- Beranda
- Stories from the Heart
(Kisah Nyata) Gadis Dua Jiwa
...
TS
pijar88
(Kisah Nyata) Gadis Dua Jiwa

Quote:
Spoiler for THANKS FOR COMMENT:
Quote:
Original Posted By esbuahsegar►Agan ini teh bukannya yang bikin cerita hantu itu yah?
Bener ga sih ya
Lanjut gannnn 
Bener ga sih ya
Lanjut gannnn 
Quote:
Original Posted By liciousines►Wah ada gan pijar88 Kisah nyata lagi
Lanjut kan gan
Lanjut kan gan Quote:
Original Posted By bendajkt►mejeng dulu di tritnya ts legendaris
***** Komeng: wew,tema horor kaya trit terdahulu
jadi ceritanya rani punya semacam khodam gtu n bisa liat yg ''begituan''
Lanjut om,ane pantengin n salam buat rani 
***** Komeng: wew,tema horor kaya trit terdahulu
jadi ceritanya rani punya semacam khodam gtu n bisa liat yg ''begituan''
Lanjut om,ane pantengin n salam buat rani 
Quote:
Original Posted By mymind222►kentang gan... nampak nya kalau di film kan lagi seperti sebelumnya okeh juga nih cerita nya...

Quote:
Original Posted By indie53►Ane yakin cerita ini bakal menyeramkan..soalnya yang nulis om pijar88. Rani....indigokah ?? Izin nenda gan...
Quote:
Quote:
Original Posted By lawprofrank►Bang pijar hadir kembali
nenda dulu, pasti seru nih 
nenda dulu, pasti seru nih 
===================================================
: Original Post By lawprofrank
© 2011 — 2014 lawazhura All rights reserved. Mr. Old Kaskus
: Original Post By lawprofrank
© 2011 — 2014 lawazhura All rights reserved. Mr. Old Kaskus Quote:
Original Posted By rouser►nah gini nih cerita yg anti mainstream bagi2 tips biar gak diganggu y sist

Quote:
Original Posted By nongqman►ane baru ngeh nih, kalo bang pijar bikin cerita lagi.. Apa kabar bang?
Bukmak dolo
skalian nenda ahhhh
Kayaknya horor lgi yah genrenya..
Bukmak dolo
skalian nenda ahhhh
Spoiler for ten.da:

Quote:
Quote:
Original Posted By davasuv►ts favorit ane bikin cerita baru... ijin nenda di disini ya om
Quote:
Original Posted By karepmuloss►bang pijar merilis cerita baru lagi pemirsah , ijin subscribe dulu boleh lah ya 

Quote:
Original Posted By 5632135►penulis horror based on true story favorit gue, agan pijar88 
semoga jadi novel lagi, dan ditanda tanganin lagi
ijin gelar tiker

semoga jadi novel lagi, dan ditanda tanganin lagi

ijin gelar tiker

Quote:
Original Posted By wahjoejhaw►wah ada yang baru nih dari agan pijar. ane ninggalin jejak dulu ya gan 

Quote:
Original Posted By Alvinmanz►Wah cerita agan pijar pasti seru nih,
Quote:
Original Posted By blackwo0d►izin bangun kemah di thread agan pijar88 

Quote:
Original Posted By koberr13►wah om pijar bikin cerita lagi
izin baca ya om
mudah-mudahan dijadiin buku lagi ya om
biar bisa dikoleksi gitu
izin baca ya om
mudah-mudahan dijadiin buku lagi ya om
biar bisa dikoleksi gitu
Quote:
Original Posted By MarmutKILLER►wah ini si agan yang bikin trit rumah hantu dulu 
awalnya kaya pernah liad id pijar88 stelah liad yg komen br sadar ini agan yg itu
itu yg dispoiler anjirrrrr ngagetin sumpah
ijin nenda dl deh bacanya lanjut siang2 aja dah dari pada tar mlm lg kencing ada suara "sreeeeekkkk"...hiiiiii

awalnya kaya pernah liad id pijar88 stelah liad yg komen br sadar ini agan yg itu
itu yg dispoiler anjirrrrr ngagetin sumpah
ijin nenda dl deh bacanya lanjut siang2 aja dah dari pada tar mlm lg kencing ada suara "sreeeeekkkk"...hiiiiii

Quote:
Original Posted By sabna.tamara►Ngak nyangka agan pijar bikin thread di SFTH tercinta ini... 
ane beli bukunya waktu itu, tp ane kasih aja, serem kalau nyimpen buku gituan...
takut baca terus, ketakutan terus...

ane beli bukunya waktu itu, tp ane kasih aja, serem kalau nyimpen buku gituan...

takut baca terus, ketakutan terus...

Quote:

Bagian 1
Rani namaku. Sebuah nama yang indah pemberian orang tuaku. Tapi orang-orang sekitar lebih mengenalku sebagai Rano. Nama laki-laki yang kadang membuatku jengkel. Tapi apa mau dikata, nama itu kini melekat padaku seolah Rano adalah namaku yang sebenarnya. Aku tak bisa berbuat banyak untuk mencegah orang-orang memanggilku demikian.
Mungkin karena tingkah dan tindak-tandukku yang tomboy, membuat nama itu semakin dilekatkan orang kepadaku. Siapa yang belum mengenalku pasti akan menyangka kalau aku ini seorang laki-laki.
Kata orang, wajahku ganteng. Tapi sebutan ganteng itu lebih cocok bila aku sedang tak sadarkan diri. Dengan kegantenganku, aku serasa bukan lagi perempuan meskipun sejujurnya aku adalah perempuan normal. Masalah uang, dengan mudah dapat kuperoleh. Banyak orang yang dengan sukarela memberikan berlembar-lembar uang merah kepadaku. Kenapa bisa begitu? Mereka berterimakasih karena merasa tertolong olehku meskipun pada awalnya aku tak tahu yang sebenarnya terjadi.
Seperti yang kuterima sore tadi, uang dalam jumlah yang cukup besar pemberian Pak Markus.
Stop! Jangan kau menuduhku seorang perayu. Tidak. Jangan salah sangka. Uang itu diberikan Pak Markus karena beliau merasa terbantu olehku. Aku sendiri tak tahu apa yang telah kukerjakan kepadanya. Hanya sebentar saja kami berbicara, kemudian aku merasa melayang dan tertidur lalu terbangun di belantara kelam yang sepi dan susah dijangkau oleh manusia.
"Ini dik, sekedar tanda terimakasih saya," ucap pak Markus ketika menyodorkan lembar-lembar uang itu tadi pagi.
Seperti biasa, aku tak kuasa menolak pemberian laki-laki setengah baya itu. Mungkin memang benar seperti ucapannya, bahwa dia merasa terbantu oleh keanehanku.
Keanehan?
Iya. Setidaknya itulah yang kurasakan. Keanehan yang kini semakin bertubi-tubi dan membuatku jadi bahan pembicaraan sebagian orang.
Dengan kondisiku sebagai pendatang di kota ini, memiliki orang yang begitu menyayangi adalah anugrah terindah bagiku. Termasuk mbak Andri yang dulu menyayangiku. Mbak Andrilah orang yang pertama kali kukenal sebelum langkahku sampai di kota ini. Tapi semenjak orang-orang menganggapku penting, sikap mbak Andri malah berubah. Ada saja yang membuatnya marah dan memancing keributan denganku. Puncaknya, kami berpisah setelah sekian lama tinggal serumah. Tiga tahun sudah kami tinggal bersama di kota Bogor. Dan kini, telah hampir sebulan aku mengontrak rumah bersama Mbak Wati.
Sore merangkak senja. Kulangkahkan kakiku keluar dari minimarket. Lega sudah, susu formula khusus untuk keponakanku sudah kubeli. Susu untuk bayi mbak Wati memang tak bisa dipilih sembarangan karena salah-salah dengan susu merk lain, keponakanku enggan meminumnya. Wati adalah teman baik yang kuanggap sebagai kakakku sendiri, dan kami memang telah sepakat untuk saling mengangkat saudara. Wati hadir pada saat yang tepat. Sosoknya seolah menggantikan Mbak Andri yang kini telah nyata-nyata memusuhiku.
Langkah kakiku terasa ringan menyusuri jalanan kota yang sepi. Wajah mbak Andri tiba-tiba melintas dalam benakku. Wajah yang minggu-minggu terakhir kemarin tampak begitu nyinyir dan tidak senang padaku.
"Kamu orang aneh, aku sudah tak nyaman lagi tinggal serumah denganmu."
Kata-kata itu terdengar sangat menyakitkan bagiku. Mbak Andri yang membawaku ke sini, mbak andri pulalah yang kini memusuhiku. Mbak Andri yang sekarang jauh berbeda dari mbak Andri yang kukenal beberapa tahun lalu;
Ketika itu aku baru saja istirahat setelah seharian ngamen bersama temanku, di sebuah kota kecil di Bandung. Aku sengaja berteduh di emperan toko. Temanku ada urusan lain hingga ditinggalkannya aku sendiri di depan toko yang sedang sepi pengunjung itu. Tak jauh dariku, beberapa orang pejalan kaki tampak sedang berteduh juga.
"Suaramu bagus dik," kata seseorang di belakangku. Perempuan dengan mantel hujan. Aku tak begitu memperhatikannya, kulempar senyum sekilas kepadanya. Memang sering, orang mengatakan kalau suaraku bagus hingga aku tak begitu peduli akan pujian yang seperti itu.
Orang itu mendekatkan dirinya kepadaku. Dia lalu membuka kerudung mantel hujannya. Tampaklah rambutnya yang hitam dengan potongan pendek. Wajahnya tampak putih. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Kukira usianya jauh di atasku.
"Hujan tak henti-henti," gumamku.
Perempuan itu menatapku seperti menyelidik, kemudian berkata, "Wajahmu cantik dan kulitmu bersih. Kenapa kamu ngamen dik?"
Aku menjawab sekenanya.
Seperti ada kecocokan diantara kami hingga tak terasa kamipun terlibat obrolan yang cukup panjang.
Perempuan itu mengenalkan dirinya, dia baru saja melakukan Wawancara untuk pekerjaan baru. Pembicaraan kami selesai ketika hujan berhenti mengguyur kota CIrebon.
Langit kembali cerah dan kamipun berpisah.
Dua hari setelah pertemuan itu, kami kembali bertemu. Mbak Andri mengajakku makan di sebuah warung padang. Aku bisa merasakan baiknya sifat mbak Andri dari cara bicaranya yang lembut tetapi tegas.
Hari-hari selanjutnya kami jadi sering bertemu, hingga aku merasa dekat dengannya. Banyak yang kami obrolkan dalam setiap pertemuan.
"Kalau mau, ikut saja denganku ke kota Bogor. Nanti kamu bisa cari kerja di sana," kata mbak Andri menawariku, saat itu kami sedang makan bersama.
"Aku hanya lulusan SMA mbak, lagi pula aku tak punya keahlian lain."
"Tak mengapa. Kemampuan orang tak harus diukur dari sekolahnya,"
Entah mengapa aku tak ragu menyambut niat baik mbak Andri. Apalagi dia berjanji mencarikanku pekerjaan yang lebih cocok untukku asal mau tinggal bersamanya di daerah Bogor.
Aku senang sekali, bersyukur telah dipertemukan dengan orang baik seperti mbak Andri. Hingga tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Dua bulan sudah kami tinggal serumah di Kota hujan.
Mbak Andri seorang penyiar radio. Aku begitu kagum padanya. Seringkali aku diajak ke tempat siarannya. Aku jadi suka mengamati dia kalau lagi siaran, kemudian saat di rumah aku iseng menirukan cara dia membawakan acara.
Aku pun mulai tertarik dengan dunia kepenyiaran, apalagi kemudian mbak Andri mendukungku. hingga suatu hari aku diterima kerja di perusahaan tempat mbak Andri bekerja, sebagai penyiar seperti dia. Kulihat mbak Andri begitu senang dengan kemajuanku. Akupun merasa sangat beruntung, menjadi penyiar radio yang bebas mengembara dengan suaraku meskipun gaji pertamaku tak seberapa.
Suaraku yang khas dan kata orang terdengar empuk dan merdu, membuat aku cepat dikenal dan memiliki orang-orang yang setia mengagumiku. Banyak yang fanatik dan menungguiku ketika sedang siaran.
Dari sinilah benih perselisihan itu. Aku mulai dihujani dengan beban pekerjaan rumah tangga yang seolah tak ada hentinya, seperti memasak dan mencuci. Jika biasanya kami bahu-membahu melakukan perkerjaan rumah, praktis kini semua perkerjaan rumah itu menjadi tugasku saja. Tapi aku tetap mensyukurinya, sudah lebih baik aku tinggal bersama mbak Andri meskipun semakin lama kurasakan sikap mbak Andri semakin tak bersahabat.
Enam bulan sudah aku bekerja sebagai seorang penyiar radio. Suatu hari Sebuah peristiwa aneh membawaku jadi orang yang sering dicari. Kini bukan sekedar karena suara merduku, tapi oleh sebab lain yang aku sendiri tak tahu sebelumnya. Hal itu berawal saat aku selesai siaran sore, dan giliran mbak Andri yang siaran malam. Mas Irfan, salah satu karyawan di perusahaan tempat kami bekerja mengajakku pergi untuk menengok keponakannya yang sedang sakit tifus.
"Panasnya tinggi, sudah hampir seminggu kondisinya tidak stabil." Kata mas Irfan ketika kutanya tentang sakit keponakannya.
Tak sampai satu jam kami sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar. Kedatangan kami disambut oleh keluarga Mas Irfan yang tampak cemas di ruangan bercat putih.
"Syukurlah kamu segera datang dik, keponakanmu sering mengigau, hampir seminggu panasnya tidak stabil." Ucap laki-laki yang hampir sebaya dengan mas Irfan. Dari pembicaraan mereka kuketahui laki-laki itu bernama Bayu, kakak kandung mas Irfan.
Mas Irfan mendengarkan kata-kata kakaknya. Wajahnya juga terlihat cemas.
"Setengah jam lalu dokter telah memberinya injeksi, tapi sekarang panas anakku tinggi lagi. Aku takut Raya Step."
"Tenang mas, berdoa saja mudah-mudahan obat dari dokter dapat membantu Raya." sahut mas Irfan.
Kami duduk di dekat pembaringan Raya, sementara istri mas Bayu sibuk mengompres kepala Raya yang seolah membara.
Entah mengapa udara dingin di ruangan itu begitu melenakan diriku hingga aku terkantuk-kantuk di tempat dudukku. Aku merasakan tubuhku begitu segar ketika seseorang berdiri di depanku dengan segelas air putih di tangannya. Perempuan itu istri mas Bayu.
"Ini airnya dik," kata-katanya meluncur begitu saja seraya menatapku.
Aku memperhatikan mimik mukanya, tak mengerti. Perempuan itu tampak panik. Aku mengira dia memberikan segelas air itu untukku.
Aku tak tahu maksud kata-kata istri mas Bayu, tapi seperti terdorong oleh gerakan refleks, kuterima saja gelas itu dan kemudian seolah ada yang menuntunku untuk menghampiri si sakit.
Sekejap aku merasa begitu dekat dengan si sakit. Gelas di tanganku tampak bergolak hingga tanganku gemetar memegangnya. Kembali aku diserang rasa kantuk yang tiba-tiba. Seperti mimpi, kupercikkan sebagian air putih itu ke kapala Raya yang terbaring lemah. beberapa saat pandangan mataku mengabur, Sekejap kemudian aku kembali tersadar.
Kudapati diriku terduduk di kursi panjang, sementara kulihat Mas Irfan dan kedua saudaranya tampak mengangguk-anggukan kepala. Mereka sedang ngobrol dengan Raya. Gadis kecil yang tadi seolah membara sekujur tubuhnya itu kini duduk di tempat tidurnya.
"Terimakasih dik Rani, aku tak menyangka kamu bisa mengobati anakku..."
Kata-kata itu meluncur dari mulut mas Bayu, sementara mas Irfan menatapku dengan terkesima. Lagi-lagi aku tak mengerti akan apa yang sesungguhnya terjadi.
Di sepanjang perjalanan pulang, mas Irfan tak henti-hentinya memujiku, sedangkan aku hanya mengangguk saja. Mengangguk yang sesungguhnya hanya keterpaksaan, bukan kemauanku. Seolah ada sesuatu dari dalam tubuhku yang membuatku mengikuti gerakan tangan dan seluruh persendian tubuhku.
Akhirnya kuiyakan saja persangkaan mereka bahwa akulah yang mengobati keponakan mas Irfan. Tapi sejujurnya, aku tak tahu apa-apa. Aku tak tahu apa yang telah terjadi denganku. Peristiwa itu terjadi begitu saja. Terlebih ketika esok paginya Raya berkeras melepas infus dan meminta pulang.
Dokter yang kemudian memeriksa Rayapun mengijinkan Raya pulang pada sore harinya, karena berdasarkan pemeriksaan terbaru, Raya dinyatakan sembuh. Hemoglobinnya sudah normal dan suhu tubuhnya juga sudah stabil. Raya sama sekali tak menampakan tanda-tanda orang yang habis sakit.
Semenjak itulah cerita tentangku mulai menyebar dari mulut ke mulut, dan sedikit demi sedikit aku belajar memahami apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Dan semenjak itu pulalah sikap mbak Andri semakin berbeda, semakin menampakkan rasa tak senangnya kepadaku.
Hari sudah senja ketika langkah kakiku terasa berat melewati kelokan jalan yang selalu membuat perutku mual. Mual karena bau anyir yang selalu membayang dalam hidungku. Anyir seperti bau mayat.
Kelokan itu memang bercabang, salah satunya mengarah ke pemakaman besar di kota ini. Tapi entah kenapa bau-bauan aneh itu selalu saja menyerangku beberapa hari ini, membuatku merasa dibuntuti oleh sesuatu. Sepanjang yang kutahu, di mana-mana komplek pemakaman memang terasa seram, tapi tak seperti ini seharusnya. Memang, ada orang yang meninggal dan belum 40 hari, bahkan belum seminggu. Tepatnya baru lima hari lalu. Tapi apakah jenasahnya dikuburkan tak terlalu dalam hingga bau mayat tercium sampai sejauh ini?
Aku menahan nafas agar bau-bauan itu tak lagi mengganggu.
Suara azan magrib terdengar meliuk-liuk dari masjid besar, kupercepat langkah kakiku agar segera sampai ke rumah kontrakan baruku. Sebuah rumah petak sederhana yang kutempati bersama mbak Wati kakak angkatku.
Rintik gerimis meninggalkan hawa dingin yang basah di jalanan. Aku harus buru-buru untuk segera ketemu dengan Wati, kakak angkatku. Aku ingin segera memberikan sekotak susu formula untuk bayinya. Kasihan, susunya tinggal tiga kali minum saja saat pagi tadi aku berangkat kerja.
Langkah kakiku telah sampai di jalanan ujung areal pemakaman. Beberapa saat kemudian tampak bangunan-bangunan kecil rumah petak, bangunan berderet-deret yang sengaja dikontrakkan oleh yang empunya rumah. Kulihat salah satu rumah petak itu tampak mengerikan dengan sebuah garis kuning polisi yang melilitnya di sekelilingnya. Rumah itu seolah melambaikan tangan dan menyeringai kepadaku.
Kembali kupercepat langkahku. Aku menarik nafas lega. Setidaknya telah kulewati satu tempat yang membuatku selalu menggidikkan bulu tengkuk.
"Ranii...," "Rani..." Suara laki-laki terdengar serak dan berat.
Aku menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa. Tapi di kejauhan tampak tiga orang yang berjalan menuju ke sebuah gang. Sementara beberapa mobil menderum di jalanan besar. Suara itu... Suara itu begitu jelas memanggil namaku. Mustahil jika itu suara orang yang berada jauh di belakangku sedangkan desisnya menghantam telinga seolah beberapa meter saja dari langkah kakiku.
Tak kupedulikan suara itu, toh begitu aku menoleh suara itu tak lagi terdengar. Aku berhenti sejenak karena sebuah mobil lewat menyalip langkahku.
Gerimis berhenti tapi di langit tampak awan yang bergumpal-gumpal. Bau tanah basah menyergap hidungku berbaur dengan bau kamboja yang terbawa angin.
Kulanjutkan kembali langkah kakiku. Tak sabar rasanya ingin secepatnya sampai ke kontrakan tapi langkah kakiku terasa berat.
"Ranniii..."
Kembali suara itu menggema di telingaku. Kutinggalkan saja sambil kubaca doa-doa pendek untuk mengusir rasa takutku. Aku harus segera sampai ke rumah, sholat dan mendoakan seseorang. Selain itu, kakak angkatku pasti sedang cemas menunggu.
***
Spoiler for Tks untuk yg sdh kontribusi pada thread horor pertama ane hingga jadi #4TTDRH:


Diubah oleh pijar88 11-11-2014 00:31
kelomangdarat dan 5 lainnya memberi reputasi
4
101.5K
Kutip
307
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pijar88
#97
Quote:
Gadis Dua Jiwa
Bagian 4
Pagi yang berkabut. Kubersihkan tubuhku dalam balutan dingin yang menusuk. Aku keluar dari rumah kontrakan dengan perasaan tak menentu karena kegagalan usahaku. Naik angkot, aku ke pegadaian mengambil sepeda motorku. Sudah sebulan aku tak menjalani tugas sambilanku. Dengan sepeda motor ini aku biasa antar jemput beberapa orang dengan imbalan tiap bulannya.
Sepeda motor itu lama teronggok di pegadaian hanya demi satu keluarga yang telah kupinjami uang. Delapan juta rupiah telah melayang sia-sia. Dana pinjaman yang kujadikan modal untuk buka warung, habis begitu saja dalam beberapa bulan. Uang itu telah raib entah bagaimana, sedangkan barang-barang di warung tinggal beberapa macam saja. Tak apalah, toh ini pengalaman pertamaku berbisnis. Aku sendiri yang salah, mempercayakan pengelolaan warung kepada orang yang belum tentu dapat dipercaya. Akh sudahlah, semua sudah terjadi. Aku ikhlas. yang penting sepeda motorku telah kembali dengan utuh.
Kulajukan sepeda motorku pelan menyusuri jalanan kota Pajajaran Bogor. Sesampainya di rumah, kulihat Wati sedang berbincang dengan seorang perempuan paruh baya. Di sebelah orang itu, tampak anak kecil gemuk yang sibuk mengunyah makanan.
Wati menatapku sekilas ketika kustandarkan sepeda motor di teras kontrakan.
"Oh, sudah diambil motormu Ran?"
Aku mengangguk. Wati telah berdiri di depan pintu.
"Siapa mereka Wat?" tanyaku.
"Mereka mencarimu Ran, ada sesuatu yang ingin mereka sampaikan,"
Kulihat mereka duduk menunggu. Dua tamu itu tampak menganggukkan kepala ke arahku sembari tersenyum.
"Mencariku? Ada apa?"
"Nanti kamu juga tahu, buruan masuk."
Dua orang itu ibu dan anak laki-lakinya. Sang ibu memohon kepadaku untuk menolong anak perempuannya, gadis belasan tahun yang masih duduk di bangku SMA. Gadis itu sedang dalam masalah.
Kami pun terlibat dalam obrolan panjang. Si Ibu, bernama Marta. Sikapnya sangat hormat dan sopan kepadaku. Tampak kecemasan yang sangat dari sorot matanya.
"Sekarang Nila sudah mulai sehat dan segar kembali, untung saja aborsi yang dilakukannya tak berakibat fatal nak,"
Aku diam memperhatikan Bu Marta berbicara.
"Tolong nasihati dia nak, dia masih tetap berhubungan dengan laki-laki yang telah menghamilinya itu."
"Bukannya ibu bisa menasihati sendiri? Nggak mungkinlah saya bisa menasihati anak ibu kalau ibu sendiri tidak bisa," ucapku pelan.
"Justru Bu Marta ini hampir putus asa menasihati anak gadisnya Ran, cobalah nanti kamu ke sana..." Wati menimpali.
"Iya nak, kami curiga dan takut kalau anak saya terkena guna-guna." tukas Bu Marta.
"Kok ibu bisa bilang begitu?"
"Usia laki-laki itu sudah tua, lebih cocok jadi ayahnya. Bagaimana mungkin Wati bisa pacaran sama orang tua bandot kayak begitu kalau bukan karena guna-guna?"
Aku memahami apa yang dikhawatirkan oleh Bu Marta. Akhirnya kujanjikan untuk ke rumahnya dalam minggu ini. Untuk datang nanti malam atau besok pagi rasanya tidak mungkin, masih banyak hal-hal yang perlu kuselesaikan.
Ibu dan anak itupun pulang. Wajah Bu Marta tampak lebih ceria dibanding saat pertama kulihat tadi. Sepeninggal Bu Marta dan anaknya, aku beranjak ke dapur untuk tidur karena kantuk yang tak dapat lagi kutahan.
Baru sekejap merebahkan diri, pintu kamarku diketuk-ketuk.
"Ran, Rani.." Suara Wati dari balik pintu kamarku.
"Ada apalagi?" jawabku agak dongkol.
"Ini, ada yang datang mengantar bingkisan, dari Pak Markus..."
"Ya udah kamu terima saja. Bilang aku tidur karena ngantuk berat!"
Tak kuhiraukan lagi Wati ngomong apa karena perlahan kesadaranku menipis dan langit-langit di kamarku perlahan samar dan semakin samar.
Aku tak ingat apa-apa lagi.
Zzzzzsss
***
Aku terbangun ketika jam beker di kamarku berdering kencang. Sudah pukul 4 sore. Aku harus ke rumah orang tua Mas Ratno di kompleks Bogor Indah. Kulihat Wati sedang menyuapi anaknya di ruang tamu.
"Aku pergi sebentar Wat, ke Pajajaran..."
Wati tampak kaget. Wajahnya begitu gelisah, "Aku ikut!"
"Nggak usah, lagi pula ini urusan nggak wajar."
Wati tetap ngotot untuk ikut hingga aku tak kuasa menolak. Kami pun pergi bertiga.
Tak sampai setengah jam kami sudah sampai di kompleks Bogor Indah. Kukeluarkan kertas alamat dari kantong celanaku. Jalan Nanggor III No. 10. Dari tadi kami tak menemukan nama jalan itu. Setelah bertanya ke salah satu Satpam yang kebetulan sedang berjaga, sampailah kami di alamat tersebut.
Rumah itu tampak sepi. Kami mengetuk pintu pagar yang tertutup rapat.
Dua orang paruh baya keluar dari dalam rumah besar itu.
"Apakah benar ini rumah orang tua mas Ratno?" tanyaku.
Laki-laki setengah baya itu menatapku kemudian tampak menghela napas. Wajahnya begitu gelisah. Sementara si Ibu memperhatikan kami dengan seksama.
"Benar, saya Iwan orang tua Ratno. Dan ini istri saya, ada perlu apa dik?"
"Saya Rani Pak, penyiar Radio Gerhana Putra "
Sepasang suami istri itu saling pandang kemudian mempersilahkan kami masuk.
Aku menceritakan bahwa beberapa hari ini kami sering didatangi arwah Mas Ratno, anak mereka yang meninggal bunuh diri. Pak Iwan, orang tua mendiang Mas Ratno itu, tampak mendengarkan kata-kataku dengan seksama. Beberapa kali kepalanya tampak menggeleng.
"Orang yang sudah meninggal ya meninggal saja dik, mana mungkin arwahnya datang menemuimu," kata Pak Iwan.
"Jangan mengada-ada, anak kami sudah tenang di alam baka..." Istri Pak Iwan tampak terisak.
"Hampir setiap malam kami didatangi Pocong Pak, Bu, Pocong itu minta disempurnakan kematiannya." kataku berusaha meyakinkan mereka.
"Saya juga melihat sendiri tadi malam, pocong itu berdiri di pinggir jendela kamarku.." Sergah Wati, suaranya gemetar menahan perasaannya.
"Sudahlah, sudah dik. Kamu jangan ngelantur. Apapun yang kamu lihat, itu bukan anakku. Bisa saja itu setan yang sengaja menyamar untuk menakut-nakuti kalian" Laki-laki setengah baya itu tampak emosi.
Lagi, kusampaikan bahwa pocong yang kulihat tersebut minta dilepaskan plastik yang membungkus jasadnya.
Jawaban Pak Iwan sama sekali tak bersahabat;
"Plastik-plastik apa, biarpun misalnya benar ada plastiknya, sesuatu benda itu tak berpengaruh pada orang yang sudah mati."
Karena situasinya tak bersahabat, kamipun buru-buru pamitan.
***
Menjelang magrib kami sampai kembali di rumah kontrakan. Jalanan tampak ramai oleh para pekerja yang pulang dari kantor. Seekor kucing hitam meloncat menghindari sepeda motorku ketika melewati gang kecil, belasan meter sebelum sampai rumah kontrakan.
Rumah kontrakan kami tampak gelap karena lampu belum dinyalakan.
Tercium bau amis ketika kami memasuki rumah.
Setelah membaringkan anaknya, Wati menghempaskan tubuhnya di kursi.
"Sombong sekali orang itu tadi" kata Wati, bersungut-sungut.
"Sudahlah, yang penting aku sudah tenang, sudah kusampaikan apa yang harus aku sampaikan."
Wati berdiri dan membuka lemari. Dikeluarkannya sekotak besar kue-kue. Ada roti dan jajanan-jajanan dalam kemasan. Ditaruhnya barang-barang itu di atas meja.
Aku melihat tingkahnya, geli. Wati tampak seperti anak kecil yang memamerkan mainan barunya.
Wati melangkah ke dapur dan kembali lagi dengan sepiring martabak.
"Banyak sekali Pak Markus membawakan makanan-makanan ini Ran," ucap Ranti
"Ya udah, ayo kita makan," Kuambil sepotong Martabak, dan mencicipi makanan manis itu. Tapi baru dua suap kumakan martabak itu, perutku sudah terasa penuh dan kenyang. Sangat kenyang seolah aku baru saja makan begitu banyak.
"Kenapa tidak kamu lanjutkan makannya Ran?" tanya Wati keheranan.
"Akh, tidak. Aku sudah kenyang."
"Kenyang bagaimana, sejak tadi siang kamu kan belum makan apa-apa?"
Aku diam tak mau membahas hal itu. Jujur saja, perutku memang benar-benar merasa kenyang. Aku beranjak ke dalam kamar.
Dari dalam tas besar di atas meja, kuambil sekantung bunga sedap malam. Satu persatu kelopak bunga itu masuk ke dalam mulutku. Kukunyah dalam rasa nikmat yang teramat sangat. Entah kenapa, telah hampir dua minggu ini aku selalu ingin menikmati bunga sedap malam, melebihi apapun makanan enak yang pernah ada.
Kami sholat magrib dan Wati mengaji sementara sikecil tampak asyik dengan mainannya.
***
Aku berangkat ke Studio untuk siaran. Kurang 5 menit dari pergantian jam, sepeda motorku sudah sampai di pelataran studio. Kantor sudah tampak sepi. Seperti biasa, Mbak Andri tak berkata sepatahpun ketika bertemu denganku. Aku tak mempedulikannya. Toh pemilik radio ini yang menginginkanku untuk bertahan, meskipun aku pernah menyatakan untuk mundur setelah hubunganku dengan mbak Andri tak harmonis lagi.
"Selamat malam, bertemu kembali dengan Rani di 96 FM, Radio Gerhana Putra, ..."
Suaraku riang mengawali siaran malamku. Kuputar lagu Adele sebagai pembuka. Nada sendu yang mengalun indah itu membawaku ke dalam suasana yang syahdu dan manis. Mas Irfan terus memperhatikanku sembari mengatur tombol-tombol sound.
Jam 9 malam aku keluar dari ruang siar karena Mas Irfan memberitahuku bahwa ada seseorang yang datang dan sudah menungguku lama. Sementara beberapa lagu mengalun tanpa penyiar, aku sempatkan menemuinya.
Ternyata Bu Marta. Perempuan itu datang bersama Bu Anwar, orang yang pernah memintaku mengobati keponakannya yang sakit.
"Tolong saya Dik Rani, anakku makin brutal saja. Kalau bisa malam ini..."
"Aduh, gimana ya Bu, sepertinya aku tidak bisa." jawabku serba salah.
"Iya Dik, ini sudah gawat." Bu Anwar angkat bicara.
"Dik Rani, Shinta mengancam akan bunuh diri jika tidak diperbolehkan ketemu dengan pacarnya yang tua itu."
Kudengarkan kata-kata Bu Marta dan Bu Anwar yang saling sahut. Akhirnya kuiyakan juga. Aku berjanji untuk ke rumah Bu Marta besok pagi.
"Apa tak sebaiknya malam ini saja Dik, soalnya kami takut Shinta akan nekad," kata Bu Anwar.
Akhirnya kuiyakan saja. Aku berjanji untuk ikut mereka seusai siaran.
Tepat jam 12 Malam jam siarku selesai. Kutinggalkan sepeda motorku dan ikut bersama Bu Marta dengan mobilnya.
***
Di rumah Bu Marta, Shinta tampak sangat tertekan. Gadis cantik kelas 2 SMA itu mengurung diri dalam kamarnya. Bu Marta mengantarku ke kamar Shinta. Berkali-kali kamar itu diketuk tak ada jawaban. Kamar itu dikunci dari dalam.
Bu Marta membuka kamar Shinta dengan kunci duplikat. Dengan berjingkat, akupun membuka kamar itu. Sangat redup. Hanya lampu duduk warna hijau yang menyala, membuat suasana di dalam kamar itu terasa mengerikan. Kulihat seseorang sedang duduk di bangku belajar.
"Assalamualaikum," ucapku memberi salam.
Tak ada sahutan, kuulangi salamku, "Assalamualaikum,"
"Udah masuk aja... " Suara gadis itu, parau.
Aku pun melangkahkan kaki memasuki ruang kamar itu. Kamar itu terlalu besar untuk ukuran kamar anak sekolah. Kulihat Shinta tak acuh melihat kedatanganku. Gadis itu terpekur menatap sesuatu di atas meja, seolah sedang membaca sebuah buku.
Aku bergidik ngeri ketika kulihat di belakang punggung Shinta tampak samar sebuah bayangan. Bayangan itu begitu tipis, berdiri mengawasi setiap gerak-gerik gadis itu. Kualihkan tatapan mataku dan memusatkan perhatianku. Kubayangkan sedang menatap kening Shinta yang membelakangiku. Gadis itu kini mendongakkan kepalanya.
"Kenalkan, namaku Rani. Aku ke sini atas kemauan ibumu."
Kuperkenalkan diriku, tapi tak kuingat lagi sampai sejauh mana kata-kata yang keluar dari mulutku ketika kemudian kurasakan bayangan setiap benda di hadapanku seolah samar dan semakin samar. Kemudian seperti waktu-waktu yang lalu, aku terlempar ke dalam dunia entah berantah yang terasa asing. Kali ini aku terdampar di sebuah daerah menghijau dengan bukit-bukit yang indah. Jika kau pernah melihat tayangan Teletubbis di telvisi, seperti itulah kira-kira. Aku membaringkan tubuhku di atas rerumputan halus yang sangat luas itu, kupejamkan kedua mataku dan aku tertidur. Tidur yang lena.
Kubuka kedua mataku, masih berada di bukit hijau yang indah. Tapi beberapa saat kesadaranku pulih, tiba-tiba saja hembusan angin keras menabrak kedua kakiku dan membuatku terlempar jauh hingga tak kusadari lagi keberadaanku.
Aku telah kembali berada di dalam kamar mewah Shinta.
"Saya menyesal telah salah arah kak, saya merasa malu sekarang." Suara Shinta, lirih.
Shinta terus mengucapkan kata-kata penyesalan dengan lancar dan tanpa malu, seolah telah lama berbicara denganku.
Aku tersenyum ke arah gadis itu, kurasakan aura Shinta telah berubah. Kuedarkan pandangan mataku ke sekeliling ruangan, tak kutemukan lagi sosok samar yang tadi kulihat saat pertama memasuki kamar ini.
"Kamu mau berjanji?" Tanyaku.
"Janji apa?" jawab Shinta, lembut.
"Kamu mau berjanji untuk tak lagi menjalin hubungan dengan pacarmu yang telah menjerumuskanmu itu? Dan apakah kamu mau berjanji untuk tak lagi keluyuran malam ke diskotik, apalagi meminum-minuman keras?"
Gadis itu mengangguk. Bahkan Shinta meminta Pin BBMku. Shinta beralasan agar aku dapat mengecek keadaannya kapanpun aku mau.
Karena merasa telah sesuai dengan harapan, Aku pun memohon diri. Bu Marta terlihat begitu senang dan bahagia mendapati anak gadisnya telah berubah dalam waktu yang begitu cepat. Shinta sudah berjanji untuk kembali sekolah dan tak akan berpacaran lagi dengan bekas pacarnya, laki-laki dewasa yang sudah memiliki istri dan bahkan anak yang seusia dengan dirinya.
"Jadi benar dugaanku nak Rani?" tanya Bu Anwar.
"Iya, Bu, selama ini Shinta memang terkena guna-guna."
Bu Marta memaksaku untuk bermalam di rumahnya tetapi aku berkeras untuk pulang karena masih ada sesuatu hal yang harus kuselesaikan.
Akhirnya, dengan diantar oleh sopir Bu Marta, akupun pulang ke rumah kontrakanku. Mobil itu hanya mengantarku sampai di pertigaan, yang bercabang dan mengarah ke kuburan kampung. Aku memang sengaja meminta turun di pertigaan ini demi ketenangan Mas Ratno.
Malam sudah semakin jauh. Kulihat jam tanganku telah menunjukkan pukul 2 dinihari.
Kulangkahkan kakiku mengarah ke kuburan kampung di mana jasad Mas Ratno dimakamkan. Sebuah bayangan putih berambut panjang tampak bergelayut di atas pohon kamboja. Wajahnya tampak pucat dengan kelopak mata yang menghitam hingga tak kulihat bola matanya di sana. Sosok itu sekilas menatapku tetapi kemudian menghilang begitu saja, meninggalkan ringkik tawa yang memaksa bulu kudukku berdiri.
Kulalui jalan setapak hingga sampai di tengah-tengah kuburan. Kurasakan kelebat-kelebat bayangan yang menjauh pada setiap langkah kakiku, tetapi aku tak sempat melihatnya. Lurus pada sebuah gundukan makam yang masih baru, kuhentikan langkahku. Aku berusaha mengingat-ingat. Benar, itulah kuburan mas Ratno.
Gerimis tiba-tiba menitik membuat suasana yang temaram semakin bertambah gelap. Tak kuhiraukan tetes-tetes air itu membasahi kaos hitam yang kupakai. Gemetar, kulangkahkan kakiku pelan.
Gundukan makam itu masih terhalang oleh tiga gundukan makam lainnya hingga aku terpaksa berjingkat melewati beberapa gundukan makam lainnya. Kilat membelah langit, sekian detik memercikkan sinar terang hingga terbaca sebuah tulisan di batu nisan yang tampak kokoh, SURATNO. Meninggal tahun 2013.
Kutundukkan kepalaku dan membacakan Alfatihah. Lalu kubaca doa-doa lainnya demi ketenangan arwah Mas Ratno. Sepanjang kubacakan doa-doa itu, kurasakan tanah tempatku berdiri seolah bergetar dan hingga kemudian kusudahi doa-doaku.
"Semoga arwahmu tenang di sana, mas Ratno,"
Aku meninggalkan pemakaman itu dengan perasaan sedih. Tak kusangka, laki-laki mapan itu meninggal begitu saja dengan kesia-siaan. Meninggal atas kemauannya sendiri...
Gerimis belum berhenti menitik ketika aku sampai di depan kontrakan. Gelap menyelimuti deretan rumah petak. Kukeluarkan anak kunci dari kantong celanaku yang basah. Kuarahkan benda itu ke lubang kunci. Belum sempat anak kunci itu kumasukkan untuk membuka pintu, aku terkejut ketika tiba-tiba suatu benda meluncur keras dan mengenai jari kakiku.
Benda itu kecil tapi begitu kencang dan tepat mengenai tulang kakiku.
Kubungkukkan tubuhku dan memungut benda itu, sebuah Flashdisk.
BERSAMBUNG
Btw Silahkan kunjungi Link berikut ini, LIKE n Share yah, nanti 5 orang yang beruntung akan mendapat tanda mata berupa 5 buah Novel karya pijar88
Langsung aja ya, ke LINK INI
Diubah oleh pijar88 16-09-2014 21:47
0
Kutip
Balas

