- Beranda
- Stories from the Heart
Whats wrong with me? Im addicted to you! [True Story]
...
TS
sayulovme
Whats wrong with me? Im addicted to you! [True Story]
Perkenalkan...
gue sekarang 23 tahun, just call me say (sounds weird eh?)
di sini gue mau ceritain tentang cerita yang mungkin ada yang pernah ngalamin hal begini juga. Cerita berawal di saat gue kerja di salah satu redaksi majalah.
Gue sangat berterima kasih untuk yang sudi mampir ke sini dan apalagi bermurah tangan untuk nge-rate ataupun kasih cendol. Kritik dan saran sangat gue butuhkan mengingat gue bukan penulis. Gue cuma mencoba share cerita ini karna selama ini gue SR di sfth dan komen2 sedikit di cerita yang gue pantengin pakai id prime gue. Gue sudah perkirakan nanti bakal ada yang bilang kalo cerita gue stensilan, okay gue akuin ada beberapa part nanti yang bakal rada "hot" tapi menurut gue masih normal kok. Akhir kata..selamat membaca
Sebaiknya yang belom punya KTP jangan terlalu serius baca ini
Index : Special thanks untuk Bang Lucky
1. I wanna see your abra cadabra bra bra bra
2. Secret 'Meeting'
3. Si Bodoh
4. Makan Siangnya Pake Gossip
5. The Power Of Engagement Ring
6. After Party
6. After Party (Confession)
7. Berdua Denganmu (Minus Setan Penggoda)
8. Berdua Denganmu (Plus Sodaranya Sadako)
9. Stay Away From Me
10. The Devil Wears Jersey
11. Takdir Memang Kejam
12. Free Food And Shit
13. Awkward Moment With Mak Lampir
14. Kelewat Batas
15. KAMEHAMEHA
16. He About To Lose Me
gue sekarang 23 tahun, just call me say (sounds weird eh?)

di sini gue mau ceritain tentang cerita yang mungkin ada yang pernah ngalamin hal begini juga. Cerita berawal di saat gue kerja di salah satu redaksi majalah.
Gue sangat berterima kasih untuk yang sudi mampir ke sini dan apalagi bermurah tangan untuk nge-rate ataupun kasih cendol. Kritik dan saran sangat gue butuhkan mengingat gue bukan penulis. Gue cuma mencoba share cerita ini karna selama ini gue SR di sfth dan komen2 sedikit di cerita yang gue pantengin pakai id prime gue. Gue sudah perkirakan nanti bakal ada yang bilang kalo cerita gue stensilan, okay gue akuin ada beberapa part nanti yang bakal rada "hot" tapi menurut gue masih normal kok. Akhir kata..selamat membaca

Sebaiknya yang belom punya KTP jangan terlalu serius baca ini

Index : Special thanks untuk Bang Lucky

1. I wanna see your abra cadabra bra bra bra
2. Secret 'Meeting'
3. Si Bodoh
4. Makan Siangnya Pake Gossip
5. The Power Of Engagement Ring
6. After Party
6. After Party (Confession)
7. Berdua Denganmu (Minus Setan Penggoda)
8. Berdua Denganmu (Plus Sodaranya Sadako)
9. Stay Away From Me
10. The Devil Wears Jersey
11. Takdir Memang Kejam
12. Free Food And Shit
13. Awkward Moment With Mak Lampir
14. Kelewat Batas
15. KAMEHAMEHA
16. He About To Lose Me
Diubah oleh sayulovme 29-09-2014 22:56
anasabila memberi reputasi
4
32.2K
217
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sayulovme
#53
8. Berdua Denganmu (Plus Sodaranya Sadako)
Film terakhir yang dia tonton dan ada adegan lift matinya justru film horror. Really, horror Jepang pula. Tara lupa2 ingat gimana adegan persisnya, pokoknya si malang yg terjebak di dalam lift itu menghadapi mautnya sendiri ketika ada rambut panjang tergerai turun (Kalau kata Thomas Taw, si pakar rambut di iklan shampoo itu, ini rambut pantes dikasih nilai 10). Pelan2 tangan pucat merayap di atap lift. Dan kayak di lirik lagu cicak2 di dinding, makhluk itu diam2 merayap, lalu…
“Arrrgggghhhhhh!”
“Astaga, Ra, jangan teriak2 gitu. Sudah malem tauk!” bentak suara dari sudut lain lift itu, yg bisa dipastikan adalah suara Jo. Cowok itu menyalakan ponselnya dan kemudian mengumpat “Akh bangke, nggak ada sinyal lagi..”
Tara ingin menerangi ruangan sempit ini dengan cahaya ponsel, tapi dia baru ingat kalau sejak siang tadi hpnya sudah resmi habis baterai.
Tara bersandar ke dinding lift. Sensasi dingin dinding besi itu menyengat kulit punggungnya yang hanya dilapisi kaos ketat yang dia kenakan ke kantor hari ini.
“Kalo gue nggak teriak, terus gimana caranya mereka tau kita kejebak di dalam sini?” gerutu cewek itu lagi.
“Paling cuma lampunya yg mati..nggak papa kok..”
Bener juga sih. Meskipun lampunya mati, liftnya tetep berger..
Oh. My. Gawd
“Whoa, did you hear that?” Tara mulai parno. Nggak, sekali ini dia nggak melebih2kan keadaan. Barusan, nggak lama setelah liftnya berhenti bergerak turun, dia mendengar suara berderak aneh dan nggak biasa.
KRRRRRKKKK …yeah, sounds like that.
“Eh, ada sinyal satu batang…” kata cowok itu out of blue.
Tara geleng2 kepala “Nggak mungkin”
“Halo? Mas, saya Joshua Dolken, fotografer Fab and Fam..” sebelum cowok itu berhasil menyelesaikan ucapannya, BB di tangannya keburu dirampas Tara.
“Biar gue yg ngomong”
Bener2 deh..Lagi gawat darurat gini malah pake acara kenal2an segala, pikir Tara.
“Halo? Mas? Mas?”
“Eh iya mbak?” suara di sebrang sana sedikit nervous karena tiba2 peneleponnya berganti jadi seekor mbak2 galak.
“Mas, ini apa2an sih, lift mendadak mati begini? Mana gelap segala lagi”
“Aduh maaf, mbak. Barusan se Jakarta-Jakartanya blekot”
Tara bengong.
“Blekot??” ulangnya, memastikan kalau dia nggak salah dengar.
“Iya, blekot” kata mas2 sekuriti.
“Maksudnya, blackout kali Ra” jawab Jo kalem di sebelahnya
“Iya, iya blackout. Lo kira gue nggak ngerti?!” Tara mendengus sebal
“Kirain…”
“Mati lampu semua mbak” jelas si mas lagi.
“APA?! Terus kami berdua gimana dong di dalam sini?”
“Euh..euh..i-ini lagi ngecekin generator dulu. Katanya lagi ada sedikit trobel, makanya nggak otomatis nyala lagi begitu blekot”
“Great!”
Tara langsung menekan tombol merah, end conversation.
“That’s rude” Kata Jo. Cowok itu mengambil BB dari tangan Tara, lalu dimasukkan ke saku jeansnya.
“Apanya?”
“Matiin telpon tanpa ngucapin terima kasih atau selamat malam begitu namanya nggak sopan, Ra”
Tara memutar bola matanya “Di saat lagi menghadapi maut gini, gue nggak ada waktu buat bersopan2 ria”
“Jangan berlebihan gitu ah mikirnya”
“Gue?Berlebihan?”
Jo nggak menjawab. Karena nggak diladenin, Tara akhirnya memutuskan untuk menutup mulutnya sendiri. Hening. Lebih hening dari pemakaman. Tara nggak suka. Di saat sedang tegang atau sedang takut, dia lebih milih banyak ngomong supaya nggak sempat mikir hal yang jelek2. Kayak kematian, atau hantu pucat yang merayap di atap lift…
“This is not cool, dude” kata Tara, suaranya bergetar. “Terjebak berdua lo lagi”
“He eh mana gelap lagi, kalo lampunya hidup, gue mungkin bisa denger lagu sambil baca buku”
Tiba2 terdengar suara gedebruk yg lumayan keras. Tara terlonjak dan reflex mencari pegangan.
“Woi ngapain lo?!”
“Lempar tas ke lantai. Sekalian mau duduk. There’s nothing we can do but waiting”
Tara masih tetap menggenggam erat pegangannya tadi, yg belakangan dia sadari adalah kaos Jo.
“Mau sampe kapan lo narik2 kaos gue?” kata Jo dengan suara datar
“Sampe lift sialan ini jalan lagi”
“…………”
Sekitar sepuluh menit kemudian, bisa dibilang Tara sudah bisa mengendalikan diri. Dia nggak mencengkeram kaos Jo lagi, meskipun duduknya tetep nggak mau jauh2 dari cowok itu.
Jo mengeluarkan ipod dari tasnya, fully recharged, seolah2 dia sudah siap banget sama keadaan ini. Jo berbaik hati membiarkan cewek itu menikmati lagu2 di playlist ipodnya dengan sebelah earphone. Yang sebelah lagi Jo pasang di telinganya sendiri. Untuk sesaat, keduanya sama2 asyik dengan pikiran masing2 saat Yellow-nya Coldplay mengalun lembut khusus untuk mereka.
Another level of weirdness, pikir Tara. Kayak curhat sama Jo nggak cukup aneh aja, sekarang dia malah ngerasa begitu nyaman berada di samping cowok itu. Asal tahu aja, belum pernah dia sedekat ini sama Jo. Bersandar di lengan Jo, mendengarkan koleksi lagu2 Coldplay dari ipodnya, dan menghirup Paco Rabanne XS yg ternyata tercium sangat seksi bercampur aroma rokok dan keringat. Saking asiknya melamun, tanpa sadar Tara memanggil nama cowok itu.
“Jo” katanya dengan suara lirih hampir nggak jelas kedengaran
“Hmm?”
Berarti penelitian itu bener..
Pernah baca nggak, itu loh tentang penelitian suara cowok dan sex appeal. Katanya nih, suara cowok yang berat dan serak kayak si Jo ini, punya sex appeal yang lebih tinggi ketimbang yg suaranya biasa aja. Tara sempat menganggap konyol penelitian itu, sampai sekarang. Dalam radius begini dan denger suara menggeram pelan cowok itu, Tara merasa..euh gimanaa gitu.
“Tes kuping doang kok, sekalian mastiin lo masih ada”
“Oh, iyalah gue ada”
“Ih, nggak pake ketus gitu ngomongnya bisa kan?”
“Ketus apanya sih, orang ngomong baik2..”
“Iya iya..Gue yang salah”
Hening. Nggak ada reaksi dari kubu seberang.
“Tapi, kita jangan berantem dong, sekali iniiii aja. Technically, cuman lo yang gue kenal dalam lift sialan ini”
“...........”
“...........”
Oke. Anggap aja diemnya cowok itu pertanda dia sepakat dengan tawaran gencatan senjata dari Tara. Tapi, nggak pake diem2an gini kan. Mereka harus ngobrol. Thanks to lagu Physical yang sekarang diputar di ipod Jo (terutama liriknya yang ‘there’s nothing left to talk about, unless it’s horizontally’), dia malah jadi semakin tersugesti untuk cepat2 mencari bahan obrolan, sebelum...err, kayak kata Olivia Newton John, gantian tubuh mereka yang ‘bicara’.
“Jo, gue mau ngaku sesuatu sama lo”
“Apa?”
Reaksi sederhana, tapi Tara dengan cukup pede bilang ada nada tertarik di suara itu. Makanya kemudian dia melanjutkan “Gue belum bilang makasih buat malam itu”
“Malam kapan?”
“Yang waktu lo cerita soal Dwira”
“Sebagian diri gue ngerasa lega, nyaman karna nggak ngerasa sendirian. Gue juga jadi bisa ngungkapin semua yg nggak bisa gue ungkapin ke siapapun”
“Ya mau gimana lagi Ra. Posisi orang ketiga kan emang selalu dianggap miring. Lo dan gue emang nggak ngarep buat dibela, cuman kalo makin dipojokkan sama orang2 setelah semua rasa bersalah yg numpuk di dada, ah, nggak sanggup aja gue ngadepinnya”
“Banget!” seru Tara sepenuh hati, jiwa dan usus.
“Lo suka bertanya tanya nggak, kenapa cinta malah bikin lo ada di posisi nggak enak kayak gini?”
“Sekali dua kali sih” kata Tara. Tapi dia dan Jo sama2 tahu jawaban itu nggak mengcover semua emosi yg mereka alami saat menjadi pacar rahasia bagi pasangan masing2. Kayak harus nahan cemburu waktu tahu Andre lagi sama tunangannya. Atau, waktu Tara nemuin foto Andre dan Sarah di album foto facebooknya. Ah, bumi berasa neraka jadinya!
“Dibanding situasi penuh drama begini, gue lebih milih cinta yg sederhana. Yg membosankan. I like boring”
“Sama”
Tara bertanya2, apa dia dan Jo akan terus menjadi Tom and Jerry? Rahasia demi rahasia terus ditumpuk sehingga satu2nya solusi adalah menjaganya bersama. You know, like a bestfriend. Sesaat, Tara merasa punya alasan untuk menghela napas lega. Something’s happened in this room, kayaknya....Mendadak bau telur busuk gitu. Ah well. Mungkin perasaannya aja.
“Ra..”
“Hmm”
Cowok itu bergerak. Oh bersandar rupanya. Tara pun jadi ikut2an bersandar. Sudah terlalu lama dia meremas kaos Jo dengan posesif, kayak monyet yg bergelayut erat di leher Julia Roberts di foto kapan tahu itu. Sori, ingatan buruk. Satu2nya yg dia ingat soal foto itu justru adalah kacamata yg dipake Julia, which, by the way, is soooo cute!
“Gue juga mau ngaku sesuatu sama lo”
Suara Jo datar dan nyaris tanpa ekspresi. Tapi justru itu bagian yang bikin deg2an. Tara nggak bisa memperkirakan apa yg bakal diakui cowok itu beberapa saat lagi. Is it about his deepest feeling? Tara menebak2.
Mengingat ini suasana yang oh so dark and so intimate, yg begitu bisa banget terjadi. Tara nggak pengen mikir kejauhan, tapi serius, kalau sampai Jo ngomongin sesuatu yg berbau cinta2an, dia janji bakal langsung harakiri. Nggak siap.
Kesadaran itu membuat tubuh cewek itu tegak dengan tegang. Tara menarik diri dan duduk agak jauhan dari cowok itu. Buat jaga2 aja. Di kepalanya, berputar salah satu episode Cold Case, tentang seorang atlet cewek dibunuh sama wartawan kampus slash penggemar beratnya karena sakit hati setelah ditolak cintanya. Tara nggak pengin ngalamin versi liftnya, asal tahu aja.
“Kok mendadak jauh gitu duduknya?” Tanya Jo curiga.
“Ah nggak..Cuman pengin bersandar di sudut aja” Tara tertawa hambar.
“Tadi mau ngaku apa ya suh?”
“Oh..ehem..nggak,cuman mau bilang tadi gue nggak sengaja buang angin...”
“APA?!” jadi bau telur busuk menjijikkan itu datangnya dari..Tara melotot marah. Gelap2 gini nggak bakal keliatan, makanya Tara merasa perlu harus bikin Jo tahu kemarahannya dengan salah satu tendangan Kamtib ke tulang kering kaki cowok itu.
“Awww, sakit tau!”
“Bagusss” suara Tara terdengar seperti orang bindeng, karena cewek itu menutup hidungnya.
“Dasar gila! Udahlah oksigen terbatas banget, sempat2nya lo bikin polusi udara..Arghhhh sudah nutup idung masih aja kecium!! Lo makan apa siihhh”
“Sup krim isi daging ayam kol”
“Kol? Ugh nggak heran”
Lampu di dalam lift tiba2 menyala. Kelewat terang benderang dan tiba2, mata Tara silau karenanya. Dia memejamkan mata beberapa saat, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk kembali menatap sekitarnya. Terang. Pertanda baik. Cewek itu menoleh ke satu2nya makhluk hidup di lift itu. Cowok itu melihat kiri kanan sambil tersenyum.
Terlepas dari kentutnya yg bikin Tara berpikir buat harakiri (again, kalau dia kebetulan bawa samurai), dia merasa perlu berbagi kebahagiaan sama cowok itu. Dia cumiik gembira saat memeluk cowok itu.
“Ahhhh! Akhirnya idup jug..”
Lampunya mati lagi. Tara bengong sesaat. What the...
Tara menendang lift dengan sepenuh hati.
“Jangan banyak gerak Ra..”
“Bodo! Jangan halang2in gue nendang kotak sialan ini! WOI! WOIIIIIIIIIIIII”
KRRRKKKK!
Tara menjerit ngeri gara2 mendengar suara berderak itu lagi. Omaigat omaigat omaigat! Apa seperti ini aja akhir idup gue? Bakal jadi headline news nih ‘Cewek cantik mati di lift bersama teman sekantornya.
“Jangan banyak gerak Ra” Jo memeluk tubuh mungil Tara. Inappropriate, tentu saja, tapi sepertinya memang ini yang Tara perlukan. Cewek itu menenggelamkan wajahnya di dada Jo, menghirup dalam2 bau musk parfum yg bercampur dengan bau rokok dan aroma tubuhnya. Oh God. Tara mendapati dirinya merasa nyaman dengan posisi ini. Makanya, dia memutuskan untuk balas melingkarkan tangannya di tubuh cowok itu.
“Kita bakal mati kan, di sini?” suaranya sedikit teredam karena wajahnya terimpit langsung ke dada cowok itu
“Ssssh, jangan mikir yg nggak2 dulu”
“Kita bakal mati di sini. Tragically. Di lift pula. Nggak classy banget”
Cowok itu tertawa kecil. Yang bikin Tara sedikit agak tersinggung dan sempat kepikiran mau nyubit pinggang cowok itu. Tapi niat itu diurungkannya saat cowok itu bertanya “Emang mati kayak apa yg classy”
“Kayak Marilyn Monroe kali? Matinya di atas tempat tidur..beautifully”
Tara mengangkat wajahnya. Jo tetap memeluk Tara erat dan Tara membiarkannya.
“Coba, emang gue sekarang bisa dibilang beautifully? Muka capek, badan capek. Trus gue matinya sama elo lagi!”
“Emang kenapa kalo matinya sama gue?”
“At least, kalo nggak mati beautifully, mati dalam keadaan in love gitu”
Tara merebahkan kepalanya di dada bidang itu dengan pasrah. Capek.
“Atau mati kayak Isadora Duncan? Kelilit syalnya sendiri..”
“Jangan ngomong mati2an dulu ah” tegur Jo
“Lo tau nggak kelilitnya gimana? Ujung syalnya kesangkut aja di roda mobil dan..uhh!” Tangan Jo membekap mulutnya. Tindakan itu tiba2 membuat mereka berdua sama2 terkejut dan sesaat hanya bisa saling tatap. Dalam diam, mereka disibukkan oleh pikiran masing2. Keduanya masih saling memandang, aktivitas intens yg membuat keduanya bernapas kian berat...tangan cowok itu pelan2 menjauh dari bibir Tara.
Tangan cowok itu kembali menguasai bibirnya. Nggak, kali ini ganti hanya ujung telunjuk cowok itu yang lancang menyentuh bibirnya. Menelusuri lekuk dan garis bibir bawahnya. Ritme napas Tara semakin tak karuan. Bahkan, sekujur tubuhnya kini terasa lemas, mendadak kehilangan kemampuan bergerak.
Sesuatu yang hangat dan basah menyentuh bibirnya. Butuh setengah menit untuk menyadari kalau barusan itu adalah ciuman. Dia...dicium Jo. BENER2 DICIUM..How crazy is that? Tara buru2 melepaskan diri dari pelukan cowok itu.
“T tadi itu apa?”
“Gue..”
Cowok itu nggak sempat menyelesaikan ucapannya, karena dari luar tedengar suara2 aneh. Sepertinya ada yg berusaha membuka pintu lift dengan linggis. Pintu terbuka sedikit. Lalu, cukup lebar untuk membuat Tara menyadari siapa aja malaikat baik yg menolong mereka. Dua orang berpakaian sekuriti dan satu orang berbaju polo hitam yg menurut tabakannya adalah teknisi.
“Mas, mbak, nggak papa kan?”
Tara menggeleng2 cepat.
“Arrrgggghhhhhh!”
“Astaga, Ra, jangan teriak2 gitu. Sudah malem tauk!” bentak suara dari sudut lain lift itu, yg bisa dipastikan adalah suara Jo. Cowok itu menyalakan ponselnya dan kemudian mengumpat “Akh bangke, nggak ada sinyal lagi..”
Tara ingin menerangi ruangan sempit ini dengan cahaya ponsel, tapi dia baru ingat kalau sejak siang tadi hpnya sudah resmi habis baterai.
Tara bersandar ke dinding lift. Sensasi dingin dinding besi itu menyengat kulit punggungnya yang hanya dilapisi kaos ketat yang dia kenakan ke kantor hari ini.
“Kalo gue nggak teriak, terus gimana caranya mereka tau kita kejebak di dalam sini?” gerutu cewek itu lagi.
“Paling cuma lampunya yg mati..nggak papa kok..”
Bener juga sih. Meskipun lampunya mati, liftnya tetep berger..
Oh. My. Gawd

“Whoa, did you hear that?” Tara mulai parno. Nggak, sekali ini dia nggak melebih2kan keadaan. Barusan, nggak lama setelah liftnya berhenti bergerak turun, dia mendengar suara berderak aneh dan nggak biasa.
KRRRRRKKKK …yeah, sounds like that.
“Eh, ada sinyal satu batang…” kata cowok itu out of blue.
Tara geleng2 kepala “Nggak mungkin”
“Halo? Mas, saya Joshua Dolken, fotografer Fab and Fam..” sebelum cowok itu berhasil menyelesaikan ucapannya, BB di tangannya keburu dirampas Tara.
“Biar gue yg ngomong”
Bener2 deh..Lagi gawat darurat gini malah pake acara kenal2an segala, pikir Tara.

“Halo? Mas? Mas?”
“Eh iya mbak?” suara di sebrang sana sedikit nervous karena tiba2 peneleponnya berganti jadi seekor mbak2 galak.
“Mas, ini apa2an sih, lift mendadak mati begini? Mana gelap segala lagi”

“Aduh maaf, mbak. Barusan se Jakarta-Jakartanya blekot”
Tara bengong.
“Blekot??” ulangnya, memastikan kalau dia nggak salah dengar.
“Iya, blekot” kata mas2 sekuriti.
“Maksudnya, blackout kali Ra” jawab Jo kalem di sebelahnya
“Iya, iya blackout. Lo kira gue nggak ngerti?!” Tara mendengus sebal
“Kirain…”

“Mati lampu semua mbak” jelas si mas lagi.
“APA?! Terus kami berdua gimana dong di dalam sini?”

“Euh..euh..i-ini lagi ngecekin generator dulu. Katanya lagi ada sedikit trobel, makanya nggak otomatis nyala lagi begitu blekot”
“Great!”
Tara langsung menekan tombol merah, end conversation.“That’s rude” Kata Jo. Cowok itu mengambil BB dari tangan Tara, lalu dimasukkan ke saku jeansnya.
“Apanya?”
“Matiin telpon tanpa ngucapin terima kasih atau selamat malam begitu namanya nggak sopan, Ra”
Tara memutar bola matanya “Di saat lagi menghadapi maut gini, gue nggak ada waktu buat bersopan2 ria”
“Jangan berlebihan gitu ah mikirnya”
“Gue?Berlebihan?”
Jo nggak menjawab. Karena nggak diladenin, Tara akhirnya memutuskan untuk menutup mulutnya sendiri. Hening. Lebih hening dari pemakaman. Tara nggak suka. Di saat sedang tegang atau sedang takut, dia lebih milih banyak ngomong supaya nggak sempat mikir hal yang jelek2. Kayak kematian, atau hantu pucat yang merayap di atap lift…
“This is not cool, dude” kata Tara, suaranya bergetar. “Terjebak berdua lo lagi”
“He eh mana gelap lagi, kalo lampunya hidup, gue mungkin bisa denger lagu sambil baca buku”
Tiba2 terdengar suara gedebruk yg lumayan keras. Tara terlonjak dan reflex mencari pegangan.
“Woi ngapain lo?!”
“Lempar tas ke lantai. Sekalian mau duduk. There’s nothing we can do but waiting”
Tara masih tetap menggenggam erat pegangannya tadi, yg belakangan dia sadari adalah kaos Jo.
“Mau sampe kapan lo narik2 kaos gue?” kata Jo dengan suara datar
“Sampe lift sialan ini jalan lagi”
“…………”
Sekitar sepuluh menit kemudian, bisa dibilang Tara sudah bisa mengendalikan diri. Dia nggak mencengkeram kaos Jo lagi, meskipun duduknya tetep nggak mau jauh2 dari cowok itu.
Jo mengeluarkan ipod dari tasnya, fully recharged, seolah2 dia sudah siap banget sama keadaan ini. Jo berbaik hati membiarkan cewek itu menikmati lagu2 di playlist ipodnya dengan sebelah earphone. Yang sebelah lagi Jo pasang di telinganya sendiri. Untuk sesaat, keduanya sama2 asyik dengan pikiran masing2 saat Yellow-nya Coldplay mengalun lembut khusus untuk mereka.
Another level of weirdness, pikir Tara. Kayak curhat sama Jo nggak cukup aneh aja, sekarang dia malah ngerasa begitu nyaman berada di samping cowok itu. Asal tahu aja, belum pernah dia sedekat ini sama Jo. Bersandar di lengan Jo, mendengarkan koleksi lagu2 Coldplay dari ipodnya, dan menghirup Paco Rabanne XS yg ternyata tercium sangat seksi bercampur aroma rokok dan keringat. Saking asiknya melamun, tanpa sadar Tara memanggil nama cowok itu.
“Jo” katanya dengan suara lirih hampir nggak jelas kedengaran
“Hmm?”
Berarti penelitian itu bener..
Pernah baca nggak, itu loh tentang penelitian suara cowok dan sex appeal. Katanya nih, suara cowok yang berat dan serak kayak si Jo ini, punya sex appeal yang lebih tinggi ketimbang yg suaranya biasa aja. Tara sempat menganggap konyol penelitian itu, sampai sekarang. Dalam radius begini dan denger suara menggeram pelan cowok itu, Tara merasa..euh gimanaa gitu.
“Tes kuping doang kok, sekalian mastiin lo masih ada”
“Oh, iyalah gue ada”
“Ih, nggak pake ketus gitu ngomongnya bisa kan?”
“Ketus apanya sih, orang ngomong baik2..”
“Iya iya..Gue yang salah”
Hening. Nggak ada reaksi dari kubu seberang.
“Tapi, kita jangan berantem dong, sekali iniiii aja. Technically, cuman lo yang gue kenal dalam lift sialan ini”

“...........”
“...........”
Oke. Anggap aja diemnya cowok itu pertanda dia sepakat dengan tawaran gencatan senjata dari Tara. Tapi, nggak pake diem2an gini kan. Mereka harus ngobrol. Thanks to lagu Physical yang sekarang diputar di ipod Jo (terutama liriknya yang ‘there’s nothing left to talk about, unless it’s horizontally’), dia malah jadi semakin tersugesti untuk cepat2 mencari bahan obrolan, sebelum...err, kayak kata Olivia Newton John, gantian tubuh mereka yang ‘bicara’.
“Jo, gue mau ngaku sesuatu sama lo”
“Apa?”
Reaksi sederhana, tapi Tara dengan cukup pede bilang ada nada tertarik di suara itu. Makanya kemudian dia melanjutkan “Gue belum bilang makasih buat malam itu”
“Malam kapan?”
“Yang waktu lo cerita soal Dwira”
“Sebagian diri gue ngerasa lega, nyaman karna nggak ngerasa sendirian. Gue juga jadi bisa ngungkapin semua yg nggak bisa gue ungkapin ke siapapun”
“Ya mau gimana lagi Ra. Posisi orang ketiga kan emang selalu dianggap miring. Lo dan gue emang nggak ngarep buat dibela, cuman kalo makin dipojokkan sama orang2 setelah semua rasa bersalah yg numpuk di dada, ah, nggak sanggup aja gue ngadepinnya”
“Banget!” seru Tara sepenuh hati, jiwa dan usus.
“Lo suka bertanya tanya nggak, kenapa cinta malah bikin lo ada di posisi nggak enak kayak gini?”
“Sekali dua kali sih” kata Tara. Tapi dia dan Jo sama2 tahu jawaban itu nggak mengcover semua emosi yg mereka alami saat menjadi pacar rahasia bagi pasangan masing2. Kayak harus nahan cemburu waktu tahu Andre lagi sama tunangannya. Atau, waktu Tara nemuin foto Andre dan Sarah di album foto facebooknya. Ah, bumi berasa neraka jadinya!
“Dibanding situasi penuh drama begini, gue lebih milih cinta yg sederhana. Yg membosankan. I like boring”
“Sama”
Tara bertanya2, apa dia dan Jo akan terus menjadi Tom and Jerry? Rahasia demi rahasia terus ditumpuk sehingga satu2nya solusi adalah menjaganya bersama. You know, like a bestfriend. Sesaat, Tara merasa punya alasan untuk menghela napas lega. Something’s happened in this room, kayaknya....Mendadak bau telur busuk gitu. Ah well. Mungkin perasaannya aja.
“Ra..”
“Hmm”
Cowok itu bergerak. Oh bersandar rupanya. Tara pun jadi ikut2an bersandar. Sudah terlalu lama dia meremas kaos Jo dengan posesif, kayak monyet yg bergelayut erat di leher Julia Roberts di foto kapan tahu itu. Sori, ingatan buruk. Satu2nya yg dia ingat soal foto itu justru adalah kacamata yg dipake Julia, which, by the way, is soooo cute!
“Gue juga mau ngaku sesuatu sama lo”
Suara Jo datar dan nyaris tanpa ekspresi. Tapi justru itu bagian yang bikin deg2an. Tara nggak bisa memperkirakan apa yg bakal diakui cowok itu beberapa saat lagi. Is it about his deepest feeling? Tara menebak2.
Mengingat ini suasana yang oh so dark and so intimate, yg begitu bisa banget terjadi. Tara nggak pengen mikir kejauhan, tapi serius, kalau sampai Jo ngomongin sesuatu yg berbau cinta2an, dia janji bakal langsung harakiri. Nggak siap.
Kesadaran itu membuat tubuh cewek itu tegak dengan tegang. Tara menarik diri dan duduk agak jauhan dari cowok itu. Buat jaga2 aja. Di kepalanya, berputar salah satu episode Cold Case, tentang seorang atlet cewek dibunuh sama wartawan kampus slash penggemar beratnya karena sakit hati setelah ditolak cintanya. Tara nggak pengin ngalamin versi liftnya, asal tahu aja.
“Kok mendadak jauh gitu duduknya?” Tanya Jo curiga.
“Ah nggak..Cuman pengin bersandar di sudut aja” Tara tertawa hambar.
“Tadi mau ngaku apa ya suh?”
“Oh..ehem..nggak,cuman mau bilang tadi gue nggak sengaja buang angin...”
“APA?!” jadi bau telur busuk menjijikkan itu datangnya dari..Tara melotot marah. Gelap2 gini nggak bakal keliatan, makanya Tara merasa perlu harus bikin Jo tahu kemarahannya dengan salah satu tendangan Kamtib ke tulang kering kaki cowok itu.
“Awww, sakit tau!”
“Bagusss” suara Tara terdengar seperti orang bindeng, karena cewek itu menutup hidungnya.
“Dasar gila! Udahlah oksigen terbatas banget, sempat2nya lo bikin polusi udara..Arghhhh sudah nutup idung masih aja kecium!! Lo makan apa siihhh”
“Sup krim isi daging ayam kol”
“Kol? Ugh nggak heran”
Lampu di dalam lift tiba2 menyala. Kelewat terang benderang dan tiba2, mata Tara silau karenanya. Dia memejamkan mata beberapa saat, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk kembali menatap sekitarnya. Terang. Pertanda baik. Cewek itu menoleh ke satu2nya makhluk hidup di lift itu. Cowok itu melihat kiri kanan sambil tersenyum.
Terlepas dari kentutnya yg bikin Tara berpikir buat harakiri (again, kalau dia kebetulan bawa samurai), dia merasa perlu berbagi kebahagiaan sama cowok itu. Dia cumiik gembira saat memeluk cowok itu.
“Ahhhh! Akhirnya idup jug..”
Lampunya mati lagi. Tara bengong sesaat. What the...
Tara menendang lift dengan sepenuh hati.
“Jangan banyak gerak Ra..”
“Bodo! Jangan halang2in gue nendang kotak sialan ini! WOI! WOIIIIIIIIIIIII”
KRRRKKKK!
Tara menjerit ngeri gara2 mendengar suara berderak itu lagi. Omaigat omaigat omaigat! Apa seperti ini aja akhir idup gue? Bakal jadi headline news nih ‘Cewek cantik mati di lift bersama teman sekantornya.
“Jangan banyak gerak Ra” Jo memeluk tubuh mungil Tara. Inappropriate, tentu saja, tapi sepertinya memang ini yang Tara perlukan. Cewek itu menenggelamkan wajahnya di dada Jo, menghirup dalam2 bau musk parfum yg bercampur dengan bau rokok dan aroma tubuhnya. Oh God. Tara mendapati dirinya merasa nyaman dengan posisi ini. Makanya, dia memutuskan untuk balas melingkarkan tangannya di tubuh cowok itu.
“Kita bakal mati kan, di sini?” suaranya sedikit teredam karena wajahnya terimpit langsung ke dada cowok itu
“Ssssh, jangan mikir yg nggak2 dulu”
“Kita bakal mati di sini. Tragically. Di lift pula. Nggak classy banget”
Cowok itu tertawa kecil. Yang bikin Tara sedikit agak tersinggung dan sempat kepikiran mau nyubit pinggang cowok itu. Tapi niat itu diurungkannya saat cowok itu bertanya “Emang mati kayak apa yg classy”
“Kayak Marilyn Monroe kali? Matinya di atas tempat tidur..beautifully”
Tara mengangkat wajahnya. Jo tetap memeluk Tara erat dan Tara membiarkannya.
“Coba, emang gue sekarang bisa dibilang beautifully? Muka capek, badan capek. Trus gue matinya sama elo lagi!”
“Emang kenapa kalo matinya sama gue?”
“At least, kalo nggak mati beautifully, mati dalam keadaan in love gitu”
Tara merebahkan kepalanya di dada bidang itu dengan pasrah. Capek.
“Atau mati kayak Isadora Duncan? Kelilit syalnya sendiri..”
“Jangan ngomong mati2an dulu ah” tegur Jo
“Lo tau nggak kelilitnya gimana? Ujung syalnya kesangkut aja di roda mobil dan..uhh!” Tangan Jo membekap mulutnya. Tindakan itu tiba2 membuat mereka berdua sama2 terkejut dan sesaat hanya bisa saling tatap. Dalam diam, mereka disibukkan oleh pikiran masing2. Keduanya masih saling memandang, aktivitas intens yg membuat keduanya bernapas kian berat...tangan cowok itu pelan2 menjauh dari bibir Tara.
Tangan cowok itu kembali menguasai bibirnya. Nggak, kali ini ganti hanya ujung telunjuk cowok itu yang lancang menyentuh bibirnya. Menelusuri lekuk dan garis bibir bawahnya. Ritme napas Tara semakin tak karuan. Bahkan, sekujur tubuhnya kini terasa lemas, mendadak kehilangan kemampuan bergerak.
Sesuatu yang hangat dan basah menyentuh bibirnya. Butuh setengah menit untuk menyadari kalau barusan itu adalah ciuman. Dia...dicium Jo. BENER2 DICIUM..How crazy is that? Tara buru2 melepaskan diri dari pelukan cowok itu.
“T tadi itu apa?”

“Gue..”
Cowok itu nggak sempat menyelesaikan ucapannya, karena dari luar tedengar suara2 aneh. Sepertinya ada yg berusaha membuka pintu lift dengan linggis. Pintu terbuka sedikit. Lalu, cukup lebar untuk membuat Tara menyadari siapa aja malaikat baik yg menolong mereka. Dua orang berpakaian sekuriti dan satu orang berbaju polo hitam yg menurut tabakannya adalah teknisi.
“Mas, mbak, nggak papa kan?”
Tara menggeleng2 cepat.
Diubah oleh sayulovme 16-09-2014 10:07
1