- Beranda
- Stories from the Heart
...
TS
jumpingworm





6th Story 



Spoiler for "The Menu":




5th Story : Wrap Your Heart




Spoiler for "The Menu":




4th Story : Irreplaceable 




Spoiler for The Menu:
Diubah oleh jumpingworm 16-07-2017 00:41
samsung66 dan anasabila memberi reputasi
2
102.6K
1.3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jumpingworm
#1265
Last Chapter - Orang Yang Kupilih
"Chery... kamu dateng?"
Aku mengangkat kepala dan Pak Grandy sedang tersenyum lega menatapku.
Terkejut, aku segera bangkit dan mengerutkan alis.
"Belum boarding, Pak?"
Pak Grandy menggoyangkan kantong kertas di tangan kanannya.
"Tadi ke Duty Free sebentar. Titipan oleh-oleh lupa dibeli. Aku pikir kamu nggak akan nganter aku ..."
"Eh,.." aku salah tingkah. "Yah,... aku juga spontan..."
Refleks, mataku tertuju ke Sammy yang berdiri beberapa meter di belakang Pak Grandy.
Otakku langsung meletupkan kembang api dan tanpa berpikir lagi, langsung berhambur berlari ke arah Sammy.
"Bener-bener ya! Dateng, gak ngabarin! Pergi gak pamit!" emosi dan segala perasaan berkecamuk menjadi satu.
"Chery..." Sammy kaget, tapi wajahnya menyiratkan kesedihan. "Maaf.."
Sammy tertunduk dan sepertinya kehabisan kata-kata.
Baru sekali ini kulihat Sammy merasa bersalah hingga tidak bisa membalas tatapanku.
Tapi dalam perjalanan ke sini, aku sudah membulatkan pikiran.
Aku memegang kedua pipinya dan mengangkat wajahnya agar menghadap ke arahku.
"Inget yang semalem elo bilang? Gue bagaikan keramik antik yang udah retak??"
Sammy bingung, tapi mengangguk setuju.
"Pernah denger istilah, 'Kalo Pecah berarti Membeli'??" aku memanyunkan bibir.
Sepertinya Sammy mengerti perumpamaanku yang agak kekanakan,
Wajahnya langsung tersenyum cerah kemudian Sammy meraih kedua tanganku yang masih menempel di pipinya.
"Serius, elo udah maafin gue?!"
Aku melepas tanganku perlahan.
"Enggak, gue belom maafin elo. Makanya gue nagih, elo harus stay di samping gue, sampe gue bisa maafin elo."
Sammy menghambur dan memeluk bahuku erat.
Dia mengangguk dalam-dalam kegirangan.
"Gue janji! Apapun, berapa lama pun, pasti gue bakal tetep di sini! Gue bakal tebus kebodohan gue dan bikin elo bahagia, Cher!"
Rasa hangat menjalar di hatiku.
Ini memang hal yang paling benar untuk dilakukan.
Aku tidak mampu menipu diri sendiri ataupun orang lain lagi.
Sejak dulu, memang cuma Sammy yang aku inginkan.
Sikapnya, cara bicaranya, cara dia memperlakukanku, seutuhnya dialah yang telah menempati hatiku.
Terdengar suara berdeham dari belakangku.
Kembali ke alam nyata, cepat-cepat aku sadar bahwa Pak Grandy masih berdiri di belakangku.
Aku melepas pelukan Sammy dan menatap Pak Grandy penuh rasa bersalah.
Wajahnya pun dihiasi senyum pahit.
"So,... this is your answer?"
Aku tidak mampu menjawab pertanyaan Pak Grandy yang jawabannya sudah jelas itu.
"Bohong kalo saya bilang, bahwa saya nggak sedih..." kalimatnya terdengar tenang, namun tajam. "Tapi saya yakin, kamu udah mempertimbangkan pilihan kamu dengan matang. Saya pernah bilang nggak akan memaksakan
perasaan ke kamu, dan saya pegang omongan itu."
Pak Grandy menggeser tatapan ke arah Sammy.
"Samuel,... ingat satu hal." Pak Grandy menepuk bahuku perlahan. "Jangan rebut dia, hanya untuk kamu sakitin. Jangan sampai terulang lagi kamu kecewain wanita yang pernah saya cintai ini."
Oh My God,... kalimat Pak Grandy benar-benar ala sinetron tahun 90an!
Suuuuuper cheesy, tapi aku menangkap maksudnya.
Dan jujur, aku merasa tersanjung sekaligus kagum.
Pak Grandy mampu menerima semua ini dengan lapang dada.
Jika aku jadi beliau, tidak akan mampu menimpalinya setenang ini.
Pak Grandy tersenyum untuk terakhir kalinya, sebelum berbalik dan menuju ke gerbang keberangkatan.
Dia tidak berbalik badan lagi samasekali.
Kurasa itu cara paling jantan untuk pergi.
"Gue mesti balik dulu untuk sekarang..." Sammy mendadak bersuara. "Biar gimanapun, gue masih statusnya karyawan Pak Grandy..."
"Ouch." aku menepuk dahiku sendiri. "Pasti awkward banget yah nanti hubungan elo sama Pak Grandy. Gue juga..."
Aku sepertinya baru menyadari konsekuensi panjang dari keputusanku.
Tapi aku tidak menyesalinya.
Terutama karena Sammy tersenyum lebaaaaaar di hadapanku.
Tanpa ba-bi-bu, Sammy mencium bibirku pelan.
Sebelah tangannya merangkul pinggangku erat ke arahnya.
Kali ini, terasa berbeda.
Baik di hati, maupun di pikiranku.
Akhirnya tanpa beban, aku bisa jujur pada perasaanku sendiri.
I have always loved Sammy.
And I'm pretty sure he loves me too.
Aku mengangkat kepala dan Pak Grandy sedang tersenyum lega menatapku.
Terkejut, aku segera bangkit dan mengerutkan alis.
"Belum boarding, Pak?"
Pak Grandy menggoyangkan kantong kertas di tangan kanannya.
"Tadi ke Duty Free sebentar. Titipan oleh-oleh lupa dibeli. Aku pikir kamu nggak akan nganter aku ..."
"Eh,.." aku salah tingkah. "Yah,... aku juga spontan..."
Refleks, mataku tertuju ke Sammy yang berdiri beberapa meter di belakang Pak Grandy.
Otakku langsung meletupkan kembang api dan tanpa berpikir lagi, langsung berhambur berlari ke arah Sammy.
"Bener-bener ya! Dateng, gak ngabarin! Pergi gak pamit!" emosi dan segala perasaan berkecamuk menjadi satu.
"Chery..." Sammy kaget, tapi wajahnya menyiratkan kesedihan. "Maaf.."
Sammy tertunduk dan sepertinya kehabisan kata-kata.
Baru sekali ini kulihat Sammy merasa bersalah hingga tidak bisa membalas tatapanku.
Tapi dalam perjalanan ke sini, aku sudah membulatkan pikiran.
Aku memegang kedua pipinya dan mengangkat wajahnya agar menghadap ke arahku.
"Inget yang semalem elo bilang? Gue bagaikan keramik antik yang udah retak??"
Sammy bingung, tapi mengangguk setuju.
"Pernah denger istilah, 'Kalo Pecah berarti Membeli'??" aku memanyunkan bibir.
Sepertinya Sammy mengerti perumpamaanku yang agak kekanakan,
Wajahnya langsung tersenyum cerah kemudian Sammy meraih kedua tanganku yang masih menempel di pipinya.
"Serius, elo udah maafin gue?!"
Aku melepas tanganku perlahan.
"Enggak, gue belom maafin elo. Makanya gue nagih, elo harus stay di samping gue, sampe gue bisa maafin elo."
Sammy menghambur dan memeluk bahuku erat.
Dia mengangguk dalam-dalam kegirangan.
"Gue janji! Apapun, berapa lama pun, pasti gue bakal tetep di sini! Gue bakal tebus kebodohan gue dan bikin elo bahagia, Cher!"
Rasa hangat menjalar di hatiku.
Ini memang hal yang paling benar untuk dilakukan.
Aku tidak mampu menipu diri sendiri ataupun orang lain lagi.
Sejak dulu, memang cuma Sammy yang aku inginkan.
Sikapnya, cara bicaranya, cara dia memperlakukanku, seutuhnya dialah yang telah menempati hatiku.
Terdengar suara berdeham dari belakangku.
Kembali ke alam nyata, cepat-cepat aku sadar bahwa Pak Grandy masih berdiri di belakangku.
Aku melepas pelukan Sammy dan menatap Pak Grandy penuh rasa bersalah.
Wajahnya pun dihiasi senyum pahit.
"So,... this is your answer?"
Aku tidak mampu menjawab pertanyaan Pak Grandy yang jawabannya sudah jelas itu.
"Bohong kalo saya bilang, bahwa saya nggak sedih..." kalimatnya terdengar tenang, namun tajam. "Tapi saya yakin, kamu udah mempertimbangkan pilihan kamu dengan matang. Saya pernah bilang nggak akan memaksakan
perasaan ke kamu, dan saya pegang omongan itu."
Pak Grandy menggeser tatapan ke arah Sammy.
"Samuel,... ingat satu hal." Pak Grandy menepuk bahuku perlahan. "Jangan rebut dia, hanya untuk kamu sakitin. Jangan sampai terulang lagi kamu kecewain wanita yang pernah saya cintai ini."
Oh My God,... kalimat Pak Grandy benar-benar ala sinetron tahun 90an!
Suuuuuper cheesy, tapi aku menangkap maksudnya.
Dan jujur, aku merasa tersanjung sekaligus kagum.
Pak Grandy mampu menerima semua ini dengan lapang dada.
Jika aku jadi beliau, tidak akan mampu menimpalinya setenang ini.
Pak Grandy tersenyum untuk terakhir kalinya, sebelum berbalik dan menuju ke gerbang keberangkatan.
Dia tidak berbalik badan lagi samasekali.
Kurasa itu cara paling jantan untuk pergi.
"Gue mesti balik dulu untuk sekarang..." Sammy mendadak bersuara. "Biar gimanapun, gue masih statusnya karyawan Pak Grandy..."
"Ouch." aku menepuk dahiku sendiri. "Pasti awkward banget yah nanti hubungan elo sama Pak Grandy. Gue juga..."
Aku sepertinya baru menyadari konsekuensi panjang dari keputusanku.
Tapi aku tidak menyesalinya.
Terutama karena Sammy tersenyum lebaaaaaar di hadapanku.
Tanpa ba-bi-bu, Sammy mencium bibirku pelan.
Sebelah tangannya merangkul pinggangku erat ke arahnya.
Kali ini, terasa berbeda.
Baik di hati, maupun di pikiranku.
Akhirnya tanpa beban, aku bisa jujur pada perasaanku sendiri.
I have always loved Sammy.
And I'm pretty sure he loves me too.
0