- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Bersambung: Voyeurism
...
TS
widka
Cerita Bersambung: Voyeurism
Quote:

Quote:
Judul Karya : Voyeurism
Jenis Karya : Fiksi
Genre Karya : Detektif, Misteri, Drama.
Target Pembaca : Remaja-Dewasa
Usia : 17+
Quote:
HOT COVER

Spoiler for PRAWACANA:
PRAWACANA
Kisah ini menceritakan kontroversi pengakuan pelecehan seksual yg dialami ALINA pada masa lalunya. Apakah benar atau salah bahwa kejadian itu benar-benar terjadi? Seberapa akuratkah ingatan seseorang?
Seperti yang kita ketahui bahwa ada banyak tulisan yang dipublikasikan mengenai pulihnya ingatan tentang pelecehan seksual di masa anak-anak berakhir keliru atau tidak koheren (nyambung) dengan fakta-fakta yang ada.
Lantas cerita berlanjut ke polisi muda yang bernama WIDKA, yang menderita voyeurisme. Voyeurisme adalah penyakit psikologis di mana penderitanya mencapai kepuasan seksual hanya dengan cara mengintip. Namun, tanpa sengaja aktifitas terlarangnya itu membuat sang tokoh tahu misteri dibalik kontroversi yang menyelimuti ALINA.
Kisah yang menarik tentang drama-hasrat-kriminal dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, sehingga kisah ini sangat layak untuk dinikmati sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya akan update terus cerita bersambung ini jika agan-agan berkenan terhadap cerita yang sedang saya kembangkan.
Terimakasih.
Seperti yang kita ketahui bahwa ada banyak tulisan yang dipublikasikan mengenai pulihnya ingatan tentang pelecehan seksual di masa anak-anak berakhir keliru atau tidak koheren (nyambung) dengan fakta-fakta yang ada.
Lantas cerita berlanjut ke polisi muda yang bernama WIDKA, yang menderita voyeurisme. Voyeurisme adalah penyakit psikologis di mana penderitanya mencapai kepuasan seksual hanya dengan cara mengintip. Namun, tanpa sengaja aktifitas terlarangnya itu membuat sang tokoh tahu misteri dibalik kontroversi yang menyelimuti ALINA.
Kisah yang menarik tentang drama-hasrat-kriminal dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti, sehingga kisah ini sangat layak untuk dinikmati sebagai bacaan yang menghibur sekaligus mengundang rasa penasaran.
Saya akan update terus cerita bersambung ini jika agan-agan berkenan terhadap cerita yang sedang saya kembangkan.
Terimakasih.
Quote:
Hot Comment Sampai BAB VIII

Quote:
Original Posted By princess.anne►
Ane juga tau cerita ini setelah liat trit agan di CYSTG
Dari sana aja udah terpesona sama pengetahuan agan ttg kepribadian
Dan 4 hal di atas yg bikin ane makin WOW sama karya agan ini
Judul kayak gini justru bagus, unik. Coba kalo judulnya langsung: petualangan sang pengintip, sedikit agak basi. Tapi dengan kata voyeurism, pertama bikin kening berkerut, lalu semakin bikin penasaran, pengen menggali lebih dalem, endingnya "ooooh.... gitu!"
Oya satu hal lagi yang paling ane suka, agan ga cuma nyediain cerita yang bikin penasaran, menghibur, tapi juga memberikan banyak pengetahuan!
I love it!
Ane penggemar berat genre kayak gini
Pokoke semangat terus berkarya gan!
Ane juga tau cerita ini setelah liat trit agan di CYSTG

Dari sana aja udah terpesona sama pengetahuan agan ttg kepribadian

Dan 4 hal di atas yg bikin ane makin WOW sama karya agan ini
Judul kayak gini justru bagus, unik. Coba kalo judulnya langsung: petualangan sang pengintip, sedikit agak basi. Tapi dengan kata voyeurism, pertama bikin kening berkerut, lalu semakin bikin penasaran, pengen menggali lebih dalem, endingnya "ooooh.... gitu!"
Oya satu hal lagi yang paling ane suka, agan ga cuma nyediain cerita yang bikin penasaran, menghibur, tapi juga memberikan banyak pengetahuan!

I love it!
Ane penggemar berat genre kayak gini
Pokoke semangat terus berkarya gan!
Quote:
Original Posted By Blazerknight►homina homina homina, keren banget ceritanya asli..... 

Quote:
Original Posted By septhia►hari minggu, gak ada hiburan, buka kaskus liat thread agan, sungguh luar biasa ceritanya...gini ini yg seru gak hanya cerita cinta melulu...salut for agan...
Quote:
Original Posted By Garyu73►What gilaaak? Ini apa? Baru pertama liat uy, ini buku ya? Keren banget uy TS bisa nyampe disini terus menyalurkan ide gilanya 
Keren gan, mudahan ada waktu biar bisa baca ceritanya

Keren gan, mudahan ada waktu biar bisa baca ceritanya

Quote:
Original Posted By bapaknya.tongol►wanjeeeeng, aktingnya alin mantap kalee bah...
"pelakunya adalah kau". sambil menjukan jati tengah ke arah kolonel
ataukah hanya mimpi widka
bodo amat, yg penting cepet abdet lagiii braaay

tunggu cendol mateng ya braaay....
buru apdet nya..
"pelakunya adalah kau". sambil menjukan jati tengah ke arah kolonel

ataukah hanya mimpi widka

bodo amat, yg penting cepet abdet lagiii braaay

tunggu cendol mateng ya braaay....
buru apdet nya..
Quote:
Original Posted By chayono►Wah gan abis baca bab 5 part 1 kayaknya bakal makin dalem nih ceritanya. Awalnya ane percaya alina tuh gila. Tapi pas baca mengenai pendapat komandan jo trus review ulang kayaknya ada yg aneh dengan kolonelnya. Seolah olah di buat skenario alina meninggal padahal engga. Di tunggu part berikutnya yg lebih ngebuka misterinya.
Quote:
Quote:
Original Posted By velerkajut►akhirnya update juga makin keren aja nh jalur ceritanya gue suka cara penulisannya yg frontal jd ga kaku bacanya nice gan di tunggu part 3 nya

Quote:
Original Posted By cUmplanks►mana bab v!! manaaaaaaaaa...!!
manaaaaaa ...!! bab v bab v bab v...
hayok cepat gannnnn..penasaran 1/2 idup ini..!!
bener" nice post gan..cendol +1 dari ane yah..

manaaaaaa ...!! bab v bab v bab v...

hayok cepat gannnnn..penasaran 1/2 idup ini..!!

bener" nice post gan..cendol +1 dari ane yah..

Quote:
Original Posted By TahtaArash►bab V part 2 mana gan. ane udh bli paket extra buat baca cerita agan
Quote:
Original Posted By umikrachmi►Gan masih bersambung yaaa ceritanyaaa? Seruuu sumpah
Quote:
Quote:
Original Posted By milan22►Yah,ternyata masih bersambung, padahal ane udah siap2 menebak endingnya..
Update nya kapan gan?
Update nya kapan gan?
Quote:
Original Posted By encantz►update lagi mas, alinanya jgn dimatiin yak 

Quote:
Quote:
Quote:
Original Posted By dados8756►izin stalk mas bro
, bagus ceritanya... sambil sekalian belajar
, bagus ceritanya... sambil sekalian belajarQuote:
Quote:
BAB I












BERSAMBUNG
INDEX
Quote:
BAB II Versi jpg
BAB II Versi Text Part 1
BAB II Versi Text Part 2
BAB II Versi Text Part 3
BAB III Versi Text Part 1
BAB III Versi Text Part 2
BAB III Versi Text Part 3
BAB IV Versi Text Part 1
BAB IV Versi Text Part 2
BAB IV Versi Text Part 3
BAB V Versi Text Part 1
BAB V Versi Text Part 2
BAB V Versi Text Part 3
BAB VI Versi Text Part 1
BAB VI Versi Text Part 2
BAB VI Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 1
BAB VII Versi Text Part 2
BAB VII Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 4
WFull Version: Wattpad
BAB II Versi Text Part 1
BAB II Versi Text Part 2
BAB II Versi Text Part 3
BAB III Versi Text Part 1
BAB III Versi Text Part 2
BAB III Versi Text Part 3
BAB IV Versi Text Part 1
BAB IV Versi Text Part 2
BAB IV Versi Text Part 3
BAB V Versi Text Part 1
BAB V Versi Text Part 2
BAB V Versi Text Part 3
BAB VI Versi Text Part 1
BAB VI Versi Text Part 2
BAB VI Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 1
BAB VII Versi Text Part 2
BAB VII Versi Text Part 3
BAB VII Versi Text Part 4
WFull Version: Wattpad
Spoiler for Cerita Lain? Mampir Gan:
Quote:
LAIN

Sinopsis
Seorang wanita mendapati dirinya tidak sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Apa yang terjadi? Story Will SHOCK YOU!!!Click Here!!

Sinopsis
Seorang wanita mendapati dirinya tidak sendiri ketika ditinggal suaminya bekerja. Apa yang terjadi? Story Will SHOCK YOU!!!Click Here!!
Quote:
TRAGEDI PEMBUNUHAN DI ZANGGARO


Sinopsis
Kali ini Inspektur Jo dan Assitennnya, Widka harus memecahkan pembunuhan sadis di Zanggaro, salah satu Negara bagian Afrika.Menurut saksi, ciri-ciri seorang pelaku pembunuhan persis seperti Sibiso Vilikazi dan Sibiso Khumalo. Keduanya saudara kembar. Namun ada 1 hal yang pasti diantara keduanya, yakni salah satu dari mereka adalah seorang pembohong patologis. Link? Click here!!
Kali ini Inspektur Jo dan Assitennnya, Widka harus memecahkan pembunuhan sadis di Zanggaro, salah satu Negara bagian Afrika.Menurut saksi, ciri-ciri seorang pelaku pembunuhan persis seperti Sibiso Vilikazi dan Sibiso Khumalo. Keduanya saudara kembar. Namun ada 1 hal yang pasti diantara keduanya, yakni salah satu dari mereka adalah seorang pembohong patologis. Link? Click here!!
Spoiler for Makasih Cendolnya:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 124 suara
Misteri apa yang agan harapkan terkuak dari cerita ini?
Alina memang gila - Drama, Psychological Thriller
7%
Semua Cuma Bayangan Widka - Drama, Psychological Thriller, Horor
13%
Konspirasi Kolonel - Action, Thriller
42%
TS-nya Gila
38%
Diubah oleh widka 25-02-2017 09:51
anasabila dan yuliaherliani99 memberi reputasi
0
108.7K
Kutip
781
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
widka
#83
TEXT BAB III PART 2
Spoiler for BAB III Part 2 TEXT:
BAB III
-Part 2-
-Part 2-
Hari itu Widka mendatangi rumah Kolonel yang tidak begitu jauh. Tepatnya berada di komplek Petrolium. Sersan Tomo menjemput Widka dengan mobil Xenianya berwarna hitam di markas. Saat memasuki pekarangan rumah, Widka bisa melihat betapa megahnya rumah Kolonel yang didesain dengan gaya klasik, dua pilarnya menjulang tinggi memperlihatkan keangkuhan sekaligus keanggunan yang tiada tara. Halamannya tertata rapi dirawat sedemikian ketat persis seperti tatanan rambut Kolonel yang dicukur persisi setiap centinya.
Widka melihat rumah berlantai dua itu sambil ternganga: “Anjir, enak amat.”
Mereka jalan harus jalan terlebih dahulu ketika ke teras rumah Kolonel. Dari sana dia melihat berbagai jenis tanaman, dari kejauhan terdapat burung-burung pipit yang saling bersahutan tanpa terburu-buru terganggu oleh kehadiran manusia. Bagi Widka, rumah ini terlalu mubazir – terlalu besar – jika hanya di tempati oleh Kolonel dan putri semata wayangnya.
Widka mempelajari rumah ini satu persatu, matanya menjelajahi seluruh tampilan gedung. Sekilas ia beranggapan bahwa rumah itu bukan saja memiliki daya tarik visual saja, tetapi juga memiliki aura magis yang membuat bulu kuduknya bergidik.
“Baru pertama kali ke rumah Kolonel?” Tanya Sersan Tomo
Widka mengangguk, “tepatnya baru pertama kali masuk. Seringkali melintas dan mengaggumi rumah megah ini. Beruntung, bisa sampai sini sekarang.”
Rumah itu memiliki dua lantai. Widka melihat sendiri, untuk masuk ke ruang utamanya saja mereka harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Di lantai dasar hanya digunakan untuk parkiran mobil, mungkin juga kamar belakang untuk pengurus rumah. Widka dan Sersan Tomo menaiki anak tangga untuk mencapai teras depan. Satu dari dua bilik pintu itu terbuka, dan mendapati dirinya masuk ke ruangan tamu yang besar dengan segala perbotan antik penghias rumahnya. Seperti seorang kolektor, di lantai terlihat sebuah karpet berloreng yang terbuat dari kulit harimau, di dindingnya terdapat hiasan yang terbuat dari kepala rusa, di sebelah pojok ada burung elang yang sedang membentangkan sayapnya, di tengah ruang tamu itu melingkar sofa inggris berwarna merah gelap membuat ruangan ini terlihat klasik dan megah.
Widka melihat sekelilingnya, lalu merasa dirinya tersudut: kepala rusa yang dipajang di dinding itu seolah-olah menatapnya, demikian juga dengan elang, lukisan kuda, dan juga tembok-tembok. Seolah semua yang ada di sana menatap polisi itu.
Seketika, Widka segera mengenali sosok Kolonel Godam yang pernah ia temui di bar. Perwira itu datang dari arah ruang tengah yang menggunakan seragam dinasnya yang gress seperti baru disetrika rapi, ia menyambut Widka dengan ramah: “Haloo. Widka. Terimakasih sudah mau datang ke sini.”
“Sama-sama, Kolonel. Terimakasih juga sudah mengundangku ke tempat ini.”
“Silahkan duduk. Saya sudah menyiapkan kamar untuk anda. Kita akan makan sebentar lagi. Bi Minah segera menyiapkan semuanya untuk Anda.”
“Saya kira ini waktunya meninggalkan Anda berdua. Saya kembali lagi setelah jam makan siang.” Kata Sersan Tomo menengahi perbincangan mereka berdua. Ia kemudian menoleh pada Widka “Selamat siang Widka, selamat bertugas.”
Kolonel mengangkat tangannya, tanda berpisah, Sersan Tomo berpaling dan keluar sambil menutup pintu.
“Alina sedang berada di kamar saat ini.” kata Kolonel “Akhir-akhir ini dia lebih suka menyendiri di kamar dan tidak berminat pada hal apapun. Mengkhawatirkan. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk bisa saya kenalkan kepada anda.”
“Oh.”
Widka duduk sambil melihat-lihat sekelilingnya. “Rumah yang mengagumkan, Kolonel.”
“Ya. Rumah ini warisan orang tua saya. Dibangun atas dasar keinginan nenek untuk menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. Ayah sayalah yang mewujudkan keinginan nenek. Dengan kekuatannya, dia berhasil membangun rumah ini pada tahun akhir delapanpuluhan. Dia juga berasal dari angkatan. Saya selalu bersikeras untuk menempati rumah ini. Karena disinilah tempat saya tumbuh besar. Bahkan ketika saya menikah, Alina dan Ibunya sengaja saya tempatkan di sini daripada di rumah dinas.”
Mata Widka tidak bisa tidak menggerayangi seluruh bagian rumah. Dia sudah tidak sabar lagi untuk segera diajak mengitari seisi rumah Kolonel.
“Ingin lihat-lihat?”
Widka setuju dan segera bangkit dari tempat duduknya. Mereka berjalan menuju ruang tengah yang luas dan megah. Matanya menjelajahi ruang itu: sofa-sofa mewah, meja besar, tangga besar menuju lantai atas, lampu sudut, televisi berukuran 54 inch, salah satu dindingnya di dominasi oleh deretan lemari-lemari yang berisi buku-buku yang luar biasa banyak.
Di sudut lain, Widka melihat pada sebuah buffet besar yang bertengger mendempet tembok, di atasnya terdapat beberapa foto-foto Kolonel bersama istrinya dan foto-foto seorang gadis cantik berambut kecoklatan. “Alina?” gumamnya dalam hati dan mulai mengingat kembali dengan foto yang pernah ia lihat sebelumnya. Widka mulai membandingkan mendiang istri Kolonel dengan Alina dari foto, dan menduga bahwa: hidung kecil, mata bulat, rambut kecoklatan, serta kulitnya yang bersinar putih menandakan ibunya memiliki peran dalam garis keturunannya.
“Alina.” Kata Kolonel
“Ya.”
“Kau pernah melihatnya?” Kolonel mendesis.
“Melihatnya?” tanya Widka merasa heran. “Maksudmu di foto? Ah, ya kalau foto pernah.. Kolonel yang kasih lihat kemarin.”
“Jadi kau belum pernah melihatnya secara langsung?” Kolonel menatapnya tajam.
Dari cara Kolonel memandang wajahnya, Widka mendapat kesan bahwa dia sedang diawasi gerak-geriknya. Tatapan macam itu membuat Widka jengah.
“Be.. belum Kolonel," ia tergagap. "Sekalipun belum pernah.”
Widka melihat Kolonel yang mengendurkan tatapan anehnya itu. Perwira itu kemudian menunjuk ke arah meja makan, tempat tersedianya nasi, gurame asam manis, buncis, kangkung dan laukpauk lainnya. Alih-alih ramah yang diperlihatkan Kolonel dengan mempersilahkan tamunya untuk menikmati hidangan, Widka justru merasa dirinya merinding dan terus diawasi. Apa cuma perasaan saja?
Mereka berdua duduk di depan meja makan, seorang perempuan gemuk menuangkan air putih ke dalam gelas mereka satu persatu. Widka merasa sungkan dan mengucapkan terima kasih kepada perempuan gemuk itu.
“Ini Bi Minah, ia mengurus saya dan Alina di rumah ini.” Kolonel menunjuk ke perempuan gemuk itu.
Widka mengulurkan tangan pada Bi Minah yang nampaknya berusia lima puluh tahunan.
“Ada lagi Pak Narto. Dia hanya sekali-sekali datang kesini mengurus pekarangan rumah. Selama saya tidak ada, praktis di rumah yang sepi. Hanya tersisa Bi Minah, Alina dan kau.” Kata Kolonel sambil menyendok nasi. “Ayo. Silahkan jangan sungkan-sungkan.”
Widka mengambil piring dan menyendok nasi. Dia tidak pernah melihat makanan semewah ini di rumahnya. Setelah mengucap doa mereka mulai memakan hidangan yang telah tersedia. Mereka berdiam-diaman beberapa menit, sambil menyantap gurame asam manis. Pikiran polisi itu mulai usil membayangkan rupa putri Kolonel. Apakah dia secantik di foto?
“Alina tidak makan, Kolonel?” Tanya Widka merasa dirinya spontan.
Kolonel merasa terlonjak saat menggores-goreskan pisaunya ke piring. Lalu melihat nanar polisi itu lagi. Widka mengingat-ingat apakah dirinya salah berucap.
“YA.YA…” kata Kolonel sambil melap tangannya dengan tissu. “Alina seharusnya ada di sini, makan siang tepat bersama kita.”
Kolonel berdiri berjalan lambat seperti ragu-ragu. Untuk sejenak dia mendapati seperti hendak berbalik badan. Tetapi tidak. Ia terus berjalan ke lantai atas.
“Kenapa dia terkaget-kaget begitu?” Widka membatin. Apa Kolonel takut dengan Alina? Bagaimana jika kegilaan putrinya terjadi saat makan siang?
Sekian menit kemudian, Kolonel datang bersama Alina. Gadis itu memakai satin merah saat dia datang menghampiri meja makan. Widka menghentikan makannya dan berdiri. Ia mendapati Kolonel yang sedang menatap si polisi seakan hendak memakannya. Kenapa Kolonel merasa begitu curiga? Widka merasa dirinya sedang di hitung detak jantungnya.
“Kenalkan ini Alina.” Kata Kolonel
Widka menyadari bahwa Kolonel merasa canggung dan ragu-ragu mengenalkan putrinya. Dia merasa tidak yakin. Widka mendapat kesan seperti itu. Iapun merasa canggung untuk mengulurkan tangan kepada Alina. Takut mendapat penolakan.
“Saya Widka. Salam kenal.”
“Untuk sementara dia akan menjadi temanmu, Alina. Dia orang kepercayaan ayah. Anggaplah seperti saudaramu sendiri.” Kolonel berkata demikian.
Gadis itu hanya menatap Widka dan tidak berucap apa-apa.
“Silahkan duduk. Teruskan makannya.” Kata Kolonel ramah, Widka yang merasa otot-ototnya yang tegang kini merenggang. Kolonel merubah sudut pandangnya ke Alina. “Sayang, kamu mau makan? Duduk saja dulu, biar ayah siapkan semuanya.”
Alina duduk disamping Widka. Dari sudut matanya Widka melirik wajah gadis itu dari dekat. Dalam posisi profil: rambutnya bergelombang agak kecoklatan, hidungnya kecil dan mancung tidak seperti Kolonel yang pesek. Dia adalah seorang gadis yang cantik jelita. Namun seperti yang pernah disampaikan oleh Kolonel, bahwa gadis ini sakit. Belum terlihat.
Setelah selesai makan siang, Kolonel meminta nomer rekening Widka untuk ditransfer sejumlah uang. Widka setuju dan memberi nomornya itu melalu SMS. Saat sedang berlangsung, Alina kembali ke kamarnya di lantai atas dan tidak terlihat selama beberapa saat. Akhirnya Sersan Tomo datang menjemput Kolonel. Mereka berpamitan kepada Widka dan meminta polisi itu untuk terus mengawasi Alina.
“Gadis ini sangat rapuh. Sepotong porselen dia. Saya sarankan jagalah dia baik-baik layaknya laki-laki terhormat.”
“Mengerti dan paham Kolonel.”
“Selayaknya laki-laki terhormat,” ia kembali menegaskan. “Selamat siang.” Ia bicara dengan suara yang dingin, tanpa emosi, dan tanpa dramatik.
Widka menghentakan tumit dan memberi tanda hormat. “Siap Kolonel.”
Selepas pandangannya, Widka berpeluh. Seakan ular boa yang menjerat tubuhnya lepas seketika.
Widka melihat rumah berlantai dua itu sambil ternganga: “Anjir, enak amat.”
Mereka jalan harus jalan terlebih dahulu ketika ke teras rumah Kolonel. Dari sana dia melihat berbagai jenis tanaman, dari kejauhan terdapat burung-burung pipit yang saling bersahutan tanpa terburu-buru terganggu oleh kehadiran manusia. Bagi Widka, rumah ini terlalu mubazir – terlalu besar – jika hanya di tempati oleh Kolonel dan putri semata wayangnya.
Widka mempelajari rumah ini satu persatu, matanya menjelajahi seluruh tampilan gedung. Sekilas ia beranggapan bahwa rumah itu bukan saja memiliki daya tarik visual saja, tetapi juga memiliki aura magis yang membuat bulu kuduknya bergidik.
“Baru pertama kali ke rumah Kolonel?” Tanya Sersan Tomo
Widka mengangguk, “tepatnya baru pertama kali masuk. Seringkali melintas dan mengaggumi rumah megah ini. Beruntung, bisa sampai sini sekarang.”
Rumah itu memiliki dua lantai. Widka melihat sendiri, untuk masuk ke ruang utamanya saja mereka harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Di lantai dasar hanya digunakan untuk parkiran mobil, mungkin juga kamar belakang untuk pengurus rumah. Widka dan Sersan Tomo menaiki anak tangga untuk mencapai teras depan. Satu dari dua bilik pintu itu terbuka, dan mendapati dirinya masuk ke ruangan tamu yang besar dengan segala perbotan antik penghias rumahnya. Seperti seorang kolektor, di lantai terlihat sebuah karpet berloreng yang terbuat dari kulit harimau, di dindingnya terdapat hiasan yang terbuat dari kepala rusa, di sebelah pojok ada burung elang yang sedang membentangkan sayapnya, di tengah ruang tamu itu melingkar sofa inggris berwarna merah gelap membuat ruangan ini terlihat klasik dan megah.
Widka melihat sekelilingnya, lalu merasa dirinya tersudut: kepala rusa yang dipajang di dinding itu seolah-olah menatapnya, demikian juga dengan elang, lukisan kuda, dan juga tembok-tembok. Seolah semua yang ada di sana menatap polisi itu.
Seketika, Widka segera mengenali sosok Kolonel Godam yang pernah ia temui di bar. Perwira itu datang dari arah ruang tengah yang menggunakan seragam dinasnya yang gress seperti baru disetrika rapi, ia menyambut Widka dengan ramah: “Haloo. Widka. Terimakasih sudah mau datang ke sini.”
“Sama-sama, Kolonel. Terimakasih juga sudah mengundangku ke tempat ini.”
“Silahkan duduk. Saya sudah menyiapkan kamar untuk anda. Kita akan makan sebentar lagi. Bi Minah segera menyiapkan semuanya untuk Anda.”
“Saya kira ini waktunya meninggalkan Anda berdua. Saya kembali lagi setelah jam makan siang.” Kata Sersan Tomo menengahi perbincangan mereka berdua. Ia kemudian menoleh pada Widka “Selamat siang Widka, selamat bertugas.”
Kolonel mengangkat tangannya, tanda berpisah, Sersan Tomo berpaling dan keluar sambil menutup pintu.
“Alina sedang berada di kamar saat ini.” kata Kolonel “Akhir-akhir ini dia lebih suka menyendiri di kamar dan tidak berminat pada hal apapun. Mengkhawatirkan. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk bisa saya kenalkan kepada anda.”
“Oh.”
Widka duduk sambil melihat-lihat sekelilingnya. “Rumah yang mengagumkan, Kolonel.”
“Ya. Rumah ini warisan orang tua saya. Dibangun atas dasar keinginan nenek untuk menghabiskan waktu bersama cucu-cucunya. Ayah sayalah yang mewujudkan keinginan nenek. Dengan kekuatannya, dia berhasil membangun rumah ini pada tahun akhir delapanpuluhan. Dia juga berasal dari angkatan. Saya selalu bersikeras untuk menempati rumah ini. Karena disinilah tempat saya tumbuh besar. Bahkan ketika saya menikah, Alina dan Ibunya sengaja saya tempatkan di sini daripada di rumah dinas.”
Mata Widka tidak bisa tidak menggerayangi seluruh bagian rumah. Dia sudah tidak sabar lagi untuk segera diajak mengitari seisi rumah Kolonel.
“Ingin lihat-lihat?”
Widka setuju dan segera bangkit dari tempat duduknya. Mereka berjalan menuju ruang tengah yang luas dan megah. Matanya menjelajahi ruang itu: sofa-sofa mewah, meja besar, tangga besar menuju lantai atas, lampu sudut, televisi berukuran 54 inch, salah satu dindingnya di dominasi oleh deretan lemari-lemari yang berisi buku-buku yang luar biasa banyak.
Di sudut lain, Widka melihat pada sebuah buffet besar yang bertengger mendempet tembok, di atasnya terdapat beberapa foto-foto Kolonel bersama istrinya dan foto-foto seorang gadis cantik berambut kecoklatan. “Alina?” gumamnya dalam hati dan mulai mengingat kembali dengan foto yang pernah ia lihat sebelumnya. Widka mulai membandingkan mendiang istri Kolonel dengan Alina dari foto, dan menduga bahwa: hidung kecil, mata bulat, rambut kecoklatan, serta kulitnya yang bersinar putih menandakan ibunya memiliki peran dalam garis keturunannya.
“Alina.” Kata Kolonel
“Ya.”
“Kau pernah melihatnya?” Kolonel mendesis.
“Melihatnya?” tanya Widka merasa heran. “Maksudmu di foto? Ah, ya kalau foto pernah.. Kolonel yang kasih lihat kemarin.”
“Jadi kau belum pernah melihatnya secara langsung?” Kolonel menatapnya tajam.
Dari cara Kolonel memandang wajahnya, Widka mendapat kesan bahwa dia sedang diawasi gerak-geriknya. Tatapan macam itu membuat Widka jengah.
“Be.. belum Kolonel," ia tergagap. "Sekalipun belum pernah.”
Widka melihat Kolonel yang mengendurkan tatapan anehnya itu. Perwira itu kemudian menunjuk ke arah meja makan, tempat tersedianya nasi, gurame asam manis, buncis, kangkung dan laukpauk lainnya. Alih-alih ramah yang diperlihatkan Kolonel dengan mempersilahkan tamunya untuk menikmati hidangan, Widka justru merasa dirinya merinding dan terus diawasi. Apa cuma perasaan saja?
Mereka berdua duduk di depan meja makan, seorang perempuan gemuk menuangkan air putih ke dalam gelas mereka satu persatu. Widka merasa sungkan dan mengucapkan terima kasih kepada perempuan gemuk itu.
“Ini Bi Minah, ia mengurus saya dan Alina di rumah ini.” Kolonel menunjuk ke perempuan gemuk itu.
Widka mengulurkan tangan pada Bi Minah yang nampaknya berusia lima puluh tahunan.
“Ada lagi Pak Narto. Dia hanya sekali-sekali datang kesini mengurus pekarangan rumah. Selama saya tidak ada, praktis di rumah yang sepi. Hanya tersisa Bi Minah, Alina dan kau.” Kata Kolonel sambil menyendok nasi. “Ayo. Silahkan jangan sungkan-sungkan.”
Widka mengambil piring dan menyendok nasi. Dia tidak pernah melihat makanan semewah ini di rumahnya. Setelah mengucap doa mereka mulai memakan hidangan yang telah tersedia. Mereka berdiam-diaman beberapa menit, sambil menyantap gurame asam manis. Pikiran polisi itu mulai usil membayangkan rupa putri Kolonel. Apakah dia secantik di foto?
“Alina tidak makan, Kolonel?” Tanya Widka merasa dirinya spontan.
Kolonel merasa terlonjak saat menggores-goreskan pisaunya ke piring. Lalu melihat nanar polisi itu lagi. Widka mengingat-ingat apakah dirinya salah berucap.
“YA.YA…” kata Kolonel sambil melap tangannya dengan tissu. “Alina seharusnya ada di sini, makan siang tepat bersama kita.”
Kolonel berdiri berjalan lambat seperti ragu-ragu. Untuk sejenak dia mendapati seperti hendak berbalik badan. Tetapi tidak. Ia terus berjalan ke lantai atas.
“Kenapa dia terkaget-kaget begitu?” Widka membatin. Apa Kolonel takut dengan Alina? Bagaimana jika kegilaan putrinya terjadi saat makan siang?
Sekian menit kemudian, Kolonel datang bersama Alina. Gadis itu memakai satin merah saat dia datang menghampiri meja makan. Widka menghentikan makannya dan berdiri. Ia mendapati Kolonel yang sedang menatap si polisi seakan hendak memakannya. Kenapa Kolonel merasa begitu curiga? Widka merasa dirinya sedang di hitung detak jantungnya.
“Kenalkan ini Alina.” Kata Kolonel
Widka menyadari bahwa Kolonel merasa canggung dan ragu-ragu mengenalkan putrinya. Dia merasa tidak yakin. Widka mendapat kesan seperti itu. Iapun merasa canggung untuk mengulurkan tangan kepada Alina. Takut mendapat penolakan.
“Saya Widka. Salam kenal.”
“Untuk sementara dia akan menjadi temanmu, Alina. Dia orang kepercayaan ayah. Anggaplah seperti saudaramu sendiri.” Kolonel berkata demikian.
Gadis itu hanya menatap Widka dan tidak berucap apa-apa.
“Silahkan duduk. Teruskan makannya.” Kata Kolonel ramah, Widka yang merasa otot-ototnya yang tegang kini merenggang. Kolonel merubah sudut pandangnya ke Alina. “Sayang, kamu mau makan? Duduk saja dulu, biar ayah siapkan semuanya.”
Alina duduk disamping Widka. Dari sudut matanya Widka melirik wajah gadis itu dari dekat. Dalam posisi profil: rambutnya bergelombang agak kecoklatan, hidungnya kecil dan mancung tidak seperti Kolonel yang pesek. Dia adalah seorang gadis yang cantik jelita. Namun seperti yang pernah disampaikan oleh Kolonel, bahwa gadis ini sakit. Belum terlihat.
Setelah selesai makan siang, Kolonel meminta nomer rekening Widka untuk ditransfer sejumlah uang. Widka setuju dan memberi nomornya itu melalu SMS. Saat sedang berlangsung, Alina kembali ke kamarnya di lantai atas dan tidak terlihat selama beberapa saat. Akhirnya Sersan Tomo datang menjemput Kolonel. Mereka berpamitan kepada Widka dan meminta polisi itu untuk terus mengawasi Alina.
“Gadis ini sangat rapuh. Sepotong porselen dia. Saya sarankan jagalah dia baik-baik layaknya laki-laki terhormat.”
“Mengerti dan paham Kolonel.”
“Selayaknya laki-laki terhormat,” ia kembali menegaskan. “Selamat siang.” Ia bicara dengan suara yang dingin, tanpa emosi, dan tanpa dramatik.
Widka menghentakan tumit dan memberi tanda hormat. “Siap Kolonel.”
Selepas pandangannya, Widka berpeluh. Seakan ular boa yang menjerat tubuhnya lepas seketika.
>>>
Diubah oleh widka 09-09-2014 04:28
0
Kutip
Balas

ternyata si alina emg sakit beneran

