Perumpamaan seekor lalat yang mengkerubungi makanan, lalat itu selalu mengelilingi makanan favorit kita meskipun kita usir berkali-kali. Begitu pula ingatanku tentang kejadian saat pagi dan siang disekolah, menghantui pikiranku tiada henti. Film yang kusewa pun percuma ketika ditonton, pikiranku tak bisa fokus disitu. Aku seperti terkena effect -95 critical hit dan debuff -50 agility, lemas tak berdaya karenanya.
Ponselku berdering, dari Hanum. Sebuah pesan singkat.


Sebuah sms masuk lagi, tapi aku tak memperdulikannya.





Shit! Gue jadi ikutan sebel sama si Lia.



Butuh satu minggu untuk mendinginkan suasana panas itu, andai saja bisa gue kasih es batu biar lebih cepet prosesnya. Well, pagi itu gue memasuki gerbang sekolah sambil melamun. Akhirnya setelah lama diem-dieman aku memutuskan untuk berpikir ulang. Mungkin satu-satunya yang salah disini adalah gue. Gue yang sudah terlanjur menuduhkan hal yang bukan-bukan. Benar kata Lia, aku sudah menarik kesimpulan sendiri tanpa memperhatikan yang namanya devil’s advocate, halah.





Aku terdiam, kutekan keras-keras gigi geraham belakangku untuk menahan banyak hal yang terasa meletup-letup. Dalam keramaian anak-anak yang pulang sekolah, hatiku terasa begitu hampa dan perih. Aku tak percaya, hanya dalam hitungan jam segalanya bisa berubah. Putih menjadi hitam, suka menjadi duka.