TS
mabdulkarim
Menghentikan Waktu (Novel Project STM Panzer)
Bikin cerita novel tapi cuma satu bab aja...
Quote:
Diubah oleh mabdulkarim 10-10-2014 10:56
0
3.2K
Kutip
17
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•347Anggota
Tampilkan semua post
TS
mabdulkarim
#6
Spoiler for 3.Cerita & Jawab:
Kehidupan manusia seperti sebuah cerita panjang yang dimulai dari saat manusia lahir hingga manusia meninggal dunia.Makanya ada pepatah ‘hari kemarin adalah halaman yang sudah ditulis dan hari esok adalah lembaran putih yang akan segera ditulis’ sebagai penganalogian dari kehidupan manusia.Latar dari kehidupan dunia adalah dunia dan sudut pandangnya memakai orang pertama tokoh utama.
Berbicara soal dunia, dunia terbagi menjadi 4: dunia realita, dunia maya, dunia gaib, dan dunia khayalan. Dunia realita adalah dunia dimana aku berada kemarin dan sekarang.Dunia maya adalah dunianya internet yang sebenarnya tak ada.Dunia gaib adalah dunia para makhluk gaib dan dunia khayalan adalah dunia yang ada di imajinasi manusia.
Hari esok…. Oh ya, hari esok. Hari esok tak bisa dimasukan keempat dunia yang aku sebutkan karena hari esok adalah lembaran putih dan lembaran putih berarti suatu yang belum ada alias tidak ada. Ketiadaan tersebut akan menghilang setelah diisi oleh waktu yang disebut sekarang.
“Hari esok,” gumamku seraya melihat langit biru di siang ini. Langit biru bagaikan lautan lepas.Sayang yang membedakan mereka media dan medannya serta luasnya.
Burung-burung berterbangan kesana-kemari, pesawat terlihat terbang menuju ke bandara internasional Yabar yang ada di utara Yabar, awan-awan putih bergerak mengikuti arah angin dan angin bergerak ke timur di mana mentari terbit dari sana.
“Woi, Eka! Kenapa kau duduk di atas genteng sekolah?” teriak Kepsek Panji lewat pengeras suara dari lapangan.Aku melihat di lapangan banyak anak STM Panzer dan sepertinay mereka terkejut melihat aku duduk di atas genteng sekolah. Ah, kesendirianku akhirnya berakhir juga.
“Berfilosfi ria, Pak,” jawabku seraya merenggangkan badanku yang agak kaku. “Di sini enak buat lihat pemandangan hutan sekolah, kampung padat penduduk, gedung-gedung, dan tentu saja langit!”
“Saya tidak peduli!” ujar Kepsek Panji lewat pengeras suara.Omongan seperti orang kesal tapi ekspersi dan intonasinya datar, itulah ciri khas dari Kepsek ke-2 STM Panzer ini.“Kau turun sekarang atau saya cabut internet sekolah ini!” ancam Kepsek yang mengejutkanku dan semua anak STM Panzer.
“Jangan!!” teriakku seraya berjalan turun atap gedung dua dengan tangga.“Tidak ada internet, tidak ada hidup!” ujarku seraya menuruni tangga.Saat ini,kebutuhan pokok manusia ada tiga: sandang, pangan, dan papan tapi aku percaya suatu hari nanti, kebutuh pokok manusia ada empat: sandang, papan, pangan, dan internet. Aku percaya kalau 80% aktivitas manusia 40-50 tahun ke depan bakal terhubung total dengan internet. Saat ini, koneksi internet adalah barang penting bagi orang-orang kota tak terkecuali aku. Dengan internet, semua yang dulunya memakan waktu berjam-jam sekarang hanya butuh beberapa menit bahkan puluhan detik.
Setelah aku turun dari tangga ini, aku langsung meminta maaf kepada Kepsek Panji dan menjelaskan alasan kenapa aku naik ke genteng (lagi),”Saya sedang membuat pemikiran hebat dan butuh tempat yang cocok untuk membuat pemikiran hebat.Jadinya saya naik ke genteng sekolah dan menemukan pemikiran-pemikiran hebat yang saya tak bisa temui di beberapa tempat!” Penjelasanku membuat Kepsek Panji menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, “Eka, sudah 16 kali kau naik ke genteng semenjak kau kelas 11 dan kau selalu menggunakan alasan yang sama ketika saya menyuruh kamu turun. Sudah waktunya kau mengakhiri tindakan konyol ini!”
“Tidak mau,” tolakku seraya menggeleng kepala. Kalau aku tidak naik ke genteng, di manakah aku bisa menemukan pemikiran hebat? Di toilet? Tidak, tidak enak toilet rumahku atau sekolah buat berpikir walaupun muncul ide inovatif dari tempat kotor tersebut.
“Oke, oke,” kata Panji seraya melipat tangannya. “Eka, ikut ke kantorku?” katanya seraya berjalan menuju kantornya yang ada di gedung satu. Aku pun mengikutinya dan ketika aku melihat ke belakang, banyak anak-anak pergi keluar sekolah untuk jajan meningat sekarang sudah waktunya istirahat.
STM Panzer luasnya 4 hektar dan 1/4 dari luas tersebut dipakai untuk area sekolah.Sisanya dibiarkan menjadi hutan dan hutan tersebut sudah ada sebelum kakek buyutku dilahirkan ke dunia pada tahun 690. Di tengah hutan STM Panzer ada suatu gedung besar yang dipakai siswa Panzer untuk praktek seperti membuat misil tank, baja tank, mesin tank, dan sebagainya. Di STM Panzer ada empang yang warna airnya cokelat layaknya kali perkotaan dan bisa sebagai untuk kolam pemancing atau tempat buang hajat kalau semua toilet penuh.
Hutan STM Panzer merupakan hutan lindung Yabar dan Konfederasi sehingga hutan ini tak boleh ditebangi oleh pihak siapapun. Selain itu, pihak manapun tak dibolehkan memburu hewan-hewan yang ada di dalam hutan walaupun hewan yang ada di hutan semuanya hewan jinak seperti sapi dan monyet.

Aku bersama Kepsek Panji berjalan di lorong ini. Tuyul yang biasanya mengikutiku sekarang tidak karena dia sedang sakit panas sehingga ia terpaksa beristirahat di rumah selama 2 hari. Sepi juga ya kalau tidak ada Guntur tapi enak juga sih karena pergi sendirian kesana-kemari jadi lebih mudah dan fleksibel.
Sesampainya di dalam ruangan Kepsek, aku diperkenankan Panji untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya. Setelah aku menduduki kursi kayu ini, Panji memberikan aku secangkir teh hangat yang baru saja ia buat. “Terima kasih pak,” kataku seraya meminum teh ini. Ehm, rasanya lumayan manis.
Setelah aku menghabiskan teh ini, aku pun bertanya kepada Kepsek berkacamata tersebut yang dari tadi memperhatikanku dari tempat duduknya, “Pak Panji , kenapa anda membawa saya ke ruangan ini?”
“Eka, aku dengar kau suka bermain game otak,” tanya Panji seraya bersandar di kursi panasnya. Pertanyaan Kepsek serius tapi ekspersi mukanya tetap datar. Kalau tidak datar muka dan suaranya, bukan Kepsek Panji namanya!
“Ya,” jawab singkatku. Game otak adalah game yang memakai akal dan menguras pikiran seperti game homofon dan catur.
“Kalau begitu apakah kau mau bermain game yang aku buat?” Tantang Kepsek seraya mengepal tangan"nya di atas meja.
“Boleh saja,” terimaku dengan tersenyum tipis.
“Oke,” kata Panji seraya mengambil beberapa lembar kertas putih dari laci mejanya. “Kita akan bermain game yang aku beri nama game cerjab yang berarti cerita dan jawab,” ujar Panji sembari memotong-motong kertas lembar menjadi 4 lembar dengan penggaris besi dan gunting.
“Cara main game cerjab dengan menuliskan cerita dan pertanyaan di 5 kertas yang berbeda. Jawaban dari soal tersebut harus dituliskan di 5 kertas yang berbeda untuk menghindari pengelakan dari lawan,” tutur Panji seraya memberikan aku 10 lembar kertas yang sudah ia potong. “Ceritanya boleh bermacam-macam tapi jangan terlalu panjang.”
“Pemenang game ini adalah orang yang mendapatkan poin lebih banyak dari lawannya. Poin bisa didapatkan pemain jika ia berhasil memenangkan satu sesi game!” jelas Panji. “Jadi, apa kau tertarik main game ini?” tanya Kepsek seraya memegang dua pulpen dan memutar-mutarnya.
“Boleh saja,” jawabku dan Kepsek memberikan pulpennya kepadaku.
Aku langsung menuliskan lima buah cerita dan soal di lima kertas yang berbeda. Setelah selesai, aku langsung menuliskan jawabannya di 5 buah kertas yang berbeda. Untuk menandainya, aku memberikan kode seperti A1 untuk soal dan cerita sementara A2 untuk jawaban. Hal ini tidak dijelaskan Kepsek karena sepertinya Kepsek sudah tahu kalau aku akan memakai menanda pada cerita.
“Oh ya, sekalian kasih penanda kode seperti A1 dan A2!” ujar Kepsek seraya menulis.
“I-Iya,” kataku dengan sedikit terkejut. Benar juga ya pikiranku, Kepsek juga pakai kode di cerita.
Setelah selesai menuliskan cerita, soal, dan jawaban, aku menaruh sepuluh kertas ini di tengah meja. “Kau sudah selesai, Nak Eka?” tanya Kepsek seraya menulis di kertasnya. Entah ia menulis cerita, soal apa jawaban.
“Sudah, Pak,” jawabku.
“Bagus,” ujar Kepsek seraya berhenti menulis. “Berikan kertas cerita kepada lawan dan untuk kertas jawaban tetap dipegang sang penulis sampai lawan memberikan jawabannya!”
“Oh ya. Kalau jawaban tidak mirip dengan jawaban penulis tidak apa-apa asal masih nyambung dengan jawaban asli,” tutur Kepsek seraya memberikan 5 buah kertas kepadaku dan aku pun memberikan 5 buah kertas cerita kepadanya. “Kamu yang mulai!” ujar Kepsek dan akhirnya, pertarunganku melawan Kepsek yang gelar sarjananya doktor akhirnya dimulai!
Aku mengambil salah satu kertas cerita dan membacanya, “Cerita B1: Seekor pengembala tak berkeluarga membawa 20 ekor domba ke sebuah padang rumput pada siang hari. Ketika pengembala tersebut mau pulang ke rumahnya pada sore hari, ia diserang gerombolan pasukan berkuda barbar. Ia tak bisa melawan gerombolan tersebut dan ia dibawa gerombolan barbar ke markas mereka. Mereka tak hanya membawa pengembala tersebut tapi mereka juga membawa semua domba pengembala tersebut. Semua domba tersebut jumlahnya makin berkurang saja tiap kali jam makan tiba karena orang-orang barbar tersebut memakan daging para domba dan menjadikan kulit domba-domba sebagai selimut.”
“Pada suatu tengah malam, semua pasukan berkuda barbar yang berjumlah 10 orang tidur lelap setelah pesta pora dan sang penggembala pun mencoba melarikan diri dengan menggosokan batu tajam pada ikatan tali mati di tangannya,” sambungku. “Pertanyaannya: setelah berhasil melepaskan diri, apa yang akan dilakukan sang penggembala? Mengambil kuda pasukan Barbar dan melarikan diri atau mengambil dombanya yang tersisa 3 ekor dan melarikan diri dengan kudanya atau ada lagi jawaban selain 2 opsi tersebut yang lebih bijak?”
“Jawab pertanyaan tersebut, Eka,” ujar Kepsek sembari membetulkan kacamatanya. “Waktu hanya 3 menit dari sekarang!” Kepsek lalu menaruh stopwatch di tengah meja.
Ehm, waktuku 3 menit dan pertanyaan cerita ini lumayan susah sih. Aku harus mengambil satu jawaban dari opsi yang ada di soal atau membuat jawaban tersendiri. Aku harus cepat membuat jawaban karena waktuku hanya 3 menit. Jika aku tak segera menemukan jawaban maka Kepsek akan menang (sepertinya).
Ehm, jika aku menjadi penggembala tersebut maka aku akan pergi mengambil kuda dan pergi meninggalkan tempat tersebut secepat mungkin sebelum orang-orang barbar tersebut mengetahui aku melarikan diri. Tapi bagaimana dengan domba? Jika domba tersebut dibawa maka aku bisa menggunakannya sebagai investasi di desa karena aku ini seorang yang tak punya sanak keluarga seperti yang dikatakan awal paragraph “Seekor pengembala tak berkeluarga”. Pasti itu kata antara sengaja sebagai jebakan Panji atau tidak. Panji itu selain doktor, ia orang yang pintar dan ahli membuat rencana sistematis. Ia pernah berkomplotan dengan pihak oposisi untuk menjatuhkan Bhre Arjuna dan menguntungkan pihak STM Panzer secara tak langsung. Orang seperti Panji perlu diwaspadai pergerakannya termasuk dalam permainan.
Jawaban yang menurutku benar dan terbaik belum tentu benar karena yang dicari adalah jawaban paling bijak. Dan bijak di sini entah menurut pandanganku atau pandangan Panji. Jika aku pakai pandangan Panji mungkin jawabannya akan tepat tapi bisa saja tidak karena Panji bisa saja memakai pandangan bijakku. Jawaban bijak menurutku adalah penggembala tersebut harus kabur dengan menggunakan kuda sambil membawa 2 ekor domba karena aku berpikir jika seandainya ia pulang ke desanya dengan keadaan miskin lagi sebatang kara, hidupnya akan susah. Tapi dengan membawa 2 ekor domba, ia bisa merawat kedua domba tersebut dan berjuang lagi membangun kehidupannya.
Ehm, sepertinya aku butuh jawaban yang mewakili semua jawaban yang kemungkinan keluar meningat waktu tinggal 1 menit lagi. Aku tak boleh panik karena jika aku panik, musuh akan tertawa dalam hati. Yang paling penting sekarang tenang dan tetap berpikir untuk mencari jawaban yang tepat.
“Eka, waktumu sudah habis,” kata Kepsek yang dari tadi memperhatikanku. “Silahkan utarakan jawabanmu!”
“Oke, Pak,” ujarku seraya menghela nafas terlebih dahulu sebelum memberi tahu jawabanku. “Saya rasa penggembala tersebut setelah berhasil terlepas dari tali harus mengambil dua dombanya secara diam-diam karena kedua domba tersebut bisa ia gunakan sebagai investasi di kampungnya. Ia hanya bisa mengambil dua karena tangannya tak bisa memegang tiga domba sekaligus.”
“Setelah berhasil mengambil domba, penggembala tersebut harus mengambil kuda milik orang barbar dan pergi meninggalkan tempat tersebut,” pungkasku seraya tersenyum. Semoga jawaban ini bisa mewakili semua jawaban yang bisa dikeluarkan!
Panji pun mengambil kertas jawaban dan menyerahkannya kepadaku. Aku terkejut ketika membaca kertas jawaban karena jawaban aku dengan jawaban asli sedikit melenceng. “Lumayan tapi kurang tepat,” ujar Kepsek sembari melihatku membaca kertas jawaban. “Eka, bacakan jawaban aslinya!” perintah Kepsek dan aku pun langsung membaca isi kertas, “Jawaban A2: penggembala tersebut harus kabur secepat mungkin sebelum para prajurit barbar tersebut menyadari kalau tawanan mereka kabur.”
“Jawabanmu tadi banyak kejanggalan seperti membawa domba sambil berkuda. Bagaimana bisa seorang penggembala membawa domba sambil berkuda layaknya seorang yang sudah terlatih berkuda? Kan tidak dijelaskan di cerita kalau dia bisa berkuda atau tidak!”
“Iya sih. Tapi kalau tidak menceritakan apakah ia bisa berkuda atau tidak berarti itu kesalahan anda!” ujarku. “Kepsek harusnya menuliskan apakah ia bisa menunggangi kuda atau tidak!”
“Tapi sudah terlanjur,” kata Kepsek sembari tersenyum tipis. Jarang-jarang ia tersenyum tipis. “Plotholetersebut memang kesengajaan tapi bukan berarti jawaban anda itu bisa dibenarkan karena ceritanya yang ambigu!”
“Berarti jawaban saya salah,” tanyaku kepadanya.
“Tidak tapi bisa dibilang kurang tepat,” jawabnya seraya mengoyang-goyangkan jari telunjuk kanannya. “Jawaban dicari adalah jawaban yang bijak dan jawaban bijak adalah jawaban yang saya tuliskan! Jawaban tersebut merupakan jawaban bijak karena penggembala tersebut harus sepecatnya kabur dan jika ia mengambil kuda, bisa saja orang-orang barbar terbangun akibat hentakan kuda. Selain itu, ia tak perlu mengambil domba karena bisa saja larinya menjadi lambat karena membawa domba entah 2 atau 1!” Oh, aku mengerti kenapa Kepsek sengaja membuat plot hole.
“Jadi saya dapat poin atau tidak?” tanyaku.
“Tidak karena kurang tepat dan tidak terlalu mirip dengan jawaban asli. Kalau mirip 11-12 mungkin masih bisa dapat poin,” tutur Kepsek. “Kau harus memperhatikan apakah di soal cerita ada plothole atau tidak karena plothole itu bisa saja merupakan jebakan yang disiapkan lawan!” Wah, masukan yang bagus dan aku harus lebih teliti lagi dalam menganalisa cerita. Aku sudah kehilangan kesempatan mendapatkan poin dan selanjutnya aku harus membuat jawaban yang lebih mendekati jawaban asli!
“Terima kasih dan silahkan pak Kepsek ambil kertas cerita saya,” kataku mempersilahkan Kepsek mengambil kertas.
“Cerita E1: Pedagang mie ayam ditemukan tewas di dalam atap rumah. Di sekitar lokasi kejadian perkara tak terdapat senjata tumpul atau senjata tajam dan ruamh yang di tempati pedagang tersebut kosong layaknya orang baru mau pindahan. Pedagang tersebut tak punya keluarga ataupun teman. Ia juga tak punya kasus dengan rentenir ataupun preman. Pedagang mie ayam tersebut mempunya luka kecil di lutut kaki kirinya dan polisi tak menemukan luka lain di sekujur tubuh mayat tersebut. Pedagang mie ayam tersebut juga tak memakai obat-obatan terlarang dan semacamnya,” baca Kepsek lalu ia menghentikan sejenak untuk mengambil nafas. “Pertanyaannya: Mengapa pedagang tersebut bisa tewas? Apakah ia bunuh diri? Dibunuh? Atau mati sendiri karena sudah takdir?”
“Jawab itu, Pak,” kataku sembari tersenyum-senyum sendiri. Semoga ia tak bisa menebak dengan benar karena aku memberikan 3 opsi dan ketiga opsi tersebut sama-sama berkontradiksi satu sama lain.
Kepsek tersebut mengutup matanya selama satu menit. Ehm, apa mungkin dia berpikir secara serius dengan menutup matanya agar ia bisa mendapatkan konsentrasi? Bisa jadi dan cerita ini adalah cerita yang paling mudah aku buat.
“Jawabannya adalah infeksi luka!” jawab Kepsek setelah 30 detik berpikir dan jawaban ini cukup mengejutkanku mengingat ia hanya butuh waktu singkat untuk menjawab. “Dalam cerita ini tak disebutkan apakah pedagang terinfeksi atau tidak pada luka yang ia punya. Alibi mati karena infeksi luka cukup kuat meningat tak disebutkan ia terluka karena apa!”
“Oh, coba anda baca jawaban ini,” ujarku seraya memberikan kertas jawaban pada Kepsek. Kepsek membuat lipatan kertas tersebut lalu membaca isinya, “Pedagang mie ayam tersebut mati karena takdir.” Setelah membaca kertas jawaban tersebut, Kepsek pun bertanya kepadaku, “Dengan jawaban tersebut saya mendapatkan poin kan?”
“Tidak Pak,” jawabku seraya menggeleng-geleng kepala. “Anda tak menyebutkan secara spesifik pedagang mie ayam tersebut mati karena takdir atau dibunuh jadinya anda tak berhak mendapatkan poin!”
“Eka, takdir itu tak hanya mati sendiri tapi dibunuh atau bunuh diri itu juga takdir!” elak Kepsek seraya membetulkan kacamatanya.
“Tapi anda tetap tidak bisa mendapatkan poin karena dalam jawaban anda tak disebutkan apakah pedagang tersebut mati karena sudah saatnya mati atau dibunuh,” balasku. Inilah yang aku nantikan: kesalahan yang dibuat lawan dalam menjawab pertanyaanku. Pertanyaanku cukup sederhana tapi jawabannya bisa dibantah jika tak menyebut salah satu opsi yang diberikan.
“Oke deh. Saya gagal mendapatkan poin,” kata Kepsek sembari melipat tanganya. “Mau minum teh dulu sebelum kita lanjutkan permainan?” tawar Kepsek kepadaku.
“Boleh saja,” terimaku dengan senang hati. Permainan ini menguras pikiran dan dengan minum teh, pikiranku bisa aku tenangkan. “Yang dingin ya!”
Diubah oleh mabdulkarim 21-08-2014 17:35
0
Kutip
Balas