- Beranda
- Stories from the Heart
2 CINTA DI NUSA BUNGA
...
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun












PROLOG
Dulu....
Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.
Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.
Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).
Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.
Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.
Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.
And... the story goes.....
"..................."
Surabaya, 22 Maret 2014
Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.
Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.
Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.
Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.
Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.
Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.
Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.
.........................
--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--
Soundtrack
INDEX
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
andihunt
#195
Hitam. Part 10
Sore ini meja murni depenuhi masakan yang tercium aroma menggoda. Kita duduk melingkari meja dan melahap masakan itu. Sejak dari tadi sebenarnya terbesit pertanyaan kecil tentang kosnya murni yang super lega ini.
"Murni, kamu tinggal sendirian di rumah ini?" ujarku membuka suara.
"Iya, aku sengaja ngontrak rumah soalnya orang tuaku kadang kesini kalau berkunjung ke maumere. Mereka kadang tinggal disini tiga atau empat hari, menengok nenek." kata murni menjelaskan.
"Oh pantesan, kayak bukan tempat kost-kostan."
"Ya begitulah, kadang aku takut juga tinggal sendiri. Untung rumahnya berdempetan jadi banyak tetangga."
"Ah iya."
"Ntar aku temenin, ni. Kalau pulang siang!" tukas meissa menengahi percakapan kami berdua. "Nanti biar andi yang ngantar aku pulang. Aku kan punya bodyguard, hahaha!"
Meissa terlihat jengkelin lagi, aku lantas mengolesi keningnya dengan sedikit sambal. Dia berontak, kepanasan lantas mencubit keras-keras pipiku. Aku langsung kepanasan, bukan karena cubitan kukunya tapi kedua tangannya yang dilumuri sambal.
"Haduh! Kejam sekali balasnya!" teriakku sambil mencabut helain tissue di atas meja dan membersihkan pipiku yang berbekas merah bercampur sambal. Meissa terkekeh, lidahnya terjulur mengejekku.
"Rasain tuh. Dari kemarin sore, dia jengkelin, Ni." ucap meissa menarik simpati murni. Murni tertawa melihat kelakuan kita yang kekanak-kanakan. Dia lantas mengambil gulungan tissue dan menaruhnya ke pangkuan meissa.
"Nih bantuin andi. Kasihan dia matanya udah pedih tuh!" ucap murni ke meissa. Meissa terlihat jengkel melihat murni membelaku. Meissa pasrah lantas dengan cemberutnya mengusap pipiku.
"Mangkanya jangan nyebelin!" kataku menggodanya.
"Diem. Nih udah hilang sambalnya. Ga panas, kan! Jangan manja deh!" jawab meissa tanpa melepaskan wajah cemberutnya.
"Ya udah lanjut makan sana!"
".........."
".........."
Sore ini perlahan menjingga. Angin sore menyeruak kedalam helaian daun-daun pepohonan kecil di halaman kos murni. Lampu-lampu gang mulai menyala satu per satu, pertanda senja telah berpulang ke ufuk barat berganti magrib. Sore ini tak terdengar adzan magrib, hanya terdengar dentang lonceng gereja sayup-sayup terbawa arakan debu yang menerobos jendela bertralis. Saat ini aku berada di dalam kamar murni, menatap lurus ke sebuah salib yang tergantung di tembok, tepat di depanku. Darahku berdesir naik ke ubun-ubun dan jantungku terpompa terlampau cepat. Hatiku berdebar dan nadaku bergetar saat mengucapkan kalimat "Allahuakbar". Bukan karena patung Yesus yang ada di hadapanku saat ini, tapi keberadaan meissa di belakangku sebagai makmum.
"Ya Tuhan aku ingin menjadi imamnya seperti ini sampai kita beruban nanti. Mudah-mudahan engkau menjodohkanku dengan gadis cantik ini. Dan untuk kali ini Tuhan, kumohon hapuskan segala kegelisahan yang melanda batinnya." aku menitikkan air mata, berdoa dalam hati dalam sholatku. Berharap momen seperti ini berlangsung lama, selamanya, bersamanya, meissa.
".........."
"Assalamualaikum......." aku mengakhiri shalat dan mengucapkan salam. Aku menengok kebelakang dan mendapati meissa tersenyum simpul menatapku. Entah aku tak tahu apa yang aku lakukan dengan keadaan ini bersamanya dalam satu ruangan sunyi, di bawah lampu bohlam yang menerangi kita berdua. Aku mengulurkan tanganku dan meissa lantas menunduk dan meletakkan tanganku di keningnya. Aku tersenyum haru dan mengajaknya berpamitan ke murni dan bergegas pulang.
"Kamu terlihat semakin cantik dengan mukena ini, meissa!" rayuku sebelum kita meninggalkan kamar ini. Meissa hanya terdiam malu, melucuti mukena itu dan memasukkannya ke dalam tas slempangnya. Setelah itu dia melenggang mendekati pintu kamar, membuka kunci dan mematut diri di depan kaca. Kulihat dia dari kejauhan bergaya membetulkan kerudung putihnya. Aku merasakan lagi perasaan hati yang membara, dan sekejap saja semuanya terlihat seperti mimpi. Aku ga yakin jika sore ini kita menghabiskan lima menit berdua menghadap sang khalik. Ah, aku masih tak percaya. Aku lalu berjalan mendekatinya, bersandar di samping pintu dan memandangnya bersolek. Saat itu aku hanya bisa bersyukur diberi kesempatan melihat langsung keindahan ciptaan Tuhan dari dekat. Entah berapa lama aku menunggunya bersolek di depan meja rias, sekejap saja aku merasakan kesunyian yang mendera, hanya terdengar jendela kamar murni yang berdecit decit di terpa angin sore.
".........."
"Hei, ndi!" meissa menepuk kedua pipiku. Aku bahkan tak sadar jika dia sudah berada disampingku. "Udah ah, udah sore. Antarin aku pulang!'
"Eh, iya. Aku terpesona aja lihat kamu bersolek di depan sana. Pintar juga berdandan ya, tadi keliatan imut sekarang berubah jadi emak-emak"
"Hm... Menghina lagi. Jangan kebanyakan nanya ah!. Yuk pamitan sama murni terus pulang!"
"Ok, Nona cantik!"
"....."
Setelah berpamitan sama murni kita berjalan menyusuri kota maumere, kota yang sangat kecil. Memang sangat kecil sampai-sampai tak terasa kita sudah mendekati gerbang masuk ke asrama polisi. Meissa terhenti sejenak dan menatapku. Wajahnya kembali terlihat kusut, kegelisahan itu terpancar lagi dari raut wajahnya.
"Aku takut, sudah larut malam" ratap meissa. Aku memegang kedua bahunya lantas berbisik pelan.
"Jangan takut. Aku tunggu dari sini. Kamu kan sudah terbiasa sama mereka, dan mereka tidak jahat, kan? Hanya menggodamu saja!"
"Ada salah satu dari mereka yang mengejar-ngejar aku. Dia ga sopan, dia pernah menarik paksa lenganku ketika jalan-jalan di sekitar asrama."
"Hm...." aku menghela nafas sesaat lalu melihat gerbang besi itu, di sebelahnya ada pos yang dipenuhi polisi bersenjata. Aku yakin siapapun yang kesana tanpa maksud pasti berdebar ketakutan melihat tampang mereka. "Aku antar sampai pos polisi itu!"
"Kamu yakin? Berani?"
Kupegang kedua bahunya semakin erat. "Dengerin ya meissa. Ini bukan masalah berani ga berani. Aku hanya ingin setelah aku membawa kamu kesana. Aku harap saat ini dan untuk keesokan harinya mereka tidak menganggu kamu lagi."
"Bagaimana kamu bisa yakin?"
"Mereka pasti menganggap kita berdua pacaran, dan pasti mereka tak enak hati mengganggumu di mata pacarnya sendiri." Ucapku menjelaskan padanya. Meissa terlihat kebingungan dengan ucapanku lantas membalikkan badannya menatap kerumunan polisi itu.
"Pacaran?" katanya sedikit terkaget. "Apa aku ga salah denger?"
"Ya ampun, itu hanya basa-basi saja. Lagian siapa yang mau punya pacar cewek aneh seperti kamu. Melewati gerbang besi itu saja sudah ketakutan kayak anak kecil" jawabku meyakinkannya.
"Ya sudah, terserah kamu, ndi!"
Kita berdua meneruskan langkah, memberanikan diri berjalan beriringan mendekati pos polisi itu. Sebenarnya aku ga merasa takut berjalan berdekatan seperti ini menuju kerumunan polisi bersenjata itu, yang kutakuti hanyalah apabila di antara mereka ada kakaknya meissa yang judes dan galak. Dulu belum kenal saja sudah berani bentak-bentak di tepi pelabuhan.
"......"
Gerbang besi itu berdecit ketika salah seorang polisi membuka gembok dan berjalan menghampiri kita berdua. Derap sepatu bootnya semakin terdengar mendekat, merambat memasuki gendang telingaku yang mulai sensitif. Bunyinya semakin keras terhentak di atas tanah tatkala dua, tiga bayangan mengikutinya dari belakang. Sejak saat itu aku langsung menyusun ribuan alasan sebagai jaga-jaga jika ditanyai aneh-aneh.
"Kamu andi!" ucap polisi itu. Tangan kirinya rapat memegang gembok besi. Aku masih terkaget kok dia bisa mengenaliku? Namun seketika aku acuhkan rasa penasaran ini dan melihat apakah tangan kanannya memegang pistol?. Aku masih kepikiran soal kakaknya meissa, jangan sampai tiba-tiba dia memergokiku berjalan dengan meissa sedekat ini sampai magrib, bisa ditembak di tempat aku.
"Rizal!" kataku sedikit tak percaya. Aku semakin yakin dia rizal ketika lampu jalan mulai menampakkan raut wajahnya "Bikin kaget saja kamu, zal!'
"Dari mana saja kamu sama gadis ini? Sampai larut malam." rizal melirik meissa, meissa lantas ketakutan sambil menundukkan kepala.
"Habis kuliah. Kasihan dia jalan sendiri, ga dijemput kakaknya. Jadi aku antar sampai sini!"
"....." Rizal menganguk paham lantas membuka gerbang itu lebar-lebar. Seketika sekumpulan polisi berdatangan menghampiri kita berdua.
"Meissa, pulang gih!" kataku menyuruh meissa pulang. Dia masih menunduk lantas berjalan tergopoh-gopoh menjinjing roknya menuju asrama polisi yang berada tepat di belakang kantor kepolisian. Kini aku tengah berada dalam kerumunan polisi bersenjata dan sudah bisa dipastikan aku akan di interogasi habis-habisan. Untung ada rizal di antara polisi ini, jadi dia menengahi masalahku dan aku bisa pulang tanpa di tanyai KTP segala macam. Sebelum aku berbalik arah menjauhi gerbang besi itu, aku sempat melihat satu lorong agak gelap dari kejauhan di samping barisan kendaraan bermotor. Terlihat samar bayangan di sana melambai, jauh dari sini. Aku memicingkan mata, membiasakan mataku dengan keadaan cahaya yang redup dibalik pos polisi ini. Dia di sana melambaikan kedua tangannya, lantas hapeku bergetar dan aku meraihnya.
"Terima kasih untuk hari ini, ndi! Aku masih ga mengerti arti pacar itu apa?"
Aku tersenyum sendiri membaca sms-nya lantas seketika aku menjawab.
"Pacar itu bodyguard pribadi. Coba ingat-ingat, aku tadi mengaku jadi pacarmu dan polisi itu langsung terkesiap tak banyak bicara!"
Sms terkirim dan saat itu juga aku langsung melambai ke angkot dan pulang. Sampai di perjalanan aku menerima sms-nya lagi. Cukup sederhana dan singkat balasannya, tapi sudah cukup membuatku tak bisa tidur malam nanti, pasti!.
"Oh!"
"......"
"Murni, kamu tinggal sendirian di rumah ini?" ujarku membuka suara.
"Iya, aku sengaja ngontrak rumah soalnya orang tuaku kadang kesini kalau berkunjung ke maumere. Mereka kadang tinggal disini tiga atau empat hari, menengok nenek." kata murni menjelaskan.
"Oh pantesan, kayak bukan tempat kost-kostan."
"Ya begitulah, kadang aku takut juga tinggal sendiri. Untung rumahnya berdempetan jadi banyak tetangga."
"Ah iya."
"Ntar aku temenin, ni. Kalau pulang siang!" tukas meissa menengahi percakapan kami berdua. "Nanti biar andi yang ngantar aku pulang. Aku kan punya bodyguard, hahaha!"
Meissa terlihat jengkelin lagi, aku lantas mengolesi keningnya dengan sedikit sambal. Dia berontak, kepanasan lantas mencubit keras-keras pipiku. Aku langsung kepanasan, bukan karena cubitan kukunya tapi kedua tangannya yang dilumuri sambal.
"Haduh! Kejam sekali balasnya!" teriakku sambil mencabut helain tissue di atas meja dan membersihkan pipiku yang berbekas merah bercampur sambal. Meissa terkekeh, lidahnya terjulur mengejekku.
"Rasain tuh. Dari kemarin sore, dia jengkelin, Ni." ucap meissa menarik simpati murni. Murni tertawa melihat kelakuan kita yang kekanak-kanakan. Dia lantas mengambil gulungan tissue dan menaruhnya ke pangkuan meissa.
"Nih bantuin andi. Kasihan dia matanya udah pedih tuh!" ucap murni ke meissa. Meissa terlihat jengkel melihat murni membelaku. Meissa pasrah lantas dengan cemberutnya mengusap pipiku.
"Mangkanya jangan nyebelin!" kataku menggodanya.
"Diem. Nih udah hilang sambalnya. Ga panas, kan! Jangan manja deh!" jawab meissa tanpa melepaskan wajah cemberutnya.
"Ya udah lanjut makan sana!"
".........."
".........."
Sore ini perlahan menjingga. Angin sore menyeruak kedalam helaian daun-daun pepohonan kecil di halaman kos murni. Lampu-lampu gang mulai menyala satu per satu, pertanda senja telah berpulang ke ufuk barat berganti magrib. Sore ini tak terdengar adzan magrib, hanya terdengar dentang lonceng gereja sayup-sayup terbawa arakan debu yang menerobos jendela bertralis. Saat ini aku berada di dalam kamar murni, menatap lurus ke sebuah salib yang tergantung di tembok, tepat di depanku. Darahku berdesir naik ke ubun-ubun dan jantungku terpompa terlampau cepat. Hatiku berdebar dan nadaku bergetar saat mengucapkan kalimat "Allahuakbar". Bukan karena patung Yesus yang ada di hadapanku saat ini, tapi keberadaan meissa di belakangku sebagai makmum.
"Ya Tuhan aku ingin menjadi imamnya seperti ini sampai kita beruban nanti. Mudah-mudahan engkau menjodohkanku dengan gadis cantik ini. Dan untuk kali ini Tuhan, kumohon hapuskan segala kegelisahan yang melanda batinnya." aku menitikkan air mata, berdoa dalam hati dalam sholatku. Berharap momen seperti ini berlangsung lama, selamanya, bersamanya, meissa.
".........."
"Assalamualaikum......." aku mengakhiri shalat dan mengucapkan salam. Aku menengok kebelakang dan mendapati meissa tersenyum simpul menatapku. Entah aku tak tahu apa yang aku lakukan dengan keadaan ini bersamanya dalam satu ruangan sunyi, di bawah lampu bohlam yang menerangi kita berdua. Aku mengulurkan tanganku dan meissa lantas menunduk dan meletakkan tanganku di keningnya. Aku tersenyum haru dan mengajaknya berpamitan ke murni dan bergegas pulang.
"Kamu terlihat semakin cantik dengan mukena ini, meissa!" rayuku sebelum kita meninggalkan kamar ini. Meissa hanya terdiam malu, melucuti mukena itu dan memasukkannya ke dalam tas slempangnya. Setelah itu dia melenggang mendekati pintu kamar, membuka kunci dan mematut diri di depan kaca. Kulihat dia dari kejauhan bergaya membetulkan kerudung putihnya. Aku merasakan lagi perasaan hati yang membara, dan sekejap saja semuanya terlihat seperti mimpi. Aku ga yakin jika sore ini kita menghabiskan lima menit berdua menghadap sang khalik. Ah, aku masih tak percaya. Aku lalu berjalan mendekatinya, bersandar di samping pintu dan memandangnya bersolek. Saat itu aku hanya bisa bersyukur diberi kesempatan melihat langsung keindahan ciptaan Tuhan dari dekat. Entah berapa lama aku menunggunya bersolek di depan meja rias, sekejap saja aku merasakan kesunyian yang mendera, hanya terdengar jendela kamar murni yang berdecit decit di terpa angin sore.
".........."
"Hei, ndi!" meissa menepuk kedua pipiku. Aku bahkan tak sadar jika dia sudah berada disampingku. "Udah ah, udah sore. Antarin aku pulang!'
"Eh, iya. Aku terpesona aja lihat kamu bersolek di depan sana. Pintar juga berdandan ya, tadi keliatan imut sekarang berubah jadi emak-emak"
"Hm... Menghina lagi. Jangan kebanyakan nanya ah!. Yuk pamitan sama murni terus pulang!"
"Ok, Nona cantik!"
"....."
Setelah berpamitan sama murni kita berjalan menyusuri kota maumere, kota yang sangat kecil. Memang sangat kecil sampai-sampai tak terasa kita sudah mendekati gerbang masuk ke asrama polisi. Meissa terhenti sejenak dan menatapku. Wajahnya kembali terlihat kusut, kegelisahan itu terpancar lagi dari raut wajahnya.
"Aku takut, sudah larut malam" ratap meissa. Aku memegang kedua bahunya lantas berbisik pelan.
"Jangan takut. Aku tunggu dari sini. Kamu kan sudah terbiasa sama mereka, dan mereka tidak jahat, kan? Hanya menggodamu saja!"
"Ada salah satu dari mereka yang mengejar-ngejar aku. Dia ga sopan, dia pernah menarik paksa lenganku ketika jalan-jalan di sekitar asrama."
"Hm...." aku menghela nafas sesaat lalu melihat gerbang besi itu, di sebelahnya ada pos yang dipenuhi polisi bersenjata. Aku yakin siapapun yang kesana tanpa maksud pasti berdebar ketakutan melihat tampang mereka. "Aku antar sampai pos polisi itu!"
"Kamu yakin? Berani?"
Kupegang kedua bahunya semakin erat. "Dengerin ya meissa. Ini bukan masalah berani ga berani. Aku hanya ingin setelah aku membawa kamu kesana. Aku harap saat ini dan untuk keesokan harinya mereka tidak menganggu kamu lagi."
"Bagaimana kamu bisa yakin?"
"Mereka pasti menganggap kita berdua pacaran, dan pasti mereka tak enak hati mengganggumu di mata pacarnya sendiri." Ucapku menjelaskan padanya. Meissa terlihat kebingungan dengan ucapanku lantas membalikkan badannya menatap kerumunan polisi itu.
"Pacaran?" katanya sedikit terkaget. "Apa aku ga salah denger?"
"Ya ampun, itu hanya basa-basi saja. Lagian siapa yang mau punya pacar cewek aneh seperti kamu. Melewati gerbang besi itu saja sudah ketakutan kayak anak kecil" jawabku meyakinkannya.
"Ya sudah, terserah kamu, ndi!"
Kita berdua meneruskan langkah, memberanikan diri berjalan beriringan mendekati pos polisi itu. Sebenarnya aku ga merasa takut berjalan berdekatan seperti ini menuju kerumunan polisi bersenjata itu, yang kutakuti hanyalah apabila di antara mereka ada kakaknya meissa yang judes dan galak. Dulu belum kenal saja sudah berani bentak-bentak di tepi pelabuhan.
"......"
Gerbang besi itu berdecit ketika salah seorang polisi membuka gembok dan berjalan menghampiri kita berdua. Derap sepatu bootnya semakin terdengar mendekat, merambat memasuki gendang telingaku yang mulai sensitif. Bunyinya semakin keras terhentak di atas tanah tatkala dua, tiga bayangan mengikutinya dari belakang. Sejak saat itu aku langsung menyusun ribuan alasan sebagai jaga-jaga jika ditanyai aneh-aneh.
"Kamu andi!" ucap polisi itu. Tangan kirinya rapat memegang gembok besi. Aku masih terkaget kok dia bisa mengenaliku? Namun seketika aku acuhkan rasa penasaran ini dan melihat apakah tangan kanannya memegang pistol?. Aku masih kepikiran soal kakaknya meissa, jangan sampai tiba-tiba dia memergokiku berjalan dengan meissa sedekat ini sampai magrib, bisa ditembak di tempat aku.
"Rizal!" kataku sedikit tak percaya. Aku semakin yakin dia rizal ketika lampu jalan mulai menampakkan raut wajahnya "Bikin kaget saja kamu, zal!'
"Dari mana saja kamu sama gadis ini? Sampai larut malam." rizal melirik meissa, meissa lantas ketakutan sambil menundukkan kepala.
"Habis kuliah. Kasihan dia jalan sendiri, ga dijemput kakaknya. Jadi aku antar sampai sini!"
"....." Rizal menganguk paham lantas membuka gerbang itu lebar-lebar. Seketika sekumpulan polisi berdatangan menghampiri kita berdua.
"Meissa, pulang gih!" kataku menyuruh meissa pulang. Dia masih menunduk lantas berjalan tergopoh-gopoh menjinjing roknya menuju asrama polisi yang berada tepat di belakang kantor kepolisian. Kini aku tengah berada dalam kerumunan polisi bersenjata dan sudah bisa dipastikan aku akan di interogasi habis-habisan. Untung ada rizal di antara polisi ini, jadi dia menengahi masalahku dan aku bisa pulang tanpa di tanyai KTP segala macam. Sebelum aku berbalik arah menjauhi gerbang besi itu, aku sempat melihat satu lorong agak gelap dari kejauhan di samping barisan kendaraan bermotor. Terlihat samar bayangan di sana melambai, jauh dari sini. Aku memicingkan mata, membiasakan mataku dengan keadaan cahaya yang redup dibalik pos polisi ini. Dia di sana melambaikan kedua tangannya, lantas hapeku bergetar dan aku meraihnya.
"Terima kasih untuk hari ini, ndi! Aku masih ga mengerti arti pacar itu apa?"
Aku tersenyum sendiri membaca sms-nya lantas seketika aku menjawab.
"Pacar itu bodyguard pribadi. Coba ingat-ingat, aku tadi mengaku jadi pacarmu dan polisi itu langsung terkesiap tak banyak bicara!"
Sms terkirim dan saat itu juga aku langsung melambai ke angkot dan pulang. Sampai di perjalanan aku menerima sms-nya lagi. Cukup sederhana dan singkat balasannya, tapi sudah cukup membuatku tak bisa tidur malam nanti, pasti!.
"Oh!"
"......"
Diubah oleh andihunt 20-08-2014 10:43
0