Kaskus

Story

andihuntAvatar border
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun
emoticon-roseemoticon-rose

2 CINTA DI NUSA BUNGA


emoticon-heartemoticon-roseemoticon-roseemoticon-roseemoticon-roseemoticon-roseemoticon-norose


PROLOG


Dulu....

Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.

Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.

Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).

Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.

Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.

Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.

And... the story goes.....

"..................."

Surabaya, 22 Maret 2014

Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.

Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.

Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.


Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.

Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.

Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.

Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.

Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.

Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.

.........................

--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--


Soundtrack


INDEX


Spoiler for INDEX:

Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
anasabilaAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
andihuntAvatar border
TS
andihunt
#194
Hitam. Part 9
Seusai berbincang dengan pak umar aku langsung menuju ke kosnya murni. Karena alamat kosnya tidak terlalu jauh dari kampus, aku memutuskan berjalan kaki menyusuri tiap gang rumah yang saling rapat berdempetan. Setelah bertanya pada warga sekitar akhirnya aku menemukan kos murni yang terletak tidak jauh dari gereja di samping lapangan kota baru maumere. Satu lapangan yang mempunyai kenangan tersendiri buatku. Rahma pernah mengantarku sampai disini dulu. Dia juga yang mengenalkan padaku seluk beluk jalan di maumere sampai aku sedikit hafal seperti sekarang.

Dan sekarang aku tengah berdiri di depan kosnya murni menghadap pintu yang tak sempat tertutup. Sejenak aku mengintip ke dalam kosnya masih terlihat sunyi, hanya terdengar kipas angin yang memutar kencang di pojok ruangan.

"Murni!" Panggilku sembari mengetuk pelan pintu ini. Suasana masih hening tak ada jawaban dari dalam. Aku langsung mencoba telpon meissa memastikan kalau tempat yang aku tuju ini benar-benar kosnya murni.

"Tut...tut...tut!"

Sambil menunggu jawabannya aku duduk bengong di teras mendekap ranselku. Hampir dua menit hapeku terus berdengung tanpa ada jawaban darinya. Tiba-tiba terdengar derap langkah mendekat dan memanggil namaku.

"Hei, ndi! Kirain nyasar!" Sekelebat terlihat bayangan seorang perempuan yang mulai menampakkan tubuhnya dibalik pintu yang terbuka sebagian. Dia berjalan tergesa-gesa seraya mengendong kucing persia berbulu putih tebal. Aku kira itu suara murni. Tapi sekejap saja aku tersadar, ternyata perempuan itu berkerudung sedikit panjang yang menutupi separuh tubuhnya.

"Eh meissa" jawabku agak kaget. Aku kemudian berdiri dan menghampirinya. "Ini beneran meissa ya?"

"....." Meissa masih terdiam menunduk, memperhatikan kucing itu yang menggeliat di rengkuhannya. "Bukan, aku nova!" Katanya tersipu. Kulihat tangan kirinya mengelus kepala kucing yang dipeluknya dengan lembut. Kucing itu merengek, lidah merahnya terjulur dan kedua tanganya mencakar-cakar ke udara.

"Nova?"

"Novaliati! Kayak ga kenal aja" Kata meissa semakin rapat memeluk kucing itu yang nampak sedikit berontak. Jemarinya lalu menyisir lembut bulu kucing itu sampai si kucing mendengkur dipelukannya.

"Meissa! Eh ini kucingnya siapa?" Aku ikut-ikutan mengelus bulu kucing lucu ini. Meissa menatapku lantas tersenyum kecil.

"Kucingnya murni. Lucu ya, ndi!" Meissa menimang-nimang kucing itu. Bibirnya berdecak meninabobokan si kucing yang perlahan tertidur. Aku jadi gemes sendiri melihatnya.

"Lucu banget! Ehmm... Gemesin kayak kamu!" Aku mengusap punggung kucing itu dan merebutnya dari pelukan meissa. Si kucing terbangun, lalu berontak dan sontak mencakar tanganku. Aku terperanjat kaget dan melangkah mundur ke tembok. Meissa lantas tertawa cekikikan dan membalik badan kesamping.

"Kamu sih kasar, ndi! Hehe! Ya udah masuk gih. Kamu tunggu di ruang tamu ini ya aku ke kamarnya murni dulu ganti baju. Habis ini kita masak-masak!" Ucap meissa kemudian berlalu meninggalkanku.

"Hm... Ok."

"......"

Aku duduk terlamun di ruang tamu kos murni, sebuah tempat kos yang lumayan besar untuk di tempati sendiri oleh murni. Mungkin lebih ideal disebut rumah kontrakan karena lengkap dengan perabotan yang tersusun rapi. Cukup lama aku menunggu mereka berdua datang menghampiriku, ternyata cewek kalo ganti baju lama juga, sampai aku tak menyadari sedikit ngantuk sambil mendekap ranselku yang mulai kempis.

"Astaga, sayur kangkung itu?"

Sesaat aku teringat akan sayur yang aku beli tadi pagi, mungkin sekarang sayur itu sudah membusuk terbungkus plastik di dalam ranselku. Segera aku membuka bungkusan plastiknya dan menjerengnya di depan kipas angin. Aroma tak sedap mulai tercium dari bungkusan itu, tapi perlahan menghilang setelah mengering di terpa kencangnya kipas angin. Aku menatap sayur kangkung itu yang sudah layu, menguning dan sedikit membusuk sebagian. Sempat kepikiran untuk membuang sayur ini ke tong sampah karena tidak mungkin meissa mau memasak sayur yang sudah tak segar begini.

"Hei ngapain di depan kipas angin!" kudengar teriakan dari belakang, aku membalik badan lantas menyembunyikan kangkung itu ke punggungku. Meissa dan murni terlihat bengong melihat keanehanku berdiri sedikit membungkuk membelakangi kipas angin. Mereka tetap memandangku dengan tatapan aneh, terlebih aku semakin bengong melihat penampilan meissa. Dia mengenakan kaos putih berkerah yang agak ketat mengikuti lekukan tubuhnya, sementara di bawahnya memakai celana jeans pendek sepaha. Aku sedikit tak percaya sambi mengedipkan mata berkali-kali memastikan yang kulihat bener-bener meissa.

"Jangan diam aja, nih aku buatin kopi!" tawar meissa lantas mengambil duduk di kursi depanku dan meletakkan secangkir kopi yang masih menyisakan asap tipis menari-nari tertiup angin.

"Eh iya, kok beda?" kataku tanpa bergeser dari tempatku berdiri. Keningku bercucuran peluh dan kemejaku mulai basah oleh keringat dingin saking gugupnya, padahal tepat di belakangku ada kipas angin yang memutar kencang.

"Beda apanya? Kan sekarang waktunya santai jadi ya ga pake kerudung lagi"

"Eh... aku mau kasih sesuatu sama kamu, meissa"

"Apaan?"

"Hmm.... tapi jangan marah ya?"

"....." meissa tak segera menjawabku, dia lantas berdiri di samping murni dan hendak menertawakanku yang mulai terlihat basah kuyup. "Apaan sih, ndi"

"Sesuatu di belakangku" ucapku datar. Murni terlihat mengerti dengan gesture tubuhku. Mungkin murni lebih paham tentang ini, dia lantas memotong keheningan beberapa saat dan teriak.

"BUNGA!" Cie meissa dapat bunga dari Andi!" teriak murni melirikkan matanya ke kami berdua.

"Bunga?" ucap meissa lirih, dia bengong sesaat menatapku. "Bunga apa, ndi?" ulangnya dengan nada tinggi.

"....." aku ikut terdiam, malu. Bakal ditaruh mana mukaku jika memberikan seikat kangkung layu ke gadis cantik seperti meissa. Aku ga menduga ternyata murni bisa menebak demikian jauh. Aku yang semula berniat memberikan kangkung ini padanya jadi minder sendiri. Akupun berpaling dari tatapan mereka dan mengedikkan bahu. "Nggak! Bukan bunga. Ga jadi ah!"

"Yah! Padahal meissa sudah harap-harap cemas" ucap murni menyenggol bahu meissa di sampingya. Meissa mencibir murni lalu mereka beranjak membelakangiku menuju dapur.

"Dah ndi, tunggu disini sebentar. Aku mau masak-masak sama murni dulu di dapur. Diminum tuh kopinya" kata meissa sambil berjalan selangkah menjauhiku. Aku melihat rambut merahnya tergerai terayun ayun di punggungnya, mengikuti gerakan tubuhnya yang gemulai.

"Kamu semakin cantik, meissa. Andai saja kegelisahanmu selama ini tak menutupi keceriaanmu, mungkin kamu akan terlihat seperti bunga sakura yang selalu mendamaikan hati setiap insan yang memandangnya. Tapi kamu sadar keindahan tubuhmu tak seharusnya di nikmati oleh sepasang mata yang saling bergerilya di jalan-jalan, maka engkau rela menutupi tubuhmu itu dengan busana yang selalu dicibir sinis oleh kebanyakan orang di pulau ini. Disisi lain aku terheran, entah kenapa kamu tidak merasa sungkan memperlihatkan lekukan tubuhmu di depanku seperti barusan, Aku sungguh tak mengerti. Terkadang aku berharap tuhan tidak memberiku banyak pertanyaan, agar aku tidak selalu bingung untuk menebaknya."

Meissa perlahan menghilang dari pandanganku, meninggalkan aku yang terkagum dengan penampilannya yang sangat berbeda sore ini. Mungkin dia terbiasa berpenampilan seperti ini jika di dalam rumahnya. Wajar saja banyak polisi yang menggoda dia di asrama itu. Aku lantas duduk menyandarkan punggung dan mengangkat secangkir kopi buatan meissa. Asap tipis dari kopi itu merangkak masuk ke hidungku, membawa aroma wangi yang menyejukkan kalbu. Sedikit demi sedikit aku seruput kopi hitam itu, rasanya agak berbeda. Tidak manis, juga tidak pahit. Entah rasa apa ini, hambar. Atau mungkin lidahku sudah tak bisa mengecap rasa ini?. Mungkin hanya hatiku yang bisa merasakannya. Hm... perasaanku padanya seolah semakin dalam saja semenjak kita sering bersama seperti ini. Dan aku selalu senang menelan kebodohan ini mentah-mentah. Kebodohan tidak bisa berterus terang mengutarakan perasaa hati ini padanya, bahkan semenjak kenal rahma dulu.

Detik demi detik berganti, mataku terus terpaku menatap secangkir kopi yang sudah tinggal ampasnya. Aku memutar gelas itu, membiarkannya menggelinding ke sana kemari, lantas aku tangkap ketika hendak jatuh dari bibir meja. Entah berapa kali aku terlihat bodoh bermain dengan secangkir gelas menghilangkan suntuk yang menyerang. Aku terdiam terlalu lama di sini, ditemani kipas angin dan bunyi lonceng gereja yang terdengar lamat-lamat dari seberang jalan. Aku gak tahu mereka masak apa di dalam?. Aku mau masuk tak enak hati karena seorang cowok sendirian dalam satu rumah di antara dua cewek. Rasa bosan mulai menyerang, kantuk pun tak tertahankan. Aku lalu duduk meringkuk, memasukkan lagi kangkung layu tadi ke dalam ransel dan memeluknya erat-erat.

"Dasar ya tukang molor!" aku merasakan cubitan yang agak di plintir di lengan kananku. Aku tergeragap bangun, memandang wajah ayu dengan tatapan sedikit buram. Aku mengucek kedua mataku dan melihat jelas wajah meissa tersenyum genit.

"Aduh! Udah masak belum masakannya, lapar nih!" kataku polos. Meissa duduk di sampingku lantas menggeraikan rambut merahnya yang sedikit basah.

"Udah dong. Kelamaan ya nunggunya sampai ketiduran, hihi!" dia tertawa, aku lalu tergoda mengelus rambutnya yang sedikit basah.

"Habis keramas kamu?"

"Iya, habis masak tadi. Hmmm gerah! Aku lalu mandi!"

"Masak keramas rambutnya awut-awutan kayak gini!" kataku mengejeknya, aku pegang sedikit rambutnya dan mengacak-acaknya ke udara.

"Hei, baru disisir nih. Kalo ga percaya nih coba cium, harum kan!" meissa bergeser semakin dekat lantas menyerongkan kepalanya kewajahku.

"Apaan, bau nih. Tadi sikat gigi ga?"

"Ikh, emang aku jorok kayak kamu. Ya sikatan dong!"

"Ga percaya aku, sini aku coba cium bibirnya, bau ga?" kataku setengah tertawa. Meissa berpaling cepat lantas cemberut.

"Jangan mulai lagi!"

"Ah gitu aja ngambek!" aku lalu mengusap-usap kepalanya. Sekilas tak ada kucing berbulu lebat itu di pelukannya. Padahal aku masih ingin melihat meissa terlihat keibuan kalau mengendong kucing itu.

"Anakmu mana?"

"Anak yang mana?" meissa menatapku curiga. "Jangan aneh-aneh, ah!"

"Kucing lucu itu!"

"Oh, ada di kamar murni!"

"Eh, lucu ya kucing itu. Apalagi pas kamu mengendongnya. Udah kayak emak-emak kamu, hehe" aku tertawa menggodanya. Meissa memutar badan lantas berjalan selangkah mengambil bantal kursi dan membenamkannya ke mukaku.

"Nih lucu!!!!"

"Meissaaaa!!!! Ga bisa nafas!!!"

"HA!!! HA!!!" Meissa tertawa lebar kemudian membuang bantal itu ke samping setelah murni datang memergoki tingkah polah kami.

"Duh! Bertengkar aja, nih masakannya udah siap. Bantuin angkat kesini, ndi!" ucap murni dari kejauhan.

"....."
Diubah oleh andihunt 20-08-2014 08:17
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.