- Beranda
- Stories from the Heart
2 CINTA DI NUSA BUNGA
...
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun












PROLOG
Dulu....
Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.
Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.
Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).
Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.
Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.
Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.
And... the story goes.....
"..................."
Surabaya, 22 Maret 2014
Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.
Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.
Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.
Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.
Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.
Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.
Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.
.........................
--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--
Soundtrack
INDEX
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
andihunt
#145
Hitam. Part 3
Suara serakan daun bidara semakin terdengar digiring angin. Menggodaku mempercepat langkah mendekati Meissa. Terakhir tiga minggu yang lalu kita duduk di bawah pohon bidara ini membicarakan sesuatu yang tidak pernah kita cerna apa maksudnya. Kita hanya berbincang sampai bosan, sampai senja menyapa kita berdua dan terucap kata "antarkan" keluar dari bibir tipisnya.
"Hai, Ndi!" meissa melambaikan tanganya. Menyapaku dari kejauhan. Seketika lamunanku tentangnya buyar tak berbekas. Seharusnya aku yang menyapanya duluan, namun rasa takjub melihat penampilannya siang ini membuat tubuhku kaku dan tidak bisa bergerak semakin dekat kearahnya.
"Hai juga, meissa" balasku masih enggan melangkah mendekatinya. Bukan karena seorang wanita yang duduk disebelahnya, bukan juga karena tidak ada ruang kosong di bangku kayu itu. Tapi penampilannya sekarang sungguh sangat berbeda. Ternyata tanpa atribut ospek yang menempel di tubuhnya membuatnya terlihat semakin cantik mempesona. Beda sama yang dulu.
"Kok malah berdiri aja, nih kenalin teman baruku. Namanya Murni" meissa tersenyum kearahku sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aku lihat gadis di sebelah meissa mengulurkan tanganya. Seorang gadis berkulit kuning dan berambut ikal sebahu. Sekilas aku melihatnya seperti cewek bernama Margaretha yang menendang daguku dulu. Tapi aku yakin gadis itu bukan dia. Wajahnya sedikit tirus lantas kulitnya sawo matang seperti orang jawa.
"Hai murni. Aku Andi" sapaku membalas uluran tangannya "Eh dapat teman baru?" kataku sembari melirik meissa.
"Iya, dia nggak ikut opsek dulu. Baru sekarang aku kenal dia saat perkenalan di kelas tadi." kata meissa menjelaskan. "Eh, ndi. Dia orang jawa juga" lanjut meissa kembali genit.
"Nggak kok, cuma ibuku aja orang Jawa. Kalo ayahku orang Ende" tiba-tiba murni menyela.
"Ya tetep aja orang jawa! kan ada darah jawanya!" kata meissa kembali melirik kearahku. Melihatnya semakin genit mengedipkan sebelah matanya aku lantas berdiri di dekat meissa dan berbisik ke telinganya.
"Meissa, apaan sih tadi?"
"Nggak, aku nggak ngapa-ngapain!" balas meissa pura-pura ga tahu.
"Tapi kedipan matamu tadi ga enak. Mau comblangin aku sama dia?" kataku semakin lirih berbisik ke telinganya. Murni lantas terlihat canggung melihat kita berdua saling berbisik disebelahnya.
"Kayaknya aku ganggu ya?" tukas murni menarik lengan meissa.
"Eh! Enggak, ga nganggu kok, ni" jawab meissa terkaget.
"Maaf ya, nona. Meissa memang suka mendadak aneh" kataku melirik ke murni.
"Oh, tapi kayaknya kalian sudah akrab sekali ya?" tanya murni ke kita berdua.
"...." Meissa lantas terdiam sambil memutar-mutar telunjukknya ke wajahku "Ya.. hm.... kita udah lama kenal ya, ndi" kata meissa lagi. Telunjuknya masih berputar di keningku lantas dengan cepat aku tangkap.
"Iya, udah lama kita kenalan. Lama banget, kira-kira sebelum masehi!" ucapku datar sembari memegang erat telunjuk meissa, Aku tau nanti dia bakal nunjuk-nunjuk mukaku lagi seperti yang biasa ia lakukan ketika mengingat sesuatu dikepalanya.
"Ndi, lepasin!!" Teriak meissa.
"Aku lepasin! tapi jangan nunjuk-nunjuk keningku lagi kayak tadi. Ga sopan tau!"
"Iya, ga lagi!" ujar meissa menarik pergelangan tanganku. Murni hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan kita.
"Sebaiknya aku ke kelas aja ya, meissa" ujar murni tak enak hati.
"Eh, disini aja ga apa. Udah biasa kok Andi berdiri begini. Malahan bisa berjam-jam. Palingan sebentar dia bakal balik lagi ke kelasnya" meissa menahan tubuh murni yang hendak berdiri meninggalkannya.
"Ga apa, lagian aku mau langsung pulang. Mau beresin tempat kosan. Nanti kalo sempet kalian main ke kosanku, ya" kata murni berpamitan ke meissa.
"Oh, begitu. Ya udah hati-hati ya, ni"
"Mm... oke. Kalian berdua baik-baik ya" jawab murni lantas berlalu meninggalkan kita berdua.
"....."
"Ndi, ga capek berdiri aja" ucap meissa menatapku dengan pandangan iba.
"Ga usah. Katanya aku kuat berdiri berjam-jam." jawabku datar sambil bersandar di pohon bidara yang meneduhkan kita berdua.
"Haduh, masih di inget juga ya kataku barusan"
"Hm.... lagian ngapain sih tadi pake acara kedip-kedipan mata segala. Murni liatnya jadi ga enak tau"
"Cantik kan dia, ndi. Mau aku kenalin lebih dekat ga?. Orangnya asyik lo. Dia itu lulusan SMA surabaya ndi, ibunya orang sana katanya. Tadi barusan kenalan aja udah akrab sama aku....."
Meissa lantas tiba-tiba ngomel sendiri ga jelas. Dan tanpa pikir panjang aku langsung mengambil duduk disebelahnya dan menutup mulutnya dengan telapak tanganku.
"Ndi... Ndi!!!" teriak meissa tak terdengar.
"Jangan ngomel lagi! Janji?"
"Iyyyaaa.... Andi!"
Sejurus kemudian aku lepaskan bungkamanku. Meissa lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan terdiam sesaat mengatur nafasnya yang tak beraturan.
"Meissa, hei! Meissa!" Panggilku spontan melihatnya menarik nafas panjang, Jangan-jangan aku terlalu keras membungkam mulutnya sampai ga bisa bernafas.
"Ga apa kan?" lanjutku lagi melihat wajahnya yang tersembunyi di balik kerudung putihnya.
"Hhhhehhhh! ga apa. Kamu kasar juga ya orangnya" sahut meissa menoleh kewajahku.
"Maaf tadi ga sengaja. Habis kamu ngomong terus ga henti-henti."
"......"
"Meissa?"
"Ah sudahlah lupakan. Nih ada makan siang!" meissa lalu mengeluarkan kotak nasi dari tas slempangnya.
"Untuk siapa ini?"
"Untuk kamu, ndi. Bukannya aku udah janji sama kamu bakal masakin plecing?"
"Oh, iya aku ingat"
"Nah, tuh udah aku buatin." kata meissa sembari membuka kotak nasi tersebut. Disana ada lauk yang sama seperti pertama dia menawari masakannya dulu di pinggir gerbang kampus. Hanya saja tumis sayurnya kini bertambah banyak.
"Yang mana plecingnya? bukannya ini seperti masakanmu dulu.?" tanyaku penasaran. Meissa lantas membalik tubuhnya dan duduk berhadapan denganku.
"Dengerin ya andi yang banyak nanya. Tuh tumis kangkung namanya plecing." telunjuknya kembali melayang di wajahku. Sekejap saja aku ingin menangkapnya lagi, namun meissa dengan secepat kilat menghindarinya. "Eits ga kena!" sambungnya. Bibirnya mulai tersenyum lebar melihatku mencicipi masakannya.
"Hm.... enak juga ya!" kataku memuji masakannya. "Lah, terus kamu udah makan?"
"Belum" jawabnya polos. Wajahnya kembali terlihat kusut seperti mengiba.
"Nah, kenapa malah diberikan ke aku kalo belum makan?" timpalku melihat ekspresi wajah datarnya.
"Kita makan barengan lagi kayak dulu" potongnya tiba-tiba.
"Suapan-suapan lagi?"
"Heem!" jawabnya menganguk pelan.
"Ya udah, yuk kita makan!"
"...."
Siang itu kita kembali mengulang saat dimana kita saling becumbu melalui sendok dan garpu. Menikmati hembusan angin dibawah teduhnya pohon bidara di samping kita. Aku melihat perpaduan warna yang indah dari tatapan meissa yang meneduhkan hatiku, seperti pelangi. Membawaku terbang tinggi ke atas langit. Meski aku sadar bakal terasa sakit jika aku terjatuh lagi ke bumi.
"Setelah ini...." ucapku ingin bertanya ke meissa. Namun perkataan ini langsung tertahan ketika melihat meissa secara tak sengaja menatap dalam ke mataku.
"Setelah ini apa?" kata meissa tanpa melepaskan tatapan matanya.
"Kamu jangan pandangi aku seperti itu ah!. Kayak curiga aja sama aku." kataku mengalihkan pembicaraan.
"Setelah ini apa? jangan plin-plan lah!" ulang meissa lagi sembari memberesin kotak nasi yang sudah habis tak tersisa.
"Setelah ini kita pulang. Kita kan sudah ga ada perkuliahan lagi. Tadi dikelasku hanya perkenalan aja" jelasku ke meissa.
"Iya kita pulang. Mau ngantar aku lagi?"
"Apa ga terlalu panas pulang sekarang?. Masih jam satu siang. Aku ingin ajak kamu jalan-jalan ke pelabuhan?" mendadak aku gugup bertanya ini. Sebenarnya aku ingin sekali mengajaknya jalan-jalan dan mengenal jauh tentang dia. Tapi masa anak rumahan seperti meissa mau aku ajak keluyuran panas-panas naik angkot?. Setidaknya aku sudah berani jujur ingin mengajaknya keluar.
"Mau buat apa ke pelabuhan, mau kabur?" tanyanya dengan nada meninggi.
"Yah, masa iya aku ajak kamu kabur. Ya kita jalan-jalan aja cari angin. Lagian kan kamu bilang ga pernah kemana-mana. Disana pemandangannya bagus loh, anginya sejuk" rayuku ke meissa. Dia terlihat bersemangat menikmati ceritaku.
"Yang bener? asal ga kemaleman aku mau kok."
"Pasti. Nanti aku antar lagi sampai gerbang kantor polisi"
"Ok, bentaran ya, ndi" meissa lantas mengeluarkan hape dari dalam tasnya. "Aku pamit sama kakak dulu. Biar nanti ga jemput aku sore ini"
Aku menganguk. Muncul perasaan senang luar bisa ga menyangka meissa bakal menyanggupi ajakanku.
"Udah, ndi. Aku udah Sms kakak. Kita jalan sekarang?" tanya meissa terburu-buru. Nampaknya dia ingin segera melihat keindahan pantai di tepi pelabuhan.
"Bentaran lah. Lagian kamu kayak ga tau pelabuhan aja."
"Selama setahun disini. Aku ga pernah tau tentang kota ini, ndi. Letak pantainya aja ga tau dimana?"
"HAH!!!" aku menggeleng keheranan. Padahal kantor polisi sama tepi pantai tak kurang dari 5 kilometer jarakanya. "Apa nih anak bener-bener ga pernah diajak keluar ya?" aku bergeming sembari menoleh ke meissa.
"Udah jangan bengong aja. Jalan sekarang yuk, biar ga kemacetan dijalan. Biar nanti pulangnya ga terlalu sore" kata meissa memelas. Aku ga tega. Sekejap saja aku raih tangannya dan mengajaknya pergi.
"....."
"Ndi, kita jalan kayak dulu aja saat kamu mengantarku pulang" ucap meissa disampingku ketika berdiri di dalam halte menunggu angkot datang.
"Iya ini kan udah kayak dulu."
"Maksudnya kamu ga usah pegangin tanganku segala." kata meissa seakan risih ketika aku memegang tangannya saat berjalan keluar kampus.
Aku menunduk dan melihat tanganku menempel di pergelangan tangan kirinya "Eh.... iya. Maaf ya. Ga lagi deh" ujarku polos, malu.
Meissa lalu kembali terdiam. Matanya lurus menatap kedepan, melihat ramainya kendaraan berlalu lalang. Dia melihat keramaian di luar sana tapi mendadak hatinya seakan terasa sepi. Aku mengerti arti tatapan polos itu. Aku lantas menoleh dan berbisik ke telinganya.
"Aku berjanji, meissa. Aku akan memperlihatkan kepadamu kalau keindahan itu nyata"
Meissa lalu menatapku dengan sorot mata teduh. Matanya kembali berkaca kaca, tapi bibirnya tersenyum manis. Aku lantas mengusap kepalanya yang tertutupi kerudung putih dan memegang kembali pergelangan tangannya.
"Nona, silahkan masuk!" dengan hati-hati aku menuntun meissa berjalan memasuki angkot yang berhenti di depan kita.
"....."
"Hai, Ndi!" meissa melambaikan tanganya. Menyapaku dari kejauhan. Seketika lamunanku tentangnya buyar tak berbekas. Seharusnya aku yang menyapanya duluan, namun rasa takjub melihat penampilannya siang ini membuat tubuhku kaku dan tidak bisa bergerak semakin dekat kearahnya.
"Hai juga, meissa" balasku masih enggan melangkah mendekatinya. Bukan karena seorang wanita yang duduk disebelahnya, bukan juga karena tidak ada ruang kosong di bangku kayu itu. Tapi penampilannya sekarang sungguh sangat berbeda. Ternyata tanpa atribut ospek yang menempel di tubuhnya membuatnya terlihat semakin cantik mempesona. Beda sama yang dulu.
"Kok malah berdiri aja, nih kenalin teman baruku. Namanya Murni" meissa tersenyum kearahku sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aku lihat gadis di sebelah meissa mengulurkan tanganya. Seorang gadis berkulit kuning dan berambut ikal sebahu. Sekilas aku melihatnya seperti cewek bernama Margaretha yang menendang daguku dulu. Tapi aku yakin gadis itu bukan dia. Wajahnya sedikit tirus lantas kulitnya sawo matang seperti orang jawa.
"Hai murni. Aku Andi" sapaku membalas uluran tangannya "Eh dapat teman baru?" kataku sembari melirik meissa.
"Iya, dia nggak ikut opsek dulu. Baru sekarang aku kenal dia saat perkenalan di kelas tadi." kata meissa menjelaskan. "Eh, ndi. Dia orang jawa juga" lanjut meissa kembali genit.
"Nggak kok, cuma ibuku aja orang Jawa. Kalo ayahku orang Ende" tiba-tiba murni menyela.
"Ya tetep aja orang jawa! kan ada darah jawanya!" kata meissa kembali melirik kearahku. Melihatnya semakin genit mengedipkan sebelah matanya aku lantas berdiri di dekat meissa dan berbisik ke telinganya.
"Meissa, apaan sih tadi?"
"Nggak, aku nggak ngapa-ngapain!" balas meissa pura-pura ga tahu.
"Tapi kedipan matamu tadi ga enak. Mau comblangin aku sama dia?" kataku semakin lirih berbisik ke telinganya. Murni lantas terlihat canggung melihat kita berdua saling berbisik disebelahnya.
"Kayaknya aku ganggu ya?" tukas murni menarik lengan meissa.
"Eh! Enggak, ga nganggu kok, ni" jawab meissa terkaget.
"Maaf ya, nona. Meissa memang suka mendadak aneh" kataku melirik ke murni.
"Oh, tapi kayaknya kalian sudah akrab sekali ya?" tanya murni ke kita berdua.
"...." Meissa lantas terdiam sambil memutar-mutar telunjukknya ke wajahku "Ya.. hm.... kita udah lama kenal ya, ndi" kata meissa lagi. Telunjuknya masih berputar di keningku lantas dengan cepat aku tangkap.
"Iya, udah lama kita kenalan. Lama banget, kira-kira sebelum masehi!" ucapku datar sembari memegang erat telunjuk meissa, Aku tau nanti dia bakal nunjuk-nunjuk mukaku lagi seperti yang biasa ia lakukan ketika mengingat sesuatu dikepalanya.
"Ndi, lepasin!!" Teriak meissa.
"Aku lepasin! tapi jangan nunjuk-nunjuk keningku lagi kayak tadi. Ga sopan tau!"
"Iya, ga lagi!" ujar meissa menarik pergelangan tanganku. Murni hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan kita.
"Sebaiknya aku ke kelas aja ya, meissa" ujar murni tak enak hati.
"Eh, disini aja ga apa. Udah biasa kok Andi berdiri begini. Malahan bisa berjam-jam. Palingan sebentar dia bakal balik lagi ke kelasnya" meissa menahan tubuh murni yang hendak berdiri meninggalkannya.
"Ga apa, lagian aku mau langsung pulang. Mau beresin tempat kosan. Nanti kalo sempet kalian main ke kosanku, ya" kata murni berpamitan ke meissa.
"Oh, begitu. Ya udah hati-hati ya, ni"
"Mm... oke. Kalian berdua baik-baik ya" jawab murni lantas berlalu meninggalkan kita berdua.
"....."
"Ndi, ga capek berdiri aja" ucap meissa menatapku dengan pandangan iba.
"Ga usah. Katanya aku kuat berdiri berjam-jam." jawabku datar sambil bersandar di pohon bidara yang meneduhkan kita berdua.
"Haduh, masih di inget juga ya kataku barusan"
"Hm.... lagian ngapain sih tadi pake acara kedip-kedipan mata segala. Murni liatnya jadi ga enak tau"
"Cantik kan dia, ndi. Mau aku kenalin lebih dekat ga?. Orangnya asyik lo. Dia itu lulusan SMA surabaya ndi, ibunya orang sana katanya. Tadi barusan kenalan aja udah akrab sama aku....."
Meissa lantas tiba-tiba ngomel sendiri ga jelas. Dan tanpa pikir panjang aku langsung mengambil duduk disebelahnya dan menutup mulutnya dengan telapak tanganku.
"Ndi... Ndi!!!" teriak meissa tak terdengar.
"Jangan ngomel lagi! Janji?"
"Iyyyaaa.... Andi!"
Sejurus kemudian aku lepaskan bungkamanku. Meissa lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan terdiam sesaat mengatur nafasnya yang tak beraturan.
"Meissa, hei! Meissa!" Panggilku spontan melihatnya menarik nafas panjang, Jangan-jangan aku terlalu keras membungkam mulutnya sampai ga bisa bernafas.
"Ga apa kan?" lanjutku lagi melihat wajahnya yang tersembunyi di balik kerudung putihnya.
"Hhhhehhhh! ga apa. Kamu kasar juga ya orangnya" sahut meissa menoleh kewajahku.
"Maaf tadi ga sengaja. Habis kamu ngomong terus ga henti-henti."
"......"
"Meissa?"
"Ah sudahlah lupakan. Nih ada makan siang!" meissa lalu mengeluarkan kotak nasi dari tas slempangnya.
"Untuk siapa ini?"
"Untuk kamu, ndi. Bukannya aku udah janji sama kamu bakal masakin plecing?"
"Oh, iya aku ingat"
"Nah, tuh udah aku buatin." kata meissa sembari membuka kotak nasi tersebut. Disana ada lauk yang sama seperti pertama dia menawari masakannya dulu di pinggir gerbang kampus. Hanya saja tumis sayurnya kini bertambah banyak.
"Yang mana plecingnya? bukannya ini seperti masakanmu dulu.?" tanyaku penasaran. Meissa lantas membalik tubuhnya dan duduk berhadapan denganku.
"Dengerin ya andi yang banyak nanya. Tuh tumis kangkung namanya plecing." telunjuknya kembali melayang di wajahku. Sekejap saja aku ingin menangkapnya lagi, namun meissa dengan secepat kilat menghindarinya. "Eits ga kena!" sambungnya. Bibirnya mulai tersenyum lebar melihatku mencicipi masakannya.
"Hm.... enak juga ya!" kataku memuji masakannya. "Lah, terus kamu udah makan?"
"Belum" jawabnya polos. Wajahnya kembali terlihat kusut seperti mengiba.
"Nah, kenapa malah diberikan ke aku kalo belum makan?" timpalku melihat ekspresi wajah datarnya.
"Kita makan barengan lagi kayak dulu" potongnya tiba-tiba.
"Suapan-suapan lagi?"
"Heem!" jawabnya menganguk pelan.
"Ya udah, yuk kita makan!"
"...."
Siang itu kita kembali mengulang saat dimana kita saling becumbu melalui sendok dan garpu. Menikmati hembusan angin dibawah teduhnya pohon bidara di samping kita. Aku melihat perpaduan warna yang indah dari tatapan meissa yang meneduhkan hatiku, seperti pelangi. Membawaku terbang tinggi ke atas langit. Meski aku sadar bakal terasa sakit jika aku terjatuh lagi ke bumi.
"Setelah ini...." ucapku ingin bertanya ke meissa. Namun perkataan ini langsung tertahan ketika melihat meissa secara tak sengaja menatap dalam ke mataku.
"Setelah ini apa?" kata meissa tanpa melepaskan tatapan matanya.
"Kamu jangan pandangi aku seperti itu ah!. Kayak curiga aja sama aku." kataku mengalihkan pembicaraan.
"Setelah ini apa? jangan plin-plan lah!" ulang meissa lagi sembari memberesin kotak nasi yang sudah habis tak tersisa.
"Setelah ini kita pulang. Kita kan sudah ga ada perkuliahan lagi. Tadi dikelasku hanya perkenalan aja" jelasku ke meissa.
"Iya kita pulang. Mau ngantar aku lagi?"
"Apa ga terlalu panas pulang sekarang?. Masih jam satu siang. Aku ingin ajak kamu jalan-jalan ke pelabuhan?" mendadak aku gugup bertanya ini. Sebenarnya aku ingin sekali mengajaknya jalan-jalan dan mengenal jauh tentang dia. Tapi masa anak rumahan seperti meissa mau aku ajak keluyuran panas-panas naik angkot?. Setidaknya aku sudah berani jujur ingin mengajaknya keluar.
"Mau buat apa ke pelabuhan, mau kabur?" tanyanya dengan nada meninggi.
"Yah, masa iya aku ajak kamu kabur. Ya kita jalan-jalan aja cari angin. Lagian kan kamu bilang ga pernah kemana-mana. Disana pemandangannya bagus loh, anginya sejuk" rayuku ke meissa. Dia terlihat bersemangat menikmati ceritaku.
"Yang bener? asal ga kemaleman aku mau kok."
"Pasti. Nanti aku antar lagi sampai gerbang kantor polisi"
"Ok, bentaran ya, ndi" meissa lantas mengeluarkan hape dari dalam tasnya. "Aku pamit sama kakak dulu. Biar nanti ga jemput aku sore ini"
Aku menganguk. Muncul perasaan senang luar bisa ga menyangka meissa bakal menyanggupi ajakanku.
"Udah, ndi. Aku udah Sms kakak. Kita jalan sekarang?" tanya meissa terburu-buru. Nampaknya dia ingin segera melihat keindahan pantai di tepi pelabuhan.
"Bentaran lah. Lagian kamu kayak ga tau pelabuhan aja."
"Selama setahun disini. Aku ga pernah tau tentang kota ini, ndi. Letak pantainya aja ga tau dimana?"
"HAH!!!" aku menggeleng keheranan. Padahal kantor polisi sama tepi pantai tak kurang dari 5 kilometer jarakanya. "Apa nih anak bener-bener ga pernah diajak keluar ya?" aku bergeming sembari menoleh ke meissa.
"Udah jangan bengong aja. Jalan sekarang yuk, biar ga kemacetan dijalan. Biar nanti pulangnya ga terlalu sore" kata meissa memelas. Aku ga tega. Sekejap saja aku raih tangannya dan mengajaknya pergi.
"....."
"Ndi, kita jalan kayak dulu aja saat kamu mengantarku pulang" ucap meissa disampingku ketika berdiri di dalam halte menunggu angkot datang.
"Iya ini kan udah kayak dulu."
"Maksudnya kamu ga usah pegangin tanganku segala." kata meissa seakan risih ketika aku memegang tangannya saat berjalan keluar kampus.
Aku menunduk dan melihat tanganku menempel di pergelangan tangan kirinya "Eh.... iya. Maaf ya. Ga lagi deh" ujarku polos, malu.
Meissa lalu kembali terdiam. Matanya lurus menatap kedepan, melihat ramainya kendaraan berlalu lalang. Dia melihat keramaian di luar sana tapi mendadak hatinya seakan terasa sepi. Aku mengerti arti tatapan polos itu. Aku lantas menoleh dan berbisik ke telinganya.
"Aku berjanji, meissa. Aku akan memperlihatkan kepadamu kalau keindahan itu nyata"
Meissa lalu menatapku dengan sorot mata teduh. Matanya kembali berkaca kaca, tapi bibirnya tersenyum manis. Aku lantas mengusap kepalanya yang tertutupi kerudung putih dan memegang kembali pergelangan tangannya.
"Nona, silahkan masuk!" dengan hati-hati aku menuntun meissa berjalan memasuki angkot yang berhenti di depan kita.
"....."
0