- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Bersambung: Voyeurism
...
TS
widka
Cerita Bersambung: Voyeurism
Quote:
Quote:
Judul Karya : Voyeurism
Jenis Karya : Fiksi
Genre Karya : Detektif, Misteri, Drama.
Target Pembaca : Remaja-Dewasa
Usia : 17+
Quote:
HOT COVER
Spoiler for PRAWACANA:
PRAWACANA
Kisah ini menceritakan kontroversi pengakuan pelecehan seksual yg dialami ALINA pada masa lalunya. Apakah benar atau salah bahwa kejadian itu benar-benar terjadi? Seberapa akuratkah ingatan seseorang?
Seperti yang kita ketahui bahwa ada banyak tulisan yang dipublikasikan mengenai pulihnya ingatan tentang pelecehan seksual di masa anak-anak berakhir keliru atau tidak koheren (nyambung) dengan fakta-fakta yang ada.
Lantas cerita berlanjut ke polisi muda yang bernama WIDKA, yang menderita voyeurisme. Voyeurisme adalah penyakit psikologis di mana penderitanya mencapai kepuasan seksual hanya dengan cara mengintip. Namun, tanpa sengaja aktifitas terlarangnya itu membuat sang tokoh tahu misteri dibalik kontroversi yang menyelimuti ALINA.
Kisah yang menarik tentang drama-hasrat-kriminal dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, sehingga kisah ini sangat layak untuk dinikmati sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya akan update terus cerita bersambung ini jika agan-agan berkenan terhadap cerita yang sedang saya kembangkan.
Terimakasih.
Seperti yang kita ketahui bahwa ada banyak tulisan yang dipublikasikan mengenai pulihnya ingatan tentang pelecehan seksual di masa anak-anak berakhir keliru atau tidak koheren (nyambung) dengan fakta-fakta yang ada.
Lantas cerita berlanjut ke polisi muda yang bernama WIDKA, yang menderita voyeurisme. Voyeurisme adalah penyakit psikologis di mana penderitanya mencapai kepuasan seksual hanya dengan cara mengintip. Namun, tanpa sengaja aktifitas terlarangnya itu membuat sang tokoh tahu misteri dibalik kontroversi yang menyelimuti ALINA.
Kisah yang menarik tentang drama-hasrat-kriminal dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, sehingga kisah ini sangat layak untuk dinikmati sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya akan update terus cerita bersambung ini jika agan-agan berkenan terhadap cerita yang sedang saya kembangkan.
Terimakasih.
Quote:
Hot Comment Sampai BAB VIII
Quote:
Original Posted By princess.anne►
Ane juga tau cerita ini setelah liat trit agan di CYSTG
Dari sana aja udah terpesona sama pengetahuan agan ttg kepribadian
Dan 4 hal di atas yg bikin ane makin WOW sama karya agan ini
Judul kayak gini justru bagus, unik. Coba kalo judulnya langsung: petualangan sang pengintip, sedikit agak basi. Tapi dengan kata voyeurism, pertama bikin kening berkerut, lalu semakin bikin penasaran, pengen menggali lebih dalem, endingnya "ooooh.... gitu!"
Oya satu hal lagi yang paling ane suka, agan ga cuma nyediain cerita yang bikin penasaran, menghibur, tapi juga memberikan banyak pengetahuan!
I love it!
Ane penggemar berat genre kayak gini
Pokoke semangat terus berkarya gan!
Ane juga tau cerita ini setelah liat trit agan di CYSTG
Dari sana aja udah terpesona sama pengetahuan agan ttg kepribadian
Dan 4 hal di atas yg bikin ane makin WOW sama karya agan ini
Judul kayak gini justru bagus, unik. Coba kalo judulnya langsung: petualangan sang pengintip, sedikit agak basi. Tapi dengan kata voyeurism, pertama bikin kening berkerut, lalu semakin bikin penasaran, pengen menggali lebih dalem, endingnya "ooooh.... gitu!"
Oya satu hal lagi yang paling ane suka, agan ga cuma nyediain cerita yang bikin penasaran, menghibur, tapi juga memberikan banyak pengetahuan!
I love it!
Ane penggemar berat genre kayak gini
Pokoke semangat terus berkarya gan!
Quote:
Original Posted By Blazerknight►homina homina homina, keren banget ceritanya asli.....
Quote:
Original Posted By septhia►hari minggu, gak ada hiburan, buka kaskus liat thread agan, sungguh luar biasa ceritanya...gini ini yg seru gak hanya cerita cinta melulu...salut for agan...
Quote:
Original Posted By Garyu73►What gilaaak? Ini apa? Baru pertama liat uy, ini buku ya? Keren banget uy TS bisa nyampe disini terus menyalurkan ide gilanya
Keren gan, mudahan ada waktu biar bisa baca ceritanya
Keren gan, mudahan ada waktu biar bisa baca ceritanya
Quote:
Original Posted By bapaknya.tongol►wanjeeeeng, aktingnya alin mantap kalee bah...
"pelakunya adalah kau". sambil menjukan jati tengah ke arah kolonel
ataukah hanya mimpi widka
bodo amat, yg penting cepet abdet lagiii braaay
tunggu cendol mateng ya braaay....
buru apdet nya..
"pelakunya adalah kau". sambil menjukan jati tengah ke arah kolonel
ataukah hanya mimpi widka
bodo amat, yg penting cepet abdet lagiii braaay
tunggu cendol mateng ya braaay....
buru apdet nya..
Quote:
Original Posted By chayono►Wah gan abis baca bab 5 part 1 kayaknya bakal makin dalem nih ceritanya. Awalnya ane percaya alina tuh gila. Tapi pas baca mengenai pendapat komandan jo trus review ulang kayaknya ada yg aneh dengan kolonelnya. Seolah olah di buat skenario alina meninggal padahal engga. Di tunggu part berikutnya yg lebih ngebuka misterinya.
Quote:
Quote:
Original Posted By velerkajut►akhirnya update juga makin keren aja nh jalur ceritanya gue suka cara penulisannya yg frontal jd ga kaku bacanya nice gan di tunggu part 3 nya
Quote:
Original Posted By cUmplanks►mana bab v!! manaaaaaaaaa...!!
manaaaaaa ...!! bab v bab v bab v...
hayok cepat gannnnn..penasaran 1/2 idup ini..!!
bener" nice post gan..cendol +1 dari ane yah..
manaaaaaa ...!! bab v bab v bab v...
hayok cepat gannnnn..penasaran 1/2 idup ini..!!
bener" nice post gan..cendol +1 dari ane yah..
Quote:
Original Posted By TahtaArash►bab V part 2 mana gan. ane udh bli paket extra buat baca cerita agan
Quote:
Original Posted By umikrachmi►Gan masih bersambung yaaa ceritanyaaa? Seruuu sumpah
Quote:
Original Posted By velerkajut►kapan update gan? pnasaran nh ternyata si alina emg sakit beneran
Quote:
Original Posted By milan22►Yah,ternyata masih bersambung, padahal ane udah siap2 menebak endingnya..
Update nya kapan gan?
Update nya kapan gan?
Quote:
Original Posted By encantz►update lagi mas, alinanya jgn dimatiin yak
Quote:
Original Posted By travelcore►ane baca dulu ya
Quote:
Quote:
Original Posted By dados8756►izin stalk mas bro , bagus ceritanya... sambil sekalian belajar
Quote:
Original Posted By vasto.lorde►bab 5 part 2 mana nih, gan??
mumpung ane di depan leppy tersayang..
mumpung ane di depan leppy tersayang..
Quote:
BAB I
BERSAMBUNG
INDEX
Quote:
BAB II Versi jpg
BAB II Versi Text Part 1
BAB II Versi Text Part 2
BAB II Versi Text Part 3
BAB III Versi Text Part 1
BAB III Versi Text Part 2
BAB III Versi Text Part 3
BAB IV Versi Text Part 1
BAB IV Versi Text Part 2
BAB IV Versi Text Part 3
BAB V Versi Text Part 1
BAB V Versi Text Part 2
BAB V Versi Text Part 3
BAB VI Versi Text Part 1
BAB VI Versi Text Part 2
BAB VI Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 1
BAB VII Versi Text Part 2
BAB VII Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 4
WFull Version: Wattpad
BAB II Versi Text Part 1
BAB II Versi Text Part 2
BAB II Versi Text Part 3
BAB III Versi Text Part 1
BAB III Versi Text Part 2
BAB III Versi Text Part 3
BAB IV Versi Text Part 1
BAB IV Versi Text Part 2
BAB IV Versi Text Part 3
BAB V Versi Text Part 1
BAB V Versi Text Part 2
BAB V Versi Text Part 3
BAB VI Versi Text Part 1
BAB VI Versi Text Part 2
BAB VI Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 1
BAB VII Versi Text Part 2
BAB VII Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 4
WFull Version: Wattpad
Spoiler for Cerita Lain? Mampir Gan:
Quote:
LAIN
Sinopsis
Seorang wanita mendapati dirinya tidak sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Apa yang terjadi? Story Will SHOCK YOU!!!Click Here!!
Sinopsis
Seorang wanita mendapati dirinya tidak sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Apa yang terjadi? Story Will SHOCK YOU!!!Click Here!!
Quote:
TRAGEDI PEMBUNUHAN DI ZANGGARO
Sinopsis
Kali ini Inspektur Jo dan Assitennnya, Widka harus memecahkan pembunuhan sadis di Zanggaro, salah satu Negara bagian Afrika.Menurut saksi, ciri-ciri seorang pelaku pembunuhan persis seperti Sibiso Vilikazi dan Sibiso Khumalo. Keduanya saudara kembar. Namun ada 1 hal yang pasti diantara keduanya, yakni salah satu dari mereka adalah seorang pembohong patologis. Link? Click here!!
Kali ini Inspektur Jo dan Assitennnya, Widka harus memecahkan pembunuhan sadis di Zanggaro, salah satu Negara bagian Afrika.Menurut saksi, ciri-ciri seorang pelaku pembunuhan persis seperti Sibiso Vilikazi dan Sibiso Khumalo. Keduanya saudara kembar. Namun ada 1 hal yang pasti diantara keduanya, yakni salah satu dari mereka adalah seorang pembohong patologis. Link? Click here!!
Spoiler for Makasih Cendolnya:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 124 suara
Misteri apa yang agan harapkan terkuak dari cerita ini?
Alina memang gila - Drama, Psychological Thriller
7%Semua Cuma Bayangan Widka - Drama, Psychological Thriller, Horor
13%Konspirasi Kolonel - Action, Thriller
42%TS-nya Gila
38%Diubah oleh widka 25-02-2017 02:51
anasabila dan yuliaherliani99 memberi reputasi
0
108K
Kutip
781
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
widka
#100
Spoiler for BAB IV Part 3 Text:
BAB IV
--Part 3--
--Part 3--
Pagi itu matahari sedang menyumbul sedikit. Merangkak untuk memperlihatkan congkaknya kepada dunia. Cahaya keemasannya terurai menggerayangi embun pagi, menumpulkan cahaya lampu, menerangkan jalan ibu kota yang sudah terlalu ramai. Namun di bagian lain, langit memperlihatkan dirinya yang berbeda. Dari selatan terlihat sekumpulan awan seperti ladang hitam yang menggulung-gulung. Seolah langit terbelah menjadi dua, seperti sepotong yin-yang besar yang saling terbagi mencapai keseimbangan tertentu.
Tugas Widka menjaga Alina selesai pada hari itu. Semalam Kolonel menelponnya jika pagi ini dia akan menjemput Alina untuk berlibur, sebelum membawa gadis itu ke dokter.
Betul. Memang itu yang harus dilakukan. Widka juga merasa dirinya jengah setelah sebulan hanya bolak-balik di sekitar rumah.
Selepas mandi dan sarapan, Widka berkemas memasukan barang-barangnya ke ransel. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Tiba-tiba Alina berdiri dengan tenang di dekat pintu, dia memakai dress satin merah, seperti awal saat dia bertemu dengannya. Ia terpaku memperhatikan polisi itu dari belakang. Dia selalu begitu: Muncul begitu saja seperti hantu.
“Ayah jadi pulang hari ini?” Tanya gadis itu.
“Ya. Dia menelponku tadi malam.”
“Kamu pergi?”
Widka tersenyum.
“Dia akan terus merudapaksaku di sini dan terus memperlakukanku seperti budaknya. Apa kamu akan menepati janjimu?”
“Soal apa?” Tanya Widka.
“Kamu lupa ya? Atau pura-pura lupa? Soal membunuh ayahku.”
“Aku bisa membawamu pergi dari sini, tetapi tidak untuk membunuh ayahmu.” Sergah Widka sambil berkemas, seolah ucapan gadis itu tidak berarti apa-apa baginya.
“Kamu bodoh. Sampai kapan kamu lari terus? Dia akan terus mencarimu sampai ke ujung dunia. Lalu membunuhmu.”
Widka berbalik dan menatap gadis itu seperti hendak menyalak. Tetapi tidak. Dia menurunkan emosinya, dan bicara dengan nada suara yang lembut.
“Kamu tahu, pembunuhan dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran berat. Pelakunya akan dijerat hukuman yang tidak main-main. Inilah hukum di atas negara tempat kita berpijak. Apa yang terjadi jika aku benar-benar melakukannya. Kamu mau melihatku di penjara seumur hidup? Kamu mau aku seperti itu?” Widka bersungut-sungut. Ia kemudian menghela nafas, upaya menurunkan ketengangannya. “Menjalani hidup di ruang kecil bersama tikus-tikus, kecoak, belatung, lalat dan semua hal yang menjijikan tinggal bersamaku. Mereka makan dan berkembang biak di kepalaku. Dan yang lebih menyedihkan aku tidak bisa melihatmu lagi.”
Alina diam. Lama dia diam membuat pusat perhatian Widka berpaling pada ngengat yang berada diluar. Kepakan sayapnya menubruk-nubruk jendela hingga menimbulkan bunyi.
“Kamu sudah janji waktu itu.” Widka mendengar gadis itu berkata demikian “Apa salahnya jika aku menagih janji itu? Kamu tahukan kalau kamu tidak melakukannya, melakukan sesuatu yang buruk untukmu. Karena serius aku sedang tidak bercanda.”
“Seperti apa?” Widka bertanya untuk menimbang-nimbang resikonya.
“Aku bunuh diri. Tetapi sebelumnya akan aku ceritakan bahwa kamu telah merudapaksaku.”
“Bisa-bisanya kamu mengancamku. Merudapaksa? Bunuh diri?” Widka menatapnya heran.
“Kalau kamu tidak melakukan apa yang sudah menjadi janjimu. Aku bunuh diri. Dan kamu akan menyesal.” Suara Alina terdengar datar.
Seketika Widka mendengar ada suara mobil yang masuk ke perkarangan rumah, suara mobil itu semakin-lama semakin mendekat. Kolonel telah datang.
“Baiklah aku akan membunuh ayahmu. Kamu mau dengan cara seperti apa?” Suara Widka terdengar menantang. Sebenarnya dia tidak serius akan melakukannya, dia bicara seperti itu agar gadis itu aman dan tidak melakukan tindakan yang membahayakan.
“Tidak penting. Aku ingin kamu lakukan secepatnya.”
Suara mesin mobil dimatikan. Menyusul kemudian suara pintu mobil yang bertumbukan menandakan penumpang dan pengemudinya telah turun. Widka membayangkan Kolonel dan Sersan Tomo sedang berjalan ke dalam rumah.
“Tidak mungkin aku lakukan sekarang, sayang.” Widka bicara.
“Lakukan. Bunuh dia di depanku.” Alina menggeram.
“Apa katamu? Bunuh dia di depanmu?” Widka terbahak kemudian meringis menyesalinya. Polisi itu meneruskan kata-katanya dengan nada yang lebih halus. “Alina sayang. Akan aku bunuh Kolonel untukmu. tetapi tidak dengan cara kotor seperti itu. Kamu tahu ayahmu memiliki pasukan dan anak buah yang loyal kepadanya, melakukan hal itu hanya menimbulkan kekacauan. Bahkan keadaan bisa berbalik, kitalah yang menjadi korbannya. Aku dan kamu.”
Widka mengikuti irama permainan Alina. Suasana hening sejenak membuat polisi itu mendengar kembali suara kepakan sayap ngengat yang masih menabrak-nabrak jendela. “Bahkan kamu tidak menyadari ada kaca yang menghalangi. Dasar bodoh!” Pikir Widka.
Toh.. ia abaikan ngengat itu barang sejenak dan mulai serius.
“Bagaimana kalau ini aku rencanakan.” Kata Widka spontan. “Aku sedang memikirkan rencana agar bisa membunuh ayahmu dengan cara yang bersih dan tidak menimbulkan investigasi polisi. Dengan cara seperti ini aku yakin kamu akan terbebas dari semua penderitaan ini. Mengerti sayang?”
Widka melihat gadis itu diam tidak mengucap apa-apa.
Tiba-tiba Alina mencopot bajunya. Satin merah yang ia kenakan seperti luntur dari tubuhnya dan telanjang bulat. Kini tubuhnya yang padat nan keras itu terlihat. Dengan tatapannya yang membeliak, Widka menggerayangi seluruh tubuh Alina yang polos. Tanpa tedeng aling-aling. Wajah gadis itu terbingkai oleh rambutnya yang tergerai, berjalan mendekati pria tulen dengan gerakan yang amat lambat. Namun sebenarnya tidak demikian, perasaan lambat itu terjadi hanya perasaan Widka saja. Dengan cara yang demikian pria itu merasa tidak terangsang. Prihatin iya.
“Tuhan menciptakan dua jiwa, menyatu dalam cinta, kamu dan aku. Berjanjilah sayang, dengan tubuh ini aku berikan kepercayaanku kepadamu.” Kata Alina. “Pakailah aku… aku izinkan kamu untuk melakukannya sebagai tanda kamu setuju untuk memenuhi sumpahmu. Memenuhi janjimu.”
“Sialan brengsek!” Batin Widka “cewek ini benar-benar membuatku tidak berkutik. Tetapi aku tidak akan kalah. Aku tidak akan kalah.” Batin Widka terus mengulangi kata-kata itu sebagai upaya untuk menegarkan hatinya. “Aku tidak akan kalah. AKU TIDAK AKAN KALAH!!”
Widka mengangkat muka gadis itu dengan kedua tangannya dan menatap matanya. Kali ini dia takkan kalah, takkan berpaling darinya. Tidak lama dia merasakan kedalaman tatapan mata Alina, seolah kegelapan muncul dari linangan air matanya.
“Kamu...” Widka merasa seperti ada ledakan yang terjadi dari mulutnya. Ibarat mariam: “KAMU GILA!!”
Sunyi senyap untuk beberapa saat. Widka bisa mendengar nafasnya sendiri yang terengah-engah, syok, dan gontai. Jantungnya juga berhenti berdetak. Kepakan ngengat yang menubruk-nubruk kaca juga tidak lagi bersuara. Semua yang ada nyaris membisu.
“HYAAAAAAAA!!!”
Suara Alina meletus laksana suara sirine yang meraung. Widka pun terlonjak, lehernya mendadak pendek, raut wajahnya menandakan ia sama sekali tidak menduganya.
Alina diam, lalu jatuh terduduk seakan beban di pantatnya terisi oleh ribuan ton. Dia menarik baju yang ada di lantai kemudian menutup dadanya. Kedua kakinya menendang-nendang hebat menjauhi Widka.
Ktika pintu terbuka, Widka tersontak dan mendapati Kolonel ada di baliknya. Pria paruh baya menatap mereka seakan tidak yakin sekaligus penasaran. Memandangi Widka dan Alina bolak balik. “Ada apa?”
Dengan agresif Alina memeluk kaki Kolonel. Sambil mengerang aneh dia bilang: “Dia mencoba merudapaksaku ayah. Dia mencoba merudapaksaku.”
Tidak ada linangan air mata di pipinya. Tidak ada emosi dalam diri gadis itu. Dia bergerak, bicara dan menangis seperti dalam drama murahan. Seolah semua tindakan yang dia lakukan atas keisengan semata. Untuk menakut-nakuti semua orang.
Widka mencoba mengukur reaksi Kolonel setelah Alina bicara seperti itu. Sekilas dia menimbang, Widka merasa lega, karena perwira itu terlihat kalem. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan. Pastilah Kolonel sudah menduga bahwa gadis itu sedang kumat.
“Tenanglah sayang, jangan teriak-teriak. Akan ayah urus masalah ini. Sekarang pakailah bajumu, masuklah ke kamar, dan berdoalah kepada Tuhan agar semua dosa-dosamu dihapuskan.”
Mendadak Alina berubah menjadi jinak. Tidak lagi kacau seperti sebelumnya. Dia menurut dengan orang yang seharusnya dia benci. Apa karena takut? Bagi Widka Alina selalu seperti itu, emosinya cepat berubah. Seperti sekarang, setelah melakukan kekacauan dia kembali tenang, memakai baju, dengan setengah berlari dia meninggalkan kamar, meninggalkan semua ini seolah tidak pernah ada masalah bahkan seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal Widka hampir tidak bisa bergerak barang sedikitpun.
“Maafkan saya… Anda jadi terlibat kerumitan ini.” Kolonel bicara dengan nada yang lemah, seolah letih dengan semua ini.
Dia berjalan mendekati Widka kemudian duduk di tepi kasur, kedua sikunya ia tumpu di kedua pahanya. “Anda tak apa-apa?” Tanya Kolonel.
Widka merasa dirinya terengah-engah, dia kendalikan dulu emosinya, sekarang darahnya kembali mangalir, jantungnya kembali berdegup.
“Semua penyakit putri Anda terjawab, Kolonel.” Suara polisi itu terdengar berat seperti diseret-seret.
“Ya.”
“Walaupun pada awalnya sulit untuk dipercaya.”
“Semua sudah saya lakukan demi dia,” gumam Kolonel, “mengurusnya, membesarkannya, dan melindunginya. Lalu apa yang saya dapat darinya?”
“Sungguh merepotkan.” Kata Widka dengan nada yang hampir tidak terdengar, mengangguk-angguk dan gerakan mubazir lainnya.
“Gosip tentang saya yang merudapaksa Alina kemarin itu belumlah seberapa. Saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat memang itu terjadi. Saat judul-judul yang menjijikan itu muncul di koran-koran, acara-acara infotainment di televisi, semua berita itu disebar menjadi bahan sarapan pagi seluruh orang-orang tolol. Terlebih lagi para jurnalis itu. Makin gila skandal yang terjadi justru semakin dicari. Semakin busuk tindak seseorang semakin mereka angkat beritanya.” Kata Kolonel yang selalu menjelaskan dengan nada yang kasar, seolah Widka tidak pernah mengerti dengan semua cerita-cerita ini.
“Padahal semua itu tidak pernah terjadi,” –Kolonel menghirup napasnya dalam-dalam–“Alina yang malang. Dia sakit.”
“Dan Anda lebih malang Kolonel.” Kata Widka dalam hatinya. “Semua kegilaan Alina yang dia lakukan agar Anda menderita. Agar Anda menanggung semua beban memalukan yang sudah dia perbuat.” Widka merasa kasihan dengan Kolonel, merasa kasihan juga dengan Alina. Hatinya merasa teriris-iris hingga rasanya ingin menangis.
Semua yang ada di dalam ruangan membisu. Widka merasa sesak, seolah kemeja yang dia kenakan menyempit.
“Apa yang Alina inginkan?” Tanya Kolonel, tetapi Widka tahu bahwa Kolonel bertanya hanya untuk memastikan bahwa Widka telah mengetahuinya.
“Dia ingin aku…” Ucapannya tersendat. Dia merasa kasihan jika dia memberitahu hal ini kepada Kolonel. “Alina ingin aku membunuhmu Kolonel.”
“Dia mengancam sesuatu?”
Polisi itu diam, lidahnya seakan mati rasa, kemudian nadinya kembali berdenyut-denyut, seolah semua darah memenuhi seluruh isi kepalanya:
“Bu.. Bunuh diri, Kolonel.”
Kolonel merasa lelah, mengambil pistol dari balik sarung yang ada di pinggangnya, dia taruh pistol itu tepat di depan Widka.
Widka merasa badannya terbakar seketika, bajunya basah, keringatnya mengucur turun dari keningnya, suara dari mulut Kolonel ia dengar seperti gemuruh magma yang keluar dari perut bumi: “Walaupun dia bukan darah daging saya, tetapi saya bersumpah untuk terus menjaganya. Itulah sumpah saya di depan makam ibunya. Sekarang, seharusnya anda melakukan seperti yang ia inginkan.”
“Ti..Tidak mungkin ini saya lakukan Kolonel.” Polisi itu gelagapan. “Aku yakin, Alina hanya menggertak saja, dia sedang tidak serius melakukannya. Aku bisa membaca dari gelagatnya. Dari cara dia bicara dia tidak bersungguh-sungguh. Setidaknya intuisiku berkata demikian.”
Widka merasa ingin segera menghentikan semua sandiwara ini.
“Awalnya saya juga berpendapat demikian, saat dia menggertak saya dengan menceritakan semua soal yang dia karang-karang. Kenyataannya, dia benar-benar minggat dan menyebarkan semua cerita busuk kepada semua orang tentang saya.” Kata Kolonel yang bicara dengan nada yang datar. Dia diam sejenak, seperti mengukur reaksi Widka.
“Maafkan aku Kolonel. Aku…” suara itu terpotong.
“Anda tahu cara menggunakan pistol itu?”
Widka tersentak lagi untuk kedua kalinya. Setelah terengah-engah oleh kelakuan putrinya, sekarang dia harus berhadapan dengan Kolonel. Dia tidak pernah merasakan dirinya sebingung ini.
Ia berdehem, membersihkan tenggorokannya sebelum bicara: “Anda boleh menyuruhku apapun, Kolonel. Kecuali yang satu ini.” Katanya dengan nada yang berat.
“Seharusnya saya tidak memperkerjakan orang pengecut seperti anda.” Sergah Kolonel merasa putus asa.
Kolonel berdiri dari tempat duduknya. Berjalan membawa revolvernya dengan tangan kanannya yang terkulai lemas, dia berjalan beberapa langkah mendekati jendela, berhenti, menatap ke arah jendela.
“Apa yang dia lakukan?” Widka menebak-nebak dalam pikirannya. Tetapi dia tahu bahwa Kolonel akan menembak kepalanya sendiri dan meminta Widka untuk mengumumkan kematiannya sesuai yang diminta oleh Alina. Kapan dia melakukannya? Widka menunggu tangan Kolonel terangkat dan menembak. Pecah. Sisa-sisa otak akan terbuai berceceran: Di lantai, kaca, dinding, dan lemari. Tidak. “TIDAK!! Sialan!” Enyahlah bayang-bayang yang menyesatkan itu.
Kini Widka tidak lagi memikirkan soal Alina serta kegilaannya. Dia mengutuk nasib naasnya sampai-sampai menerima tawaran ini. Menyesal. Kalau memang bisa, dia ingin sekali kabur di tengah permasalahan yang ada. Kapan suara letusan itu terdengar. Widka menunggu. Entah kegilaan apa lagi yang harus dia lalui.
Tepat di saat dia berspekulasi soal-soal mengerikan yang akan terjadi, seolah semua khayalan itu dikabulkan dengan sesuatu yang lain. Bayang-bayang mengerikan itu tercipta lewat suara muram bergemuruh Bi Minah–terengah-engah, histeris: “Celaka tuan, celaka! Putri Anda sepertinya…” Kata Bi Minah tercekat hingga tidak bisa meneruskan kata-katanya. “Di luar...”
Saking terkejutnya, Kolonel harus menggelimpangkan tubuhnya 180°untuk bisa menatap Bi Minah.
Di sudut lain Widka melihat mulut perempuan itu terbuka setengah, tangannya menujuk ke depan teras dengan gerak yang gelisah dan gemetar. “Lihat.. Di.. Di depan Tuan. Putri Anda di sana.”
Widka membayangkan rupa-rupa yang menakutkan melihat wajah Bi Minah yang menahan suatu emosi tertentu. “Dia ketakutan setengah mati.” Spontan Widka berdiri memandangi Kolonel, demikian juga Kolonel memandang Widka, saling berpandangan tidak paham sedikitpun, lalu bergerak secepat kilat ke arah yang ditunjuk Bi Minah.
Kolonel tergopoh-gopoh berlari mendahului Widka. Dia berlari seperti orang mabuk. Widka juga merasa dirinya juga panik. Dari teras Widka melihat ke bawah. Seorang wanita menggunakan baju satin merah tergeletak di halaman depan rumah. Dari situ jelas terlihat darahnya yang mengucur keluar secara brutal.
Widka merasa yakin sekali bahwa itu Alina. Seolah dia sudah menantikan gadis itu memang berbuat sesuatu yang mengerikan. Seperti juga Kolonel yang telah menuntun pikirannya ke arah yang menakutkan. Dia berjalan mendekati tubuh perempuan itu tetapi Kolonel terburu untuk memeluknya rupa-rupa yang tergeletak itu terhalang punggung Kolonel yang memapahnya.
Widka melihat ke atas, terlihat balkon dari kamar Alina yang menjorok keluar, satu garis lurus dengan tubuh perempuan yang terkapar.
“Ya. Tuhaan, kamu benar-benar telah melakukannya.” Widka menyesali semua yang telah dia lakukan kepada Alina.
Sersan Tomo datang dari arah pintu rumah. Sersan muda itu setengah berlari mendekati dan melihat keadaan. Dia bergumam sesuatu yang tidak bisa dipahami Widka, sepertinya dia bilang: “Kenapa ini?” Widka tidak menjawab, kepalanya seperti dikerubungi ribuan lebah.
Widka melihat di luar gerbang, mereka semua tetangga Kolonel menatap kejadian dengan pandangan yang terbelalak, meringis dan juga penasaran. Sepasang mata itu bergerombol mengarah satu titik: Tubuh seorang gadis yang terkapar.
Sersan terlihat tenang dan mengambil ponsel dari balik sakunya.
“Halo.. Rumah Sakit? Ya Rumah sakit?” Seru Sersan keras-keras. “Ada yang celaka di sini.. Ada yang celaka di sini .. kami butuh ambulans..Ya.. Tolong catat alamatnya..” Ucapannya terpotong ketika Kolonel memanggil namanya.
“Tomo.. Tomo..” Dia bicara sambil melirik ke arah Sersan tersebut yang berada di belakangnya. Sersan mengerti bahasa tubuh Kolonel dan mendekatinya. Dengan setengah membungkuk Sersan dan Kolonel bicara bisik-bisik yang tidak bisa didengar oleh Widka. Sersan muda itu bangkit dan menatap polisi dengan sinar matanya yang mengancam. Dia keluarkan senjata laras pendek dari pinggangnya dan menyodokkan moncong ke arah Widka.
“Mundur,” suara itu terdengar dingin.
Widka tidak mendengar ucapan Sersan. Perhatiannya kini hanya kepada punggung Kolonel. Pikirannya mengawang pada dimensi lain dan terjebak di dunia itu, sehingga matanya terlihat seperti orang dalam kondisi trance – setengah sadar.
Ia mencoba berteriak tetapi tertahan, hingga akhirnya suara ledakan itu tertanam di dalam jiwanya yang paling dalam. Seakan ledakan itu menyumbat seluruh pembuluh darah yang ia punya hingga tubuhnya terasa lumpuh seketika.
Hujanpun turun.
Tugas Widka menjaga Alina selesai pada hari itu. Semalam Kolonel menelponnya jika pagi ini dia akan menjemput Alina untuk berlibur, sebelum membawa gadis itu ke dokter.
Betul. Memang itu yang harus dilakukan. Widka juga merasa dirinya jengah setelah sebulan hanya bolak-balik di sekitar rumah.
Selepas mandi dan sarapan, Widka berkemas memasukan barang-barangnya ke ransel. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Tiba-tiba Alina berdiri dengan tenang di dekat pintu, dia memakai dress satin merah, seperti awal saat dia bertemu dengannya. Ia terpaku memperhatikan polisi itu dari belakang. Dia selalu begitu: Muncul begitu saja seperti hantu.
“Ayah jadi pulang hari ini?” Tanya gadis itu.
“Ya. Dia menelponku tadi malam.”
“Kamu pergi?”
Widka tersenyum.
“Dia akan terus merudapaksaku di sini dan terus memperlakukanku seperti budaknya. Apa kamu akan menepati janjimu?”
“Soal apa?” Tanya Widka.
“Kamu lupa ya? Atau pura-pura lupa? Soal membunuh ayahku.”
“Aku bisa membawamu pergi dari sini, tetapi tidak untuk membunuh ayahmu.” Sergah Widka sambil berkemas, seolah ucapan gadis itu tidak berarti apa-apa baginya.
“Kamu bodoh. Sampai kapan kamu lari terus? Dia akan terus mencarimu sampai ke ujung dunia. Lalu membunuhmu.”
Widka berbalik dan menatap gadis itu seperti hendak menyalak. Tetapi tidak. Dia menurunkan emosinya, dan bicara dengan nada suara yang lembut.
“Kamu tahu, pembunuhan dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran berat. Pelakunya akan dijerat hukuman yang tidak main-main. Inilah hukum di atas negara tempat kita berpijak. Apa yang terjadi jika aku benar-benar melakukannya. Kamu mau melihatku di penjara seumur hidup? Kamu mau aku seperti itu?” Widka bersungut-sungut. Ia kemudian menghela nafas, upaya menurunkan ketengangannya. “Menjalani hidup di ruang kecil bersama tikus-tikus, kecoak, belatung, lalat dan semua hal yang menjijikan tinggal bersamaku. Mereka makan dan berkembang biak di kepalaku. Dan yang lebih menyedihkan aku tidak bisa melihatmu lagi.”
Alina diam. Lama dia diam membuat pusat perhatian Widka berpaling pada ngengat yang berada diluar. Kepakan sayapnya menubruk-nubruk jendela hingga menimbulkan bunyi.
“Kamu sudah janji waktu itu.” Widka mendengar gadis itu berkata demikian “Apa salahnya jika aku menagih janji itu? Kamu tahukan kalau kamu tidak melakukannya, melakukan sesuatu yang buruk untukmu. Karena serius aku sedang tidak bercanda.”
“Seperti apa?” Widka bertanya untuk menimbang-nimbang resikonya.
“Aku bunuh diri. Tetapi sebelumnya akan aku ceritakan bahwa kamu telah merudapaksaku.”
“Bisa-bisanya kamu mengancamku. Merudapaksa? Bunuh diri?” Widka menatapnya heran.
“Kalau kamu tidak melakukan apa yang sudah menjadi janjimu. Aku bunuh diri. Dan kamu akan menyesal.” Suara Alina terdengar datar.
Seketika Widka mendengar ada suara mobil yang masuk ke perkarangan rumah, suara mobil itu semakin-lama semakin mendekat. Kolonel telah datang.
“Baiklah aku akan membunuh ayahmu. Kamu mau dengan cara seperti apa?” Suara Widka terdengar menantang. Sebenarnya dia tidak serius akan melakukannya, dia bicara seperti itu agar gadis itu aman dan tidak melakukan tindakan yang membahayakan.
“Tidak penting. Aku ingin kamu lakukan secepatnya.”
Suara mesin mobil dimatikan. Menyusul kemudian suara pintu mobil yang bertumbukan menandakan penumpang dan pengemudinya telah turun. Widka membayangkan Kolonel dan Sersan Tomo sedang berjalan ke dalam rumah.
“Tidak mungkin aku lakukan sekarang, sayang.” Widka bicara.
“Lakukan. Bunuh dia di depanku.” Alina menggeram.
“Apa katamu? Bunuh dia di depanmu?” Widka terbahak kemudian meringis menyesalinya. Polisi itu meneruskan kata-katanya dengan nada yang lebih halus. “Alina sayang. Akan aku bunuh Kolonel untukmu. tetapi tidak dengan cara kotor seperti itu. Kamu tahu ayahmu memiliki pasukan dan anak buah yang loyal kepadanya, melakukan hal itu hanya menimbulkan kekacauan. Bahkan keadaan bisa berbalik, kitalah yang menjadi korbannya. Aku dan kamu.”
Widka mengikuti irama permainan Alina. Suasana hening sejenak membuat polisi itu mendengar kembali suara kepakan sayap ngengat yang masih menabrak-nabrak jendela. “Bahkan kamu tidak menyadari ada kaca yang menghalangi. Dasar bodoh!” Pikir Widka.
Toh.. ia abaikan ngengat itu barang sejenak dan mulai serius.
“Bagaimana kalau ini aku rencanakan.” Kata Widka spontan. “Aku sedang memikirkan rencana agar bisa membunuh ayahmu dengan cara yang bersih dan tidak menimbulkan investigasi polisi. Dengan cara seperti ini aku yakin kamu akan terbebas dari semua penderitaan ini. Mengerti sayang?”
Widka melihat gadis itu diam tidak mengucap apa-apa.
Tiba-tiba Alina mencopot bajunya. Satin merah yang ia kenakan seperti luntur dari tubuhnya dan telanjang bulat. Kini tubuhnya yang padat nan keras itu terlihat. Dengan tatapannya yang membeliak, Widka menggerayangi seluruh tubuh Alina yang polos. Tanpa tedeng aling-aling. Wajah gadis itu terbingkai oleh rambutnya yang tergerai, berjalan mendekati pria tulen dengan gerakan yang amat lambat. Namun sebenarnya tidak demikian, perasaan lambat itu terjadi hanya perasaan Widka saja. Dengan cara yang demikian pria itu merasa tidak terangsang. Prihatin iya.
“Tuhan menciptakan dua jiwa, menyatu dalam cinta, kamu dan aku. Berjanjilah sayang, dengan tubuh ini aku berikan kepercayaanku kepadamu.” Kata Alina. “Pakailah aku… aku izinkan kamu untuk melakukannya sebagai tanda kamu setuju untuk memenuhi sumpahmu. Memenuhi janjimu.”
“Sialan brengsek!” Batin Widka “cewek ini benar-benar membuatku tidak berkutik. Tetapi aku tidak akan kalah. Aku tidak akan kalah.” Batin Widka terus mengulangi kata-kata itu sebagai upaya untuk menegarkan hatinya. “Aku tidak akan kalah. AKU TIDAK AKAN KALAH!!”
Widka mengangkat muka gadis itu dengan kedua tangannya dan menatap matanya. Kali ini dia takkan kalah, takkan berpaling darinya. Tidak lama dia merasakan kedalaman tatapan mata Alina, seolah kegelapan muncul dari linangan air matanya.
“Kamu...” Widka merasa seperti ada ledakan yang terjadi dari mulutnya. Ibarat mariam: “KAMU GILA!!”
Sunyi senyap untuk beberapa saat. Widka bisa mendengar nafasnya sendiri yang terengah-engah, syok, dan gontai. Jantungnya juga berhenti berdetak. Kepakan ngengat yang menubruk-nubruk kaca juga tidak lagi bersuara. Semua yang ada nyaris membisu.
“HYAAAAAAAA!!!”
Suara Alina meletus laksana suara sirine yang meraung. Widka pun terlonjak, lehernya mendadak pendek, raut wajahnya menandakan ia sama sekali tidak menduganya.
Alina diam, lalu jatuh terduduk seakan beban di pantatnya terisi oleh ribuan ton. Dia menarik baju yang ada di lantai kemudian menutup dadanya. Kedua kakinya menendang-nendang hebat menjauhi Widka.
Ktika pintu terbuka, Widka tersontak dan mendapati Kolonel ada di baliknya. Pria paruh baya menatap mereka seakan tidak yakin sekaligus penasaran. Memandangi Widka dan Alina bolak balik. “Ada apa?”
Dengan agresif Alina memeluk kaki Kolonel. Sambil mengerang aneh dia bilang: “Dia mencoba merudapaksaku ayah. Dia mencoba merudapaksaku.”
Tidak ada linangan air mata di pipinya. Tidak ada emosi dalam diri gadis itu. Dia bergerak, bicara dan menangis seperti dalam drama murahan. Seolah semua tindakan yang dia lakukan atas keisengan semata. Untuk menakut-nakuti semua orang.
Widka mencoba mengukur reaksi Kolonel setelah Alina bicara seperti itu. Sekilas dia menimbang, Widka merasa lega, karena perwira itu terlihat kalem. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan. Pastilah Kolonel sudah menduga bahwa gadis itu sedang kumat.
“Tenanglah sayang, jangan teriak-teriak. Akan ayah urus masalah ini. Sekarang pakailah bajumu, masuklah ke kamar, dan berdoalah kepada Tuhan agar semua dosa-dosamu dihapuskan.”
Mendadak Alina berubah menjadi jinak. Tidak lagi kacau seperti sebelumnya. Dia menurut dengan orang yang seharusnya dia benci. Apa karena takut? Bagi Widka Alina selalu seperti itu, emosinya cepat berubah. Seperti sekarang, setelah melakukan kekacauan dia kembali tenang, memakai baju, dengan setengah berlari dia meninggalkan kamar, meninggalkan semua ini seolah tidak pernah ada masalah bahkan seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal Widka hampir tidak bisa bergerak barang sedikitpun.
“Maafkan saya… Anda jadi terlibat kerumitan ini.” Kolonel bicara dengan nada yang lemah, seolah letih dengan semua ini.
Dia berjalan mendekati Widka kemudian duduk di tepi kasur, kedua sikunya ia tumpu di kedua pahanya. “Anda tak apa-apa?” Tanya Kolonel.
Widka merasa dirinya terengah-engah, dia kendalikan dulu emosinya, sekarang darahnya kembali mangalir, jantungnya kembali berdegup.
“Semua penyakit putri Anda terjawab, Kolonel.” Suara polisi itu terdengar berat seperti diseret-seret.
“Ya.”
“Walaupun pada awalnya sulit untuk dipercaya.”
“Semua sudah saya lakukan demi dia,” gumam Kolonel, “mengurusnya, membesarkannya, dan melindunginya. Lalu apa yang saya dapat darinya?”
“Sungguh merepotkan.” Kata Widka dengan nada yang hampir tidak terdengar, mengangguk-angguk dan gerakan mubazir lainnya.
“Gosip tentang saya yang merudapaksa Alina kemarin itu belumlah seberapa. Saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat memang itu terjadi. Saat judul-judul yang menjijikan itu muncul di koran-koran, acara-acara infotainment di televisi, semua berita itu disebar menjadi bahan sarapan pagi seluruh orang-orang tolol. Terlebih lagi para jurnalis itu. Makin gila skandal yang terjadi justru semakin dicari. Semakin busuk tindak seseorang semakin mereka angkat beritanya.” Kata Kolonel yang selalu menjelaskan dengan nada yang kasar, seolah Widka tidak pernah mengerti dengan semua cerita-cerita ini.
“Padahal semua itu tidak pernah terjadi,” –Kolonel menghirup napasnya dalam-dalam–“Alina yang malang. Dia sakit.”
“Dan Anda lebih malang Kolonel.” Kata Widka dalam hatinya. “Semua kegilaan Alina yang dia lakukan agar Anda menderita. Agar Anda menanggung semua beban memalukan yang sudah dia perbuat.” Widka merasa kasihan dengan Kolonel, merasa kasihan juga dengan Alina. Hatinya merasa teriris-iris hingga rasanya ingin menangis.
Semua yang ada di dalam ruangan membisu. Widka merasa sesak, seolah kemeja yang dia kenakan menyempit.
“Apa yang Alina inginkan?” Tanya Kolonel, tetapi Widka tahu bahwa Kolonel bertanya hanya untuk memastikan bahwa Widka telah mengetahuinya.
“Dia ingin aku…” Ucapannya tersendat. Dia merasa kasihan jika dia memberitahu hal ini kepada Kolonel. “Alina ingin aku membunuhmu Kolonel.”
“Dia mengancam sesuatu?”
Polisi itu diam, lidahnya seakan mati rasa, kemudian nadinya kembali berdenyut-denyut, seolah semua darah memenuhi seluruh isi kepalanya:
“Bu.. Bunuh diri, Kolonel.”
Kolonel merasa lelah, mengambil pistol dari balik sarung yang ada di pinggangnya, dia taruh pistol itu tepat di depan Widka.
Widka merasa badannya terbakar seketika, bajunya basah, keringatnya mengucur turun dari keningnya, suara dari mulut Kolonel ia dengar seperti gemuruh magma yang keluar dari perut bumi: “Walaupun dia bukan darah daging saya, tetapi saya bersumpah untuk terus menjaganya. Itulah sumpah saya di depan makam ibunya. Sekarang, seharusnya anda melakukan seperti yang ia inginkan.”
“Ti..Tidak mungkin ini saya lakukan Kolonel.” Polisi itu gelagapan. “Aku yakin, Alina hanya menggertak saja, dia sedang tidak serius melakukannya. Aku bisa membaca dari gelagatnya. Dari cara dia bicara dia tidak bersungguh-sungguh. Setidaknya intuisiku berkata demikian.”
Widka merasa ingin segera menghentikan semua sandiwara ini.
“Awalnya saya juga berpendapat demikian, saat dia menggertak saya dengan menceritakan semua soal yang dia karang-karang. Kenyataannya, dia benar-benar minggat dan menyebarkan semua cerita busuk kepada semua orang tentang saya.” Kata Kolonel yang bicara dengan nada yang datar. Dia diam sejenak, seperti mengukur reaksi Widka.
“Maafkan aku Kolonel. Aku…” suara itu terpotong.
“Anda tahu cara menggunakan pistol itu?”
Widka tersentak lagi untuk kedua kalinya. Setelah terengah-engah oleh kelakuan putrinya, sekarang dia harus berhadapan dengan Kolonel. Dia tidak pernah merasakan dirinya sebingung ini.
Ia berdehem, membersihkan tenggorokannya sebelum bicara: “Anda boleh menyuruhku apapun, Kolonel. Kecuali yang satu ini.” Katanya dengan nada yang berat.
“Seharusnya saya tidak memperkerjakan orang pengecut seperti anda.” Sergah Kolonel merasa putus asa.
Kolonel berdiri dari tempat duduknya. Berjalan membawa revolvernya dengan tangan kanannya yang terkulai lemas, dia berjalan beberapa langkah mendekati jendela, berhenti, menatap ke arah jendela.
“Apa yang dia lakukan?” Widka menebak-nebak dalam pikirannya. Tetapi dia tahu bahwa Kolonel akan menembak kepalanya sendiri dan meminta Widka untuk mengumumkan kematiannya sesuai yang diminta oleh Alina. Kapan dia melakukannya? Widka menunggu tangan Kolonel terangkat dan menembak. Pecah. Sisa-sisa otak akan terbuai berceceran: Di lantai, kaca, dinding, dan lemari. Tidak. “TIDAK!! Sialan!” Enyahlah bayang-bayang yang menyesatkan itu.
Kini Widka tidak lagi memikirkan soal Alina serta kegilaannya. Dia mengutuk nasib naasnya sampai-sampai menerima tawaran ini. Menyesal. Kalau memang bisa, dia ingin sekali kabur di tengah permasalahan yang ada. Kapan suara letusan itu terdengar. Widka menunggu. Entah kegilaan apa lagi yang harus dia lalui.
Tepat di saat dia berspekulasi soal-soal mengerikan yang akan terjadi, seolah semua khayalan itu dikabulkan dengan sesuatu yang lain. Bayang-bayang mengerikan itu tercipta lewat suara muram bergemuruh Bi Minah–terengah-engah, histeris: “Celaka tuan, celaka! Putri Anda sepertinya…” Kata Bi Minah tercekat hingga tidak bisa meneruskan kata-katanya. “Di luar...”
Saking terkejutnya, Kolonel harus menggelimpangkan tubuhnya 180°untuk bisa menatap Bi Minah.
Di sudut lain Widka melihat mulut perempuan itu terbuka setengah, tangannya menujuk ke depan teras dengan gerak yang gelisah dan gemetar. “Lihat.. Di.. Di depan Tuan. Putri Anda di sana.”
Widka membayangkan rupa-rupa yang menakutkan melihat wajah Bi Minah yang menahan suatu emosi tertentu. “Dia ketakutan setengah mati.” Spontan Widka berdiri memandangi Kolonel, demikian juga Kolonel memandang Widka, saling berpandangan tidak paham sedikitpun, lalu bergerak secepat kilat ke arah yang ditunjuk Bi Minah.
Kolonel tergopoh-gopoh berlari mendahului Widka. Dia berlari seperti orang mabuk. Widka juga merasa dirinya juga panik. Dari teras Widka melihat ke bawah. Seorang wanita menggunakan baju satin merah tergeletak di halaman depan rumah. Dari situ jelas terlihat darahnya yang mengucur keluar secara brutal.
Widka merasa yakin sekali bahwa itu Alina. Seolah dia sudah menantikan gadis itu memang berbuat sesuatu yang mengerikan. Seperti juga Kolonel yang telah menuntun pikirannya ke arah yang menakutkan. Dia berjalan mendekati tubuh perempuan itu tetapi Kolonel terburu untuk memeluknya rupa-rupa yang tergeletak itu terhalang punggung Kolonel yang memapahnya.
Widka melihat ke atas, terlihat balkon dari kamar Alina yang menjorok keluar, satu garis lurus dengan tubuh perempuan yang terkapar.
“Ya. Tuhaan, kamu benar-benar telah melakukannya.” Widka menyesali semua yang telah dia lakukan kepada Alina.
Sersan Tomo datang dari arah pintu rumah. Sersan muda itu setengah berlari mendekati dan melihat keadaan. Dia bergumam sesuatu yang tidak bisa dipahami Widka, sepertinya dia bilang: “Kenapa ini?” Widka tidak menjawab, kepalanya seperti dikerubungi ribuan lebah.
Widka melihat di luar gerbang, mereka semua tetangga Kolonel menatap kejadian dengan pandangan yang terbelalak, meringis dan juga penasaran. Sepasang mata itu bergerombol mengarah satu titik: Tubuh seorang gadis yang terkapar.
Sersan terlihat tenang dan mengambil ponsel dari balik sakunya.
“Halo.. Rumah Sakit? Ya Rumah sakit?” Seru Sersan keras-keras. “Ada yang celaka di sini.. Ada yang celaka di sini .. kami butuh ambulans..Ya.. Tolong catat alamatnya..” Ucapannya terpotong ketika Kolonel memanggil namanya.
“Tomo.. Tomo..” Dia bicara sambil melirik ke arah Sersan tersebut yang berada di belakangnya. Sersan mengerti bahasa tubuh Kolonel dan mendekatinya. Dengan setengah membungkuk Sersan dan Kolonel bicara bisik-bisik yang tidak bisa didengar oleh Widka. Sersan muda itu bangkit dan menatap polisi dengan sinar matanya yang mengancam. Dia keluarkan senjata laras pendek dari pinggangnya dan menyodokkan moncong ke arah Widka.
“Mundur,” suara itu terdengar dingin.
Widka tidak mendengar ucapan Sersan. Perhatiannya kini hanya kepada punggung Kolonel. Pikirannya mengawang pada dimensi lain dan terjebak di dunia itu, sehingga matanya terlihat seperti orang dalam kondisi trance – setengah sadar.
Ia mencoba berteriak tetapi tertahan, hingga akhirnya suara ledakan itu tertanam di dalam jiwanya yang paling dalam. Seakan ledakan itu menyumbat seluruh pembuluh darah yang ia punya hingga tubuhnya terasa lumpuh seketika.
Hujanpun turun.
--BERSAMBUNG--
0
Kutip
Balas