- Beranda
- Stories from the Heart
-Catatan Untuk Riyani-
...
TS
azelfaith
-Catatan Untuk Riyani-
CATATAN UNTUK RIYANI

Sebuah Skripsi

Quote:

(dengerin lagunya dulu ya biar meleleh)

Prologue
Sebut saja namaku Boy, 23 tahun. Penulis? Jelas bukan. Aku hanyalah seorang anak laki-laki yang tumbuh tegak ke atas bersama waktu, soalnya kalau melebar kesamping berarti tidak sesuai kayak iklan Boneto. Dilecut dalam romantika kehidupan labil (bahkan sampai sekarang.
-Editor).Tulisan ini kupersembahkan untuk seorang gadis, sebut saja Bunga. Eh, jangan. Nama Bunga sudah terlalu mainstream dan negatif, Sebut saja Riyani, itu lebih indah dibaca dan tanpa konotasi negatif berita kriminal. (iya gimana sih..
- Editor)Ya, Riyani itu kamu. Bukan Riyani yang lain. (Emang Riyani ada berapa gan?
- Editor) Aku menulis ini karena aku tak punya harta materi (Hiks..kasihan
- Editor). Karena aku tak punya apapun. Karena aku bahkan tak ingat apa yang jadi favoritmu. Aku hanya tahu kau suka membaca, maka aku hanya bisa mempersembahkan tulisan ini sebagai ungkapan terima kasihku untukmu Riyani, seseorang yang akan kunikahi nanti. (Ciyyeeee.. suit-suit dah mau kimpoi nih..
- Editor)Dan kau Riyani, perhatikanlah bagaimana kuceritakan masa-masa dimana aku tumbuh dewasa hingga kutitipkan kepingan hati terakhirku padamu. Masa-masa dimana aku belajar, ditempa, jatuh remuk, dan kembali bangkit karenamu.. (Ceiileee romantisnyaaa...
- Editor).
DAFTAR ISI
Quote:
INTERLUDE
Quote:

RULES
Quote:

Q & A
Quote:

Jangan lupa komen, rates, dan subscribe.
Ijo-ijo belakangan mah gak masalah.

Diubah oleh azelfaith 04-07-2016 15:20
septyanto memberi reputasi
2
110.5K
623
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
azelfaith
#394
5.10. Mentari di Ujung Agustus 3
Putaran waktu tak mampu meredam
Denyut kencang di hati terselam
Untuk apa aku menanti
Dirimu mentari di hati
Gue mengakhiri coretan di atas meja ini. Alay memang, tapi apa mau dikata memang begitu keadaannya anak SMA yang masih labil dan mencari jati diri. Pelajaran Antropology ini tampak begitu membosankan dan akhirnya aku melanjutkan mencoret-coret meja kembali.
Hatiku gundah, ada apa gerangan hingga Hanum memintaku berbicara empat mata. Sepertinya bukan hal yang mudah dicerna. Tiba-tiba ketakutan meresap ke dalam hatiku. Akankah aku kehilangannya lagi? Tidak. Tidak sekalipun aku menginginkan kehilangan orang yang kusayangi lagi. Meski aku tahu diriku ini tak cukup dewasa untuk menjaganya. Namun jauh di lubuk hati ini tersimpan sejuta harapan untuk tumbuh besar bersamanya. Lamunanku semakin jauh tenggelam.
Bel istirahat berdentang, aku menarik nafas panjang. Duhai Tuhan, apakah yang akan kuhadapi kali ini. Aku berjalan gontai keluar menuju ke kelas Hanum. Sesampainya disana kepalaku bergerak ke kanan dan kiri seperti orang-orangan sawah mencari sesosok gadis yang aku sayangi, halah. Tiba-tiba sesuatu menggamit lenganku menariknya menjauhi keramaian. I can feel it, the one. It’s her, Hanum.
Dia menarikku menjauhi keramaian. Kami berdiri di dekat tangga kelas, di sebelah taman. Wajahnya tampak berbeda, seperti ada sesuatu yang dikhawatirkan.
Aku membuka lipatan-lipatan kertas itu dengan hati-hati dan mulai membaca. Tanganku bergetar hebat, hatiku seperti tersambar petir di siang hari. Selesai membacanya aku merasa pagi ini terasa lebih panas daripada seharusnya. Bagai tubuhku ini terpanggang dalam api menyala-nyala. Seperti sekam yang tersulut oleh bara. Tubuhku terasa panas. Mukaku terasa merah. Kertas itu berisi surat yang tak akan pernah bisa kusangka akan kutemui dalam kehidupanku bersama Hanum. Tidak dalam sepermili persen kemungkinan yang kuperhitungkan sekalipun.
Surat itu, sebuah surat cinta.
Denyut kencang di hati terselam
Untuk apa aku menanti
Dirimu mentari di hati
Boy, ‘05
Gue mengakhiri coretan di atas meja ini. Alay memang, tapi apa mau dikata memang begitu keadaannya anak SMA yang masih labil dan mencari jati diri. Pelajaran Antropology ini tampak begitu membosankan dan akhirnya aku melanjutkan mencoret-coret meja kembali.
Hatiku gundah, ada apa gerangan hingga Hanum memintaku berbicara empat mata. Sepertinya bukan hal yang mudah dicerna. Tiba-tiba ketakutan meresap ke dalam hatiku. Akankah aku kehilangannya lagi? Tidak. Tidak sekalipun aku menginginkan kehilangan orang yang kusayangi lagi. Meski aku tahu diriku ini tak cukup dewasa untuk menjaganya. Namun jauh di lubuk hati ini tersimpan sejuta harapan untuk tumbuh besar bersamanya. Lamunanku semakin jauh tenggelam.
Bel istirahat berdentang, aku menarik nafas panjang. Duhai Tuhan, apakah yang akan kuhadapi kali ini. Aku berjalan gontai keluar menuju ke kelas Hanum. Sesampainya disana kepalaku bergerak ke kanan dan kiri seperti orang-orangan sawah mencari sesosok gadis yang aku sayangi, halah. Tiba-tiba sesuatu menggamit lenganku menariknya menjauhi keramaian. I can feel it, the one. It’s her, Hanum.
Dia menarikku menjauhi keramaian. Kami berdiri di dekat tangga kelas, di sebelah taman. Wajahnya tampak berbeda, seperti ada sesuatu yang dikhawatirkan.
Quote:
Aku membuka lipatan-lipatan kertas itu dengan hati-hati dan mulai membaca. Tanganku bergetar hebat, hatiku seperti tersambar petir di siang hari. Selesai membacanya aku merasa pagi ini terasa lebih panas daripada seharusnya. Bagai tubuhku ini terpanggang dalam api menyala-nyala. Seperti sekam yang tersulut oleh bara. Tubuhku terasa panas. Mukaku terasa merah. Kertas itu berisi surat yang tak akan pernah bisa kusangka akan kutemui dalam kehidupanku bersama Hanum. Tidak dalam sepermili persen kemungkinan yang kuperhitungkan sekalipun.
Surat itu, sebuah surat cinta.
0
