Ada sedikit kenangan ketika kelas 3 hampir berakhir. Pernah di suatu pagi, pas kita makan bareng di meja makan, aku termenung. Bapak dan Ibu di meja makan mulai memperhatikanku. Lalu Ibu ngomong sesuatu



Ibu ngelihat bapak, lalu tersenyum. Bapak juga tersenyum, seperti tahu apa maksud ibu.



Akhirnya hari itu aku ga masuk sekolah. Bapak ibu sepertinya juga ga buat surat ijin. Seharian itu aku cuman di rumah, main Nintendo. Siangnya tidur, sorenya main sama Adi. Malemnya nonton tivi.



Dan benar aja. Besoknya aku ga masuk sekolah lagi. Ngelakuin hal seperti hari kemaren. Di rumah, main Nintendo, siang tidur, sore main ama tetangga, malem nonton tivi. Malemnya ditanya seperti hari sebelumnya sama Ibu, dan aku jawab hal yang sama, bahwa aku ga mau sekolah. Dan seperti hari kemaren, aku diijinkan untuk ga masuk sekolah.

Sampe hari ke-4, dimana aku udah bolos 4 hari berturut-turut. Aku mulai bosen. Temen-temenku di sekolah, dan aku di rumah. Kita tak pernah ketemu. Aku tak pernah lagi ketemu dengan angka-angka rumit perkalian yang membingungkan itu. Tapi itu sungguh membosankan.

Malemnya, aku ga ditanya sama Ibu. Aku dateng sendiri ke Ibu.



Mungkin, kalo aku ga tumbuh dewasa seperti sekarang, aku tak akan pernah tahu apa maksud ibu saat itu, yang membiarkan aku tak masuk sekolah. Tak seperti orang tua lain yang akan langsung marah-marah, dan meneriaki anaknya untuk sekolah ketika anaknya mau bolos. Orang tuaku memberikan pemahaman yang lebih dari sekedar kata-kata. Pemahaman yang lebih merasuk ke dalam kalbu, yang teringat sampai kapanpun.

*Terima kasih Ibu.