Quote:
“The fanaticism and fury of Surabaja, however, were never repeated, and even when open war began between the Dutch and The Republicans, there was no fighting in the Republican ranks to compare with Surabaja, either in courage or tenacity”
Quote:
British forces advancing in Surabaya
Surabaya 10 Nopember 1945: Rangkaian dari Berbagai Catatan Terlupakan
Terletak di kawasan jantung kota Surabaya, yakni seberang Gedung Grahadi, tepatnya di Taman Apsari terpahat sebuah prasasti bertuliskan:
“Berulang kali kami telah diberitahu bahwa lebih baik jatuh berkeping-keping daripada dijajah lagi. Dan sekarang dalam menghadapi ultimatum Inggris, kita akan berpegang teguh untuk menolak ultimatum”
Tulisan tersebut dipetik dari pidato sosok penting di Jawa Timur saat itu, Gubernur Suryo, pada tanggal 9 Nopember 1945. Pidato ini sangat penting, meski tidak setenar pidato-pidato dari Bung Tomo dalam peperangan besar 10 Nopember. Namun dari pidato inilah pernyataan resmi seorang pejabat sipil tertinggi di Jawa Timur meluncur sebagai jawaban atas ancaman dari fihak Sekutu pimpinan Inggris.
Hari itu, 9 Nopember 1945 boleh jadi hari yang melelahkan bagi petinggi sipil macam seorang Gubernur Suryo. Siang hari 9 Nopember rakyat Surabaya sudah dibuat geram dengan pamflet-pamflet dari Jendral Eric Mansergh berisi ultimatum terhadap penyerahan Surabaya kepada balatentara Inggris.
Para petinggi di Surabaya masih menunggu jawaban dari pimpinan Republik di Jakarta mengenai ultimatum Inggris. Rupanya pimpinan delegasi Indonesia, Mr Ahmad Soebardjo mengalami jalan buntu untuk menegosiasi kemarahan Inggris. Sekitar pukul 22.00 Jakarta memberi pernyataan: ”semua keputusan diserahkan kepada rakyat Surabaya”.
Pimpinan militer Surabaya sempat terhenyak saat menerima jawaban yang dianggap sangat mengambang. Tetapi waktu terus berjalan, tak ada waktu lagi untuk membahas keputusan dari Jakarta.
‘Maju tatu, mundur ajur, mandheg ambleg’…maju terluka, mundur hancur, berhenti, terperosok.
Jawaban pimpinan di Surabaya pun jelas, maju dan melawan. Tidak ada kata mundur atau takut dengan ancaman Inggris. Bertempur dengan militer asing sudah menjadi kegiatan rutin bagi milisi Surabaya sejak Proklamasi 17 Agustus diumumkan. Saat itu TKR/BKR Surabaya sudah diperkuat laskar dari berbagai suku dan golongan; Bali, Maluku, Tapanuli, Bugis, Madura, Tionghoa, Hizbullah, Barisan Polisi, PETA, maupun Tentara Pelajar. Lagipula, militer Indonesia di Surabaya sudah pernah merasakan bentrok dengan Brigade-49 yang menjadi inti kekuatan Inggris saat Jenderal Mallaby tewas di Jembatan Merah pada 30 Oktober 1945. Walaupun sebenarnya para petinggi di Surabaya tahu benar, kali ini Inggris Brigade 49 tidak lagi sendirian. Mereka sudah mendapat tenaga tambahan dari Tentara Divisi V India pimpinan Jendral Mansergh yang punya pengalaman tempur di berbagai medan Perang Dunia II. Semua pun tahu, Mansergh juga bukan prajurit kemarin sore yang hanya bisa membual seenaknya. Setidaknya, tentara gurun pimpinan Jenderal Rommel dari Jerman sudah pernah dihadapinya di medan Afrika.
Setelah melalui berbagai rapat singkat dengan pimpinan kesatuan-kesatuan di Surabaya, tercapailah berbagai kesepakatan. Sekitar pukul 23.00 Gubernur Suryo, dengan ditemani Dul Arnowo berhasil mencapai Gedung NIROM (Nederlandsch-Indische Radio-Omroepmaatschappi, cikal bakal RRI di Surabaya) di Jalan Embong Malang (sekarang jadi Hotel JW Marriot) dan mengumumkan pidato yang kutipannya terabadikan di Taman Apsari tersebut.
Inggris benar-benar membuktikan ancamannya. Pukul 06.00 tanggal 10 Nopember 1945, meriam-meriam tentara Inggris melontarkan mesiu panas nan jahat ke arah kota. Kurang lebih satu jam saja, Surabaya bagian utara sudah hampir rata dengan tanah. Pasar Turi, Pasar Besar, Kramat Gantung sampai Bubutan terbakar hebat. Sekitar pukul 07.00, Pasukan Inggris mulai merayap masuk kota. Minim sekali terdengar balasan dari pejuang-pejuang republiken.
Para pejuang menahan diri untuk membiarkan Inggris masuk jauh kedalam kota, sembari menunggu instruksi dari Jakarta. Pukul 09.00 pagi terkirim perintah dari Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin untuk melawan. Serta merta gelombang manusia maju serentak menghadang tentara Inggris. Ribuan pejuang, rakyat dan simpatisan dari berbagai suku dan golongan menyerang barikade lawan. Tentara Inggris belum pernah melihat gelombang manusia mengamuk kesetanan seperti ini.
"the Indonesian people in Surabaya did not care about the victims. If one fell, another one came forward. Bren firing continued to arrive in greater numbers, pushing on and on …..”
(Letkol AJF Doulton, Perwira di Brigade-49, Buku:The Fighting Cock)
“The Resistance of the Indonesian people in Surabaya became violent” (The Times, London, 13 Nopember 1945)
Taruhan semakin mahal saat sekitar pukul 10 .00 pagi, rombongan skuadron terbang dari The 3rd Tactical-Royal Air Force (RAF) yang terbang langsung dari pangkalan tentara Britania di Burma mulai mencapai Surabaya. Pilot-pilot RAF dalam skuadron tersebut merupakan gabungan pilot-pilot yang turut serta dalam menggempur Berlin di akhir Perang Dunia II. Kali ini misinya adalah Surabaya. “Surabaya tentunya tak akan sesulit Berlin’, mungkin begitu gumam hati kecil para pilot tempur RAF. Wajar saja, karena di Surabaya memang tidak didapati pangkalan artileri pertahanan udara selengkap milik Goehring di Berlin atau Muenchen.
Bom-bom RAF mulai dilepas untuk menghajar kota. Pesawat-pesawat RAF tidak sadar bahwa saat itu sekumpulan pemuda mantan anggota Heiho veteran dari Halmahera dan Morotai telah tergabung dengan barisan TKR/BKR. Peluru anti pesawat tinggalan KNIL dan Jepang berhamburan ke udara dari tangan-tangan mantan anggota barisan bantu militer Jepang tersebut. Hasilnya fatal bagi Inggris, 2 pesawat terkena tembakan, untuk kemudian jatuh dan terbakar. Satu pesawat rupanya mengangkut seorang perwira artileri bernama Jendral Rob Guy Loder Simmonds yang ikut terbang untuk melakukan survey areal. Jenderal Simmonds bernasib naas dan nyawanya tak tertolong. Inggris malu bukan kepalang, dalam waktu kurang dari 2 minggu mereka sudah kehilangan dua perwira tinggi, Mallaby dan Simmonds. Tentara Inggris menjadi semakin brutal karenanya. Mereka menembaki apapun yang ada, orang tua, wanita, anak-anak bahkan hewan piaraan menjadi sasaran amuk. Gedung – gedung maupun pasar-pasar ditembaki. Gudang BPM (sekarang PERTAMINA) Jagir Wonokromo terbakar dan meledak. Surabaya dalam lautan api.
“Surabaya seperti ‘Neraka’ di bagian timur Jawa”teriak tentara Inggris sebagaimana dikutip dari The New York Times, 15 Nopember 1945.
Korban berjatuhan dan kebanyakan warga sipil. Rumah sakit penuh sesak oleh korban tak terurus karena kurangnya tenaga medis. Tetapi rakyat pendukung Republik tetap dengan gigih melawan.
“Hundreds upon hundreds were killed. The streets ran with blood, women and children lay dead in the gutters. Kampongs were in flames, and the women and children fled in panic to the safety of the rice fields. But the Indonesians did not surrender”
(Ktut Tantri, Revolt in Paradise, London 1960)
“Fighting was particularly severe in the centre of the city where streets had to be occupied one by one, doorway by doorway. Bodies of men, horses and cats and dogs, lay in the gutter, broken glass, furniture, tangled telephone lines, cluttered the roads, and the noise of battle echoed among the empty office buildings”
(David Wehl, The Birth of Indonesia)
“When I saw with my own eyes the aftermath of the first onslaught, I was frozen with horror and hardly dared look an Indonesian in the face, for I was filled with shame that such act of aggressions could have been committed by the “superior and civilized” white race, that I belonged to………
…………Every garage in the city was packed with dead and wounded all mixed together. I saw women lying on the floor with their faces blown away, I saw children without heads, torsos without limbs. What I saw will haunt me forever, and it is a perpetual disgrace to those responsible that they have so violated the principles of Christianity.”
(Tulisan dari Ktut Tantri, atau dikenal dengan nama pena Surabaya Sue, seorang jurnalis kulit putih kelahiran Skotlandia berpaspor Amerika, tentang keadaan di Surabaya 1945)
Tentara Inggris masih kesulitan untuk meringkus habis perlawanan rakyat, meski hampir semua obyek di Surabaya sudah lumpuh total. Pejuang dan rakyat dari berbagai lapisan masih tetap melanjutkan perlawanan. Jalur suplai dari Batavia ke Surabaya berhasil beberapa kali disabotase TKR Jawa Tengah. Puluhan ribu tentara Inggris mulai mengalami depresi. Pasokan tenaga sukarela dari berbagai daerah mulai dari Bali, Malang, Blitar, Jombang, Rembang, Besuki, Madura, Kudus, Semarang, Yogyakarta, Bandung dan Cirebon, sampai dari sejauh Sumatra terus mengalir ke Surabaya. Kaum Ibu dan remaja putri bergerak tanpa lelah di malam hari melakukan evakuasi kepada para prajurit terluka. Meski Surabaya sudah hampir semuanya hancur, komando kaum Republiken masih utuh dengan berdirinya pusat administrasi baru di Mojokerto. Stasiun radio darurat milik RRI berpindah-pindah tempat, seraya terus menyuarakan pidato Bung Tomo dengan pekik ’Takbir’ dan ‘Merdeka’ memberikan semangat kepada para pejuang untuk tetap teguh dalam bertempur.
“The Indonesian resistance went through two phases, firstly fanatically self-sacrifice, with men armed only with daggers charging Sherman tanks, and later in a better organized and effective manner, following closely Japanese military manuals”
(David Wehl, Buku:The Birth of Indonesia)
Setelah bertempur selama tiga minggu, pasukan Republik terpaksa mundur dari Surabaya. Pertempuran berlanjut di luar kota. Tetapi tentara Inggris tidak melanjutkan pengejaran kepada pimpinan militer dan sipil Indonesia yang banyak bermarkas di sekitar Mojokerto dan Sidoarjo. Mungkin mereka terlalu kelelahan dan sudah bosan. Malahan, Pasukan Inggris sedikit demi sedikit meninggalkan Surabaya untuk menggabungkan diri dengan pasukan induk mereka di Jakarta dan Jawa Barat.
Perlawanan masih berlangsung secara sporadis sampai jauh setelah perang berakhir.
selengkapnya di
http://fkurniawansyah.blogspot.com/2...rangkaian.html
Pemuda-pemudi pemberani dalam pertempuran Surabaya
PERISTIWA 10 November 1945 harus dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Kepada merekalah, gelar pahlawan layak disematkan.
Tidak banyak yang mengingat siapa-siapa saja yang terlibat dalam pertempuran heroik itu. Namun, dalam catatannya 10 November, Sutomo salah satu tokoh pemuda saat itu sempat menuliskan beberapa nama pemuda, dan peran mereka yang sangat penting dalam peristiwa yang kemudian hari dikenang sebagai Hari Pahlawan itu.
Pemuda pertama yang sangat terkenal dalam peristiwa itu adalah Sutomo. Dia merupakan Pucuk Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Perannya yang terbesar adalah memimpin rakyat dalam menegakkan kedaulatan bangsa, dengan merebut semua kekuasaan dari tangan Jepang, dan mengusir Belanda dari Jawa Timur.
Pemuda selanjutnya adalah Soemarsono. Tokoh ini kemudian hari dituding memberontak terhadap republik, pada tahun 1948. Dia merupakan seorang komunis yang disebut-sebut memproklamirkan Negara Madiun, bersama Musso dan Amir Syarifuddin.
Perannya dalam pertempuran Surabaya yang terbesar adalah mengorganisir rakyat mengangkat senjata, melawan pasukan Belanda, Jepang, dan Inggris, dalam pertempuran Surabaya. Dalam peristiwa itu, dia menjabat sebagai Ketua Pemuda Republik Indonesia yang menghimpun organisasi-organisasi pemuda.
Pemuda lain yang layak dikenang adalah Abdul Wahab. Dia adalah wartawan foto Kantor Berita Antara yang pertama kali dipukul oleh pemuda Belanda, tidak lama setelah Indonesia merdeka.
Pemukulan Wahab, dipicu oleh aksinya dalam mengabadikan gambar pasukan penerjun payung di depan Hotel Yamato (Oranje Hotel) yang kini bernama Hotel Majapahit, berada di Jalan Tunjungan No.65, Surabaya, Jawa Timur.
Kemudian ada pemuda Asmanu mantan pengurus Gerindo, yang memberi komando penyerbuan Hotel Yamato dan merobek-robek bendera Belanda. Dia bersama pemuda Usman dan Hernowo, memiliki peran besar dalam menelanjangi politik kolonial dan membakar semangat rakyat di kampung-kampung.
Pemuda selanjutnya ada Sumarno. Dia merupakan pemuda pemberani yang secara terang-terangan melawan Jepang, karena tindakan-tindakannya yang sewenang-wenang terhadap pegawai onderneming.
Perannya yang terbesar adalah bersama pemuda lainnya, mengorganisir pegawai perkebunan dan pabrik bekas milik kaum penjajah. Dan melakukan bumi hangus di perkebunan dan pabrik itu.
Lalu, ada pemuda Abdullah. Pria pemberani ini adalah pemberontak di Kapal Zeven Provincien. Perannya yang terbesar bersama pemuda lainnya adalah, merebut pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur dari tangan Jepang. Terutama pangkalan Angkatan Laut di Surabaya.
Kemudian ada Sujarwo, bekas anggota Gerindo yang telah bertempur dan menandatangani penyerahan Jepang yang hendak mengacaukan keamaan di Pandaan. Perannya yang terpenting bersama pemuda lainnya adalah mengorganisir pedagang dalam memboikot makanan bagi pasukan NICA.
Dalam bidang komunikasi, pemuda yang dianggap sangat berjasa saat itu adalah Hasan Basri. Dia bersama kawan-kawannya berhasil mengangkut pemancar radio milik Angkatan Laut Nippon.
Dengan menggunakan alat sederhana miliknya dan sebagian milik Kantor Berita Antara, dia menyulap radio rusak tersebut menjadi pemancar Radio Pemberontakan pertama di Indonesia yang memiliki kekuatan berlipat ganda.
selengkapnya di
http://daerah.sindonews.com/read/803...puran-surabaya
Quote:
pejuang Indonesia dan Bofors aa gun
Peristiwa 10 November 1945 Surabaya
Sejarah dan Intrik di balik Peristiwa 10 November 1945
--------------
--------------
Mengalami kejadian penerjunan mata-mata Mastiff Carbolic (Belanda) yang mendompleng RAPWI, peristiwa pengibaran bendera Belanda di Oranje Hotel, percobaan perwira Belanda P.J.G, Huiyer merebut kekuasaan pasukan Jepang di Surabaya, yang semua cenderung usaha Belanda kembali menjajah Indonesia mendompleng pasukan Inggris, maka pendaratan pasukan Inggris pada 25 Oktober 1945 di pelabuhan Surabaya yang bermaksud untuk menjemput para tawanan baik orang asing yang ditawan Jepang maupun orang Jepang yang sudah tidak beerkuasa lagi di Indonesia, tidak disambut dengan baik oleh orang-orang Surabaya. Pasti didomplengi orang-orang Belanda.
Maka, pada tanggal 24 Oktober 1945, sebelum pasukan Inggris mendarat di Surabaya, Komandan TKR Jawa Timur, Drg. Mustopo mau mengadakan pidato radio di RRI Surabaya menolak kedatangan pasukan Inggris itu. Sebelum pidato di radio, sejak siang harinya (tanggal 24 Oktober) Drg Mustopo mengendarai mobil terbuka berkeliling kota berkoar-koar: “Nica! Nica! Jangan mendarat! Kamu tahu aturan! Kamu tahu aturan, Inggris! Kamu sekolah tinggi! Kamu tahu aturan, jangan mendarat!” Koar-koar tadi tidak hanya diteriakkan pada siang hari ketika berkeliling kota, melainkan juga isi pidato radionya pada malam harinya di RRI Surabaya. Pidato yang disebutkan penting tidak ditujukan kepada masyarakat Surabaya, melainkan langsung kepada pihak Sekutu (pasukan Inggris Brigade 49 dibawah Komando Brigadir AWS Mallaby).
Sejak waktu itu badan-badan perjuangan dan masyarakat Surabaya telah bersiap-siap akan menolak pendaratan pasukan Mallaby tadi. “Siaaap! Siaaap!” teriak Arek-arek Surabaya sepanjang hari. Kemudian hari, teriak-teriak Siaap! pemuda Surabaya itu menjadi periode sejarah, “Zaman Siap!”.
Melalui berbagai perundingan dengan pihak pemerintah Kota Surabaya, namun dengan memegang tegas semboyan “We don’t take any orders from anybody”, Kamis tanggal 25 Oktober pasukan Inggris Brigade 49 India berkekuatan 6.000 orang dibawah pimpinan Brigadir AWS Mallaby mendarat di Surabaya, dan terus merasuk berkelompok regu-regu bersenjata lengkap ke tempat-tempat strategis di gedung-gedung di tengah Kota Surabaya Misalnya di kompleks sekolah HBS (SMA Wijayakusuma), Gereja dan polisi Bubutan, Kantor Pos Besar, Kantor Listrik Gemblongan, Gedung Internatio (Internationale Crediet en Handelsvereniging ‘Rotterdam’ = kantor persatuan dagang ‘Rotterdam’, pada zaman Orde Lama ditempati Perusahaan Dagang Negara Aneka Niaga, letaknya menghadap taman ~ dijadikan terminal bus ~ sebelah barat Jembatan Merah), Gedung BPM (Pertamina jl. Veteran), Kantor Kereta Api depan stasiun Semut, RRI Simpang, Konsul Inggris di Kayun, Hotel Brantas, Kompleks Rumah Sakit Darmo.
selengkapnya di
http://noenkcahyana.blogspot.com/201...-surabaya.html
pihak yang berhadapan di pertempuran Surabaya,
sekutu:
4th Indian Field Regiment; 5th Indian Field Regiment; 24th Indian Mountain Regiment; 5th Mahratta Anti Tank Regiment. Selanjutnya ada 17th Dogra Machine Gun Battalion; 1/3rd Madras Regiment (HQ Battalion); 3/9th Jat Regiment (reconnaissance battalion) , 9th Indian Infantry Brigade; 2nd West Yorkshire Regiment; 3/2nd Punjab Regiment dan 1st Burma Regiment dibawa komando Brigjen HGL Brain. Berikutnya ada 123rd Indian Infantry Brigade; 2/Ist Punjab Regiment; I/17th Dogra Regiment serta 3/9th Gurkha Rifles dibawah komando Brigjen EJ Denholm Young. Pasukan berikutnya yang terlibat adalah 161st Indian Infantery Brigade; I/Ist Punjab Regiment; 4/7th Rajpur Regiment dan 3/4th Gurkha Rifles.
dan berbagai persenjataan berat, termasuk bantuan tembakan dari kapal perang, pesawat tempur serta tank berat.
http://triehartanto.blogspot.com/201...nderal-di.html
republik Indonesia:
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran tersebut.
https://groups.yahoo.com/neo/groups/...messages/67369
pada pertempuran Surabaya, selain Brigjen Mallaby, perwira tinggi Inggris lain yang juga menjadi korban ialah Brigjen Robert Loder-Symonds yang tewas ketika pesawat mosquito yang ditumpanginya jatuh tertembak di lapangan udara Morokrembangan Surabaya, sehingga total Sekutu kehilangan 2 Jendral veterannya di pertempuran ini.

-------------
