepalaku, dan aku semakin tergolek lemas. baik, benar-benar baik. Dia tersenyum, dan senyumnya benar-benar aneh.
"Ah Ayah, aku adalah pengaggum terbesarmu, ideologi-ideologi yang kau pegang, idealitasmu... Tapi kau dengan seenaknya menginjakan kakimu di atas darah masyarakat yang telah kau rangkul, melakukan kekejian yang tak ada satupun manusia yang berakal mampu melakukannya, dan lagi, kau merasa benar semata-mata karena impian jahanammu itu. Aku tidak bisa melihat surga yang kau sebut dengan 'kebebasan' bisa menjadi ada di antara kekejian-kekejian itu. Ya, kau tak layak menyebut kata-kata suci itu dengan segala najis yang telah kau perbuat, ayah."
"An Qingxu, inikah artifak sihir tersebut?"
Li Zhu'er memperlihatkan sebuah batu bereliku, dan An Qingxu langsung teralihkan perhatian kearahnya, dan pada saat-saat itu!
"Naif!!"
Aku meloncat dan menghantamkan badanku ke arahnya dengan segala kekuatan yang tersisa, membuat An Qingxu terjatuh, semua usaha ini adalah emosi yang memuncak mendengar ucapan anakku. Betapa pencapaian yang telah kuperbuat, yang telah kukorbankan banyak orang yang kusayangi selama perjalanan hidup, yang telah kukorbankan jutaan nyawa untuk mencapainya, hancur oleh seorang bocah naif yang tak tahu dunia ini?! Benar-benar setan itu licik, dia adalah kenaifan yang lucunya memakai wujud anakku kali ini.
Aku kemudian berdiri, melangkah ke belakang. Anakku masih terlihat panik, kemudian berdiri sambil mengambil pedangnya.
"Mati kalian semua!!"
Dan tiba-tiba setelah kuteriakan kata-kata yang ingin sekali kukatakan pada kedua bocah sialan itu, kusadari telah terbentuk pedang di tanganku, seakan ia muncul dari seluruh sisa energi hidupku yang sudah sampai di tenggorokan. Seketika itu juga, aku seakan terbangun, merasa memiliki kekuatan untuk tetap memberdirikan tubuhku untuk beberapa menit lagi, dan kurasai perasaan nostalgia, suatu yang kurasai dahulu sekali, sihir.
"An Qing'xu, ayahmu menggunakan sihir—"
"Setan kalian semua. Karena sifat-sifat kenaifan kalian, Istriku... Jika saja sikap itu tidak pernah ada dalam diriku, sialan!"
Aku mengibaskan pedang itu, namun tak punya kekuatan aku untuk mengalahkan anak yang masih muda ini. Dengan segala kekuatannya, ia dorong diriku ke arah Li Zhu'er, yang segera mengunci tanganku. Saat itu, sisa energiku semuanya terpakai, pedang perlahan menghilang dari tanganku, dan aku tak bisa melakukan apa-apa lagi.
"An Qing'xu, ayahmu bisa gunakan sihir, sesuatu yang sudah tidak ada di negeri china ini, dan dia adalah seorang pria! Barangkali, jika kau biarkan dia hidup, dia bisa berikanmu rahasianya."
Sekarang dia mencoba mengambil keuntungan dariku dan hal itu membuatku semakin yakin bahwa anak inilah biang keladinya.
"Dia takkan mengucapkannya Li zhu'er, lagipula waktu kita tidak banyak."
An Qingxu membuang pedangnya, mengambil pisau yang berada di pinggang Lhi Zu'er, dan ukiran naga yang berada di besi pisau itu kuketahui adalah milik salah satu jendral tangan kananku, Yang Guzhong, dan saat itu seseorang tentara menyeret mayatnya memasuki kemahku. Aku sadar, mereka berdua sedang membangun sebuah panggung konspirasi untuk mengkambing hitamkan dirinya.
"Bisa-bisanya kau lakukan ini... Dan hanya tinggal satu langkah lagi... satu langkah lagi..."
"Tidak ayah."
"Agghhh!!!"
Dia menusukku, lagi, dan lagi. Kemudian Li Zhu'er melepaskan kunciannya, membuatku terjatuh terluntai ke lantai yang terasa begitu dingin bersebelahan dengan jendralku. An Qing'xu menaruh pisau tersebut di tangan sang jendral, dan menarik pisau di punggungku kemudian menaruhnya di tanganku, seakan-akan kami saling membunuh satu sama lain.
Ketika itu pandanganku mulai buyar, dan tak ada kekuatan lagi untuk menggerakkan mulutku. Dan aku mulai merasakan gambar-gambaran seluruh kehidupanku, ayahku yang mati, kakak perempuanku yang mati, ibuku yang mati, istriku yang mati, dan kemudian melihat diriku sendiri yang kini tergenang dalam darahnya sendiri. Pada detik-detik itu, aku kembali bangun, dalam rasa sakit yang teramat parah, inikah yang namanya detik-detik menjelang kematian itu?
Saat itu aku masih bisa mendengar sedikit pembicaraan:
"Apa? Shi Shiming kabur?!"
Sepertinya salah satu sahabatku mengetahui adanya pembrontakan dari dalam, semoga dia bisa membalaskan dendamku. Kurestui dia untuk membunuh anakku. Kemudian lantai dipenuhi gemuruh kaki tentara yang berlarian keluar, dan hanya tersisa anakku masih berada di hadapanku, mungkin berpikir tentang apa yang mau dikatakannya pada ayahnya yang sudah sekarat ini.
"Ayah, aku akan mewujudkan mimpimu. Aku berjanji akan hal itu, tapi bukan dengan caramu."
Dia menciumi pipiku, dan bau-bau Roxanna itu, ah, kemudian dia tinggali aku.
Dan kurasakan hangat memenuhi dadaku, liontin pemberian Roxanna. Ah iya, mereka tidak mengambil artifak yang mereka sebut-sebut itu, aku tidak pernah memberitahu mereka.
Hangat ini, ah, benar-benar membuatku tenang menghadapi kegelapan yang segera menyusulku.
Lalu semuanya mulai buyar.
...
Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:04
0
Kutip
Balas