- Beranda
- The Lounge
[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN
...
TS
heyheymario
[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN






halo agan2 semuanya.ane muncul lagi kali ini, pembukannya bingung nih gimana. intinya kali ini ane bakal bahas tentang sejarah perfilman indonesia, abis males sih bahas film jaman sekarang 

Spoiler for pertama2:
SEMOGA GAK REPSOLL...
Spoiler for YANG TERPENTING:




Spoiler for INTERMEZO:
ane suka banget sama sejarah dan keliatannya anak muda jaman sekarang rada cuek sama sejarah
jadi ane mencoba berbagi informasi yang ane rasa berguna buat pengetahuan kita semua. kali ini ane pilih bidang perfilm-an dulu yah
. apapun yang ada di isi thread ini engga ada unsur SARA
. jadi murni cuma "SEKEDAR INFO".oh ya ane usahain bakal ngasih pict yg banyak.soalnya aga2 susah nih pictnya
. 
jadi ane mencoba berbagi informasi yang ane rasa berguna buat pengetahuan kita semua. kali ini ane pilih bidang perfilm-an dulu yah
. apapun yang ada di isi thread ini engga ada unsur SARA
. jadi murni cuma "SEKEDAR INFO".oh ya ane usahain bakal ngasih pict yg banyak.soalnya aga2 susah nih pictnya
. 
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902011627.gif)
Spoiler for PEMBUKAAN:
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan! oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.
Spoiler for Periode 1900 - 1942:
Era awal perfilman Indonesia ini diawali dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama Gambar Idoep yang menayangkan berbagai film bisu.
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Bunga Roos dari Tjikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesie Malaise (1931).
Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Setelah sutradara Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Bunga Roos dari Tjikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu Indonesie Malaise (1931).
Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.
Spoiler for LUTUNG KASARUNG:
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902011940.jpg)
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902011955.jpg)
Quote:
Walau dibikin oleh orang asing, tapi ini film cerita pertama di Indonesia yang menampilkan cerita asli Indonesia, sebuah legenda yang terkenal dari Jawa Barat. Antara lain berisi nasehat, janganlah memandang sesuatu dari kulitnya saja. Purbasari diejek karena punya pacar seekor lutung (Guru Minda), sedangkan kakaknya Purbararang membanggakan kekasihnya, Indrajaya yang manusia. Ternyata lutung itu sebetulnya adalah seorang pangeran tampan, titisan dewi Sunan Ambu. Guru Minda jauh lebih tampan dari Indrajaya.
Spoiler for TERANG BOELAN 1936:
Terang Boelan (diucapkan [təraŋ bulan]; Terang Bulan dalam Ejaan Yang Disempurnakan), dirilis secara internasional dengan judul Full Moon, merupakan sebuah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang dirilis tahun 1937.[a] Ditulis oleh Saeroen, disutradarai oleh Albert Balink, dan dibintangi antara lain oleh Rd Mochtar, Roekiah dan E. T. Effendi, Terang Boelan menceritakan dua sejoli yang kimpoi lari setelah diganggu oleh seorang penyelundup candu. Film ini dibuat di Hindia Belanda dan Singapura, dan diilhami oleh film Hollywood yang berjudul The Jungle Princess. Film ini, yang menggunakan musik keroncong, ditujukan pada penonton pribumi. Pemainnya kebanyakan diambil dari film Balink sebelumnya, yaitu Pareh (1936).
Terang Boelan meraih sukses komersial di Hindia Belanda dan wilayah lainnya, meraih 200.000 Dolar Selat di Malaya Britania. Kesuksesan ini menghidupkan kembali industri film dalam negeri yang pada saat itu nyaris punah dan menginspirasi pemasaran film khusus untuk penonton Melayu di Malaya. Rumus filmnya, yang terdiri dari lagu, adegan indah, dan cinta, diikuti sampai puluhan tahun kemudian. Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut film ini sebagai titik tolak dalam sejarah perkembangan sinema Indonesia karena telah memicu pembuatan banyak film lain. Seperti film Indonesia kontemporer lainnya, Terang Boelan telah hilang sejak tahun 1970-an.
Terang Boelan meraih sukses komersial di Hindia Belanda dan wilayah lainnya, meraih 200.000 Dolar Selat di Malaya Britania. Kesuksesan ini menghidupkan kembali industri film dalam negeri yang pada saat itu nyaris punah dan menginspirasi pemasaran film khusus untuk penonton Melayu di Malaya. Rumus filmnya, yang terdiri dari lagu, adegan indah, dan cinta, diikuti sampai puluhan tahun kemudian. Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut film ini sebagai titik tolak dalam sejarah perkembangan sinema Indonesia karena telah memicu pembuatan banyak film lain. Seperti film Indonesia kontemporer lainnya, Terang Boelan telah hilang sejak tahun 1970-an.
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902012848.jpg)
Spoiler for SINOPSIS:
Kasim (Rd Mochtar) dan Rohaya (Roekiah), dua sejoli yang saling jatuh cinta, terpaksa berpisah karena ayah Rohaya (Muhin) telah menjodohkannya dengan Musa (E. T. Effendi). Malam sebelum pernikahan dilangsungkan, Kasim menyanyikan sebuah lagu berjudul "Terang Boelan" untuk Rohaya, dan mereka sepakat untuk kimpoi lari. Pada hari itu juga, Rohaya dan Kasim kabur dari Pulau Sawoba menuju Malaka. Kasim medapatkan pekerjaan di pelabuhan, sementara Rohaya menjadi seorang ibu rumah tangga. Mereka menemui teman lama Kasim, Dullah (Kartolo), yang tinggal di Malaka untuk sementara waktu.
Kebahagiaan mereka tidak lama, karena ditemukan oleh Musa, yang ternyata seorang penyelundup candu. Saat Kasim sedang sibuk bekerja, ayah Rohaya mengambil kembali putrinya dan membawanya ke Sawoba. Kasim, yang telah mengetahui perbuatan Musa, juga kembali ke Sawoba dan menghimbau warga untuk melawan Musa dengan membongkar rahasia penyelundupan candunya. Ia dan Musa kemudian berkelahi. Ketika tampak bahwa Kasim akan kalah, ia diselamatkan oleh Dullah, yang telah mengikutinya pulang ke Sawoba. Ayah Rohaya dan semua warga desa menyetujui agar Kasim dan Rohaya hidup bersama, karena mereka benar-benar telah jatuh cinta.
Kebahagiaan mereka tidak lama, karena ditemukan oleh Musa, yang ternyata seorang penyelundup candu. Saat Kasim sedang sibuk bekerja, ayah Rohaya mengambil kembali putrinya dan membawanya ke Sawoba. Kasim, yang telah mengetahui perbuatan Musa, juga kembali ke Sawoba dan menghimbau warga untuk melawan Musa dengan membongkar rahasia penyelundupan candunya. Ia dan Musa kemudian berkelahi. Ketika tampak bahwa Kasim akan kalah, ia diselamatkan oleh Dullah, yang telah mengikutinya pulang ke Sawoba. Ayah Rohaya dan semua warga desa menyetujui agar Kasim dan Rohaya hidup bersama, karena mereka benar-benar telah jatuh cinta.
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902013245.jpg)
Spoiler for ALANG ALANG:
Ketika sedang memeriksa kebun kelapanya, Suhiyat (Moch. Mochtar), anak orang kaya yang hidupnya hanya berfoya-foya, melihat Surati (Hadidjah) digoda Rainan (Bissu). Ia membantu Surati. Pertolongan ini membuat janda Rasmina (Lena), yang diincar oleh Karta (Moesa), cemburu karena dia manaruh hati pada Suhiyat. Karena saki hati, lalu Rasmina memberi uang Rainan untuk melarikan Surati, yang memang dicintainya. Di tengah perjalanan, Rainan terpisah dari Surati, yang selanjutnya tinggal di rimba dan menjadi sahabat para binatang. Sahabat inilah yang menolong Suarti dari serangan anak buah Rainan yang penasaran. Sementara itu Suhiyat terus mencari Surati dan akhirnya berhasil mendapatkannya di hutan. Ia membebaskan Surati dari cengkeraman gerombolan Rainan. Rasmina menyesal, insyaf dan kembali kepada Karta, bekas suaminya.
(Hadijah)
Quote:
(Hadijah)
Spoiler for MACAN BERBISIK:
Matjan Berbisik (juga dikenal dengan judul De Fluisterende Tijger) adalah film Hindia Belanda tahun 1940 yang disutradarai Tan Tjoei Hock dan diproduseri The Teng Chun. Dibintangi Hadidjah dan Mohammad Mochtar, film ini mengisahkan dua pria yang dibesarkan sebagai kakak adik dan berusaha merebut hati seorang wanita. Salinan film hitam putih yang memakai musik keroncong kabarnya masih ada di Sinematek Indonesia.
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902013702.jpg)
Spoiler for Rentjong Atjeh:
Rentjong Atjeh adalah film aksi Hindia Belanda tahun 1940 yang disutradarai The Teng Chun yang mengisahkan sekelompok orang yang hendak balas dendam kepada para perompak di Selat Malaka. Film ini dibintangi Ferry Kock, Dewi Mada, Bissoe, Mohammad Mochtar, dan Hadidjah. Film ini dibuat dekat pesisir Batavia (sekarang Jakarta) dan memakai kembali rekaman film The sebelumnya, Alang-Alang (1939). Rentjong Atjeh, sebagian terinspirasi oleh film-film Tarzan, sukses di pasaran dan sekarang hilang dari peredaran
Quote:
SINOPSIS:Perompak mulai menjelajahi Selat Malaka, merampok kapal, dan membunuh awak dan penumpangnya. Di sebuah kapal, tiga anak selamat: Maryam (Dewi Mada), yang ditangkap dan dipaksa tinggal bersama kapten perompak (Bissoe), dan kakak beradik Daud (Mohammad Mochtar) dan Rusna (Hadidjah), yang kabur ke hutan. Lima belas tahun kemudian, Rusna bertemu Ali (Ferry Kock), seorang tentara yang jatuh cinta dengannya. Sementara itu, Daud jatuh cinta dengan Maryam, yang bekerja sebagai penari untuk kapten perompak. Ali dan Daud menyerbu kapal perompak dan membunuh awaknya. Ali membunuh kapten dengan rencongnya (belati Aceh). Mereka akhirnya hidup damai tanpa gangguan perompak.![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902013956.jpg)
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902013956.jpg)
Spoiler for SI GOMAR:
Si Gomar adalah film tahun 1941 dari Hindia Belanda yang ditulis dan disutradarai Tan Tjoei Hock dan diproduseri The Teng Chun. Film yang dibintangi Hadidjah, Mohamad Mochtar, dan Tan Tjeng Bok ini mengisahkan perjalanan kakak adik yang terpisahkan oleh perampok dan tidak jadi menikah setelah keduanya dikenali oleh sepupu mereka.
Quote:
SINOPSIS:Setelah kejar-kejaran dengan perampok, Badjoeri dan putranya, Soebardja, terpisahkan oleh sungai. Istri dan putri Badjoeri, Ramina dan Mariani, ditangkap oleh kawanan perampok. Meski mereka berhasil kabur berkat bantuan Wirama, Ramina akhirnya meninggal dunia. Badjoeri juga meninggal sesaat setelah meninggalkan Soebardja dengan Mansur.
Sekian tahun berlalu, Soebardja dan Mariani pun bersiap menikah. Karena mereka dibesarkan secara terpisah oleh orang-orang yang berbeda pula, mereka tidak sadar bahwa mereka adalah kakak adik. Pernikahan mereka batal setelah sepupu mereka, Ismail, mengenali hubungan kedua calon mempelai ini.![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902014139.jpg)
Sekian tahun berlalu, Soebardja dan Mariani pun bersiap menikah. Karena mereka dibesarkan secara terpisah oleh orang-orang yang berbeda pula, mereka tidak sadar bahwa mereka adalah kakak adik. Pernikahan mereka batal setelah sepupu mereka, Ismail, mengenali hubungan kedua calon mempelai ini.
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902014139.jpg)
Spoiler for SERIGALA ITEM:
Srigala Item (juga dipasarkan dengan judul Belanda De Zwarte Wolf) adalah film Hindia Belanda tahun 1941 yang disutradarai Tan Tjoei Hock dan diproduseri The Teng Chun untuk Action Film. Dibintangi Hadidjah, Mohammad Mochtar, dan Tan Tjeng Bok, alur film ini (terinspirasi oleh Zorro) mengisahkan seorang pemuda yang menjadi penghakim bertopeng yang hendak balas dendam terhadap pamannya. Srigala Item sukses di pasaran yang menurut Misbach Yusa Biran disebabkan oleh alur eskapismenya. Salinan film hitam putih yang memakai musik keroncong ini disimpan dit Sinematek Indonesia.
Quote:
SINOPSIS:Melalui kekerasan, Djoekri (Tan Tjeng Bok) berhasil mengendalikan kekayaan dan perkebunan Soemberwaras milik saudaranya, Mardjoeki (Bissoe). Mardjoeki hilang dan meninggalkan putranya yang sudah dewasa, Mochtar (Mohammad Mochtar). Di perkebunan tersebut, si pemuda diperlakukan sebagai pelayan dan sering dipukuli Djoekri dan anak buahnya, Hasan. Putra Djoekri, Joesoef (Mohammad Sani), hidup bergelimang harta.
Tidak lama kemudian, segala aktivitas Djoekri menjadi target seorang pria bertopeng berjulukan "Srigala Item". Ia juga mengungkap usaha Joesoef untuk merayu Soehaemi (Hadidjah), orang yang dicintai Mochtar. Djoekri muak diganggu Srigala Item dan berkelahi dengannya. Meski Djoekri hampir menang, Srigala Item lebih unggul. Kelak diketahui bahwa Mardjoeki masih hidup dan Mochtar adalah si Srigala Item.![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902014459.jpg)
Tidak lama kemudian, segala aktivitas Djoekri menjadi target seorang pria bertopeng berjulukan "Srigala Item". Ia juga mengungkap usaha Joesoef untuk merayu Soehaemi (Hadidjah), orang yang dicintai Mochtar. Djoekri muak diganggu Srigala Item dan berkelahi dengannya. Meski Djoekri hampir menang, Srigala Item lebih unggul. Kelak diketahui bahwa Mardjoeki masih hidup dan Mochtar adalah si Srigala Item.
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902014459.jpg)
Spoiler for SINGA LAUT:
inga Laoet (EYD: Singa Laut) adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1941. Film ini disutradarai Tan Tjoei Hock, diproduseri The Teng Chun, dan dibintangi Tan Tjen Bok, Mohamad Mochtar, dan Hadidjah.
Quote:
SINOPSIS:Robin dikucilkan dari masyarakat setelah dituduh membunuh seorang pria bernama Ibrahim dalam sebuah perkelahian. Dua puluh tahun kemudian, putra Ibrahim, Mahmud, mulai mencari pembunuh ayahnya. Ia pun mencapai pulau Sampojo dan menemukan Robin. Robin saat itu sudah menjadi perompak dan menggunakan nama "Singa Laoet". Setelah salah satu tangan kanan Robin, Hasan, menculik perempuan yang dicintainya, Mahmud melacak si penculik dan menghajarnya sampai mati. Kelak terungkap bahwa Hasan, bukan Robin, adalah pembunuh Ibrahim yang sebenarnya.![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902014635.png)
Quote:
![[SEJARAH] PERFILMAN INDONESIA DI TAHUN 1900-AN](https://s.kaskus.id/images/2014/09/02/6928251_20140902014635.png)
MASIH BERSAMBUNG GAN....




SEBELUM NYAMBUNG....
Spoiler for BUDAYAKAN:
Spoiler for BOLEH DONG...:
Spoiler for JANGAN..:



Spoiler for SUMUR:
Diubah oleh heyheymario 04-09-2014 10:41
0
6.9K
Kutip
22
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104KAnggota
Tampilkan semua post
TS
heyheymario
#1
sambungan gan... 
Mengenang Kesuksesan Java Industrial Film
Berkat kerja kerasnya, The Teng Chun berhasil membangun suatu perusahaan film yang besar dan paling konsisten pada masa kolonial. Perusahaan film yang berdiri pada 1937 ini memiliki nilai lebih dibandingkan perusahaan-perusahaan film yang “timbul-tenggelam” pada masa kolonial. Java Industrial Film Company mempunyai totalitas dalam memproduksi film-filmnya.
Pada tahun 1900, tepatnya awal Desember, penduduk di negeri ini mendapat kesempatan pertama kali untuk menyaksikan “gambar idoep”. Film-film yang beredar pada masa awal ini adalah film-film dokumenter. Perusahaan film Holandia yang memproduksi film “Onze Oost” (“Timur Milik Kita”) dan perusahaan film Nationale Film Fabriek adalah dua nama perusahaan, di antara beberapa nama perusahaan lain, yang hadir pada masa film dokumenter ini. Pengusahanya kebanyakan orang-orang kulit putih. Akibat tidak adanya tanggapan dari publik serta kurangnya tenaga profesional dan ketersediaan alat-alat, banyak perusahaan pada masa ini yang mengalami kebangkrutan.

26 tahun kemudian, Java Film Company perusahaan film milik L. Heuveldorp dan G. Krugers, berhasil membuat film cerita pertama di Indonesia dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1926. Pasca keberhasilan pembuatan film cerita pertama tersebut, banyak perusahaan-perusahaan film yang mencoba membuat film cerita. Pada periode ini juga ditandai dengan kehadiran para pengusaha film peranakan Tiong Hoa. Sebelumnya bisnis mereka hanya terbatas pada masalah importir film dan menjadi pengusaha bioskop. Pengusaha-pengusaha film peranakan Tiong Hoa ini melihat peluang yang baik setelah film-film Cina laku di pasaran. Secara berangsur-angsur peran pengusaha-pengusaha film kulit putih tersisihkan dari persaingan dengan para pengusaha peranakan Tiong Hoa. Pada periode ini hingga Jepang masuk ke Indonesia mayoritas perushaan film yang ada dikuasai oleh golongan peranakan Tiong Hoa. Armijn Pane dalam bukunya Produksi Film Tjerita di Indonesia menulis bahwa para pengusaha peranakan terjun menjadi produser setelah seorang peranakan Tiong Hoa ikut main dalam film “Naik Djadi Dewa”.

Pada 1926 sampai 1930, tercatat ada sekitar delapan perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film (keduanya dari Bandung), Halimoen Film, Batavia Motion Pictures, Nansing Film Coorporation, Tan’s Film, Prod. Tan Boen Soan, dan Kruger Film Bedrijf dari Batavia . Dari semua perusahaan film tersebut hanya dua yang pemiliknya orang kulit putih, yaitu Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya milik pengusaha peranakan Tiong Hoa. Rata-rata perusahaan film pada masa ini hanya menghasilkan satu sampai tiga produksi film saja, kecuali Tan’s Film yang menghasilkan lima produksi film. Periode ini juga banyak perusahaan film yang mengalami kebangkrutan. Salah satunya adalah yang menimpa perusahaan Nansing Film. Perusahaan tersebut bangkrut akibat menanggung biaya yang sangat besar untuk membayar Olive Young, aktris bintang yang didatangkan langsung dari Shanghai Cina, untuk membintangi film “Resia Boroboedoer”. Olive Young dibayar f 10.000 oleh Nansing Film. Suatu pemborosan yang luar biasa pada masa itu.
Tahun 1930, sejarah perfilman Indonesia memasuki era “film bicara” (film dengan tekhnologi suara). Pada tahun ini muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Java Industrial Film. Perusahaan tersebut yaitu Cino Motion Pictures di bawah pimpinan The Teng Chun. Berbeda dengan beberapa perusahaan film yang ada, Cino Motion Pictures dipimpin oleh seorang yang mengerti selera publik di Hindia Belanda dan mempunyai visi yang jelas dalam urusan bisnis film.


The Teng Chun adalah putra The Kiem Ie, seorang pedagang hasil bumi peranakan Tiong Hoa kelahiran Betawi. Sebelum membentuk Cino Motion Pictures ia pernah sekolah di New York , sebelum akhirnya terpaksa berhenti. Masa luang ketika menimba ilmu di New York dihabiskan untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang perfilman, yaitu dengan mengikuti kursus menulis skenario. Setelah sekolahnya di New York gagal, The Teng Chun mengembara ke Shanghai Cina, pusat perfilman Mandarin kala itu. Ayahnya yang semula seorang eksportir hasil bumi, dibujuknya untuk “banting setir” menjadi importir film. Pada 1930, The Teng Chun pulang ke Batavia . Di sini ia mencoba mempraktekan pengetahuannya mengenai teknis perfilman dan pengalaman impor yang lumayan. The Teng Chun membidik sasaran publik Tiong Hoa yang dianggap sangat potensial sebagai penonton film.
Tahun 1930, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah masa film bicara. Dengan dimulainya era film bicara, pasaran film Mandarin yang tadinya bisu menjadi sulit. Tidak semua keturunan Tiong Hoa di Hindia Belanda faham bahasa leluhur mereka. The Teng Chun yang membawa peralatan sederhana dari Shanghai tidak membuang kesempatan ini. Ia kemudian mendirikan Cino Motion Pictures dan membuat film bersuara dengan cerita Tiong Hoa. Hasil produksi perusahaan film ini antara lain “Sam Pek Eng Tay” tahun 1931, “Pat Bie To” (“Delapan Wanita Tjantik”) tahun 1932, “Pat Kiam Hiap” (“Delapan Djago Pedang”) tahun 1933, serta ”Ouw Phe Tjoa” (“Doea Siloeman Oelar Poeti en Item”) tahun 1934. Setelah produksi filmnya yang disebutkan paling akhir tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaannya menjadi Java Industrial Film pada 1935. Perusahaannya meneruskan produksi-produksi film klasik Tiong Hoa, seperti “Lima Siloeman Tikoes” tahun 1935, “Pan Sie Tong” tahun 1935, “Tie Pat Kai kimpoi” tahun 1935, “Ouw Phe Tjoa II” (“Anak Siloeman Oelar Poeti”) tahun 1936, dan “Hong Lian Sie” tahun 1937. Dari beberapa perusahaan film yang ada, perusahaan ini adalah yang paling konsisten dalam memproduksi film-film cerita kalsik Tiong Hoa.
Pada 1937 beredar di bioskop-bioskop film ”Terang Boelan”. Film tersebut adalah produksi ANIF (Algemeene Nederlandsch Indie Film Syndicaat), dengan Albert Balink sebagai sutradaranya. Film ini mencatat sukses yang luar biasa. Sukses yang diraih oleh film ”Terang Boelan” karena komposisi sistem bintangnya dan adegan-adegan yang disukai publik pada masa itu. Adegan seperti nyanyian, lelucon atau lawak, perkelahian, dan keajaiban atau fantasi, adalah yang paling banyak disukai oleh publik penikmat film. Pemilik perusahaan film menarik dua pelajaran dari kesuksesan film ini. Dua pelajaran itu adalah, pertama, usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang fisibel, tetapi juga menjanjikan keuntungan yang fantastik, kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung sandiwara (tonil).
Pada 1937 sampai 1942, di Hindia Belanda ada tujuh perusahaan film yang aktif berproduksi hingga menjelang kedatangan Jepang, yaitu Java Industrial Film, Tan’s Film, Popular’s Film, Oriental Film, Djawa Film, Union Film, Star Film, Majestic Film Coy, dan Standard Film. Sejak kesuksesan film ”Terang Boelan”, dunia perfilman pada periode ini hingga masuknya Jepang ke Indonesia menunjukkan grafik yang luar biasa. Tercatat ada sekitar 52 judul film yang dihasilkan. Hebatnya, dari 52 judul film tersebut, 15 judul di antaranya adalah hasil produksi perusahaan milik The Teng Chun. Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun sanggup menunjukan konsistensinya hingga akhir masa. Ciri yang paling menonjol pada kegiatan perusahaan film masa ini adalah dipergunakannya aktris-aktris dari perkumpulan sandiwara yang ada untuk bermain dalam film-film hasil produksi mereka. Strategi ini digunakan untuk mengangkat mutu film dan meraih dukungan publik sebesar-besarnya.
Java Industrial Film, ”mengambil” Ferry Kock dan istrinya, Dewi Mada, pada 1940 untuk dijadikan bintang dalam film-film produksinya. Keduanya merupakan mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella. Sebelumnya, Andjar Asmara dan Ratna Asmara terlebih dahulu masuk ke dalam perusahaan ini. Perusahaan milik The Teng Chun ini kian besar setelah beberapa mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella dan Bolero masuk ke dalamnya. Mereka yang masuk ke dalam Perusahaan Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun ini adalah Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok (dari Perkumpulan Dardanella), Inoe Perbatasari (dari Perkumpulan Bolero), serta beberapa pemain seperti Raden Ismail, Ludi Mara, dan Aisyah. Semua mantan pemain sandiwara ini masuk atas himbauan dari Andjar Asmara. Besar kemungkinan, The Teng Chun memakai mantan anggota Dardanella karena perkumpulan ini adalah perkumpulan besar pada dekade 1926-1935 dan pemain-pemainnya sudah dikenal masyarakat, begitupun aksi-aksi mereka di atas panggung yang telah
Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan film milik The Teng Chun ini membentuk dua anak perusahaan, yaitu Jacatra Film dan Action Film. Java Industrial Film berubah menjadi New Java Industrial Film, ketika membentuk anak perusahaan. Antara tahun 1940 sampai akhir tahun 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film, yaitu “Rentjong Atjeh”, “Dasima”, “Melatie van Agam”, “Sorga Palsoe”, “Matoela”, “Serigala Item”, “Matjan Berbisik”, “Si Gomar”, “Singa Laoet”, “Kartinah”, “Elang Darat”, “Ratna Moetoe Manikam”, “Poetri Rimba”, “Tengkorak Hidoep”, dan “Noesa Penida”.
Dalam perusahaan The Teng Chun ini, orang-orang bekas anggota perkumpulan sandiwara yang ditarik ke perusahaannya hampir seluruhnya mengambil peranan penting. Misalnya saja, Andjar Asmara memegang bagian publikasi untuk film-film produksi perusahaan ini, seperti film “Rentjong Atjeh”, dan sebagai sutradara dalam film “Kartinah” dan film “Noesa Penida”. “Rentjong Atjeh” adalah hasil karangan dari Ferry Kock. Ferry Kock dan Dewi Mada bermain dalam film ini, sekaligus turut ambil bagian untuk menyanyikan beberapa lagu dalam film ini. Selain itu, Ferry Kock dan Dewi Mada juga bermain dalam film “Matoela”. Inoe Perbatasari dipercaya untuk menangani film-film produksi Jacatra Film, sebagai sutradara dalam film “Elang Darat” dan film “Poetri Rimba”, serta sebagai pemain dalam film “Kartinah” dan film “Ratna Moetoe Manikam”. Ali Yugo mengambil tempat sebagai pemain dalam film “Kartinah”, “Elang Darat”, “Noesa Penida”, dan “Ratna Moetoe Manikam”. Astaman menjadi pemain dalam film ”Elang Darat”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Ratna Asmara membintangi film ”Kartinah”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Tan Tjeng Bok menjadi bintang dalam film ”Si Gomar”, ”Singa Laoet”, ”Srigala Item”, dan ”Tengkorak Hidoep”. M. Rasjid Manggis menjadi pemain dalam film ”Kartinah”.
Hampir seluruh film hasil produksi Java Industrial Film laku dipasaran. Namun sayangnya film-film ini banyak yang menyadap film-film dari luar negeri/Amerika. Semisal film ”Zorro” disadur menjadi film ”Srigala Item” dan ”Singa Laoet”, serta film ”Tarzan” yang diadaptasi menjadi film ”Rentjong Atjeh” dan ”Alang-alang”. Mungkin strategi ”jiplak” ini mengikuti suksesnya film “Terang Boelan” yang merupakan film adaptasi dari film “The Jungle Princess” yang dibintangi oleh Dorothy Lamour. Film ini beredar di Batavia pada 1936.
Java Industrial Film mengakhiri riwayatnya setelah ditutup paksa oleh tentara pendudukan Jepang pada 1942. Pemerintah militer Jepang menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). The Teng Chun mengemukakan pendapatnya bahwa ”masuknya orang-orang panggung ke dunia film, memberi banyak pemikiran baru mengenai publikasi, wawasan yang luas, serta pandangan yang maju mengenai segi hiburan, antara lain berkat pengalaman mereka pergi keliling sampai ke luar negeri”. Tentang The Teng Chun dan Java Industrial Film, Andjar Asmara pernah mengatakan ”apa jang paling menarik hati kita ialah jang gebroeders The boekannja sadja mengerti bahwa soepaja bisa berdjoeang dalam pasar film haroes poenjakan perkakas jang serba modern, tetapi mereka djoega mengerti kemaoean djaman”.
Pelajaran yang dapat diambil dari kesuksesan The Teng Chun membangun perusahaan film Java Industrial Film adalah kecerdasannya melihat perkembangan dan selera publik penikmat film. Ia mampu melihat apa yang menjadi keinginan publik pada masanya. The Teng Chun juga mengambil orang-orang yang mempunyai pengalaman dalam hal akting (pemain sandiwara).
MASIH BERSAMBUNG GAN #POST 6













dari tadi ada nama produser yang sering2 kesebut..jadi ane bakal ngasih info beberapa tokoh yang berperan penting dimasa itu yah..langsung aja gan..
Spoiler for The Teng Chun :
Mengenang Kesuksesan Java Industrial Film
Pada tahun 1900, tepatnya awal Desember, penduduk di negeri ini mendapat kesempatan pertama kali untuk menyaksikan “gambar idoep”. Film-film yang beredar pada masa awal ini adalah film-film dokumenter. Perusahaan film Holandia yang memproduksi film “Onze Oost” (“Timur Milik Kita”) dan perusahaan film Nationale Film Fabriek adalah dua nama perusahaan, di antara beberapa nama perusahaan lain, yang hadir pada masa film dokumenter ini. Pengusahanya kebanyakan orang-orang kulit putih. Akibat tidak adanya tanggapan dari publik serta kurangnya tenaga profesional dan ketersediaan alat-alat, banyak perusahaan pada masa ini yang mengalami kebangkrutan.
26 tahun kemudian, Java Film Company perusahaan film milik L. Heuveldorp dan G. Krugers, berhasil membuat film cerita pertama di Indonesia dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1926. Pasca keberhasilan pembuatan film cerita pertama tersebut, banyak perusahaan-perusahaan film yang mencoba membuat film cerita. Pada periode ini juga ditandai dengan kehadiran para pengusaha film peranakan Tiong Hoa. Sebelumnya bisnis mereka hanya terbatas pada masalah importir film dan menjadi pengusaha bioskop. Pengusaha-pengusaha film peranakan Tiong Hoa ini melihat peluang yang baik setelah film-film Cina laku di pasaran. Secara berangsur-angsur peran pengusaha-pengusaha film kulit putih tersisihkan dari persaingan dengan para pengusaha peranakan Tiong Hoa. Pada periode ini hingga Jepang masuk ke Indonesia mayoritas perushaan film yang ada dikuasai oleh golongan peranakan Tiong Hoa. Armijn Pane dalam bukunya Produksi Film Tjerita di Indonesia menulis bahwa para pengusaha peranakan terjun menjadi produser setelah seorang peranakan Tiong Hoa ikut main dalam film “Naik Djadi Dewa”.
Pada 1926 sampai 1930, tercatat ada sekitar delapan perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film (keduanya dari Bandung), Halimoen Film, Batavia Motion Pictures, Nansing Film Coorporation, Tan’s Film, Prod. Tan Boen Soan, dan Kruger Film Bedrijf dari Batavia . Dari semua perusahaan film tersebut hanya dua yang pemiliknya orang kulit putih, yaitu Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya milik pengusaha peranakan Tiong Hoa. Rata-rata perusahaan film pada masa ini hanya menghasilkan satu sampai tiga produksi film saja, kecuali Tan’s Film yang menghasilkan lima produksi film. Periode ini juga banyak perusahaan film yang mengalami kebangkrutan. Salah satunya adalah yang menimpa perusahaan Nansing Film. Perusahaan tersebut bangkrut akibat menanggung biaya yang sangat besar untuk membayar Olive Young, aktris bintang yang didatangkan langsung dari Shanghai Cina, untuk membintangi film “Resia Boroboedoer”. Olive Young dibayar f 10.000 oleh Nansing Film. Suatu pemborosan yang luar biasa pada masa itu.
Tahun 1930, sejarah perfilman Indonesia memasuki era “film bicara” (film dengan tekhnologi suara). Pada tahun ini muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Java Industrial Film. Perusahaan tersebut yaitu Cino Motion Pictures di bawah pimpinan The Teng Chun. Berbeda dengan beberapa perusahaan film yang ada, Cino Motion Pictures dipimpin oleh seorang yang mengerti selera publik di Hindia Belanda dan mempunyai visi yang jelas dalam urusan bisnis film.
The Teng Chun adalah putra The Kiem Ie, seorang pedagang hasil bumi peranakan Tiong Hoa kelahiran Betawi. Sebelum membentuk Cino Motion Pictures ia pernah sekolah di New York , sebelum akhirnya terpaksa berhenti. Masa luang ketika menimba ilmu di New York dihabiskan untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang perfilman, yaitu dengan mengikuti kursus menulis skenario. Setelah sekolahnya di New York gagal, The Teng Chun mengembara ke Shanghai Cina, pusat perfilman Mandarin kala itu. Ayahnya yang semula seorang eksportir hasil bumi, dibujuknya untuk “banting setir” menjadi importir film. Pada 1930, The Teng Chun pulang ke Batavia . Di sini ia mencoba mempraktekan pengetahuannya mengenai teknis perfilman dan pengalaman impor yang lumayan. The Teng Chun membidik sasaran publik Tiong Hoa yang dianggap sangat potensial sebagai penonton film.
Tahun 1930, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah masa film bicara. Dengan dimulainya era film bicara, pasaran film Mandarin yang tadinya bisu menjadi sulit. Tidak semua keturunan Tiong Hoa di Hindia Belanda faham bahasa leluhur mereka. The Teng Chun yang membawa peralatan sederhana dari Shanghai tidak membuang kesempatan ini. Ia kemudian mendirikan Cino Motion Pictures dan membuat film bersuara dengan cerita Tiong Hoa. Hasil produksi perusahaan film ini antara lain “Sam Pek Eng Tay” tahun 1931, “Pat Bie To” (“Delapan Wanita Tjantik”) tahun 1932, “Pat Kiam Hiap” (“Delapan Djago Pedang”) tahun 1933, serta ”Ouw Phe Tjoa” (“Doea Siloeman Oelar Poeti en Item”) tahun 1934. Setelah produksi filmnya yang disebutkan paling akhir tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaannya menjadi Java Industrial Film pada 1935. Perusahaannya meneruskan produksi-produksi film klasik Tiong Hoa, seperti “Lima Siloeman Tikoes” tahun 1935, “Pan Sie Tong” tahun 1935, “Tie Pat Kai kimpoi” tahun 1935, “Ouw Phe Tjoa II” (“Anak Siloeman Oelar Poeti”) tahun 1936, dan “Hong Lian Sie” tahun 1937. Dari beberapa perusahaan film yang ada, perusahaan ini adalah yang paling konsisten dalam memproduksi film-film cerita kalsik Tiong Hoa.
Pada 1937 beredar di bioskop-bioskop film ”Terang Boelan”. Film tersebut adalah produksi ANIF (Algemeene Nederlandsch Indie Film Syndicaat), dengan Albert Balink sebagai sutradaranya. Film ini mencatat sukses yang luar biasa. Sukses yang diraih oleh film ”Terang Boelan” karena komposisi sistem bintangnya dan adegan-adegan yang disukai publik pada masa itu. Adegan seperti nyanyian, lelucon atau lawak, perkelahian, dan keajaiban atau fantasi, adalah yang paling banyak disukai oleh publik penikmat film. Pemilik perusahaan film menarik dua pelajaran dari kesuksesan film ini. Dua pelajaran itu adalah, pertama, usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang fisibel, tetapi juga menjanjikan keuntungan yang fantastik, kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung sandiwara (tonil).
Pada 1937 sampai 1942, di Hindia Belanda ada tujuh perusahaan film yang aktif berproduksi hingga menjelang kedatangan Jepang, yaitu Java Industrial Film, Tan’s Film, Popular’s Film, Oriental Film, Djawa Film, Union Film, Star Film, Majestic Film Coy, dan Standard Film. Sejak kesuksesan film ”Terang Boelan”, dunia perfilman pada periode ini hingga masuknya Jepang ke Indonesia menunjukkan grafik yang luar biasa. Tercatat ada sekitar 52 judul film yang dihasilkan. Hebatnya, dari 52 judul film tersebut, 15 judul di antaranya adalah hasil produksi perusahaan milik The Teng Chun. Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun sanggup menunjukan konsistensinya hingga akhir masa. Ciri yang paling menonjol pada kegiatan perusahaan film masa ini adalah dipergunakannya aktris-aktris dari perkumpulan sandiwara yang ada untuk bermain dalam film-film hasil produksi mereka. Strategi ini digunakan untuk mengangkat mutu film dan meraih dukungan publik sebesar-besarnya.
Java Industrial Film, ”mengambil” Ferry Kock dan istrinya, Dewi Mada, pada 1940 untuk dijadikan bintang dalam film-film produksinya. Keduanya merupakan mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella. Sebelumnya, Andjar Asmara dan Ratna Asmara terlebih dahulu masuk ke dalam perusahaan ini. Perusahaan milik The Teng Chun ini kian besar setelah beberapa mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella dan Bolero masuk ke dalamnya. Mereka yang masuk ke dalam Perusahaan Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun ini adalah Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok (dari Perkumpulan Dardanella), Inoe Perbatasari (dari Perkumpulan Bolero), serta beberapa pemain seperti Raden Ismail, Ludi Mara, dan Aisyah. Semua mantan pemain sandiwara ini masuk atas himbauan dari Andjar Asmara. Besar kemungkinan, The Teng Chun memakai mantan anggota Dardanella karena perkumpulan ini adalah perkumpulan besar pada dekade 1926-1935 dan pemain-pemainnya sudah dikenal masyarakat, begitupun aksi-aksi mereka di atas panggung yang telah
Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan film milik The Teng Chun ini membentuk dua anak perusahaan, yaitu Jacatra Film dan Action Film. Java Industrial Film berubah menjadi New Java Industrial Film, ketika membentuk anak perusahaan. Antara tahun 1940 sampai akhir tahun 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film, yaitu “Rentjong Atjeh”, “Dasima”, “Melatie van Agam”, “Sorga Palsoe”, “Matoela”, “Serigala Item”, “Matjan Berbisik”, “Si Gomar”, “Singa Laoet”, “Kartinah”, “Elang Darat”, “Ratna Moetoe Manikam”, “Poetri Rimba”, “Tengkorak Hidoep”, dan “Noesa Penida”.
Dalam perusahaan The Teng Chun ini, orang-orang bekas anggota perkumpulan sandiwara yang ditarik ke perusahaannya hampir seluruhnya mengambil peranan penting. Misalnya saja, Andjar Asmara memegang bagian publikasi untuk film-film produksi perusahaan ini, seperti film “Rentjong Atjeh”, dan sebagai sutradara dalam film “Kartinah” dan film “Noesa Penida”. “Rentjong Atjeh” adalah hasil karangan dari Ferry Kock. Ferry Kock dan Dewi Mada bermain dalam film ini, sekaligus turut ambil bagian untuk menyanyikan beberapa lagu dalam film ini. Selain itu, Ferry Kock dan Dewi Mada juga bermain dalam film “Matoela”. Inoe Perbatasari dipercaya untuk menangani film-film produksi Jacatra Film, sebagai sutradara dalam film “Elang Darat” dan film “Poetri Rimba”, serta sebagai pemain dalam film “Kartinah” dan film “Ratna Moetoe Manikam”. Ali Yugo mengambil tempat sebagai pemain dalam film “Kartinah”, “Elang Darat”, “Noesa Penida”, dan “Ratna Moetoe Manikam”. Astaman menjadi pemain dalam film ”Elang Darat”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Ratna Asmara membintangi film ”Kartinah”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Tan Tjeng Bok menjadi bintang dalam film ”Si Gomar”, ”Singa Laoet”, ”Srigala Item”, dan ”Tengkorak Hidoep”. M. Rasjid Manggis menjadi pemain dalam film ”Kartinah”.
Hampir seluruh film hasil produksi Java Industrial Film laku dipasaran. Namun sayangnya film-film ini banyak yang menyadap film-film dari luar negeri/Amerika. Semisal film ”Zorro” disadur menjadi film ”Srigala Item” dan ”Singa Laoet”, serta film ”Tarzan” yang diadaptasi menjadi film ”Rentjong Atjeh” dan ”Alang-alang”. Mungkin strategi ”jiplak” ini mengikuti suksesnya film “Terang Boelan” yang merupakan film adaptasi dari film “The Jungle Princess” yang dibintangi oleh Dorothy Lamour. Film ini beredar di Batavia pada 1936.
Java Industrial Film mengakhiri riwayatnya setelah ditutup paksa oleh tentara pendudukan Jepang pada 1942. Pemerintah militer Jepang menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). The Teng Chun mengemukakan pendapatnya bahwa ”masuknya orang-orang panggung ke dunia film, memberi banyak pemikiran baru mengenai publikasi, wawasan yang luas, serta pandangan yang maju mengenai segi hiburan, antara lain berkat pengalaman mereka pergi keliling sampai ke luar negeri”. Tentang The Teng Chun dan Java Industrial Film, Andjar Asmara pernah mengatakan ”apa jang paling menarik hati kita ialah jang gebroeders The boekannja sadja mengerti bahwa soepaja bisa berdjoeang dalam pasar film haroes poenjakan perkakas jang serba modern, tetapi mereka djoega mengerti kemaoean djaman”.
Pelajaran yang dapat diambil dari kesuksesan The Teng Chun membangun perusahaan film Java Industrial Film adalah kecerdasannya melihat perkembangan dan selera publik penikmat film. Ia mampu melihat apa yang menjadi keinginan publik pada masanya. The Teng Chun juga mengambil orang-orang yang mempunyai pengalaman dalam hal akting (pemain sandiwara).
Spoiler for penampakan doi..the teng cung:
Spoiler for Andjar Asmara:
Spoiler for yang ini engga tau...tapi kayaknya penting :
MASIH BERSAMBUNG GAN #POST 6












Diubah oleh heyheymario 04-09-2014 10:46
0
Kutip
Balas