- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Bersambung: Voyeurism
...
TS
widka
Cerita Bersambung: Voyeurism
Quote:
Quote:
Judul Karya : Voyeurism
Jenis Karya : Fiksi
Genre Karya : Detektif, Misteri, Drama.
Target Pembaca : Remaja-Dewasa
Usia : 17+
Quote:
HOT COVER
Spoiler for PRAWACANA:
PRAWACANA
Kisah ini menceritakan kontroversi pengakuan pelecehan seksual yg dialami ALINA pada masa lalunya. Apakah benar atau salah bahwa kejadian itu benar-benar terjadi? Seberapa akuratkah ingatan seseorang?
Seperti yang kita ketahui bahwa ada banyak tulisan yang dipublikasikan mengenai pulihnya ingatan tentang pelecehan seksual di masa anak-anak berakhir keliru atau tidak koheren (nyambung) dengan fakta-fakta yang ada.
Lantas cerita berlanjut ke polisi muda yang bernama WIDKA, yang menderita voyeurisme. Voyeurisme adalah penyakit psikologis di mana penderitanya mencapai kepuasan seksual hanya dengan cara mengintip. Namun, tanpa sengaja aktifitas terlarangnya itu membuat sang tokoh tahu misteri dibalik kontroversi yang menyelimuti ALINA.
Kisah yang menarik tentang drama-hasrat-kriminal dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, sehingga kisah ini sangat layak untuk dinikmati sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya akan update terus cerita bersambung ini jika agan-agan berkenan terhadap cerita yang sedang saya kembangkan.
Terimakasih.
Seperti yang kita ketahui bahwa ada banyak tulisan yang dipublikasikan mengenai pulihnya ingatan tentang pelecehan seksual di masa anak-anak berakhir keliru atau tidak koheren (nyambung) dengan fakta-fakta yang ada.
Lantas cerita berlanjut ke polisi muda yang bernama WIDKA, yang menderita voyeurisme. Voyeurisme adalah penyakit psikologis di mana penderitanya mencapai kepuasan seksual hanya dengan cara mengintip. Namun, tanpa sengaja aktifitas terlarangnya itu membuat sang tokoh tahu misteri dibalik kontroversi yang menyelimuti ALINA.
Kisah yang menarik tentang drama-hasrat-kriminal dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, sehingga kisah ini sangat layak untuk dinikmati sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya akan update terus cerita bersambung ini jika agan-agan berkenan terhadap cerita yang sedang saya kembangkan.
Terimakasih.
Quote:
Hot Comment Sampai BAB VIII
Quote:
Original Posted By princess.anne►
Ane juga tau cerita ini setelah liat trit agan di CYSTG
Dari sana aja udah terpesona sama pengetahuan agan ttg kepribadian
Dan 4 hal di atas yg bikin ane makin WOW sama karya agan ini
Judul kayak gini justru bagus, unik. Coba kalo judulnya langsung: petualangan sang pengintip, sedikit agak basi. Tapi dengan kata voyeurism, pertama bikin kening berkerut, lalu semakin bikin penasaran, pengen menggali lebih dalem, endingnya "ooooh.... gitu!"
Oya satu hal lagi yang paling ane suka, agan ga cuma nyediain cerita yang bikin penasaran, menghibur, tapi juga memberikan banyak pengetahuan!
I love it!
Ane penggemar berat genre kayak gini
Pokoke semangat terus berkarya gan!
Ane juga tau cerita ini setelah liat trit agan di CYSTG
Dari sana aja udah terpesona sama pengetahuan agan ttg kepribadian
Dan 4 hal di atas yg bikin ane makin WOW sama karya agan ini
Judul kayak gini justru bagus, unik. Coba kalo judulnya langsung: petualangan sang pengintip, sedikit agak basi. Tapi dengan kata voyeurism, pertama bikin kening berkerut, lalu semakin bikin penasaran, pengen menggali lebih dalem, endingnya "ooooh.... gitu!"
Oya satu hal lagi yang paling ane suka, agan ga cuma nyediain cerita yang bikin penasaran, menghibur, tapi juga memberikan banyak pengetahuan!
I love it!
Ane penggemar berat genre kayak gini
Pokoke semangat terus berkarya gan!
Quote:
Original Posted By Blazerknight►homina homina homina, keren banget ceritanya asli.....
Quote:
Original Posted By septhia►hari minggu, gak ada hiburan, buka kaskus liat thread agan, sungguh luar biasa ceritanya...gini ini yg seru gak hanya cerita cinta melulu...salut for agan...
Quote:
Original Posted By Garyu73►What gilaaak? Ini apa? Baru pertama liat uy, ini buku ya? Keren banget uy TS bisa nyampe disini terus menyalurkan ide gilanya
Keren gan, mudahan ada waktu biar bisa baca ceritanya
Keren gan, mudahan ada waktu biar bisa baca ceritanya
Quote:
Original Posted By bapaknya.tongol►wanjeeeeng, aktingnya alin mantap kalee bah...
"pelakunya adalah kau". sambil menjukan jati tengah ke arah kolonel
ataukah hanya mimpi widka
bodo amat, yg penting cepet abdet lagiii braaay
tunggu cendol mateng ya braaay....
buru apdet nya..
"pelakunya adalah kau". sambil menjukan jati tengah ke arah kolonel
ataukah hanya mimpi widka
bodo amat, yg penting cepet abdet lagiii braaay
tunggu cendol mateng ya braaay....
buru apdet nya..
Quote:
Original Posted By chayono►Wah gan abis baca bab 5 part 1 kayaknya bakal makin dalem nih ceritanya. Awalnya ane percaya alina tuh gila. Tapi pas baca mengenai pendapat komandan jo trus review ulang kayaknya ada yg aneh dengan kolonelnya. Seolah olah di buat skenario alina meninggal padahal engga. Di tunggu part berikutnya yg lebih ngebuka misterinya.
Quote:
Quote:
Original Posted By velerkajut►akhirnya update juga makin keren aja nh jalur ceritanya gue suka cara penulisannya yg frontal jd ga kaku bacanya nice gan di tunggu part 3 nya
Quote:
Original Posted By cUmplanks►mana bab v!! manaaaaaaaaa...!!
manaaaaaa ...!! bab v bab v bab v...
hayok cepat gannnnn..penasaran 1/2 idup ini..!!
bener" nice post gan..cendol +1 dari ane yah..
manaaaaaa ...!! bab v bab v bab v...
hayok cepat gannnnn..penasaran 1/2 idup ini..!!
bener" nice post gan..cendol +1 dari ane yah..
Quote:
Original Posted By TahtaArash►bab V part 2 mana gan. ane udh bli paket extra buat baca cerita agan
Quote:
Original Posted By umikrachmi►Gan masih bersambung yaaa ceritanyaaa? Seruuu sumpah
Quote:
Original Posted By velerkajut►kapan update gan? pnasaran nh ternyata si alina emg sakit beneran
Quote:
Original Posted By milan22►Yah,ternyata masih bersambung, padahal ane udah siap2 menebak endingnya..
Update nya kapan gan?
Update nya kapan gan?
Quote:
Original Posted By encantz►update lagi mas, alinanya jgn dimatiin yak
Quote:
Original Posted By travelcore►ane baca dulu ya
Quote:
Quote:
Original Posted By dados8756►izin stalk mas bro , bagus ceritanya... sambil sekalian belajar
Quote:
Original Posted By vasto.lorde►bab 5 part 2 mana nih, gan??
mumpung ane di depan leppy tersayang..
mumpung ane di depan leppy tersayang..
Quote:
BAB I
BERSAMBUNG
INDEX
Quote:
BAB II Versi jpg
BAB II Versi Text Part 1
BAB II Versi Text Part 2
BAB II Versi Text Part 3
BAB III Versi Text Part 1
BAB III Versi Text Part 2
BAB III Versi Text Part 3
BAB IV Versi Text Part 1
BAB IV Versi Text Part 2
BAB IV Versi Text Part 3
BAB V Versi Text Part 1
BAB V Versi Text Part 2
BAB V Versi Text Part 3
BAB VI Versi Text Part 1
BAB VI Versi Text Part 2
BAB VI Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 1
BAB VII Versi Text Part 2
BAB VII Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 4
WFull Version: Wattpad
BAB II Versi Text Part 1
BAB II Versi Text Part 2
BAB II Versi Text Part 3
BAB III Versi Text Part 1
BAB III Versi Text Part 2
BAB III Versi Text Part 3
BAB IV Versi Text Part 1
BAB IV Versi Text Part 2
BAB IV Versi Text Part 3
BAB V Versi Text Part 1
BAB V Versi Text Part 2
BAB V Versi Text Part 3
BAB VI Versi Text Part 1
BAB VI Versi Text Part 2
BAB VI Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 1
BAB VII Versi Text Part 2
BAB VII Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 4
WFull Version: Wattpad
Spoiler for Cerita Lain? Mampir Gan:
Quote:
LAIN
Sinopsis
Seorang wanita mendapati dirinya tidak sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Apa yang terjadi? Story Will SHOCK YOU!!!Click Here!!
Sinopsis
Seorang wanita mendapati dirinya tidak sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Apa yang terjadi? Story Will SHOCK YOU!!!Click Here!!
Quote:
TRAGEDI PEMBUNUHAN DI ZANGGARO
Sinopsis
Kali ini Inspektur Jo dan Assitennnya, Widka harus memecahkan pembunuhan sadis di Zanggaro, salah satu Negara bagian Afrika.Menurut saksi, ciri-ciri seorang pelaku pembunuhan persis seperti Sibiso Vilikazi dan Sibiso Khumalo. Keduanya saudara kembar. Namun ada 1 hal yang pasti diantara keduanya, yakni salah satu dari mereka adalah seorang pembohong patologis. Link? Click here!!
Kali ini Inspektur Jo dan Assitennnya, Widka harus memecahkan pembunuhan sadis di Zanggaro, salah satu Negara bagian Afrika.Menurut saksi, ciri-ciri seorang pelaku pembunuhan persis seperti Sibiso Vilikazi dan Sibiso Khumalo. Keduanya saudara kembar. Namun ada 1 hal yang pasti diantara keduanya, yakni salah satu dari mereka adalah seorang pembohong patologis. Link? Click here!!
Spoiler for Makasih Cendolnya:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 124 suara
Misteri apa yang agan harapkan terkuak dari cerita ini?
Alina memang gila - Drama, Psychological Thriller
7%Semua Cuma Bayangan Widka - Drama, Psychological Thriller, Horor
13%Konspirasi Kolonel - Action, Thriller
42%TS-nya Gila
38%Diubah oleh widka 25-02-2017 02:51
anasabila dan yuliaherliani99 memberi reputasi
0
108K
Kutip
781
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
widka
#146
BAB V Text Part 1
Quote:
Spoiler for BAB V Part 1 Text:
BAB V
--Part 1--
Text
--Part 1--
Text
Ketika Widka bersaksi tentang Alina yang menderita penyakit gangguan delusi, wajah Komandan Jo menampakkan ekspresi tidak percaya sekaligus takjub. Sejak awal memang bosnya itu menanggapi sinis tuduhan Kolonel terhadap Alina. Namun Widka sudah tidak bisa menyangkal lagi soal kebenaran yang tidak ia buat-buat.
“Gadis itu sakit,” gumam Widka lirih. “Baru kali ini aku mengalami hal yang begini. Ah!”
“Alina.. Alina..Alina” suara Jimmy pelan, sambil berfikir keras-keras. “Aku hampir lupa penampakannya itu.”
“Alina pernah datang ke sini kok,” Gulam menimpali. “Tepat di markas kita ini. Pernah ngumumin kalau dia dirudapaksa oleh ayahnya sendiri.”
"Oh, ya..ya. Cewek itu,” seru Jimmy manggut-manggut. “Yang putih itu, kan? Yang rambutnya agak coklat? Yang datang bersama keluarga Winata? Wah, kalau yang itu sih enggak salah lagi...”
“Nggak salah lagi...” Gulam mengulangi.
“Nggak salah lagi dia itu cantik.” Kata Jimmy manggut-manggut lagi, lantas tidak yakin. “Tapi masa sih dia itu kurang waras?”
Saat itu cuaca masih dirundung hujan. Serpihan air yang bertumbuk-tumbuk semakin lama semakin membenamkan jalan, tanah, dan apapun yang ada di atas dunia. Bagi Widka hujan lambat laun akan menenggelamkan ia dalam kesedihan yang berlarut-larut.
Saat itu pula Widka, Komandan Jo, Gulam, Jimmy, dan Roni sedang berada di markas. Mereka berkerumun seperti bocah gendut sedang berebut coklat ketika Widka menceritakan kejadian Alina celaka dengan cara melompat dari balkon. Berita itu segera menyebar dari para tetangganya yang melihat keributan di rumah Kolonel. Semua orang telah bersaksi soal musibah itu.
“Aku pikir dia cuma jarang bergaul lantaran sikap ayahnya yang keras. Kalau soal waras atau tidak itu baru dengar, “ Gulam menambahi.
Tidak beberapa lama kemudian Andru, Kepala Satuan Reskrim datang. Dengan jas hujan berwarna hijau dia berjalan menunduk. Wajahnya ia halangi dari butiran air yang terus menejang kepalanya secara vertikal. Sambil melepas jaketnya, pria itu mengumumkan sesuatu kepada Komandan:
“Alina meninggal di tempat, Komandan. Kolonel meminta mayatnya segera dikubur hari ini juga. Parahnya lagi rumah duka dijaga ketat oleh penjaga. Sepertinya semua polisi disalahkan atas semua ini.”
Mendengar itu Widka terbatuk-batuk. Ia merasa terkejut oleh sensasi letupan emosinya. Tanpa ia sadari, air matan tumpah membasahi pipinya. Widka menutup muka sambil menguasai diri.
“Tidak satupun bisa ke sana?” Komandan Jo mendesis.
“Sepertinya begitu, Ndan.”
“Tenang, Wid. Dia itu mati bunuh diri. Semua ini bukan salahmu,” kata Jimmy menenangkan hati sobatnya.
“Kita bicara di dalam,” kata Komandan sambil melihat Widka. “Ron, kamu kirim karangan bunga untuk Kolonel dan sisanya beli minuman yang enak-enak. Aku mau mendengar kampret ini bicara.”
“Siap Komandan,” kata penjaga pos itu tegap.
Komandan Jo membawa Widka ke ruangannya yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman sebagai tempat untuk Komandan bekerja siang dan malam. Sementara Widka merebahkan pantatnya duduk kursi kayu tanpa perintah empunya. Polisi muda itu telihat menunduk, ia menunjukan penyesalan dan kesedihan yang mendalam mendengar kabar buruk tentang Alina.
“Hampir semua orang tidak percaya dengan kematian Alina.”
“Siapa yang akan menduga Alina akan nekat berbuat begitu? Siapa yang tahu apa isi dalam kepalanya? Tidak satupun yang tahu,” Widka terengah-engah. “aku, Kolonel, bahkan anjing buduk itu tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tetapi itulah yang aku lihat: ia mati bunuh diri. Sialan! Kalau bukan gila, apa lagi yang ada dipikirannya?”
Anjing buduk itu mengais-mengais sampah di sebrang jalan. Ketika Pak Jitot lewat, dia mengusirnya.
“Aku membawamu kemari bukan untuk menyalahkanmu. Penasaran aja. Pengen tahu detail-detail penting,” kata Komandan yang bicara sambil bersandar pada tembok dan kaki menyilang. “Kenapa Kolonel melarangmu datang ke pemakamannya?” tambahnya.
Widka menunduk sambil memegang keningnya seperti orang yang menderita vertigo. Ia tahan air matanya sekuat tenaga. Komandan merasa iba dan mengetahui bahwa bawahannya itu benar-benar menderita.
“Ayolah,” kata Komandan menyemangati Widka.
“Mungkin dia menyalahkanku atas segala sesuatu yang menimpa Alina,” lirihnya.
“Kamu tahu Alina mati bunuh diri, tidak ada yang patut disalahkan kecuali si korban yang sekaligus menjadi pelaku.” Kata Komandan yang berusaha membongkar kasus Alina.
“Mungkin…” Widka terdengar tidak yakin. “Tetapi ini tidak sesederhana yang kau bayangkan Komandan.”
“Baik. Bisa kamu ceritakan satu-satu, sampai pada akhirnya Kolonel melarang kamu…” - ia meralat - “Bukan kamu saja.. kita semua dilarang datang ke rumah duka.”
Widka terlihat membenarkan posisi duduknya. “Dia ingin aku membunuh ayahnya sendiri. Dia ingin aku membunuh di depan matanya. Kalau aku tidak melakukannya dia akan bunuh diri.”
“Alina bicara seperti itu?”
“Ya,” Widka menegaskan. “Lalu aku janjikan kepadanya bahwa aku akan melakukan kalau memang itu yang Alina mau. Aku hanya berpura-pura ingin membunuhnya agar Alina aman. Agar dia berhenti bicara soal ancaman-anaman bunuh diri. Tetapi..” –Widka menarik nafas– “tiba-tiba dia mencopot bajunya dan telanjang bulat.”
“Telanjang bulat?” Komandan kaget hingga bola matanya membeliak.
“Ya. Dia telanjang bulat. Dia melakukan seperti itu di depan mataku, lalu memintaku untuk melakukannya sebagai tanda… tanda dia mempercayaiku untuk membunuh ayahnya.”
“Melakukannya?” Tanya Komandan sedemikian kaget.
“Ya. Melakukannya. Kamu tahu. Dia ingin aku memakai tubuhnya. Aku serahkan ini ke imajinasimu, Komandan.”
Mendadak Komandan meringis menampakan ekspresi jijik. Widka mendengar Komandan bergumam sesuatu, samar-samar dia mendengar: “Sial, kenapa jadi begini.”
“Aku benar-benar terkejut dengan sikap Alina yang nekat seperti itu. Lantas aku kalap mengata-ngatai dia. Bahwa dia gila. Dari situ dia tahu kalau aku tidak akan melakukan apa-apa untuk membunuh ayahnya. Kemudian berteriak dan menuduh aku telah merudapaksanya.”
“Kapan dia bilang seperti itu?”
“Persis sebelum dia bunuh diri.”
“Jadi, sebelum bunuh diri dia meminta dirinya dirudapaksa olehmu?” Komandan Jo mengulangi pertanyaan yang sama. Entah tidak percaya entah pura-pura bego, Widka tidak punya bayangan yang pasti.
“Ya,” Widka mengangguk “aku menduga, mungkin hal ini dia lakukan juga kepada Kolonel.”
Komandan menggeleng-gelengkan kepalanya. Widka menilai dari caranya dia merespon menunujkan wajah tidak percaya.
“Aku belum punya bayangan.”
“Ma.. Masalah ini sudah gamblang Komandan,” ia tergagap. “Bukan begitu?”
“Soal apa?”
“Soal Alina yang tidak waras. Ini sudah jelas komandan, bahwa dia itu seperti yang dituduhkan Kolonel.”
Suara petir menggelegar membelah langit dan menggetarkan bumi. Widka merasa jika satu lagi suara petir itu dengan kekuatannya yang sama maka akan memecahkan gendang telinganya. Untuk sejenak keduanya berhenti berkata-kata. Sekarang dia melihat Komandannya seperti separuh tidak percaya, terkaget-kaget, tersentak dengan apa yang barusan dia dengar. Entah karena suara petir barusan apa hal lain yang membuat Komandan bertingkah demikian.
“Sial,” lirihnya.
Tidak beberapa lama pintu ruangan diketuk. Dengan suaranya Komandan Jo mempersilahkan tamu itu masuk. Roni, si penjaga pos, dengan kaos setengah basah, rambut klimis, dan raut wajah yang cengar-cengir muncul sambil membawa plastik.
“Pesananmu, Bos,” ujarnya sambil pamer bawaannya.
Komandan Jo mengambil dengan gerak tidak sabar dan melongok melihat isinya. Suara plastik itu terdengar berisik.
“Kamu bahkan nggak tahu minuman yang aku maksud, Ron.” Sergah Komandan.
“Loh. Bukanya bos suka minuman kopi-kopi itu?” Tanya Roni.
“Ya, sudah. Tak apalah.” Komandan menjumput satu kaleng kopi Nescafe dari plastik itu dan menyerahkannya ke Widka. “Ambil.” Widka mengambil hal yang serupa. Kemudian menyerahkan ke Roni. Dia mendengar Komandan bicara: “Ron, bawa keluar gih, kasih yang lain.”
Ketika Roni beranjak pergi, Komandan teringat sesuatu: “Karangan bunga sudah kamu kirim, Ron?”
“Sudah bos.”
“Alamatnya jangan sampai lupa.”
“Sudah bos. Semuanya beres.” Seperti biasa Roni dengan gaya bicaranya yang terdengar angkuh, kemudian ia menghilang di balik pintu. Di ruangan itu kembali tersisa Komandan Jo dan Widka. Untuk sesaat mereka berdiam-diaman dalam pikirannya masing-masing. Komandan menenggak minuman kalengnya seteguk demi seteguk sambil memikirkan sesuatu. Widka mendapat kesan bahwa Komandan Jo tidak percaya dengan apa yang di ucapkannya. Akhirnya Widka memecah kesunyian.
“Komandan sepertinya tidak percaya dengan segala sesuatunya.”
“Tentang apa?”
“Penilaianku tentang Alina.”
“Bukan soal percaya atau tidak yang amat merundungku, Widka. Aku tahu kau. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Lalu?”
“Kau pasti tahu bahwa seorang saksi mata bisa saja keliru, sekalipun dia adalah orang yang paling jujur, baik dan cerdas.”
“Kenapa begitu?”
“Karena panca indera kita ini tidak didesain sebagai alat perekam, melainkan untuk memaknai kejadian.”
Widka semakin pusing dengan ucapan bossnya itu. Ia kebingungan hingga mulutnya bergumam sesuatu: “Lantas apa meragukan dari kesaksianku, Ndan? ”
“Tidak ada sebenarnya. Aku hanya ingin mengganggu pikiranmu saja. Apa kamu merasa ada yang aneh dengan kematian Alina?”
“Tidak ada, Komandan,” katanya menimbang-nimbang. “Tidak ada.”
Untuk sejenak mereka berdiam-diaman, sambil meminum kaleng kopi Nescafe. Pikiran Widka terganggu dengan raut wajah Komandan yang masih dalam keraguannya.
“Paling tidak katakan apa kamu pikirkan Komandan. Dan apa yang harus aku perbuat?”
“Yah.. Aku tidak tahu apa yang harus kamu perbuat,” Komandan mengangkat alis dan bahunya. “Tapi kalau kamu nanya apa yang aku pikirkan sekarang lebih membingungkan lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Karena aku sedang memikirkan sesuatu yang aneh.” Ia membisik, “lebih aneh dari pada cerita-cerita khayalan, bahkan khayalan yang berasal dari Alina-Alina itu.”
Widka menggernyit dahinya tidak paham.
“Gadis itu sakit,” gumam Widka lirih. “Baru kali ini aku mengalami hal yang begini. Ah!”
“Alina.. Alina..Alina” suara Jimmy pelan, sambil berfikir keras-keras. “Aku hampir lupa penampakannya itu.”
“Alina pernah datang ke sini kok,” Gulam menimpali. “Tepat di markas kita ini. Pernah ngumumin kalau dia dirudapaksa oleh ayahnya sendiri.”
"Oh, ya..ya. Cewek itu,” seru Jimmy manggut-manggut. “Yang putih itu, kan? Yang rambutnya agak coklat? Yang datang bersama keluarga Winata? Wah, kalau yang itu sih enggak salah lagi...”
“Nggak salah lagi...” Gulam mengulangi.
“Nggak salah lagi dia itu cantik.” Kata Jimmy manggut-manggut lagi, lantas tidak yakin. “Tapi masa sih dia itu kurang waras?”
Saat itu cuaca masih dirundung hujan. Serpihan air yang bertumbuk-tumbuk semakin lama semakin membenamkan jalan, tanah, dan apapun yang ada di atas dunia. Bagi Widka hujan lambat laun akan menenggelamkan ia dalam kesedihan yang berlarut-larut.
Saat itu pula Widka, Komandan Jo, Gulam, Jimmy, dan Roni sedang berada di markas. Mereka berkerumun seperti bocah gendut sedang berebut coklat ketika Widka menceritakan kejadian Alina celaka dengan cara melompat dari balkon. Berita itu segera menyebar dari para tetangganya yang melihat keributan di rumah Kolonel. Semua orang telah bersaksi soal musibah itu.
“Aku pikir dia cuma jarang bergaul lantaran sikap ayahnya yang keras. Kalau soal waras atau tidak itu baru dengar, “ Gulam menambahi.
Tidak beberapa lama kemudian Andru, Kepala Satuan Reskrim datang. Dengan jas hujan berwarna hijau dia berjalan menunduk. Wajahnya ia halangi dari butiran air yang terus menejang kepalanya secara vertikal. Sambil melepas jaketnya, pria itu mengumumkan sesuatu kepada Komandan:
“Alina meninggal di tempat, Komandan. Kolonel meminta mayatnya segera dikubur hari ini juga. Parahnya lagi rumah duka dijaga ketat oleh penjaga. Sepertinya semua polisi disalahkan atas semua ini.”
Mendengar itu Widka terbatuk-batuk. Ia merasa terkejut oleh sensasi letupan emosinya. Tanpa ia sadari, air matan tumpah membasahi pipinya. Widka menutup muka sambil menguasai diri.
“Tidak satupun bisa ke sana?” Komandan Jo mendesis.
“Sepertinya begitu, Ndan.”
“Tenang, Wid. Dia itu mati bunuh diri. Semua ini bukan salahmu,” kata Jimmy menenangkan hati sobatnya.
“Kita bicara di dalam,” kata Komandan sambil melihat Widka. “Ron, kamu kirim karangan bunga untuk Kolonel dan sisanya beli minuman yang enak-enak. Aku mau mendengar kampret ini bicara.”
“Siap Komandan,” kata penjaga pos itu tegap.
Komandan Jo membawa Widka ke ruangannya yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman sebagai tempat untuk Komandan bekerja siang dan malam. Sementara Widka merebahkan pantatnya duduk kursi kayu tanpa perintah empunya. Polisi muda itu telihat menunduk, ia menunjukan penyesalan dan kesedihan yang mendalam mendengar kabar buruk tentang Alina.
“Hampir semua orang tidak percaya dengan kematian Alina.”
“Siapa yang akan menduga Alina akan nekat berbuat begitu? Siapa yang tahu apa isi dalam kepalanya? Tidak satupun yang tahu,” Widka terengah-engah. “aku, Kolonel, bahkan anjing buduk itu tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Tetapi itulah yang aku lihat: ia mati bunuh diri. Sialan! Kalau bukan gila, apa lagi yang ada dipikirannya?”
Anjing buduk itu mengais-mengais sampah di sebrang jalan. Ketika Pak Jitot lewat, dia mengusirnya.
“Aku membawamu kemari bukan untuk menyalahkanmu. Penasaran aja. Pengen tahu detail-detail penting,” kata Komandan yang bicara sambil bersandar pada tembok dan kaki menyilang. “Kenapa Kolonel melarangmu datang ke pemakamannya?” tambahnya.
Widka menunduk sambil memegang keningnya seperti orang yang menderita vertigo. Ia tahan air matanya sekuat tenaga. Komandan merasa iba dan mengetahui bahwa bawahannya itu benar-benar menderita.
“Ayolah,” kata Komandan menyemangati Widka.
“Mungkin dia menyalahkanku atas segala sesuatu yang menimpa Alina,” lirihnya.
“Kamu tahu Alina mati bunuh diri, tidak ada yang patut disalahkan kecuali si korban yang sekaligus menjadi pelaku.” Kata Komandan yang berusaha membongkar kasus Alina.
“Mungkin…” Widka terdengar tidak yakin. “Tetapi ini tidak sesederhana yang kau bayangkan Komandan.”
“Baik. Bisa kamu ceritakan satu-satu, sampai pada akhirnya Kolonel melarang kamu…” - ia meralat - “Bukan kamu saja.. kita semua dilarang datang ke rumah duka.”
Widka terlihat membenarkan posisi duduknya. “Dia ingin aku membunuh ayahnya sendiri. Dia ingin aku membunuh di depan matanya. Kalau aku tidak melakukannya dia akan bunuh diri.”
“Alina bicara seperti itu?”
“Ya,” Widka menegaskan. “Lalu aku janjikan kepadanya bahwa aku akan melakukan kalau memang itu yang Alina mau. Aku hanya berpura-pura ingin membunuhnya agar Alina aman. Agar dia berhenti bicara soal ancaman-anaman bunuh diri. Tetapi..” –Widka menarik nafas– “tiba-tiba dia mencopot bajunya dan telanjang bulat.”
“Telanjang bulat?” Komandan kaget hingga bola matanya membeliak.
“Ya. Dia telanjang bulat. Dia melakukan seperti itu di depan mataku, lalu memintaku untuk melakukannya sebagai tanda… tanda dia mempercayaiku untuk membunuh ayahnya.”
“Melakukannya?” Tanya Komandan sedemikian kaget.
“Ya. Melakukannya. Kamu tahu. Dia ingin aku memakai tubuhnya. Aku serahkan ini ke imajinasimu, Komandan.”
Mendadak Komandan meringis menampakan ekspresi jijik. Widka mendengar Komandan bergumam sesuatu, samar-samar dia mendengar: “Sial, kenapa jadi begini.”
“Aku benar-benar terkejut dengan sikap Alina yang nekat seperti itu. Lantas aku kalap mengata-ngatai dia. Bahwa dia gila. Dari situ dia tahu kalau aku tidak akan melakukan apa-apa untuk membunuh ayahnya. Kemudian berteriak dan menuduh aku telah merudapaksanya.”
“Kapan dia bilang seperti itu?”
“Persis sebelum dia bunuh diri.”
“Jadi, sebelum bunuh diri dia meminta dirinya dirudapaksa olehmu?” Komandan Jo mengulangi pertanyaan yang sama. Entah tidak percaya entah pura-pura bego, Widka tidak punya bayangan yang pasti.
“Ya,” Widka mengangguk “aku menduga, mungkin hal ini dia lakukan juga kepada Kolonel.”
Komandan menggeleng-gelengkan kepalanya. Widka menilai dari caranya dia merespon menunujkan wajah tidak percaya.
“Aku belum punya bayangan.”
“Ma.. Masalah ini sudah gamblang Komandan,” ia tergagap. “Bukan begitu?”
“Soal apa?”
“Soal Alina yang tidak waras. Ini sudah jelas komandan, bahwa dia itu seperti yang dituduhkan Kolonel.”
Suara petir menggelegar membelah langit dan menggetarkan bumi. Widka merasa jika satu lagi suara petir itu dengan kekuatannya yang sama maka akan memecahkan gendang telinganya. Untuk sejenak keduanya berhenti berkata-kata. Sekarang dia melihat Komandannya seperti separuh tidak percaya, terkaget-kaget, tersentak dengan apa yang barusan dia dengar. Entah karena suara petir barusan apa hal lain yang membuat Komandan bertingkah demikian.
“Sial,” lirihnya.
Tidak beberapa lama pintu ruangan diketuk. Dengan suaranya Komandan Jo mempersilahkan tamu itu masuk. Roni, si penjaga pos, dengan kaos setengah basah, rambut klimis, dan raut wajah yang cengar-cengir muncul sambil membawa plastik.
“Pesananmu, Bos,” ujarnya sambil pamer bawaannya.
Komandan Jo mengambil dengan gerak tidak sabar dan melongok melihat isinya. Suara plastik itu terdengar berisik.
“Kamu bahkan nggak tahu minuman yang aku maksud, Ron.” Sergah Komandan.
“Loh. Bukanya bos suka minuman kopi-kopi itu?” Tanya Roni.
“Ya, sudah. Tak apalah.” Komandan menjumput satu kaleng kopi Nescafe dari plastik itu dan menyerahkannya ke Widka. “Ambil.” Widka mengambil hal yang serupa. Kemudian menyerahkan ke Roni. Dia mendengar Komandan bicara: “Ron, bawa keluar gih, kasih yang lain.”
Ketika Roni beranjak pergi, Komandan teringat sesuatu: “Karangan bunga sudah kamu kirim, Ron?”
“Sudah bos.”
“Alamatnya jangan sampai lupa.”
“Sudah bos. Semuanya beres.” Seperti biasa Roni dengan gaya bicaranya yang terdengar angkuh, kemudian ia menghilang di balik pintu. Di ruangan itu kembali tersisa Komandan Jo dan Widka. Untuk sesaat mereka berdiam-diaman dalam pikirannya masing-masing. Komandan menenggak minuman kalengnya seteguk demi seteguk sambil memikirkan sesuatu. Widka mendapat kesan bahwa Komandan Jo tidak percaya dengan apa yang di ucapkannya. Akhirnya Widka memecah kesunyian.
“Komandan sepertinya tidak percaya dengan segala sesuatunya.”
“Tentang apa?”
“Penilaianku tentang Alina.”
“Bukan soal percaya atau tidak yang amat merundungku, Widka. Aku tahu kau. Tapi bukan itu masalahnya.”
“Lalu?”
“Kau pasti tahu bahwa seorang saksi mata bisa saja keliru, sekalipun dia adalah orang yang paling jujur, baik dan cerdas.”
“Kenapa begitu?”
“Karena panca indera kita ini tidak didesain sebagai alat perekam, melainkan untuk memaknai kejadian.”
Widka semakin pusing dengan ucapan bossnya itu. Ia kebingungan hingga mulutnya bergumam sesuatu: “Lantas apa meragukan dari kesaksianku, Ndan? ”
“Tidak ada sebenarnya. Aku hanya ingin mengganggu pikiranmu saja. Apa kamu merasa ada yang aneh dengan kematian Alina?”
“Tidak ada, Komandan,” katanya menimbang-nimbang. “Tidak ada.”
Untuk sejenak mereka berdiam-diaman, sambil meminum kaleng kopi Nescafe. Pikiran Widka terganggu dengan raut wajah Komandan yang masih dalam keraguannya.
“Paling tidak katakan apa kamu pikirkan Komandan. Dan apa yang harus aku perbuat?”
“Yah.. Aku tidak tahu apa yang harus kamu perbuat,” Komandan mengangkat alis dan bahunya. “Tapi kalau kamu nanya apa yang aku pikirkan sekarang lebih membingungkan lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Karena aku sedang memikirkan sesuatu yang aneh.” Ia membisik, “lebih aneh dari pada cerita-cerita khayalan, bahkan khayalan yang berasal dari Alina-Alina itu.”
Widka menggernyit dahinya tidak paham.
>>>
BERSAMBUNG
KE BAB V PART 2
KE BAB V PART 2
Diubah oleh widka 07-09-2014 13:41
0
Kutip
Balas