- Beranda
- Stories from the Heart
2 CINTA DI NUSA BUNGA
...
TS
andihunt
2 CINTA DI NUSA BUNGA
2 CINTA DI NUSA BUNGA
Sepenggal Kisah Tentang Kacamata Berbingkai Hitam & Kerudung Putih yang Anggun












PROLOG
Dulu....
Sebelum aku meneruskan kuliah di salah satu Universitas di Surabaya, aku mengambil kursus Bahasa Inggris di Kota Kediri untuk bekal kuliahku nanti. Namun pada kenyataanya aku terpaksa harus mengubur mimpi untuk kuliah di jawa dan pergi sekian mil jauhnya meninggalkan kampung halaman, sahabat bahkan Ibuku sendiri untuk memenuhi keinginanku melanjutkan kuliah.
Saat itu aku sadar kondisi ekonomi keluarga kami di kampung tidak cukup untuk memenuhi ambisiku meneruskan kuliah di kota besar seperti Surabaya. Jadi, aku akhirnya menerima tawaran kakakku untuk meneruskan kuliah di pulau antah berantah. Sebuah pulau yang tak pernah terbayangkan bahwa aku akan terdampar disana.
Dan sekarang aku akan bercerita tentang kisah perjalananku di pulau seberang, salah satu pulau di Nusa Tenggara yang dikenal sebagai Pulau Bunga, sebagian ada juga yang menyebutnya sebagai Nuca Nepa (Pulau Ular).
Dari sana awal petualanganku dimulai, ketika akhirnya aku harus menerima kenyataan bahwa aku telah terdampar terlalu jauh dan bertarung dengan kegelisahan yang muncul di setiap saat, kegelisahan tentang nasib kuliahku disana dan juga ketergantungan hidup pada orang lain.
Namun dari kegelisahan ini akhirnya mengajari aku satu hal bahwa dalam perantauan aku harus berani mengambil resiko keluar dari gejolak hati yang sengaja aku ciptakan sendiri dan mencari jati diriku sebenarnya.
Kehidupan memang seperti semangkuk buah ceri, selalu ada rasa asem dan manis. Seperti kisah perjalananku ini yang telah membawaku bertemu dengan dua sosok wanita yang selalu memberi kedamaian dan mengajari aku tentang arti dari sebuah cinta dan persahabatan. Meskipun pada akhirnya, kita tak pernah bertemu lagi dan pulau itu hanya sebagai pulau transit saja. Kita mempunyai tujuan akhir yang berbeda, namun rasa cinta itu selalu ada di masing-masing potongan hati kita, dan selalu ada....selamanya.
And... the story goes.....
"..................."
Surabaya, 22 Maret 2014
Di hari yang kuimpikan, langit biru yang menawan seakan ku terbang melayang.
Kusambut cerahnya mentari, kutinggalkan semua mimpi seakan ku masih berlari.
Malam yang terus membisu, kota yang tampak membeku seakan kau ada didekatku.
Ah, sudah tak terhitung berapa kali aku menyanyikan lagu ini di teras rumah ketika rintik hujan dan malam yang sepi menggoda pikiran untuk membayangkan sosok yang pernah ada mengisi lembaran hati kala itu. Sosok wanita yang memiliki hati seputih salju dan senyum indah seperti bunga sakura yang berguguran di musim semi.
Surabaya terlihat sepi, sunyi dan semua yang terlihat hanya gelap malam dan kerlipan lampu yang nampak samar. Suara rintikan hujan menari nari di genting teras berlari beriringan dengan petikan gitarku yang semakin terdengar lirih. Sebuah malam yang menuntunku kembali ke suatu kisah yang menyisakan senyum kecil direlung hati ketika aku mengingatnya.
Entah kenapa aku menciptakan lagu itu beberapa tahun silam. Sebuah lagu yang kutulis melawan hati nurani untuk memilikinya dengan utuh. Ya, sebuah lagu yang menceritakan tentang seseorang yang mengagumi keindahan bunga mawar tanpa bisa memilikinya.
Di malam yang sunyi ini, sebuah gitar kembali memaksa aku bercerita tentang kisah cinta seorang pemuda di pulau seberang, tentang kacamata berbingkai hitam dan kerudung putih yang anggun.
Di suatu pulau di bagian tenggara Indonesia yang dikenal sebagai Pulau Ular awal cerita ini dimulai. Yah, Pulau Ular yang telah melilit aku dalam cintanya dan membius aku dengan bisanya yang melumpuhkan sendi-sendi tulangku hingga kini. Pulau itu.... adalah Nusa Bunga yang memiliki kota Maumere dengan segala hiruk pikuknya.
Hujan semakin deras menyisakan dingin menyelimuti kalbu. Senar gitarku masih begetar dengan nada yang sumbang. Kesendirian ini bertemankan gitar dan secangkir kopi yang siap mengantarkan aku pada suatu memori yang tersimpan rapi di relung hati terdalam. Dan, asap tipis dari secangkir kopi ini mulai memudar dan bercerita tentang kisah masa lalu. Tentang sebuah Kota yang mempertemukan aku dan mereka, dan dengan segala harapan yang pupus disana.
.........................
--Di suatu tempat di seberang samudera, ada sebuah pulau nan indah, pulau yang dikenal sebagai pulau bunga. Sebuah pulau di Nusa Tenggara yang menjadi dermaga cinta ini berlabuh pada dua hati. Namun, hanya ada satu cinta yang mengajari aku tentang arti dari sebuah perpisahan.--
Soundtrack
INDEX
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh andihunt 05-09-2014 18:50
nona212 dan anasabila memberi reputasi
3
28.3K
210
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
andihunt
#120
Sebuah Awal. Part 17
“………….”
“Ndi…. Kamu berdiri disebelahku. Ikuti gerakanku” ucap evan sambil menghentakkan kedua kakinya.
“Jadi kamu mengajakku kesini hanya untuk nari?” tanyaku dengan nada sinis.
“Kami disini menyebutnya tari Jai.”
“Tari Jai?”
“Tarian masal. Tarian ini adalah simbol kebersamaan dan kegembiraan orang timur, tidak ada pembeda suku diantara kami saat menari Jai bersama sama. Dan sekarang ketika kita berkumpul disini dari berbagai suku, kita harus melakukan tarian ini!” jelasnya lantang memecah suara dentuman irama musik betempo cepat yang datang dari speaker di halaman kelas kami.
“Harus?” potongku cepat
“Tidak harus, tapi seharusnya!”
“Apa bedanya?”
“Kedua hal itu berbeda! Sudah jangan banyak bicara, ikuti aja gerakan kita” ajak evan lagi sambil memperlihatkan gerakannya.
“Aku ga biasa nari, van!”
“Lihat ndi, mereka disana dari Larantuka, Bajawa, Kupang, Maumere, Ruteng, Labuan Bajo dan kamu…” teriak evan sembari menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
“Aku jawa!” jawabku singkat
“Dan kamu oon!”
“Aku nggak oon!” protesku
“Kalau ga oon ikuti aja gerakan kami!”
“Eh… iya”
Sore ini aku berdiri diantara barisan mahasiswa baru di fakultas kami yang sedang bersiap siap menari Jai. Ya menari! Aku ga tau apa memang ini sudah menjadi adat istiadat yang wajib atau hanya formalitas pada saat ospek saja. Tapi melihat keseriusan mereka yang menganggap tari Jai sebagai filosofi pemersatu antar suku di pulau Flores membuatku terenyuh untuk ikut berpartisipasi dalam barisan tarian ini.
Suara dentuman gendang semakin terdengar mengalun memecah kebersamaan kami. Mereka tertawa dan bercakap dengan bahasa daerah mereka yang membuatku geleng geleng kepala sendiri.
“Rasanya seperti tawanan” gumamku dalam hati
“Ayo ndi ayunkan kakimu!” ajak evan lagi, namun aku terlihat canggung dan kaku. Aku hanya diam sambil sesekali melempar senyum kecil pada setiap maba yang melihat diriku berbeda dengan mereka.
Tari jai yang dikatakan evan sebagai bentuk simbol kebersamaan dan kegembiraan benar-benar membuat mereka larut dalam irama dentuman musiknya. Melihat mereka asyik dengan tariannya membuatku sadar diri bahwa aku bukan dari bagian mereka, tak seharusnya aku disini. Aku kemudian mundur selangkah dan meninggalkan barisan itu. Ternyata evan yang sedang asyik dengan tariannya sampai tak menyadari kalau aku sudah tak berada disampingnya. Kini aku beridiri menyandarkan tubuhku ditembok kelas dan melihat mereka sedang menari meluapkan kegembiraannya.
“Heh…. Ndi, kamu orang jawa, terasing disini. Tak seharusnya gabung disitu” gumamku lirih dalam hati.
Aku memejamkan mata sesaat dan menikmati hembusan angin yang membawa butiran debu halus dari hentakan kaki mereka. Tiba-tiba aku teringat meissa, orang lombok itu.
“Bukankah kata evan selain orang timur juga bisa menikmati tarian ini?”
Ku buka mata dan berlari ke perpustakaan mencari meissa disana. Sore ini semua fakultas melakukan kegiatan ospeknya sendiri sendiri, ada yang menari dan ada juga yang saling diskusi di taman kampus. Jalan menuju perpustakaan yang semula tidak terlalu rame kini mendadak penuh sesak dengan maba baru yang saling sliweran. Aku berlari menembus kumpulan maba yang tercium bau khas keringat mereka karena aktivitas sepanjang ospek ini. Tak sampai lama aku berdiri di samping jendela perpustakaan dan melihat meissa disana masih membaca buku kesehatan tebal itu.
“Meissa” panggilku sembari mengetuk kaca jendelanya
Meissa masih serius membaca buku itu tanpa menoleh kearahku, mungkin dia ga mendengar ucapanku dari balik kaca jendela ini. Aku lalu berjalan memasuki perpustakaan ini dan duduk didepannya.
“Hello cantik” panggilku lagi
Meissa mengangkat dahinya dan menatap heran kearahku.
“Andi…. Beneran kamu andi? Jangan-jangan setan?”
“Aku andi!”
“Eh… sejak kapan duduk didepanku? Bukannya kamu ikut temanmu itu?”
“Aku balik lagi, barusan”
“Oh, kenapa? Kangen?”
“……..”
“Kok diem?”
“Kok bisa kepikiran aku kangen kamu sih?”
“Ya kalo barusan ninggalin dan balik lagi, bukannya itu kangen?”
“Kenapa aku kangen kamu?”
“Ya nggak tau. Mungkin aku ngangenin, hihi”
“Eh… ikut aku yuk, seru!”
“Kemana?”
Tanpa menjawab pertanyaannya aku lantas menarik tangan meissa dan megajaknya berjalan setengah berlari menuju barisan evan di depan kelas ku.
“Ndi, kemana?”
“Seru deh, Meissa!”
“Ndi, jangan lari!”
“Kalo gak lari keburu habis acaranya” potongku mengajaknya terus mempercepat langkah.
“…………..”
Susah payah berlarian dengan meissa membelah kumpulan orang-orang yang menutupi jalan kita, akhirnya kita sampai di barisan evan. Melihat evan yang masih asyik dengan tariannya aku lantas menjitak kepalanya.
“Plak!”
“Evan!” panggilku keras kearahnya
“Andi!!! Kenapa kau bawa lagi tuh cewek kesini” ujar evan kesal
“Bukannya katamu tari Jai adalah tari kebersamaan?”
“Iya”
“Aku mau mengajaknya nari ikut kalian!”
“What?”
“Lihat mereka van, maumere, kupang, ruteng, labuan bajo, larantuka dan aku orang Jawa dan dia van…”
“Penjajah dia!” jawab evan tiba-tiba menghentikan tariannya
“Maksudmu?”
“Lihat dia tidak seperti kita, dia terlihat bule!”
“Bukannya aku juga terlihat bule?” jawabku tegas sambil menunjuk kulit putihku dan membandingkannya dengan kulitnya.
“Rasis kamu, ndi.”
“Kamu ga adil, van”
“Kamu lihat, hidungmu pesek, sudah mirip kami hanya kamu beruntung di kulit saja”
“Ah… aku kira kamu ga sekolot itu van!”
“…………” evan diam lalu mengamati sosok meissa yang berdiri menunduk disampingku.
“Cewek pendiam begini apa yang kamu harapkan darinya ndi?” bisik evan ditelingaku
“Aku ga mengharapkan apa-apa van selain ingin membuatnya ga sedih seperti kemarin. Kamu tau sendiri kan, ga kasian kamu sama dia?”
“Hm… terserah kamu ndi.”
“Jadi?”
“Lanjut narinya!!!” sambungnya seraya menghentakkan kakinya lagi mengikuti alunan musik daerah yang semakin keras.
Aku menari sejadi jadinya, ga karuan dan ga sejalan dengan tempo mereka. Tapi aku ga perduli aku hanya ingin melihat meissa terhibur dan melupakan kesedihannya meski sekarang dia hanya diam dan nampak malu melihat tingkahku menari ga karuan.
“Ndi… apa-apaan sih ini?” tanya meissa melihat kami menari dengan beat musik yang membuatnya risih.
“Tenang meissa, dulu pertama kali kesini aku juga terganggu dengan musik seperti ini. Tapi lama lama pasti asyik kok”
“Tapi aku ga biasa berkumpul rame-rame seperti ini. Mana berisik lagi?”
“……” Aku kemudian memegang kedua tangannya dan mengajaknya menari.
“Meissa kamu tau? Kemarin saat aku terbaring tak berdaya di kasur lusuh menahan rasa ngilu di kepalaku, aku selalu berkhayal berdansa denganmu seperti ini”
“Seperti ini?”
“Entahlah, aku ga tau”
“Ndi… antar aku balik lagi” ujar meissa menepis tanganku.
“Kenapa?”
“Kalau ga mau aku jalan sendiri!” lanjutnya lantas berjalan ngeloyong sendirian meninggalkanku.
Evan mendengar perbincangan kecil kami lalu berbisik lirih.
“Ndi…. Jika kamu sayang dia, buat dia nyaman. Itu saja! Antar dia!” ucapnya menyemangatiku.
Aku kemudian bergegas berlari menyusul meissa yang nampak berjalan terhuyung huyung menyusuri koridor kampus ini kesenggol kumpulan maba yang berdesakan.
“Meissa” Panggilku menghentikan langkahnya
“………….” Meissa masih berjalan dan enggan menoleh kearahku. Aku mempercepat langah dan menarik lengannya
“Kenapa meissa?”
Meissa menoleh dan menatapku dengan pandangan sayu seperti pertama saat aku melihatnya dibentak polisi, kakaknya sendiri.
“Kamu dengar dia bilang apa? Bule!” jawab dia serak seperti menahan tangis.
“Dia hanya bercanda meissa, kamu tau sendiri kan orang sini suka bercanda?”
“Nggak, kamu tau bukan sekali ini saja. Bahkan pertama kali aku kesini kata “bule” itu hampir membunuhku!” ujarnya semakin serak dan kini dia ga bisa lagi menahan tangisnya. Air matanya berlinang membasahi pipinya.
“……………” aku hanya diam. Aku merasa bersalah atas diriku sendiri yang mengajaknya berkumpul ke barisan kelasku. Aku ga mengira kata kata evan membuatnya menangis seperti ini.
Meissa lantas bersandar di dinding kelas dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kamu tau ndi, aku hidup sendiri di asrama kepolisian. Ketika kakakku dinas aku sendiri. Dulu aku keluar rumah sekedar jalan-jalan dan….. sudahlah, ndi” jelas meissa menahan tangisannya.
“Aku tau, aku tau Meissa. Gadis secantik kamu pasti banyak yang…..”
“Yang menginginkan tubuhku saja!” potong meissa lalu mendorong tubuhku sampai terpental dan tersungkur di lantai.
“Termasuk kamu kan?” lanjutnya dengan nada suara semakin serak tak terdengar.
“Meissa, aku gak bermaksud mengungkit masa lalumu”
“Tapi…. Gelagatmu! Di asrama itu aku hampir ga bisa menjaga diriku! Aku memutuskan pakai baju seperti ini dan kamu masih mendekatiku!”
“………….” Aku terdiam sejenak dan bengkit mendekati meissa yang masih menutup mulutnya dengan kerudung putihnya.
“Meissa, aku tau mungkin kamu memiliki cerita menyedihkan selama setahun di asrama itu. Aku tau aku salah mendekatimu dengan cara seperti ini. Seharusnya aku hanya diam dan mengawasimu dari kejauhan. Aku salah. Tapi aku…. Aku hanya ingin berteman denganmu. Kamu tau, saat aku melihatmu menangis di pinggir gerbang kampus sore itu, saat aku melihat kedua matamu berlinang air mata seolah aku melihat bayanganku sendiri memantul disana. Aku ingat diriku, aku ga pernah menginginkan tinggal di pulau ini. Tapi takdir berbicara lain, takdir mempertemukan kita disini, sebagai seorang sahabat”
“Ga lebih?” tanya meissa semakin dalam memandang wajahku.
“Ga akan, kamu bisa bunuh aku kapan saja jika aku meminta lebih dari ini”
“………..” Meissa kembali menunduk dan air matanya kembali berjatuhan membasahi kedua sepatunya.
“Ndi…. Aku ga pernah ingin tinggal disini. Tapi aku harus kuliah dan mengejar cita-citaku”
“Kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu, Meissa. Sudah jangan menangis, aku akan selalu menjadi sahabat yang baik untukkmu. Tak akan kubiarkan seorangpun menggangu kamu lagi”
“Bahkan teman kamu sendiri?”
“………..”
“Ndi? Bahkan temanmu sendiri?” ulangnya
“Iya, bahkan temanku sendiri!” ucapku mantap meyakinkan dia.
Meissa tersenyum disela sela tangisnya dan menoleh kebelakang sesaat menembus jendela pipih yang sedikit kotor.
“Papan hitam itu?” tanyaku melihat kedua matanya tak berkedip sedetikpun memperhatikan papan hitam didalam kelasnya.
“Aku selalu ingin keluar dari ini semua, ndi”
“……..” aku tersenyum memandang wajahnya.
“Meissa, dulu saat kamu pulang dengan polisi itu setelah mengikuti test, aku tetap duduk di dalam kelas ini dan duduk di kursimu, aku mengamati papan hitam itu polos seperti saat kamu memperhatikannya. Dan aku bertanya pada diriku sendiri hal yang sama “Aku ingin keluar dari semua ini juga”.
“Ndi….”
“Iya, meissa”
“Sore ini kakak gak bisa menjemputku dan aku harus berjalan sampai ke asrama. Kamu bisa antar aku?”
“…….”
“Kenapa diam, ndi”
“Aku ga punya kendaraan”
“Maksudku aku naik angkot dari rumah” lanjutku terpatah patah, malu.
“Bukan itu, aku ga perduli”
“Lantas?”
“Temeni aku berjalan sampai ke gerbang asrama, aku takut jalan sendirian sampai larut malam. Aku takut sama polisi-polisi yang selalu menggodaku di asrama”
“Bahkan sampai kamu merubah cara berpakaian seperti ini?”
“Sekarang mereka malah ngata-ngatain aku “bu haji”, ndi”
“Ahaha….”
“Kok malah tertawa, ndi?”
“Nggak, aku lihatnya malah mirip bu dokter, semakin terlihat berwibawa.”
“Hm…. Terserahlah. Tapi janji kan, nemenin aku pulang”
“Janji” ucapku singkat dan bersandar di dinding kelas di sampingnya, melihat keramaian evan dan kawan-kawan menari Jai di depan kelasku.
“Ndi…. Kenapa kita memiliki kesamaan?” tanya meissa tiba-tiba
“Kesamaan apa?”
“Kamu bilang ga ingin tinggal disini dan terpaksa kuliah disini”
“Iya”
“Aku juga” tandasnya.
“Tapi aku sudah mulai menikmati perjalananku disini, dan itu bedanya aku dengan dirimu, meissa”
“Bagaimana caranya menikmati ini semua?”
“…………” tiba-tiba hening sejenak dan aku menoleh kesamping, memandangi wajah meissa yang terlihat manis dengan kerudung putihnya.
“Tanyakan pada hati kecilmu meissa, apa impianmu kedepan dan raihlah anak tangga itu sekarang. Karena dari sekaranglah kamu menyusun anak tangga itu sampai kamu benar-benar bisa meraih puncaknya”
“……..” Meissa terdiam dan memejamkan matanya sesaat.
“Ndi,…. Aku akan mencoba menyusun anak tangga itu dan meraih puncaknya segera”
“Iya, Meissa” jawabku singkat lantas aku termenung sesaat.
“Meissa, aku akan membantumu bangkit dari kegelisahanmu meski dalam hati ini aku selalu ingin memilikimu, bersandar denganmu seperti ini sampai tua nanti. Tapi jika keluar dari kegelapan ini adalah yang terpenting bagimu, maka aku rela menjadi lilin yang menerangi jalanmu meski aku sadar sebuah lilin akan meleleh habis dan mati suatu saat.” Gumamku dalam hati sembari memperhatikan lekukan wajah meissa dari samping.
Melihat kedua matanya terpejam dengan senyum manisnya sungguh mendamaikan hatiku disaat itu, saat aku sadar ada seorang bidadari cantik yang terjebak dalam kegelapannya, saat tak ada sesuatu yang lebih membahagiakan selain menjaga dia tetap tersenyum manis seperti ini.
“And she’s buying a stairway to heaven”
“………….”
“Ndi…. Kamu berdiri disebelahku. Ikuti gerakanku” ucap evan sambil menghentakkan kedua kakinya.
“Jadi kamu mengajakku kesini hanya untuk nari?” tanyaku dengan nada sinis.
“Kami disini menyebutnya tari Jai.”
“Tari Jai?”
“Tarian masal. Tarian ini adalah simbol kebersamaan dan kegembiraan orang timur, tidak ada pembeda suku diantara kami saat menari Jai bersama sama. Dan sekarang ketika kita berkumpul disini dari berbagai suku, kita harus melakukan tarian ini!” jelasnya lantang memecah suara dentuman irama musik betempo cepat yang datang dari speaker di halaman kelas kami.
“Harus?” potongku cepat
“Tidak harus, tapi seharusnya!”
“Apa bedanya?”
“Kedua hal itu berbeda! Sudah jangan banyak bicara, ikuti aja gerakan kita” ajak evan lagi sambil memperlihatkan gerakannya.
“Aku ga biasa nari, van!”
“Lihat ndi, mereka disana dari Larantuka, Bajawa, Kupang, Maumere, Ruteng, Labuan Bajo dan kamu…” teriak evan sembari menunjuk wajahku dengan telunjuknya.
“Aku jawa!” jawabku singkat
“Dan kamu oon!”
“Aku nggak oon!” protesku
“Kalau ga oon ikuti aja gerakan kami!”
“Eh… iya”
Sore ini aku berdiri diantara barisan mahasiswa baru di fakultas kami yang sedang bersiap siap menari Jai. Ya menari! Aku ga tau apa memang ini sudah menjadi adat istiadat yang wajib atau hanya formalitas pada saat ospek saja. Tapi melihat keseriusan mereka yang menganggap tari Jai sebagai filosofi pemersatu antar suku di pulau Flores membuatku terenyuh untuk ikut berpartisipasi dalam barisan tarian ini.
Suara dentuman gendang semakin terdengar mengalun memecah kebersamaan kami. Mereka tertawa dan bercakap dengan bahasa daerah mereka yang membuatku geleng geleng kepala sendiri.
“Rasanya seperti tawanan” gumamku dalam hati
“Ayo ndi ayunkan kakimu!” ajak evan lagi, namun aku terlihat canggung dan kaku. Aku hanya diam sambil sesekali melempar senyum kecil pada setiap maba yang melihat diriku berbeda dengan mereka.
Tari jai yang dikatakan evan sebagai bentuk simbol kebersamaan dan kegembiraan benar-benar membuat mereka larut dalam irama dentuman musiknya. Melihat mereka asyik dengan tariannya membuatku sadar diri bahwa aku bukan dari bagian mereka, tak seharusnya aku disini. Aku kemudian mundur selangkah dan meninggalkan barisan itu. Ternyata evan yang sedang asyik dengan tariannya sampai tak menyadari kalau aku sudah tak berada disampingnya. Kini aku beridiri menyandarkan tubuhku ditembok kelas dan melihat mereka sedang menari meluapkan kegembiraannya.
“Heh…. Ndi, kamu orang jawa, terasing disini. Tak seharusnya gabung disitu” gumamku lirih dalam hati.
Aku memejamkan mata sesaat dan menikmati hembusan angin yang membawa butiran debu halus dari hentakan kaki mereka. Tiba-tiba aku teringat meissa, orang lombok itu.
“Bukankah kata evan selain orang timur juga bisa menikmati tarian ini?”
Ku buka mata dan berlari ke perpustakaan mencari meissa disana. Sore ini semua fakultas melakukan kegiatan ospeknya sendiri sendiri, ada yang menari dan ada juga yang saling diskusi di taman kampus. Jalan menuju perpustakaan yang semula tidak terlalu rame kini mendadak penuh sesak dengan maba baru yang saling sliweran. Aku berlari menembus kumpulan maba yang tercium bau khas keringat mereka karena aktivitas sepanjang ospek ini. Tak sampai lama aku berdiri di samping jendela perpustakaan dan melihat meissa disana masih membaca buku kesehatan tebal itu.
“Meissa” panggilku sembari mengetuk kaca jendelanya
Meissa masih serius membaca buku itu tanpa menoleh kearahku, mungkin dia ga mendengar ucapanku dari balik kaca jendela ini. Aku lalu berjalan memasuki perpustakaan ini dan duduk didepannya.
“Hello cantik” panggilku lagi
Meissa mengangkat dahinya dan menatap heran kearahku.
“Andi…. Beneran kamu andi? Jangan-jangan setan?”
“Aku andi!”
“Eh… sejak kapan duduk didepanku? Bukannya kamu ikut temanmu itu?”
“Aku balik lagi, barusan”
“Oh, kenapa? Kangen?”
“……..”
“Kok diem?”
“Kok bisa kepikiran aku kangen kamu sih?”
“Ya kalo barusan ninggalin dan balik lagi, bukannya itu kangen?”
“Kenapa aku kangen kamu?”
“Ya nggak tau. Mungkin aku ngangenin, hihi”
“Eh… ikut aku yuk, seru!”
“Kemana?”
Tanpa menjawab pertanyaannya aku lantas menarik tangan meissa dan megajaknya berjalan setengah berlari menuju barisan evan di depan kelas ku.
“Ndi, kemana?”
“Seru deh, Meissa!”
“Ndi, jangan lari!”
“Kalo gak lari keburu habis acaranya” potongku mengajaknya terus mempercepat langkah.
“…………..”
Susah payah berlarian dengan meissa membelah kumpulan orang-orang yang menutupi jalan kita, akhirnya kita sampai di barisan evan. Melihat evan yang masih asyik dengan tariannya aku lantas menjitak kepalanya.
“Plak!”
“Evan!” panggilku keras kearahnya
“Andi!!! Kenapa kau bawa lagi tuh cewek kesini” ujar evan kesal
“Bukannya katamu tari Jai adalah tari kebersamaan?”
“Iya”
“Aku mau mengajaknya nari ikut kalian!”
“What?”
“Lihat mereka van, maumere, kupang, ruteng, labuan bajo, larantuka dan aku orang Jawa dan dia van…”
“Penjajah dia!” jawab evan tiba-tiba menghentikan tariannya
“Maksudmu?”
“Lihat dia tidak seperti kita, dia terlihat bule!”
“Bukannya aku juga terlihat bule?” jawabku tegas sambil menunjuk kulit putihku dan membandingkannya dengan kulitnya.
“Rasis kamu, ndi.”
“Kamu ga adil, van”
“Kamu lihat, hidungmu pesek, sudah mirip kami hanya kamu beruntung di kulit saja”
“Ah… aku kira kamu ga sekolot itu van!”
“…………” evan diam lalu mengamati sosok meissa yang berdiri menunduk disampingku.
“Cewek pendiam begini apa yang kamu harapkan darinya ndi?” bisik evan ditelingaku
“Aku ga mengharapkan apa-apa van selain ingin membuatnya ga sedih seperti kemarin. Kamu tau sendiri kan, ga kasian kamu sama dia?”
“Hm… terserah kamu ndi.”
“Jadi?”
“Lanjut narinya!!!” sambungnya seraya menghentakkan kakinya lagi mengikuti alunan musik daerah yang semakin keras.
Aku menari sejadi jadinya, ga karuan dan ga sejalan dengan tempo mereka. Tapi aku ga perduli aku hanya ingin melihat meissa terhibur dan melupakan kesedihannya meski sekarang dia hanya diam dan nampak malu melihat tingkahku menari ga karuan.
“Ndi… apa-apaan sih ini?” tanya meissa melihat kami menari dengan beat musik yang membuatnya risih.
“Tenang meissa, dulu pertama kali kesini aku juga terganggu dengan musik seperti ini. Tapi lama lama pasti asyik kok”
“Tapi aku ga biasa berkumpul rame-rame seperti ini. Mana berisik lagi?”
“……” Aku kemudian memegang kedua tangannya dan mengajaknya menari.
“Meissa kamu tau? Kemarin saat aku terbaring tak berdaya di kasur lusuh menahan rasa ngilu di kepalaku, aku selalu berkhayal berdansa denganmu seperti ini”
“Seperti ini?”
“Entahlah, aku ga tau”
“Ndi… antar aku balik lagi” ujar meissa menepis tanganku.
“Kenapa?”
“Kalau ga mau aku jalan sendiri!” lanjutnya lantas berjalan ngeloyong sendirian meninggalkanku.
Evan mendengar perbincangan kecil kami lalu berbisik lirih.
“Ndi…. Jika kamu sayang dia, buat dia nyaman. Itu saja! Antar dia!” ucapnya menyemangatiku.
Aku kemudian bergegas berlari menyusul meissa yang nampak berjalan terhuyung huyung menyusuri koridor kampus ini kesenggol kumpulan maba yang berdesakan.
“Meissa” Panggilku menghentikan langkahnya
“………….” Meissa masih berjalan dan enggan menoleh kearahku. Aku mempercepat langah dan menarik lengannya
“Kenapa meissa?”
Meissa menoleh dan menatapku dengan pandangan sayu seperti pertama saat aku melihatnya dibentak polisi, kakaknya sendiri.
“Kamu dengar dia bilang apa? Bule!” jawab dia serak seperti menahan tangis.
“Dia hanya bercanda meissa, kamu tau sendiri kan orang sini suka bercanda?”
“Nggak, kamu tau bukan sekali ini saja. Bahkan pertama kali aku kesini kata “bule” itu hampir membunuhku!” ujarnya semakin serak dan kini dia ga bisa lagi menahan tangisnya. Air matanya berlinang membasahi pipinya.
“……………” aku hanya diam. Aku merasa bersalah atas diriku sendiri yang mengajaknya berkumpul ke barisan kelasku. Aku ga mengira kata kata evan membuatnya menangis seperti ini.
Meissa lantas bersandar di dinding kelas dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kamu tau ndi, aku hidup sendiri di asrama kepolisian. Ketika kakakku dinas aku sendiri. Dulu aku keluar rumah sekedar jalan-jalan dan….. sudahlah, ndi” jelas meissa menahan tangisannya.
“Aku tau, aku tau Meissa. Gadis secantik kamu pasti banyak yang…..”
“Yang menginginkan tubuhku saja!” potong meissa lalu mendorong tubuhku sampai terpental dan tersungkur di lantai.
“Termasuk kamu kan?” lanjutnya dengan nada suara semakin serak tak terdengar.
“Meissa, aku gak bermaksud mengungkit masa lalumu”
“Tapi…. Gelagatmu! Di asrama itu aku hampir ga bisa menjaga diriku! Aku memutuskan pakai baju seperti ini dan kamu masih mendekatiku!”
“………….” Aku terdiam sejenak dan bengkit mendekati meissa yang masih menutup mulutnya dengan kerudung putihnya.
“Meissa, aku tau mungkin kamu memiliki cerita menyedihkan selama setahun di asrama itu. Aku tau aku salah mendekatimu dengan cara seperti ini. Seharusnya aku hanya diam dan mengawasimu dari kejauhan. Aku salah. Tapi aku…. Aku hanya ingin berteman denganmu. Kamu tau, saat aku melihatmu menangis di pinggir gerbang kampus sore itu, saat aku melihat kedua matamu berlinang air mata seolah aku melihat bayanganku sendiri memantul disana. Aku ingat diriku, aku ga pernah menginginkan tinggal di pulau ini. Tapi takdir berbicara lain, takdir mempertemukan kita disini, sebagai seorang sahabat”
“Ga lebih?” tanya meissa semakin dalam memandang wajahku.
“Ga akan, kamu bisa bunuh aku kapan saja jika aku meminta lebih dari ini”
“………..” Meissa kembali menunduk dan air matanya kembali berjatuhan membasahi kedua sepatunya.
“Ndi…. Aku ga pernah ingin tinggal disini. Tapi aku harus kuliah dan mengejar cita-citaku”
“Kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu, Meissa. Sudah jangan menangis, aku akan selalu menjadi sahabat yang baik untukkmu. Tak akan kubiarkan seorangpun menggangu kamu lagi”
“Bahkan teman kamu sendiri?”
“………..”
“Ndi? Bahkan temanmu sendiri?” ulangnya
“Iya, bahkan temanku sendiri!” ucapku mantap meyakinkan dia.
Meissa tersenyum disela sela tangisnya dan menoleh kebelakang sesaat menembus jendela pipih yang sedikit kotor.
“Papan hitam itu?” tanyaku melihat kedua matanya tak berkedip sedetikpun memperhatikan papan hitam didalam kelasnya.
“Aku selalu ingin keluar dari ini semua, ndi”
“……..” aku tersenyum memandang wajahnya.
“Meissa, dulu saat kamu pulang dengan polisi itu setelah mengikuti test, aku tetap duduk di dalam kelas ini dan duduk di kursimu, aku mengamati papan hitam itu polos seperti saat kamu memperhatikannya. Dan aku bertanya pada diriku sendiri hal yang sama “Aku ingin keluar dari semua ini juga”.
“Ndi….”
“Iya, meissa”
“Sore ini kakak gak bisa menjemputku dan aku harus berjalan sampai ke asrama. Kamu bisa antar aku?”
“…….”
“Kenapa diam, ndi”
“Aku ga punya kendaraan”
“Maksudku aku naik angkot dari rumah” lanjutku terpatah patah, malu.
“Bukan itu, aku ga perduli”
“Lantas?”
“Temeni aku berjalan sampai ke gerbang asrama, aku takut jalan sendirian sampai larut malam. Aku takut sama polisi-polisi yang selalu menggodaku di asrama”
“Bahkan sampai kamu merubah cara berpakaian seperti ini?”
“Sekarang mereka malah ngata-ngatain aku “bu haji”, ndi”
“Ahaha….”
“Kok malah tertawa, ndi?”
“Nggak, aku lihatnya malah mirip bu dokter, semakin terlihat berwibawa.”
“Hm…. Terserahlah. Tapi janji kan, nemenin aku pulang”
“Janji” ucapku singkat dan bersandar di dinding kelas di sampingnya, melihat keramaian evan dan kawan-kawan menari Jai di depan kelasku.
“Ndi…. Kenapa kita memiliki kesamaan?” tanya meissa tiba-tiba
“Kesamaan apa?”
“Kamu bilang ga ingin tinggal disini dan terpaksa kuliah disini”
“Iya”
“Aku juga” tandasnya.
“Tapi aku sudah mulai menikmati perjalananku disini, dan itu bedanya aku dengan dirimu, meissa”
“Bagaimana caranya menikmati ini semua?”
“…………” tiba-tiba hening sejenak dan aku menoleh kesamping, memandangi wajah meissa yang terlihat manis dengan kerudung putihnya.
“Tanyakan pada hati kecilmu meissa, apa impianmu kedepan dan raihlah anak tangga itu sekarang. Karena dari sekaranglah kamu menyusun anak tangga itu sampai kamu benar-benar bisa meraih puncaknya”
“……..” Meissa terdiam dan memejamkan matanya sesaat.
“Ndi,…. Aku akan mencoba menyusun anak tangga itu dan meraih puncaknya segera”
“Iya, Meissa” jawabku singkat lantas aku termenung sesaat.
“Meissa, aku akan membantumu bangkit dari kegelisahanmu meski dalam hati ini aku selalu ingin memilikimu, bersandar denganmu seperti ini sampai tua nanti. Tapi jika keluar dari kegelapan ini adalah yang terpenting bagimu, maka aku rela menjadi lilin yang menerangi jalanmu meski aku sadar sebuah lilin akan meleleh habis dan mati suatu saat.” Gumamku dalam hati sembari memperhatikan lekukan wajah meissa dari samping.
Melihat kedua matanya terpejam dengan senyum manisnya sungguh mendamaikan hatiku disaat itu, saat aku sadar ada seorang bidadari cantik yang terjebak dalam kegelapannya, saat tak ada sesuatu yang lebih membahagiakan selain menjaga dia tetap tersenyum manis seperti ini.
“And she’s buying a stairway to heaven”
“………….”
0