- Beranda
- Stories from the Heart
2 CINTA DI NUSA BUNGA
...
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun












PROLOG
Dulu....
Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.
Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.
Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).
Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.
Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.
Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.
And... the story goes.....
"..................."
Surabaya, 22 Maret 2014
Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.
Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.
Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.
Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.
Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.
Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.
Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.
.........................
--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--
Soundtrack
INDEX
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
andihunt
#174
Hitam. Part 7
Malam harinya kota maumere begitu dingin. Kabut malam mendekap masyarakatnya terlena dalam ranjangnya masing- masing. Namun hawa dingin ini tak sedikitpun membuat para nelayan enggan melaut, mencari ikan untuk dijual keesokan harinya. Perahu-perahu kayu itu berlayar ditiup angin darat, digiring temaram cahaya rembulan ke tengah lautan. Para nelayan harus melaut hari ini dan bertransaksi di pagi harinya. Suasana seperti ini selalu ada membingkai hari-hariku selama tinggal dipinggiran pantai maumere. Aku mendekap jaket tebalku lantas menatap kerlipan lampu di pulau pamana dari jendela kamarku ini. Mendadak hatiku gusar, pikiranku melambung tinggi meraih waktu yang tak mungkin terulang kembali membawa senja yang saat ini pekat. Aku rindu tawa renyahnya saat dimana kita saling tertawa dan meributkan keberadaan pulau pamana di depan mata kita.
"Meissa, apa kabarnya malam ini?" Jemariku mengetik rangkain kata menyapa dia disana. Dia yang telah memberi warna indah di kehidupanku saat ini. Meskipun aku belum tahu apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku.
"Sent!"
Aku tersenyum melihat laporan sms terkirim di layar hpku dan seketika merapatkan jaket menikmati udara dingin yang masuk dari jendela kamar. Mataku terus berkedip menatap hp di gengamanku berharap dia cepat membalasnya. Namun sudah lewat lima menit tak ada balasan itu. Mungkin dia sudah terjaga malam ini. Aku lalu memasukkan lagi hp itu ke saku jaket dan mendekapnya erat-erat. Dingin mulai terasa disekujur tubuhku namun tidak di hatiku.
"Brrrr!!" Kurasakan hpku bergetar dan segera aku meraihnya.
"Hai, ndi! Kabarnya baik. Kamu gimana?... Sebagian text hilang"
Aku merasa senang membaca sms-nya. Namun aku tak segera membalasnya. Aku ingin sekali menelpon dia dibanding membaca tulisan sms seperti ini. Aku kangen suara halusnya seperti sore tadi ketika kita saling bertukar tawa di balik gradiasi senja yang menyingsing. Seketika tak kuhiraukan kelanjutan smsnya yang agak panjang dan terpotong. Aku tahu dia pasti sambil mengantuk mengetiknya sampai-sampai kata andi tertulis berkali kali di sms tersebut. Aku tekan tombol dial dan menunggu jawabannya di seberang sana.
"Tut! Tut!!"
"Hai, ndi!" Jawab meissa diujung telpon. Aku ga mengira dia menjawab secepat ini. Aku kira dia sudah tertidur.
"Hei, belum tidur?"
"Belum. Kamu kenapa belum tidur? Udah jam 10 loh!"
"Ga tau. Mungkin kepikiran soal sore tadi"
"Ha! Ha!!! Aku juga teringat sampai sekarang. Jadi kepikiran terus, ya" kata meissa tertawa renyah. Aku lalu tersenyum membayangkan betapa indah senyumannya ketika tertawa seperti ini.
"Kepikiran tentang apa?"
"Entahlah, aku baru aja kepikiran tentang kejadian sore tadi saat kita tertawa diatas tanggul itu. Rasanya lama aku ga pernah sebahagia ini"
"He! He!" Aku hanya tertawa mendengarnya. Ternyata meissa benar-benar memaknai kejadian sore tadi.
"Malah ketawa aja kamu, ndi. Oh iya aku mau bilang juga nih sama kamu"
"Tentang apa?"
"Besok kita ke kosnya murni, ya? Tadi dia telpon aku ada acara syukuran di kos barunya. Kita masak-masak ndi!" Kata Meissa terdengar bahagia. Aku merasa senang mendengarnya. Dia sudah menemukan kebahagiaanya disini. Dan mudah-mudahan dia bisa merasakan kebahagiaan ini seterusnya.
"....."
"Ndi, kok diem. Mau ga? Atau ada jadwal kuliah lagi esoknya?"
"Eh, nggak. Aku cuma seneng aja kamu sebahagia ini. Okelah bu dokter, esok kita jalan ke kosnya murni."
"Belum jadi dokter!" Selanya manja dari ujung telpon.
"Iya, meissa"
"Ya udah. Met bobo, ndi!" Ucap meissa mengakhiri obrolan ini.
"Met bobo juga, meissa" jawabku lirih. Meissa lalu menutup telponnya. Aku lantas tersenyum sendiri dan memandang kerlipan perahu nelayan di tengah lautan dari jendela kamarku ini. "Met bobo juga, sayang".
"......."
Maumere, di suatu pagi yang cerah.
Pagi ini cuacanya begitu cerah. Sepanjang torotar jalan sudah dipenuhi pedagang kaki lima yang menjajakan dagangnya. Aku berdiri diantara kerumunan orang pribumi di pinggir jalan hendak menghentikan angkot yang belum juga datang.
"Mama, itu sayurnya berapa?" Tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang membawa dagangan sayur hendak dijual kepasar.
"2 ikat sepuluh ribu!" Jawabnya cepat-cepat. Kedua tangannya lantas melambai berkali-kali menghentikan angkot yang sudah terlihat tidak jauh dari kita. "Mau beli kah tidak?" Katanya meneruskan. Aku cuma bengong mendengar tawarannya. "Itu sayur apa ganja kok mahal sekali" gumamku dalam hati lantas menahan tawa.
"Iya, aku pilih-pilih dulu" ucapku melirik-lirik dagangannya. Belum selesai aku menawarnya ibu penjual tadi malah memasuki angkot dan beranjak pergi. "Doh! Bodohnya aku kenapa ga ikut masuk angkot juga!" Aku menepok jidat menyadari angkot yang kunanti ternyata sudah pergi jauh meninggalkanku.
Biasanya pagi-pagi begini banyak angkot saling beradu cepat datang silih berganti. Tapi kali ini mendadak sepi. Ada satu dua yang datang tapi sudah penuh dagangan sayuran dan babi-babi kecil yang terikat di keranjang kecil. Aku menoleh kekanan kiri sedikit cemas. "Apa jalan kaki aja ya? Tapi lumayan jauh ke kampusnya."
"...."
"Ojek, nong!" Seorang bapak tua tiba-tiba mengagetkanku. Dia lantas mengulurkan satu buah helm hitam kearahku tanpa menunggu apakah aku akan menerima tawarannya.
"Iya, pak. Ke kampus" kataku meraih helmnya.
"....."
Dalam perjalanan di bonceng pak ojek aku sempat menoleh kekanan kiri melihat area pertokoan yang semakin ramai. Sejenak terlintas ucapan meissa kemarin saat hendak mengajakku ke kosnya murni, sahabat yang baru dikenalnya sehari yang lalu. Aku teringat jika dia mau masak-masak di kosnya murni untuk acara syukuran sore nanti. Saat itu aku langsung berkeinginan membeli sesuatu untuk meissa.
"Eh, pak ke pasar dulu ya" kataku ke bapak ojek tadi. Dia menganguk dan semakin cepat menarik gas motornya.
"Oke nong!"
"...."
"Tunggu bentaran ya, pak" kataku ke pak ojek. Dia terdiam dan mengeluarkan rokok kretek dari saku baju kumelnya.
"Santai sa!" Jawabnya singkat sambil tersenyum ramah kearahku. Akupun membalas senyumannya dan berlalu menuju pasar. Sebuah pasar rakyat di depan toko citra shoes. Aku sempat menoleh ke pintu masuk toko itu. Melihat cat pintunya yang sudah mulai kusam dan pudar, namun keramaiannya masih sama seperti -dia- menarik paksa lenganku beberapa bulan yang lalu.
"Sayur kangkung. Kangkung, kangkung!" Aku dengar ibu-ibu menjajakan dagangannya. Mendengar kata -kangkung- aku langsung bersemangat mendekatinya. Perlahan aku tembus sekumpulan orang flores yang memenuhi pasar ini. Di kanan kiri tercium bau amis darah ikan-ikan besar yang tergeletak di atas meja kayu. Aku menahan nafas sesaat menghindari bau anyir itu dan mempercepat langkah menuju suara lengkingan penjual sayur di ujung pasar.
"Sayur kangkung. Kangkung! Kangkung!" Penjual itu kembali teriak keras menawarkan dagangannya. Sekilas seperti tak ada yang menghiraukan dia. Mungkin hanya aku yang semakin dekat menghampirinya.
"Sayur kangkungnya berapa, mama?" Tanyaku kepada mama tua yang mengenakan kain tenun adat warna hitam.
"Lima ribu dua ikat, nak!" Jawab mama itu sambil mulutnya mengunyah sirih pinang yang membuat giginya memerah. Aku merasa jijik melihat mama berjualan sayur itu dengan air liur warna merah menetes membasahi lapak mejanya. Jika saja aku tak berniat membeli sayur ini untuk meissa, mungkin aku sudah meninggalkan lapak mama tua ini.
"Nak, jadi beli?" Lanjut penjual itu menatapku dengan polos. Bibir merahnya tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang sudah tak berwarna putih lagi. Aku membalas senyuman beliau. Saat itu aku sadar aku terlalu naif menilai beliau.
"Iya, mama. Beli dua ikat saja." Kataku sambil merogoh dompet. Mama tua itu masih menatapku dengan senyum ramahnya. Akupun ikut tersenyum balik padanya. Seketika ada penjual bunga lewat disampingku dan aku terdiam melihat kumpulan bunga mawar merah merekah indah, harum dan menyegarkan mata. Suatu pandangan kontras ketika aku menoleh ke lapak mama tua di depanku.
"Bunga mawar?" Tawar pedagang yang barusan lewat di sampingku. Entah angin apa yang membuat dia menyodorkan sekuntum bunga mawar kepadaku. Mungkin tatapan mataku yang tertuju pada keranjang bunganya menggugah naluri bisnisnya.
"Bagus pak bunganya!" Kataku memegang bunga yang ditawarkannya. Ada keinginan dalam hati untuk membelikan bunga mawar ini untuk meissa namun aku terpaksa menahan keinginan itu ketika melihat lembaran di dompetku tak bisa membeli bunga yang kelewat mahal.
"Cuma 50 ribu!" Tawar penjual itu. Melihat angka yang ditawarkannya aku langsung menggeleng dan bapak penjual tadi lantas berlalu sambil teriak menjajakan dagangannya lagi.
"...."
"Jadi beli, nak?" Mama tua tadi menyadarkan lamunanku. Aku tersenyum dan memberikannya lembaran dua puluh ribu.
"Ini uangnya, mama! Simpan aja kembaliannya" jawabku tergesa-gesa sambil meraih dua ikat kangkung segar dan memasukkannya ke ranselku.
"Ini kembalianya!" Teriak mama tua tadi sambil melambaikan tangannya. Aku lantas tersenyum ramah kearahnya dan terus berlari.
"Aku terlambat masuk kuliah, mama!" Jawabku dari kejauhan. Mama tua tadi masih menatapku sambil melambaikan uang yang sudah seharusnya menjadi rejekinya.
"...."
Setelah membeli kangkung dua ikat itu aku kembali menaiki ojek dan pergi ke kampus. Diperjalanan aku mulai berkhayal sendiri melihat meissa bakal masak plecing dari kangkung yang kubeli sendiri. Hm... Betapa indahnya jika bisa merasakan langsung hangatnya masakan meissa yng terhidang di hadapanku dengan asap yang masih mengepul tipis. Dulu saat pertama kali berjumpa dengannya aku kira dia tipe cewek rumahan yang manja dan ga bisa masak. Ternyata setelah menghabiskan waktu dan cerita banyak hal tentang kepribadiannya kemarin. Aku semakin yakin dia seorang gadis yang istri-able.
"Turun sini, pak!" Ucapku menghentikan laju motor pak ojek.
"Terimakasih, nong!" Kata pak ojek membalasku setelah aku membayar ongkosnya.
Hari ini kampus yang biasa aku sebut -angker- perlahan merubah paradigma berpikirku jika bagaimanapun kondisi kampusnya itu tidak penting. Terlepas dari minimnya fasilitas di kampus ini aku sedikit memahami suatu esensi dari sebuah perkuliahan jika semangat belajar dan bagaimana bisa menerapkan ilmu di masyarakat adalah yang terpenting. Aku melihat itu dari dalam diri meissa. Dia mulanya menganggap kampus ini sebelah mata, sama sepertiku. Namun pada akhirnya disinilah kita dipertemukan. Agar kita bisa saling mensuport menapakai tangga kehidupan dan meraih puncak yang kita inginkan bersama "menjadi -maha-diantara-siswa-".
"..."
"Tumben kepagian kamu, ndi?" Sapa evan ketika aku mengambil duduk disebelahnya.
"Aku malah berpikir terlambat tadi, van"
"Diem! Udah datang tuh dosennya. Hari ini kamu tau jadwal apa?" Kata evan mengetesku. Mungkin dia masih mengira aku terlalu cuek sama jadwal perkuliahan disini. Dia nggak tau kalau perlahan aku jadi bersemangat kuliah sejak semakin dekat dengan meissa.
"Tau lah. Literature, kan?" Kataku memastikan.
"Ternyata kamu sudah kembali ke jalan yang lurus!" Kata evan menatapku penuh kecurigaan.
"Kenapa sih mukamu nyebelin banget! Aku ga secuek itu kali, van!"
"Biasanya kamu cuek banget sama perkuliahan disini, ndi. Kemarin aja kamu cuma bawa majalah. Tapi sekarang udah mulai tebal tuh ranselmu. Katanya melirik tasku. "Bawa kitab apa aja itu?" Bisiknya sambil melirik dosen wanita yang sudah mulai siap mengawali perkuliahan pagi ini.
"Diem, van! Udah mulai tuh!" Bisikku kembali ke evan. Evan menarik ranselku seperti ingin tau apa isinya.
"Sini aku coba buka!" Evan menarik tasku dan dia seketika terkejut melihat dua ikat sayur terbungkus plastik hitam di dalamnya. "Gila???? Kemarin bawa majalah doang. Sekarang bawa sayur! Mau ikut kelas tataboga kamu, ndi?" Kata evan terkejut. Naluri ketimurannya mendadak terlihat ketika dia tak sadar berkata sedikit keras dan membuat dosen dan teman sekelas menoleh.
"Anjrit!" Umpatku menunjuk evan. Evan langsung menunduk pura-pura menulis catatannya lagi. Bu dosen terlihat kaget, teman sekelas juga kaget. Sedangkan aku cuma tergeragap salah tingkah.
"...."
"Dasar kau van!" Bisikku ke dia. Kini suasana kembali hening dan dosen itu sudah mulai menulis di papan kelas. Aku lihat teman sekelas sudah mulai membuka buku catatan dan mencatat sesuatu dari coretan bu dosen di depan. Sementara aku malah terlamun melihat dua ikat kangkung didalam tasku. Aku masih berkhayal meissa memasak kangkung ini untukku. Aku tersenyum sendiri dan memboroskan waktu tanpa mencatat sama sekali.
"Habis istirahat ada kelas agama!" Aku tiba-tiba teringat jika ada kelas agama islam sebentar lagi. Dan itu artinya seluruh mahasiswa di masing-masing fakultas yang muslim akan berkumpul dalam satu ruangan untuk mengikuti perkuliahan agama islam. Aku jadi teringat "pak umar maruf" seorang dosen dari makassar yang dekat sama keluarganya rahma dan mbak yani.
"....."
Dua jam sudah perkuliahan litetarue selesai. Banyak teman kelasku meninggalkan ruangan. Evan masih disampingku membaca majalah "hello" yang aku pinjamkan padanya. Ternyata dia tertarik sama majalah bahasa inggris itu. Dia membacanya sangat khusyu sampai aku berpamitan keluar ruangan tak digubrisnya.
"Tak!" Kujitak kepalanya. Dia teradar dan menoleh.
"Kau ini suka sekali ganggu orang!" Katanya menahan marah, tapi ekspresinya malah memperlihatkan wajah ditekuk, lucu.
"Aku bilang mau keluar ga dengerin. Bentaran ada pelajaran agama. Kamu ga kumpul sama temanmu yang lain?"
"Sebentar. Aku baca ini dulu." Ujar evan serius membaca artikel di majalah itu lagi.
"Kalo gitu aku jalan duluan ya, van. Sekalian cari meissa"
"Kamu tambah deket aja ya sama dia, ndi!"
"Iya lah. Ya udah aku tinggal dulu"
"...."
Aku berjalan meinggalkan evan dan berdiri di samping pintu keluar kelas. Aku amati di koridor kelas meissa belum ada tanda-tanda seragam hitam-putih khas anak kesehatan berhambur keluar. Aku lantas sms meissa jika aku menunggunya di bawah pohon bidara. Tempat biasa kita saling berbicara menunggu sore datang.
"Meissa, aku tunggu di kursi kayu itu!"
Sms terkirim. Aku perlahan mendekati kursi kayu itu dan duduk sendiri menikmati hembusan angin siang ini.
"Bentar ya, ndi! Sepuluh menit lagi!"
Balas sms nya masuk. Aku menengok kebelakang dan terlihat sekilas kedua tangannya melambai kearahku dari balik jendela yang memisahkan kita.
"Iya. Kamu jangan melambai terus. Ntar leherku sakit noleh ke kamu!" Balas smsku ke dia. Kadang aku jadi tertawa sendiri. Kita saling melihat dari kejauhan tapi hanya bisa berkata lewat pesan singkat.
"Ya udah! Kamu jangan liatin aku lagi. Biar ga patah lehermu tuh!" Balas sms-nya lagi. Aku tersenyum membacanya dan mendongak keatas melihat daun bidara yang perlahan jatuh ke tanah digoyangkan semilir angin yang menyejukkan.
"......"
Sepuluh menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda kegaduhan didalam kelas meissa. Aku lantas menyandarkan punggung di kursi kayu itu dan kembali terlamun melihat dua ikat kangkung yang sudah mulai layu.
"......"
"Hayoooo ngelamun apa????" Teriak suara dari belakang. Aku menoleh dan terlihat sosok meissa berdiri berkacak pinggang. Segera aku tutup lagi ranselku dan mendekapnya.
"Aduh. Hampir aja jantungan aku, meissa!"
"Lagi ngapain sih? Kok melamun aja aku lihat!" Tanya meissa mulai berjalan dan mengambil duduk disebelahku.
"Ga! Aku ga ngelamun. Ah... Lebih tepatnya bengong." Kataku tergeragap sambil mendekap erat ranselku. Aku masih kepikiran apakah meissa melihat kangkung yang aku pelototin dari tadi.
"Ga ngelamun. Tapi diem aja kayak patung!"
"Iya. Mungkin gara-gara kemarin sore kita berdua seharian jadi aku ketularan kamu. Kamu kan suka mendadak jadi patung!" Jawabku sekenanya. Meissa lantas tiba-tiba ikut terdiam tanpa ada pembicaraan lagi.
"....."
"Hei!" Aku mengoyang bahunya. Meissa langsung menoleh dan mulai cerewet.
"Kamu jangan godain patung. Patung ga bisa digoda, tau!" Katanya menyolot.
"Masa patung bisa bicara? Jangan-jangan ada baterainya nih!" Aku lalu melirik ke punggungnya. "Oh, cuma terlihat tali..."
"Dasar!! Rasain nih!!!!" Meissa secepat kilat mencubit kedua pipiku. Aku meringkik kesakitan sebelum akhirnya terlontar juga kata yang tak seharunya aku katakan "bra!".
"Hei... Mulai kurang ajar. Dasar andi!!!" Meissa teriak manja lantas memukul punggungku sampai aku tergeser dari kursi kayu dan jatuh. "Ahahaha!!! Manusia kalah sama patung!" Teriaknya diselingi tawanya yang renyah.
Aku rada kesel tapi seneng juga melihat meissa terkekeh di sampingku. Aku berdiri dan kembali duduk disebelahnya.
"Kamu kalo tertawa seperti barusan kelihatan cantik, meissa" kataku membalik badan dan melihat wajahnya.
"Tunggu aku catat dulu..." Ucap meissa mengeluarkan buku catatan kecilnya. "Andi sudah...mmm..." Lanjutnya mengingat sesuatu. Tangannya terus berputar di atas kertas itu sebelum akhirnya aku memegangnya dan berbisik.
"Sudah ratusan kali mengucapkan kata cantik!" Bisikku lirih ketelinganya. "Ya udah, yuk kita jalan ke kelas informatika. Kelas agamanya disana." Sambungku mengajaknya berdiri dari kursi kayu ini.
"Iya, ndi!"
"Eh... Kamu tertawanya kesetanan kali ya sampe kerudungmu miring begini!" Ucapku didepan meissa lantas membetulkan kerudung putihnya. Meissa terdiam dan membiarkan diriku mengelus kerudungnya lagi. "Nih, udah tambah cantik kalo gini" kataku menyimpan senyum yang tak sempat terkembang karena meissa sudah lebih duluan melempar senyum manisnya kearahku.
"Makasih, ndi!" Katanya pelan mengikutiku berjalan menuju kelas informatika. Kelas yang tak asing untuk kita berdua. Karena dulu saat ospek kita pernah saling bercanda melewati kelas itu sebelum akhirnya terdampar di perpustakaan yang membekukan kita berdua dalam angan-angan.
"......"
"Meissa, apa kabarnya malam ini?" Jemariku mengetik rangkain kata menyapa dia disana. Dia yang telah memberi warna indah di kehidupanku saat ini. Meskipun aku belum tahu apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku.
"Sent!"
Aku tersenyum melihat laporan sms terkirim di layar hpku dan seketika merapatkan jaket menikmati udara dingin yang masuk dari jendela kamar. Mataku terus berkedip menatap hp di gengamanku berharap dia cepat membalasnya. Namun sudah lewat lima menit tak ada balasan itu. Mungkin dia sudah terjaga malam ini. Aku lalu memasukkan lagi hp itu ke saku jaket dan mendekapnya erat-erat. Dingin mulai terasa disekujur tubuhku namun tidak di hatiku.
"Brrrr!!" Kurasakan hpku bergetar dan segera aku meraihnya.
"Hai, ndi! Kabarnya baik. Kamu gimana?... Sebagian text hilang"
Aku merasa senang membaca sms-nya. Namun aku tak segera membalasnya. Aku ingin sekali menelpon dia dibanding membaca tulisan sms seperti ini. Aku kangen suara halusnya seperti sore tadi ketika kita saling bertukar tawa di balik gradiasi senja yang menyingsing. Seketika tak kuhiraukan kelanjutan smsnya yang agak panjang dan terpotong. Aku tahu dia pasti sambil mengantuk mengetiknya sampai-sampai kata andi tertulis berkali kali di sms tersebut. Aku tekan tombol dial dan menunggu jawabannya di seberang sana.
"Tut! Tut!!"
"Hai, ndi!" Jawab meissa diujung telpon. Aku ga mengira dia menjawab secepat ini. Aku kira dia sudah tertidur.
"Hei, belum tidur?"
"Belum. Kamu kenapa belum tidur? Udah jam 10 loh!"
"Ga tau. Mungkin kepikiran soal sore tadi"
"Ha! Ha!!! Aku juga teringat sampai sekarang. Jadi kepikiran terus, ya" kata meissa tertawa renyah. Aku lalu tersenyum membayangkan betapa indah senyumannya ketika tertawa seperti ini.
"Kepikiran tentang apa?"
"Entahlah, aku baru aja kepikiran tentang kejadian sore tadi saat kita tertawa diatas tanggul itu. Rasanya lama aku ga pernah sebahagia ini"
"He! He!" Aku hanya tertawa mendengarnya. Ternyata meissa benar-benar memaknai kejadian sore tadi.
"Malah ketawa aja kamu, ndi. Oh iya aku mau bilang juga nih sama kamu"
"Tentang apa?"
"Besok kita ke kosnya murni, ya? Tadi dia telpon aku ada acara syukuran di kos barunya. Kita masak-masak ndi!" Kata Meissa terdengar bahagia. Aku merasa senang mendengarnya. Dia sudah menemukan kebahagiaanya disini. Dan mudah-mudahan dia bisa merasakan kebahagiaan ini seterusnya.
"....."
"Ndi, kok diem. Mau ga? Atau ada jadwal kuliah lagi esoknya?"
"Eh, nggak. Aku cuma seneng aja kamu sebahagia ini. Okelah bu dokter, esok kita jalan ke kosnya murni."
"Belum jadi dokter!" Selanya manja dari ujung telpon.
"Iya, meissa"
"Ya udah. Met bobo, ndi!" Ucap meissa mengakhiri obrolan ini.
"Met bobo juga, meissa" jawabku lirih. Meissa lalu menutup telponnya. Aku lantas tersenyum sendiri dan memandang kerlipan perahu nelayan di tengah lautan dari jendela kamarku ini. "Met bobo juga, sayang".
"......."
Maumere, di suatu pagi yang cerah.
Pagi ini cuacanya begitu cerah. Sepanjang torotar jalan sudah dipenuhi pedagang kaki lima yang menjajakan dagangnya. Aku berdiri diantara kerumunan orang pribumi di pinggir jalan hendak menghentikan angkot yang belum juga datang.
"Mama, itu sayurnya berapa?" Tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang membawa dagangan sayur hendak dijual kepasar.
"2 ikat sepuluh ribu!" Jawabnya cepat-cepat. Kedua tangannya lantas melambai berkali-kali menghentikan angkot yang sudah terlihat tidak jauh dari kita. "Mau beli kah tidak?" Katanya meneruskan. Aku cuma bengong mendengar tawarannya. "Itu sayur apa ganja kok mahal sekali" gumamku dalam hati lantas menahan tawa.
"Iya, aku pilih-pilih dulu" ucapku melirik-lirik dagangannya. Belum selesai aku menawarnya ibu penjual tadi malah memasuki angkot dan beranjak pergi. "Doh! Bodohnya aku kenapa ga ikut masuk angkot juga!" Aku menepok jidat menyadari angkot yang kunanti ternyata sudah pergi jauh meninggalkanku.
Biasanya pagi-pagi begini banyak angkot saling beradu cepat datang silih berganti. Tapi kali ini mendadak sepi. Ada satu dua yang datang tapi sudah penuh dagangan sayuran dan babi-babi kecil yang terikat di keranjang kecil. Aku menoleh kekanan kiri sedikit cemas. "Apa jalan kaki aja ya? Tapi lumayan jauh ke kampusnya."
"...."
"Ojek, nong!" Seorang bapak tua tiba-tiba mengagetkanku. Dia lantas mengulurkan satu buah helm hitam kearahku tanpa menunggu apakah aku akan menerima tawarannya.
"Iya, pak. Ke kampus" kataku meraih helmnya.
"....."
Dalam perjalanan di bonceng pak ojek aku sempat menoleh kekanan kiri melihat area pertokoan yang semakin ramai. Sejenak terlintas ucapan meissa kemarin saat hendak mengajakku ke kosnya murni, sahabat yang baru dikenalnya sehari yang lalu. Aku teringat jika dia mau masak-masak di kosnya murni untuk acara syukuran sore nanti. Saat itu aku langsung berkeinginan membeli sesuatu untuk meissa.
"Eh, pak ke pasar dulu ya" kataku ke bapak ojek tadi. Dia menganguk dan semakin cepat menarik gas motornya.
"Oke nong!"
"...."
"Tunggu bentaran ya, pak" kataku ke pak ojek. Dia terdiam dan mengeluarkan rokok kretek dari saku baju kumelnya.
"Santai sa!" Jawabnya singkat sambil tersenyum ramah kearahku. Akupun membalas senyumannya dan berlalu menuju pasar. Sebuah pasar rakyat di depan toko citra shoes. Aku sempat menoleh ke pintu masuk toko itu. Melihat cat pintunya yang sudah mulai kusam dan pudar, namun keramaiannya masih sama seperti -dia- menarik paksa lenganku beberapa bulan yang lalu.
"Sayur kangkung. Kangkung, kangkung!" Aku dengar ibu-ibu menjajakan dagangannya. Mendengar kata -kangkung- aku langsung bersemangat mendekatinya. Perlahan aku tembus sekumpulan orang flores yang memenuhi pasar ini. Di kanan kiri tercium bau amis darah ikan-ikan besar yang tergeletak di atas meja kayu. Aku menahan nafas sesaat menghindari bau anyir itu dan mempercepat langkah menuju suara lengkingan penjual sayur di ujung pasar.
"Sayur kangkung. Kangkung! Kangkung!" Penjual itu kembali teriak keras menawarkan dagangannya. Sekilas seperti tak ada yang menghiraukan dia. Mungkin hanya aku yang semakin dekat menghampirinya.
"Sayur kangkungnya berapa, mama?" Tanyaku kepada mama tua yang mengenakan kain tenun adat warna hitam.
"Lima ribu dua ikat, nak!" Jawab mama itu sambil mulutnya mengunyah sirih pinang yang membuat giginya memerah. Aku merasa jijik melihat mama berjualan sayur itu dengan air liur warna merah menetes membasahi lapak mejanya. Jika saja aku tak berniat membeli sayur ini untuk meissa, mungkin aku sudah meninggalkan lapak mama tua ini.
"Nak, jadi beli?" Lanjut penjual itu menatapku dengan polos. Bibir merahnya tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang sudah tak berwarna putih lagi. Aku membalas senyuman beliau. Saat itu aku sadar aku terlalu naif menilai beliau.
"Iya, mama. Beli dua ikat saja." Kataku sambil merogoh dompet. Mama tua itu masih menatapku dengan senyum ramahnya. Akupun ikut tersenyum balik padanya. Seketika ada penjual bunga lewat disampingku dan aku terdiam melihat kumpulan bunga mawar merah merekah indah, harum dan menyegarkan mata. Suatu pandangan kontras ketika aku menoleh ke lapak mama tua di depanku.
"Bunga mawar?" Tawar pedagang yang barusan lewat di sampingku. Entah angin apa yang membuat dia menyodorkan sekuntum bunga mawar kepadaku. Mungkin tatapan mataku yang tertuju pada keranjang bunganya menggugah naluri bisnisnya.
"Bagus pak bunganya!" Kataku memegang bunga yang ditawarkannya. Ada keinginan dalam hati untuk membelikan bunga mawar ini untuk meissa namun aku terpaksa menahan keinginan itu ketika melihat lembaran di dompetku tak bisa membeli bunga yang kelewat mahal.
"Cuma 50 ribu!" Tawar penjual itu. Melihat angka yang ditawarkannya aku langsung menggeleng dan bapak penjual tadi lantas berlalu sambil teriak menjajakan dagangannya lagi.
"...."
"Jadi beli, nak?" Mama tua tadi menyadarkan lamunanku. Aku tersenyum dan memberikannya lembaran dua puluh ribu.
"Ini uangnya, mama! Simpan aja kembaliannya" jawabku tergesa-gesa sambil meraih dua ikat kangkung segar dan memasukkannya ke ranselku.
"Ini kembalianya!" Teriak mama tua tadi sambil melambaikan tangannya. Aku lantas tersenyum ramah kearahnya dan terus berlari.
"Aku terlambat masuk kuliah, mama!" Jawabku dari kejauhan. Mama tua tadi masih menatapku sambil melambaikan uang yang sudah seharusnya menjadi rejekinya.
"...."
Setelah membeli kangkung dua ikat itu aku kembali menaiki ojek dan pergi ke kampus. Diperjalanan aku mulai berkhayal sendiri melihat meissa bakal masak plecing dari kangkung yang kubeli sendiri. Hm... Betapa indahnya jika bisa merasakan langsung hangatnya masakan meissa yng terhidang di hadapanku dengan asap yang masih mengepul tipis. Dulu saat pertama kali berjumpa dengannya aku kira dia tipe cewek rumahan yang manja dan ga bisa masak. Ternyata setelah menghabiskan waktu dan cerita banyak hal tentang kepribadiannya kemarin. Aku semakin yakin dia seorang gadis yang istri-able.
"Turun sini, pak!" Ucapku menghentikan laju motor pak ojek.
"Terimakasih, nong!" Kata pak ojek membalasku setelah aku membayar ongkosnya.
Hari ini kampus yang biasa aku sebut -angker- perlahan merubah paradigma berpikirku jika bagaimanapun kondisi kampusnya itu tidak penting. Terlepas dari minimnya fasilitas di kampus ini aku sedikit memahami suatu esensi dari sebuah perkuliahan jika semangat belajar dan bagaimana bisa menerapkan ilmu di masyarakat adalah yang terpenting. Aku melihat itu dari dalam diri meissa. Dia mulanya menganggap kampus ini sebelah mata, sama sepertiku. Namun pada akhirnya disinilah kita dipertemukan. Agar kita bisa saling mensuport menapakai tangga kehidupan dan meraih puncak yang kita inginkan bersama "menjadi -maha-diantara-siswa-".
"..."
"Tumben kepagian kamu, ndi?" Sapa evan ketika aku mengambil duduk disebelahnya.
"Aku malah berpikir terlambat tadi, van"
"Diem! Udah datang tuh dosennya. Hari ini kamu tau jadwal apa?" Kata evan mengetesku. Mungkin dia masih mengira aku terlalu cuek sama jadwal perkuliahan disini. Dia nggak tau kalau perlahan aku jadi bersemangat kuliah sejak semakin dekat dengan meissa.
"Tau lah. Literature, kan?" Kataku memastikan.
"Ternyata kamu sudah kembali ke jalan yang lurus!" Kata evan menatapku penuh kecurigaan.
"Kenapa sih mukamu nyebelin banget! Aku ga secuek itu kali, van!"
"Biasanya kamu cuek banget sama perkuliahan disini, ndi. Kemarin aja kamu cuma bawa majalah. Tapi sekarang udah mulai tebal tuh ranselmu. Katanya melirik tasku. "Bawa kitab apa aja itu?" Bisiknya sambil melirik dosen wanita yang sudah mulai siap mengawali perkuliahan pagi ini.
"Diem, van! Udah mulai tuh!" Bisikku kembali ke evan. Evan menarik ranselku seperti ingin tau apa isinya.
"Sini aku coba buka!" Evan menarik tasku dan dia seketika terkejut melihat dua ikat sayur terbungkus plastik hitam di dalamnya. "Gila???? Kemarin bawa majalah doang. Sekarang bawa sayur! Mau ikut kelas tataboga kamu, ndi?" Kata evan terkejut. Naluri ketimurannya mendadak terlihat ketika dia tak sadar berkata sedikit keras dan membuat dosen dan teman sekelas menoleh.
"Anjrit!" Umpatku menunjuk evan. Evan langsung menunduk pura-pura menulis catatannya lagi. Bu dosen terlihat kaget, teman sekelas juga kaget. Sedangkan aku cuma tergeragap salah tingkah.
"...."
"Dasar kau van!" Bisikku ke dia. Kini suasana kembali hening dan dosen itu sudah mulai menulis di papan kelas. Aku lihat teman sekelas sudah mulai membuka buku catatan dan mencatat sesuatu dari coretan bu dosen di depan. Sementara aku malah terlamun melihat dua ikat kangkung didalam tasku. Aku masih berkhayal meissa memasak kangkung ini untukku. Aku tersenyum sendiri dan memboroskan waktu tanpa mencatat sama sekali.
"Habis istirahat ada kelas agama!" Aku tiba-tiba teringat jika ada kelas agama islam sebentar lagi. Dan itu artinya seluruh mahasiswa di masing-masing fakultas yang muslim akan berkumpul dalam satu ruangan untuk mengikuti perkuliahan agama islam. Aku jadi teringat "pak umar maruf" seorang dosen dari makassar yang dekat sama keluarganya rahma dan mbak yani.
"....."
Dua jam sudah perkuliahan litetarue selesai. Banyak teman kelasku meninggalkan ruangan. Evan masih disampingku membaca majalah "hello" yang aku pinjamkan padanya. Ternyata dia tertarik sama majalah bahasa inggris itu. Dia membacanya sangat khusyu sampai aku berpamitan keluar ruangan tak digubrisnya.
"Tak!" Kujitak kepalanya. Dia teradar dan menoleh.
"Kau ini suka sekali ganggu orang!" Katanya menahan marah, tapi ekspresinya malah memperlihatkan wajah ditekuk, lucu.
"Aku bilang mau keluar ga dengerin. Bentaran ada pelajaran agama. Kamu ga kumpul sama temanmu yang lain?"
"Sebentar. Aku baca ini dulu." Ujar evan serius membaca artikel di majalah itu lagi.
"Kalo gitu aku jalan duluan ya, van. Sekalian cari meissa"
"Kamu tambah deket aja ya sama dia, ndi!"
"Iya lah. Ya udah aku tinggal dulu"
"...."
Aku berjalan meinggalkan evan dan berdiri di samping pintu keluar kelas. Aku amati di koridor kelas meissa belum ada tanda-tanda seragam hitam-putih khas anak kesehatan berhambur keluar. Aku lantas sms meissa jika aku menunggunya di bawah pohon bidara. Tempat biasa kita saling berbicara menunggu sore datang.
"Meissa, aku tunggu di kursi kayu itu!"
Sms terkirim. Aku perlahan mendekati kursi kayu itu dan duduk sendiri menikmati hembusan angin siang ini.
"Bentar ya, ndi! Sepuluh menit lagi!"
Balas sms nya masuk. Aku menengok kebelakang dan terlihat sekilas kedua tangannya melambai kearahku dari balik jendela yang memisahkan kita.
"Iya. Kamu jangan melambai terus. Ntar leherku sakit noleh ke kamu!" Balas smsku ke dia. Kadang aku jadi tertawa sendiri. Kita saling melihat dari kejauhan tapi hanya bisa berkata lewat pesan singkat.
"Ya udah! Kamu jangan liatin aku lagi. Biar ga patah lehermu tuh!" Balas sms-nya lagi. Aku tersenyum membacanya dan mendongak keatas melihat daun bidara yang perlahan jatuh ke tanah digoyangkan semilir angin yang menyejukkan.
"......"
Sepuluh menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda kegaduhan didalam kelas meissa. Aku lantas menyandarkan punggung di kursi kayu itu dan kembali terlamun melihat dua ikat kangkung yang sudah mulai layu.
"......"
"Hayoooo ngelamun apa????" Teriak suara dari belakang. Aku menoleh dan terlihat sosok meissa berdiri berkacak pinggang. Segera aku tutup lagi ranselku dan mendekapnya.
"Aduh. Hampir aja jantungan aku, meissa!"
"Lagi ngapain sih? Kok melamun aja aku lihat!" Tanya meissa mulai berjalan dan mengambil duduk disebelahku.
"Ga! Aku ga ngelamun. Ah... Lebih tepatnya bengong." Kataku tergeragap sambil mendekap erat ranselku. Aku masih kepikiran apakah meissa melihat kangkung yang aku pelototin dari tadi.
"Ga ngelamun. Tapi diem aja kayak patung!"
"Iya. Mungkin gara-gara kemarin sore kita berdua seharian jadi aku ketularan kamu. Kamu kan suka mendadak jadi patung!" Jawabku sekenanya. Meissa lantas tiba-tiba ikut terdiam tanpa ada pembicaraan lagi.
"....."
"Hei!" Aku mengoyang bahunya. Meissa langsung menoleh dan mulai cerewet.
"Kamu jangan godain patung. Patung ga bisa digoda, tau!" Katanya menyolot.
"Masa patung bisa bicara? Jangan-jangan ada baterainya nih!" Aku lalu melirik ke punggungnya. "Oh, cuma terlihat tali..."
"Dasar!! Rasain nih!!!!" Meissa secepat kilat mencubit kedua pipiku. Aku meringkik kesakitan sebelum akhirnya terlontar juga kata yang tak seharunya aku katakan "bra!".
"Hei... Mulai kurang ajar. Dasar andi!!!" Meissa teriak manja lantas memukul punggungku sampai aku tergeser dari kursi kayu dan jatuh. "Ahahaha!!! Manusia kalah sama patung!" Teriaknya diselingi tawanya yang renyah.
Aku rada kesel tapi seneng juga melihat meissa terkekeh di sampingku. Aku berdiri dan kembali duduk disebelahnya.
"Kamu kalo tertawa seperti barusan kelihatan cantik, meissa" kataku membalik badan dan melihat wajahnya.
"Tunggu aku catat dulu..." Ucap meissa mengeluarkan buku catatan kecilnya. "Andi sudah...mmm..." Lanjutnya mengingat sesuatu. Tangannya terus berputar di atas kertas itu sebelum akhirnya aku memegangnya dan berbisik.
"Sudah ratusan kali mengucapkan kata cantik!" Bisikku lirih ketelinganya. "Ya udah, yuk kita jalan ke kelas informatika. Kelas agamanya disana." Sambungku mengajaknya berdiri dari kursi kayu ini.
"Iya, ndi!"
"Eh... Kamu tertawanya kesetanan kali ya sampe kerudungmu miring begini!" Ucapku didepan meissa lantas membetulkan kerudung putihnya. Meissa terdiam dan membiarkan diriku mengelus kerudungnya lagi. "Nih, udah tambah cantik kalo gini" kataku menyimpan senyum yang tak sempat terkembang karena meissa sudah lebih duluan melempar senyum manisnya kearahku.
"Makasih, ndi!" Katanya pelan mengikutiku berjalan menuju kelas informatika. Kelas yang tak asing untuk kita berdua. Karena dulu saat ospek kita pernah saling bercanda melewati kelas itu sebelum akhirnya terdampar di perpustakaan yang membekukan kita berdua dalam angan-angan.
"......"
Diubah oleh andihunt 24-07-2014 16:49
0