- Beranda
- The Lounge
Galeri Cerpen Gue - Share Your Short Story
...
TS
jerrybob
Galeri Cerpen Gue - Share Your Short Story

Beberapa Cerpen yang ane rasa keren ane share di thread ini, juga ada beberapa cerpen ane, share cerpen agan dimari, atau kasih referensi cerpen yang oke 

Spoiler for Pohon, Daun dan Angin:
Karya : Azallea Lesmana
"Jika Kau menginginkan cinta dari seseorang, tunjukkan cintamu. Cinta tidak membutuhkan keraguan, Tunjukan saja!"
POHON
Alasan mengapa orang-orang memanggilku "Pohon" karena aku sangat baik dalam menggambar pohon. Setelah itu, aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi kanan sebagai trademark pada semua lukisanku. Aku telah berpacaran dengan 5 orang wanita ketika aku masih di SMA.
Ada satu wanita yang aku sangat aku cintai, tapi aku tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Dia tidak memiliki wajah yang cantik, tubuh yang sexy, dsb, dia sangat peduli dengan orang lain dan religius tapi dia hanya wanita biasa saja.
Aku menyukainya, sangat menyukainya, menyukai gayanya yang innocent dan apa adanya, kemandiriannya, aku menyukai kepandaiannya dan kekuatannya. Alasan aku tidak mengajaknya kencan karena aku merasa dia yang sangat biasa dan tidak serasi untukku. Aku juga takut, jika kami bersama semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku juga takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya. Aku merasa dia adalah "sahabatku" dan aku akan memilikinya tiada batasnya dan aku tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia.
Alasan yang terakhir, membuat dia menemaniku dalam berbagai pergumulan selama 3 tahun ini. Dia tahu aku mengejar gadis-gadis lain, dan aku telah membuatnya menangis selama 3 tahun.
Ketika aku mencium pacarku yang kedua, dan terlihat olehnya. Dia hanya tersenyum dengan berwajah merah dan berkata "lanjutkan saja" dan setelah itu pergi meninggalkan kami. Esoknya, matanya bengkak.. dan merah... Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis, but...
Aku tertawa dengannya seharian. Ketika semuanya telah pulang, dia sendirian di kelas untuk menangis. Dia tidak tahu bahwa aku kembali dari latihan sepak bola untuk mengambil sesuatu di kelas, dan aku melihatnya menangis selama sejam-an.
Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya. Pernah sekali mereka berdua perang dingin, aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin. Tapi aku masih tetap bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget. Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku. Esoknya masih tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aku tahu bahwa dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia, aku juga sedih.
Ketika aku putus dengan pacarku yang ke 5, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ada sesuatu yang ingin dia katakan padaku. Aku cerita padanya tentang putusnya aku dengan pacarku dan dia berkata tentang dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang. Aku tahu pria itu.
Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik. Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakit hatinya aku, tapi hanya bisa tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika aku sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat didadaku. Aku tak bisa bernapas dan ingin berteriak namun tidak bisa.
Air mata mengalir dan aku jatuh menangis. Sudah sering aku melihatnya menangis untuk pria yang mengacuhkan kehadirannya. Ketika upacara kelulusan, aku membaca SMS di Handphoneku. SMS itu dikirim 10 hari yang lalu ketika aku sedih dan menangis. SMS itu berbunyi, "Daun terbang karena Angin bertiup atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal?".
DAUN
Selama SMA, aku suka mengoleksi daun-daun, kenapa? Karena aku merasa bahwa daun untuk meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali selama ini membutuhkan banyak kekuatan.
Selama 3 tahun di SMA, aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi "Sahabat". Tapi ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, Aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah aku pelajari sebelumnya - CEMBURU. Perasaan di hati ini tidak bisa digambarkan dengan menggunakan Lemon. Hal itu seperti 100 butir lemon busuk. Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Tapi sebulan kemudian dia bersama seorang gadis lagi.
Aku menyukainya dan aku tahu bahwa dia juga menyukaiku, but mengapa dia tidak mau mengatakannya? Sejak dia mencintaiku, mengapa dia tidak yang memulainya dulu untuk melangkah? Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku selalu sakit. Waktu berjalan.. dan berjalan, hatiku sakit.
Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan, tapi mengapa dia memperlakukanku dengan sangat baik diluar perlakuannya hanya untuk seorang teman?
Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati, aku tahu kesukaannya, kebiasaannya. Tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa diketahui. Kau tidak mengharapkan aku seorang wanita untuk mengatakannya bukan?
Diluar itu, aku mau tetap disampingnya, memberikannya perhatian, menemaninya, dan mencintainya. Berharap, bahwa suatu hari, dia akan datang dan mencintaiku. Hal itu seperti menunggu telpon-nya. Setiap malam, mengharapkannya untuk mengirimku SMS. Aku tahu sesibuk apapun dia, dia pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu, aku menunggunya. 3 tahun cukup berat untuk kulalui dan aku mau menyerah.
Kadang aku berpikir untuk tatap menunggu. Luka dan Sakit hati, dan dilema yang menemaniku selama 3 tahun ini.
Ketika diakhir tahun ke 3, seorang pria mengejarku dia adalah adik kelasku, setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Dari penolakan-penolakan yang telah ditunjukkan, aku merasa bahwa aku ingin memberikan dia ruang kecil dihatiku.
Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Aku tahu Angin ini akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ketempat yang lebih baik. Akhirnya Aku meninggalkan Pohon, tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal, aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.
"Daun terbang karena Angin bertiup atau Pohon tidak memintanya untuk tinggal?"
ANGIN
Karena aku menyukai seorang gadis bernama Daun, karena dia sangat bergantung pada Pohon, jadi aku harus menjadi Angin yang kuat.
Angin akan meniup Daun terbang jauh. Ketika aku pertama kalinya, ketika 1 bulan setelah aku pindah sekolah. Aku melihat seorang memperhatikan kami bermain sepak bola. Ketika itu, dia selalu duduk disana sendirian atau dengan teman-temannya memperhatikan Pohon. Ketika Pohon berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya. Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya.
Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti daun yang suka melihat Pohon. Satu hari, dia tidak tampak, aku merasakan kehilangan. Seniorku juga tidak ada saat itu, Aku pergi ke kelas mereka, melihat seniorku sedang memperhatikan Daun. Air mata mengalir di mata Daun ketika Pohon pergi, besoknya, aku melihat Daun di tempatnya yang biasa, memperhatikan Pohon. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Menulis catatan dan memberikan kepadanya. Dia sangat kaget.
Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima catatanku. Besoknya, dia datang, menghampiriku dan memberiku catatan. Hati Daun sangat kuat dan Angin tidak bisa meniupnya pergi, hal itu karena Daun tidak mau meninggalkan Pohon. Aku melihat ke arahnya dengan kata-kata tersebut dan pelan dia mulai berkata padaku dan menerima kehadiranku dan telpon-ku. Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukai aku.
Selama 4 bulan, Aku tlah mengucapkan kata Cinta tidak kurang dari 20x kepadanya. Setiap kali dia mengalihkan pembicaraan.. tapi aku tidak menyerah, aku memutuskan untuk memiliki dia dan berharap dia akan setuju menjadi pacarku.
Aku bertanya, "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau tidak pernah membalas?"
Dia berkata, "Aku menengadahkan kepalaku".
"Ah?", Aku tidak percaya apa yang aku dengar.
"Aku menengadahkan kepalaku", dia berteriak.
Aku meletakkan telpon, berpakaian dan naik taxi ke tempat dia, dan dia membuka pintu, aku memeluknya kuat-kuat.
"Daun terbang karena tiupan Angin atau karena Pohon tidak memintanya untuk tinggal?"
Selesai
Spoiler for Pada Secangkir Teh:
Karya : Pipit Indah Mentari
Aku membawa dua cangkir teh melati, satu untukku dan satu untuknya. Kuletakkan kedua cangkir warna putih gading dengan motif pinggiran daun-daun kecil di sekelilingnya itu di atas meja teras rumahku yang menghadap ke kebun tanaman obat keluarga. Aku sengaja menyeduh dan menghidangkannya beberapa menit sebelum dia datang. Dia tidak suka minuman panas. Sepuluh menit lagi, udara dingin kota hujan sore ini akan mampu mendinginkan teh yang masih mengepul itu.
Mengetahui dia tidak menyukai minuman panas, termasuk teh dan kopi, sempat membuatku mengernyitkan dahi. Bukannya kedua minuman tersebut justru lebih nikmat dihidangkan ketika kepulan asapnya masih mampu membawa aroma wanginya memanjakan penciuman kita. Bukankah begitu?
Ternyata tidak.
Jadilah selepas hujan mengguyur kota hujan dengan liar sore hari itu, kami menikmati sepotong senja dengan cara yang berbeda. Aku menikmati secangkir teh panas yang kuseruput perlahan dan segera kurasakan wangi dan hangatnya memenuhi rongga dadaku. Sedangkan dia masih membiarkan cangkir teh miliknya diam di atas meja sambil sesekali mengayunkan secarik kertas untuk mengusir panasnya. Itulah pertama kalinya aku menemukan ada perbedaan di antara kami berdua.
"Bagaimana kamu tahu serasi atau tidaknya kalau semuanya sama?"
Kalimat itu diucapkan oleh salah seorang sahabatku pada suatu malam ketika kami sedang mencoba beberapa potong baju untuk reuni SMA.
Tapi bukankah memang biru muda akan serasi dengan biru tua? Putih akan serasi dengan krem? Abu-abu serasi dengan hitam?
"Kamu selalu mencari gradasi. Hampir sama. Sama itu membosankan"
Benarkah? Tapi mengapa aku tidak pernah merasa bosan dengan dia? Padahal kami sama. Sama-sama menyukai senja. Sama-sama gila sambal. Sama-sama popular di kampus. Aku popular karena hasil bidikan kameraku yang rajin menghias majalah bulanan kampus, dan dia popular karena tiap bidikan bolanya jarang meleset dari keranjang basket. Satu lagi. Kami sama-sama membenci esens stroberi.
"Seperti rasa sirop obat batuk," jawabnya ketika mencicipi biskuit dengan krim stroberi.
Mataku terbelalak ketika dia berkata seperti itu. Serius? Bagaimana mungkin ada orang yang membenci esens stroberi dengan alasan begitu? Alasan yang sama persis dengan alasan aku juga membenci esens stroberi.
Lihat, kan? Sama tidak selamanya membosankan. Justru kami sering menertawakan kesamaan kami yang meskipun bagi orang lain aneh. Seperti kebencian kami terhadap esens stroberi tadi.
Aku selalu bersyukur dan menikmati tiap kesamaan kami. Kecuali satu hal. Serasa ada sesuatu yang tiba-tiba mengempas tubuhku tiap kali aku memikirkan hal ini.
“Aline, kenalin pacarku,” ucapnya padaku suatu sore dengan wajah ceria.
“Hai…,” ucapku sambil tersenyum.
“Gimana? Keren enggak pacar baruku?” tanyanya dengan mata berbinar-binar.
“Keren, ya, tipe kamu banget,” jawabku datar.
“Kali ini aku mau serius sama yang satu ini. Aku bosen mainin anak orang.”
“Jadi kamu ngaku kalo selama ini memang main-main sama anak orang?”
“He… he… he… enggak juga, sih, Lin. Enggak tahu kenapa sama yang satu ini aku merasa pas.”
Ingin rasanya aku menertawakan kalimat yang dia ucapkan, tapi entah mengapa aku melihat ada keseriusan di matanya. Aku merasakan ada kesungguhan dalam ucapannya. Yang entah bagaimana tiba-tiba menorehkan bermacam rasa yang mendesak dadaku. Cemburukah? Atau mungkin hanya perasaan takut. Takut akan kehilangan dia.
***
Menahan perasaan suka kepada seseorang yang kita cintai selama bertahun-tahun tidak menjadikan aku terbiasa. Justru makin tersiksa. Di titik inilah aku baru menyadari bahwa menyembunyikan rasa benci kepada orang yang bersama dengan kita hampir tiap hari mungkin jauh lebih mudah daripada menyembunyikan perasaan cinta. Dan selalu berada di dekatnya akan makin menyakitiku.
Perlahan tapi pasti aku mulai menarik diri. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas kuliah. Tidak heran bila kuliahku selesai dalam waktu tiga setengah tahun saja. Aku mulai membuka hati untuk Pram, lelaki yang mendekatiku selama dua tahun terakhir.
“Kamu sombong, Lin. Punya pacar enggak dikenalin. Pantesan tiap diajakin nonton sibuk melulu,” cerocosnya ketika aku mentraktirnya makan siang usai sidang skripsiku.
“Ha… ha… ha… bukan itu. Aku beneran sibuk bikin skripsi,” jawabku tanpa menatap matanya.
“Aku mau balik ke Bogor, mau cari kerja di sana,” lanjutku, masih tanpa menatap kedua matanya. Aku tahu akan ada sesuatu yang luruh dari sudut mataku jika aku melakukannya.
“Hah? Serius? Kapan?”
“Sebulan lagi, setelah wisuda.”
***
Itulah terakhir kali kami bertemu. Tujuh tahun yang lalu. Dia kembali menghubungiku seminggu yang lalu, setelah acara reuni kampus kami. Aku tidak bisa datang ke Surabaya saat itu. Pekerjaan di kantor tidak membiarkan aku untuk mengambil cuti sehari pun. Apalagi menjelang akhir tahun seperti saat ini.
“Aline, kamu ke mana aja?” suaranya terdengar antusias, seperti dulu.
Suara yang sudah berhasil kusingkirkan dari hening malam-malamku. Dan pertemuan yang kami rencanakan sore ini mungkin sudah diatur sedemikian rupa oleh sang waktu. Dia ada dinas kantor ke Bogor selama tiga hari. Tanpa menunggu komando lagi, dia sibuk mengatur jadwalnya agar kami bisa bertemu.
Dan di sinilah aku sekarang. Duduk di teras menunggu kedatangannya. Tetap menjaga perasaan yang sudah kubungkus rapi selama bertahun-tahun ini. Aku tidak akan membiarkan tatap matanya menerobos masuk dan mengacak-acaknya.
Mungkin banyak yang berpendapat sekarang sudah bukan zamannya lagi perempuan memendam perasaannya, sudah bukan masanya lagi perempuan tidak boleh menyatakan cinta lebih dulu. Tapi buat aku, bukan waktu yang membuat pernyataan itu berlaku atau tidak. Bukan tentang dulu atau sekarang. Tapi ini tentang dia. Tentang aku dan dia. Bukan hanya karena aku dan dia sudah bersahabat lama, yang apabila aku menyatakan perasaanku bisa jadi sangat mungkin kami akan saling menjauhi, atau malah saling membenci. Bukan hanya karena itu.
Aku memandang secangkir teh di hadapanku. Kepulan asapnya mulai berkurang. Tepat pada saat itulah aku melihatnya memasuki pekarangan rumahku. Keheningan sore itu pun pecah oleh suara tawanya. Suara tawa kami. Dua orang sahabat yang saling melepas rindu.
“Masih sama Pram?” tanyanya.
“Ha… ha… ha… sudah lama enggak sama dia.”
Lalu mengalirlah ceritanya. Dia jadi menikah dengan pacar yang dikenalkannya kepadaku waktu itu. Mereka sudah dikaruniai seorang putra, usianya tiga tahun. Sedangkan aku bercerita tentang berakhirnya hubunganku dengan Pram tidak lama setelah kepindahanku ke Bogor. Kami berbagi semua tujuh tahun yang tidak kami lewati bersama. Semuanya, kecuali satu hal. Tentang usahaku selama tujuh tahun ini untuk membunuh perasaanku terhadapnya.
Ada hal-hal yang lebih baik tidak dikatakan.
Sepotong senja itu kami lewati seperti dulu. Kali ini dengan cara yang sama. Aku dan dia sama-sama menyeruput teh yang tak lagi panas. Pada secangkir teh yang kami nikmati bersama sore itu, aku melarutkan semua perasaanku yang telah lalu. Menitipkan sebuah keyakinan baru. Apa yang telah kami miliki saat ini sudah cukup. Aku akan melanjutkan hidupku. Aku dengan lelakiku nantinya. Dan dia dengan lelakinya.
Kali ini aku bisa menatap wajahnya tanpa jengah. Dia masih secantik dulu.
Quote:
Quote:
Update Soon
Diubah oleh jerrybob 02-08-2014 06:18
0
3.6K
Kutip
26
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•103.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jerrybob
#3
Spoiler for Pelaku:
Karya : Noviana Kusumawati
Pagi ini di perempatan sebuah jalan.
Tempat kejadian perkara tewasnya seorang ibu pejalan kaki yang menjadi korban tabrak lari minggu dini hari masih dipasang garis kuning polisi. Ada sekitar 5 orang polisi yang sedang bertugas melakukan penyelidikan. Para wartawan terlihat sibuk mengabadikan setiap detail TKP dengan jepretan kamera mereka. Ada juga yang sedang meminta keterangan polisi mengenai kronologi pasti kejadian. Tapi sampai saat ini polisi baru memberikan penjelasan sementara bahwa ini termasuk dalam kasus tabrak lari.
Jalan di sekitar tempat kejadian tak kalah sesak. Orang-orang ramai berbondong menampakkan rasa antusias mereka untuk menyaksikan para polisi menjalankan tugas penyelidikan. Selain wajah penasaran, raut wajah iba juga terpancar. Maklum saja, siapa orang yang tak iba melihat seorang ibu dicelakai oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Aku juga begitu. Sekarang aku berdiri tak jauh dari situ. Di balik sebuah pohon aku coba mengindik. Bukan untuk mencari tahu, tapi karena aku memang tahu siapa sebenarnya pelaku, namun aku terlalu takut untuk mengatakannya.
—
“Woi Tom, kenapa loe?!” Bagas mencoba mengagetkanku. “Tumben tampang loe pagi gini udah nggak beres? Gue cariin di parkiran, di taman terus di kantin sampai-sampai gue cari loe ke toilet nggak ada, gue kira loe lagi nggak mood sekolah. Nggak taunya udah duduk manis di kelas,” tambah Bagas sambil senyum-senyum, aku sempat melirik sekilas.
“Gue emang lagi nggak mood,” dengan malasnya aku menjawab.
“Ya ampun Tomy. Kenapa? Ada masalah lagi sama Laras? Udahlah, cewek matre and tukang selingkuh kayak dia itu mending loe buang ke jurang aja,” timpal Bagas sok tahu.
Menurutku semua kekacauan ini memang berawal dari Laras. Tapi untungnya aku sudah berhasil membuangnya jauh-jauh dari hidupku. Berkat dorongan Bagas, kemarin aku memutuskannya secara sepihak setelah berulang kali aku mendapati dia berselingkuh dengan cowok lain. Dan yang membuatku miris Laras sama sekali tidak menyiratkan aroma penyesalan. Kalau masalahnya dia itu termasuk dalam kategori cewek matre tak terlalu ku pusingkan, karena aku akan memberikan apapun asal orang yang aku cintai bahagia. Tapi selingkuh, itu lain cerita.
Akhirnya aku memutuskan untuk segera beranjak dari kelas, 5 menit lagi bel berbunyi. Rasanya percuma aku mengikuti semua materi pelajaran hari ini. Hati dan fikiraku keadaannya lagi kacau.
“Mau kemana loe Tom?” Bagas menahanku.
“Kalau loe mau tau ikut gue,” jawabku singkat. Bagas yang sudah menjadi sahabatku sejak kelas 1 SMP sampai kini kita sama-sama duduk di kelas 3 SMA ikut beranjak dari tempat duduknya dengan tampang penuh tanda tanya.
—
Setelah seharian berputar-putar tak tau arah. Akhirnya aku memarkirkan Jazz merahku di tepian jalan tak jauh dari lokasi tabrak lari. Suasana tidak seramai tadi pagi. Tapi beberapa polisi dan wartawan masih tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing.
“Ngapain sih kita kesini?” Bagas yang dari tadi diam saja memperhatiakan tingkahku, mulai buka suara.
“Gue penasaran aja sama perkembangan kasus tabrak lari yang sekarang lagi diselidi itu,” mataku menatap lurus ke arah seorang polisi yang tengah dimintai keterangan oleh wartawan. Bagas mengikuti arah pandanganku.
“Sejak kapan loe peduli sama yang begituan? Peduli sama diri loe sendiri aja jarang. Sekalinya aja loe peduli sama orang, itu karena cinta buta loe yang salah kaprah,” cela Bagas. Ya Bagas memang benar, aku memang sosok cowok cuek. Laraslah yang sanggup mengalihkan semua kenaifanku untuk terus memperhatikannya. Lebih tepatnya hanya untuk dia bukan yang lain.
Tapi saat ini ada yang lebih penting dari pada hanya mengeluh masalah Laras. Kini aku sedang fokus memperhatikan gerak-gerik bibir seorang wartawan berkacamata yang sedang mewawancarai seorang berseragam polisi, dari jarakku sekarang untuk sekedar menguping pembicaraan rasanya tak mungkin. Aku cuma ingin tahu kira-kira pertanyaan apa yang diajukan selain latar belakang kasus ini. Dengan serius aku perhatikan, tak ku pedulikan lagi celoteh Bagas yang mungkin saat ini dia menganggapku tidak waras.
S-A-K-S-I
Akhirnya aku dapat potongan kata yang ditanyakan oleh wartawan berkacamata itu. Tapi sayangnya polisi yang dimintai keterangan membelakangiku sehingga aku tak tahu apa jawaban yang kira-kira yang diutarakan. Tapi apapun jawabannya aku begitu yakin bahwa tidak ada saksi saat kejadian itu terjadi selain aku, hanya aku yang mengetahui pelakunya.
1 bulan kemudian…
Mungkin Bagaslah orang yang paling bingung meladeniku akhir-akhir Ini. Karena hampir setiap hari aku bolos sekolah hanya untuk mengetahui perkembangan kasus tabrak lari yang akhirnya kasus ini terpaksa ditutup setelah polisi menemukan jalan buntu karena tidak adanya saksi ataupun barang bukti. Aku belum juga menemukan tekat untuk sekedar melapor ke polisi bahwa akulah sebenarnya saksi kejadian tersebut, entah apakah nanti aku berani.
Ternyata ibu itu hidup sebatang kara, diam-diam aku coba mencari tahu tentang kehidupannya. Kasihan saja rasanya jika seandainya ibu itu meninggalkan anak-anak yang masih kecil yang akhirnya mereka harus terlantar. Tapi untung saja hal itu tidak terjadi. Justru ibu itu yang patut dikasihani, karena di akhir hidupnya tidak ada pihak yang memperjuangkan kematiannya.
“Kali ini loe harus jujur sama gue Tom. Akhir-akhir ini loe selalu ngajak gue ke tempat ini tanpa gue tahu alasan yang sebenarnya. Loe selalu bilang karena loe peduli tapi gue merasa ada yang aneh, loe seperti nyembunyiin sesuatu, jangan bilang lo mengetahui sesuatu tentang kecelakaan tsb!” Bagas menyudutkanku.
“Loe sendiri kan yang mau ikut gue? Gue nggak pernah maksa loe buat ngikutin gue kesini,” aku mulai memanas.
“O, jadi loe sekarang anggap gue apa?” Bagas tampak menahan emosinya. “Gue peduli sama loe Tom, satu bulan ini loe seperti bukan Tomy yang gue kenal. Kita kan udah janji buat saling membantu, loe udah banyak bantu gue sekarang gue pengen gantian bantuin loe. Apa nggak boleh?” Bagas mendesak.
Keheningan menyelimuti sesaat. Aku berfikir, sudah saatnya aku menceritakan semua pada Bagas. Bagas memang sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Dia salah kalau menyebutku telah banyak membantunya. Justru dia yang selalu peduli pada hidupku yang kacau karena perceraian orangtuaku. Di saat hidupku hancur, dia berhasil membuatku bangkit.
“Karena gue tahu siapa pelaku tabrak lari itu,” kataku akhirnya.
“Siapa?!” Bagas menatapku serius.
Aku menarik nafas dalam-dalam, rasanya semua peristiwa malam itu kembali terngiang.
Semua berawal dari suatu malam dimana akhirnya aku berhasil untuk mengubur dalam-dalam semua rasa cintaku pada Laras. Tapi melupakan orang yang nyata-nyata pernah kita cintai tak semudah membalikkan telapak tangan walau dia telah mengoreskan luka yang terlampau dalam di hati. Dengan hujan yang mengguyur deras bukannya mendinginkanku tapi malah membuatku semakin kacau, karena setiap tetes hujan tersimpan memori indah bersamanya.
Jalanan malam itu terlihat sepi, sengaja aku mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi berharap dengan ini aku benar-benar bisa lupa semuanya. Tiba-tiba mendadak seorang perempuan melintas. Diakhiri bunyi decitan rem dan suara tumbukan sebelum kuputuskan melaju kembali meninggalkan sosok itu tergeletak sendirian disana. Dan bodohnya semua kubiarkan terjadi. Tepat di perempatan itu.
Diubah oleh jerrybob 01-08-2014 23:43
0
Kutip
Balas