- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.2K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1169
Spoiler for Bagian #50:
Gua mengendarai mobil mengikuti mobil Ibu yang berjalan cepat didepan, sementara Salsa tetap tinggal di tempat fitting baju tadi untuk menunggu calon suaminya. Jarak antara rumah gua di Bintaro dengan rumah pria setengah wanita tadi di daerah Cinere tidaklah begitu jauh. Apalagi ditempuh saat sekarang ini, dimana sudah melewati waktu rush hour dan jam-jam berangkat-pulang kerja, waktu tempuhnya hanya sekitar 45 menit. Selama diperjalanan, saat ini Desita terlihat lebih tenang, dia sudah mulai menggumamkan beberapa nyanyian lewat bibirnya, sesekali bersiul dan menggoyang-goyangkan kepala.
“Sol, lu tau nggak.. tadi tuh si Keke Eman..”
“Keke eman? Siapa?”
“Itu Lho yang tadi fitting baju..”
“Oh yang banci keker tadi?”
“Iya, dia kan langganan baju wedding artis-artis tau…”
“Oh..”
“Kok cuma ‘Oh’ aja responnya?”
“Ya emang harus gimana? Koprol sambil tiger sprong?”
“Yee.. “
Desita mencubit lengan sebelah kiri gua, kemudian berpaling sambil bertopang dagu dan memandang ke arah luar melalui jendela mobil.
“Sol.. nanti kalo nikah aku mau deh pake baju buatan Om keke..”
“Ya.. bisa diatur..”
“Tadi aja baju kak Salsa lucu banget…”
“Lucu?”
“Iya.. terus baju yang aku pake.. tadi kamu liat kan.. Lucu bangeett..”
Desita bicara sambil memasang tampang gemas. Gua menggeleng, bingung dengan para wanita. Wanita itu memang terkadang suka menjelma menjadi sosok yang bisa dibilang sedikit ‘aneh’ atau mungkin kalian boleh menyebutnya ‘luar biasa aneh’. Tentu saja dengan mengesampingkan kredibilitas mereka sebagai Istri dan seorang ibu. Kenapa sosok perempuan harus disebut ‘aneh’?, Setiap pria (pada umumnya) hampir pasti berinteraksi dengan sosok yang namanya wanita, entah di lingkungan rumah, sekolah maupun lingkungan kerja. Dan gua yakin, sangat yakin jika kalian bertemu dengan wanita, apalagi yang usianya sekitar belasan sampai dua puluh tahunan pasti sering mendengar kalimat ini keluar dari mulut mereka; ‘Lucu..’. Persis seperti yang barusan diucapkan Desita, ya.. Lucu
Menurut Definisi yang dijabarkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia diatas, lucu itu kurang lebih punya arti ‘hal yang menggelikan hati dan menimbulkan tertawa atau jenaka’ (Silahkan Cek kalo nggak percaya). Sedangkan kata ‘Lucu’ yang sering gua dengar dari mulut kebanyakan wanita malah melenceng dari makna asli-nya. Seakan-akan mereka (wanita) membuat definisi sendiri perkara kata ‘Lucu’ tersebut dan parahnya Definisi-nya bisa menggambarkan lebih dari satu kata sifat, sehingga kadang menimbulkan apa yang namanya ‘ambiguitas’ buat yang mendengarnya.
Ada boneka Hello Kitty yang imut-imut, respon para wanita; “Ih lucu banget”, ada gaun nikah berwarna hijau daun dengan corak bunga kuning; “Ih, gaunnya lucu banget”, ngobrolin Cowok ganteng dan keren, respon mereka; “Tau nggak sih lo, si dia tuh lucu banget..”, bahkan ada yang saat sarapan melihat lontong dibungkus daun pisang, respon mereka; “ih, lucu banget sih nih lontong dibungkus begini..”.
Mungkin buat kalian sesama wanita, bakal mengerti ungkapan kata Lucu yang digunakan untuk mendefinisikan banyak hal, karena mungkin pikiran kalian sama dan sejalan. Tapi, buat kami para pria yang masih normal otak-nya kata tersebut malah terkesan ‘ambigu’ dan disoriented. Nggak mendefinisikan apapun,
Atau jangan-jangan, kami para pria memang harus selalu dipaksa untuk mengerti apa yang (para wanita) pikirkan, tanpa kalian repot-repot menyebutkan istilah yang tepat untuk definisi yang tepat. Aneh.
“Maksud lu, lucu kayak srimulat?”
“Iiih.. bukaaan, maksud aku tuh bagus.. keren..”
“Ya bilang aja bagus dan keren, kenapa mesti pake kata ‘lucu’?”
“Kamu mah nggak ngerti, males..”
Dia menoleh dan membuang muka.
Beberapa saat kemudian, mobil gua sudah mulai memasuki komplek perumahan dimana gua tinggal. Dan setelah memarkirkan mobil, gua turun disusul oleh Desita yang kembali terlihat seperti orang bingung. Gua meraih tangan dan menariknya masuk, didalam ibu langsung menuju ke meja makan, membantu mpok Esih merapikan meja makan dan menyiapkan hidangan untuk makan siang. Desita, menatap ke arah gua, mata birunya seakan berkata;’aku boleh bantuin nggak?’, gua mengangguk sambil tersenyum, kemudian dia melangkah menuju ke meja makan dan mulai membantu Ibu dan mpok Esih.
“Eeh.. udah nggak usah Des, nanti capek..”
Ibu berkata ke Desita, sementara tangannya tetap sibuk mengelap alat makan.
“Nggak apa-apa bu..”
Desita menjawab santai, sambil menerima sebuah piring keramik berisi lauk dari mpok esih untuk diletakkan diatas meja.
Gua berjalan pelan melewati mereka yang tengah sibuk di meja makan, menuju ke teras belakang rumah. Sebuah tempat yang sudah cukup lama tidak gua datangi. Gua duduk dilantai, menyulut sebatang rokok sambil memandang ikan-ikan koi yang gesit bermanuver didalam kolam. Cukup lama gua terdiam sambil memandang ikan-ikan tersebut, cukup lama juga gua terhanyut, mengenang masa-masa dulu waktu masih sering duduk sendiri disini, melamun.
“Lagi apa?”
Desita bertanya sambil duduk disebelah, dia meletakkan secangkir kopi panas dihadapan gua.
“Buat gua?”
“Iya..”
“Siapa yang bikin?”
Gua bertanya penasaran.
“Aku..”
“Wow.. kok tau tempat kopi sama gulanya..”
“Nanya lah.. emang nggak punya mulut..”
“Oh.. oke..”
Gua pun mulai menyeruput kopi hitam panas tersebut. Jujur entah kenapa hanya dengan secangkir kopi bisa membuat perasaan menjadi berbunga-bunga. Rasanya ini ah spesial sekali rasanya. Kemudian gua pun hanyut dalam aroma kopi dan bau parfum Desita, siang itu, sebelum makan siang, gua habiskan waktu bersama Desita diberanda belakang rumah sambil bercerita tentang betapa seringnya gua menghabiskan waktu disini hanya untuk memikirkannya.
Prok..prok..
Ibu menepuk kedua tangan, memanggil gua dan Desita yang masih asik duduk sambil bercerita di teras belakang rumah. Sebuah tepukan yang mirip dengan fungsi bel disekolah, artinya; panggilan untuk makan siang. Gua berdiri dan menggandeng Desita berjalan menuju ke ruang makan, sementara dari kejauhan gua melihat kalau Salsa dan seorang pria sudah lebih dulu duduk di meja makan.
Gua menuntun Desita untuk duduk disisi sebelah kanan meja makan, sementara Salsa dan Ubay berada berseberangan dengan kami berdua. Desita memandang ke arah gua, kali ini wajahnya kembali terlihat gugup, gua menggenggam tangannya saat suara berdehem Bokap terdengar diujung ruangan, itulah kenapa Desita pasang tampang gugup. Bokap menghampiri meja dan duduk dikursi yang terletak paling ujung, sambil memasang senyum ‘hisoka’ nya dia menyapa kami semua, memimpin do’a kemudian mempersilahkan kami semua untuk mulai makan. Sebenarnya, keluarga gua ini sangat jarang sekali melakukan yang namanya ‘ritual’ makan bersama apalagi secara formal di meja makan begini, namun memang ibu punya sebuah aturan dimana dalam satu minggu sekali kita semua, sekeluarga harus berkumpul disini, untuk makan bersama dalam satu meja. Dan ditambah saat ini, setelah proses fitting gaun pengantin Salsa dan rencana gua untuk bicara serius dengan bokap menjadi pemicu diadakannya makan bersama secara formal.
Kami semua duduk, dan menyantap hidangan makan siang dalam suasana hening dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara Mpok Esih menuangkan air digelas Ubay dan Desita atau suara renyah dari kerupuk kulit ‘rambak’ yang digigit Ibu. Bokap selesai paling dulu, dia meletakkan sendok dan garpunya diatas piring yang kosong kemudian menggesernya kesamping, kedua tangannya diangkat dan diletakkan dipermukaan meja makan, dia berdehem sebentar.
“Kamu mau ngomong apa, hin?”
Bokap bertanya sambil tetap memasang senyum.
Mendengar pertanyaan bokap, gua menghentikan makan, menyingkirkan piring kemudian meneguk habis air minum dalam gelas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan bokap.
“Masalah Saya sama Desita.. saya mau ba…”
Belum selesai gua berbicara, Bokap mengangkat tangannya, memberi isyarat ke gua untuk berhenti bicara sambil mengeluarkan desis seperti ; “Ssstt..”
“Kalo masalah itu, nanti bicara diruang kerja bapak..”
Bokap bicara, seakan menjawab semua tatapan heran yang memandang ke arahnya.
“Ada yang mau bicara lagi? Jadi cuma Solichin aja yang mau bicara serius sama bapak? Kamu sa, ada yang mau disampaikan?”
Bokap menambahkan sambil kemudian bertanya ke Salsa, Salsa hanya menggelengkan kepala. Nggak lama kemudian bokap berdiri, mengelap telapak tangannya dengan serbet dan berjalan pelan meninggalkan meja makan, sambil berlalu dia bilang; “Solichin dan Salsabila Syafriel bapak tunggu diruang kerja…”
Gua dan Salsa saling pandang, kemudian kami seakan dikomando berdiri dan menghela nafas dalam waktu bersamaan.
Beberapa menit kemudia gua dan Salsa sudah berada dalam ruangan yang cukup besar dimana sisalah satu sudut ruangan berdiri sebuah rak berukuran besar yang dipenuhi oleh buku-buku. Salsa duduk didepan sebuah meja berukuran super besar sementara gua berdiri disalah satu sudut dinding yang terdapat jendela besar sambil menatap bokap yang duduk disebuah kursi besar dan mahal, semahal harga dirinya yang terduduk pongah bagai Raja diatas singgasana-nya.
“Kamu mau ngomong apa hin?”
Bokap bertanya ke arah gua sambil duduk bersandar dan menyilangkan kedua kaki-nya.
“Perihal hubungan saya dengan Desita.. saya tau kalo bapak nggak setuju sama hubungan ini dan saya disini buat meyakinkan bapak kalau Desita itu orang yang tepat untuk saya, untuk anak bapak ini..”
“Oh gitu.. Kamu sa.. mau nambahin?”
Bokap berdiri kemudia bertanya ke Salsa.
“Nggak, nambahin apaan? Nambahin masalah..? Salsa sih dukung Ableh, dan menolak yang namanya jodoh-jodohan, apalagi memandang orang pake bibit, bobot dan bebet, udah nggak jaman..”
Bokap manggut-manggut sambil memegangi dagu-nya.
“Oke kalau begitu…”
Dia menghela nafas sebentar kemudian mulai bicara lagi.
“Bapak mau bicara banyak hari ini, dan satu hal yang perlu diingat.. bapak tidak suka disela saat berbicara, ngerti?”
Gua dan Salsa mengangguk berbarengan.
“Sol, lu tau nggak.. tadi tuh si Keke Eman..”
“Keke eman? Siapa?”
“Itu Lho yang tadi fitting baju..”
“Oh yang banci keker tadi?”
“Iya, dia kan langganan baju wedding artis-artis tau…”
“Oh..”
“Kok cuma ‘Oh’ aja responnya?”
“Ya emang harus gimana? Koprol sambil tiger sprong?”
“Yee.. “
Desita mencubit lengan sebelah kiri gua, kemudian berpaling sambil bertopang dagu dan memandang ke arah luar melalui jendela mobil.
“Sol.. nanti kalo nikah aku mau deh pake baju buatan Om keke..”
“Ya.. bisa diatur..”
“Tadi aja baju kak Salsa lucu banget…”
“Lucu?”
“Iya.. terus baju yang aku pake.. tadi kamu liat kan.. Lucu bangeett..”
Desita bicara sambil memasang tampang gemas. Gua menggeleng, bingung dengan para wanita. Wanita itu memang terkadang suka menjelma menjadi sosok yang bisa dibilang sedikit ‘aneh’ atau mungkin kalian boleh menyebutnya ‘luar biasa aneh’. Tentu saja dengan mengesampingkan kredibilitas mereka sebagai Istri dan seorang ibu. Kenapa sosok perempuan harus disebut ‘aneh’?, Setiap pria (pada umumnya) hampir pasti berinteraksi dengan sosok yang namanya wanita, entah di lingkungan rumah, sekolah maupun lingkungan kerja. Dan gua yakin, sangat yakin jika kalian bertemu dengan wanita, apalagi yang usianya sekitar belasan sampai dua puluh tahunan pasti sering mendengar kalimat ini keluar dari mulut mereka; ‘Lucu..’. Persis seperti yang barusan diucapkan Desita, ya.. Lucu
Menurut Definisi yang dijabarkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia diatas, lucu itu kurang lebih punya arti ‘hal yang menggelikan hati dan menimbulkan tertawa atau jenaka’ (Silahkan Cek kalo nggak percaya). Sedangkan kata ‘Lucu’ yang sering gua dengar dari mulut kebanyakan wanita malah melenceng dari makna asli-nya. Seakan-akan mereka (wanita) membuat definisi sendiri perkara kata ‘Lucu’ tersebut dan parahnya Definisi-nya bisa menggambarkan lebih dari satu kata sifat, sehingga kadang menimbulkan apa yang namanya ‘ambiguitas’ buat yang mendengarnya.
Ada boneka Hello Kitty yang imut-imut, respon para wanita; “Ih lucu banget”, ada gaun nikah berwarna hijau daun dengan corak bunga kuning; “Ih, gaunnya lucu banget”, ngobrolin Cowok ganteng dan keren, respon mereka; “Tau nggak sih lo, si dia tuh lucu banget..”, bahkan ada yang saat sarapan melihat lontong dibungkus daun pisang, respon mereka; “ih, lucu banget sih nih lontong dibungkus begini..”.
Mungkin buat kalian sesama wanita, bakal mengerti ungkapan kata Lucu yang digunakan untuk mendefinisikan banyak hal, karena mungkin pikiran kalian sama dan sejalan. Tapi, buat kami para pria yang masih normal otak-nya kata tersebut malah terkesan ‘ambigu’ dan disoriented. Nggak mendefinisikan apapun,
Atau jangan-jangan, kami para pria memang harus selalu dipaksa untuk mengerti apa yang (para wanita) pikirkan, tanpa kalian repot-repot menyebutkan istilah yang tepat untuk definisi yang tepat. Aneh.
“Maksud lu, lucu kayak srimulat?”
“Iiih.. bukaaan, maksud aku tuh bagus.. keren..”
“Ya bilang aja bagus dan keren, kenapa mesti pake kata ‘lucu’?”
“Kamu mah nggak ngerti, males..”
Dia menoleh dan membuang muka.
Beberapa saat kemudian, mobil gua sudah mulai memasuki komplek perumahan dimana gua tinggal. Dan setelah memarkirkan mobil, gua turun disusul oleh Desita yang kembali terlihat seperti orang bingung. Gua meraih tangan dan menariknya masuk, didalam ibu langsung menuju ke meja makan, membantu mpok Esih merapikan meja makan dan menyiapkan hidangan untuk makan siang. Desita, menatap ke arah gua, mata birunya seakan berkata;’aku boleh bantuin nggak?’, gua mengangguk sambil tersenyum, kemudian dia melangkah menuju ke meja makan dan mulai membantu Ibu dan mpok Esih.
“Eeh.. udah nggak usah Des, nanti capek..”
Ibu berkata ke Desita, sementara tangannya tetap sibuk mengelap alat makan.
“Nggak apa-apa bu..”
Desita menjawab santai, sambil menerima sebuah piring keramik berisi lauk dari mpok esih untuk diletakkan diatas meja.
Gua berjalan pelan melewati mereka yang tengah sibuk di meja makan, menuju ke teras belakang rumah. Sebuah tempat yang sudah cukup lama tidak gua datangi. Gua duduk dilantai, menyulut sebatang rokok sambil memandang ikan-ikan koi yang gesit bermanuver didalam kolam. Cukup lama gua terdiam sambil memandang ikan-ikan tersebut, cukup lama juga gua terhanyut, mengenang masa-masa dulu waktu masih sering duduk sendiri disini, melamun.
“Lagi apa?”
Desita bertanya sambil duduk disebelah, dia meletakkan secangkir kopi panas dihadapan gua.
“Buat gua?”
“Iya..”
“Siapa yang bikin?”
Gua bertanya penasaran.
“Aku..”
“Wow.. kok tau tempat kopi sama gulanya..”
“Nanya lah.. emang nggak punya mulut..”
“Oh.. oke..”
Gua pun mulai menyeruput kopi hitam panas tersebut. Jujur entah kenapa hanya dengan secangkir kopi bisa membuat perasaan menjadi berbunga-bunga. Rasanya ini ah spesial sekali rasanya. Kemudian gua pun hanyut dalam aroma kopi dan bau parfum Desita, siang itu, sebelum makan siang, gua habiskan waktu bersama Desita diberanda belakang rumah sambil bercerita tentang betapa seringnya gua menghabiskan waktu disini hanya untuk memikirkannya.
Prok..prok..
Ibu menepuk kedua tangan, memanggil gua dan Desita yang masih asik duduk sambil bercerita di teras belakang rumah. Sebuah tepukan yang mirip dengan fungsi bel disekolah, artinya; panggilan untuk makan siang. Gua berdiri dan menggandeng Desita berjalan menuju ke ruang makan, sementara dari kejauhan gua melihat kalau Salsa dan seorang pria sudah lebih dulu duduk di meja makan.
Gua menuntun Desita untuk duduk disisi sebelah kanan meja makan, sementara Salsa dan Ubay berada berseberangan dengan kami berdua. Desita memandang ke arah gua, kali ini wajahnya kembali terlihat gugup, gua menggenggam tangannya saat suara berdehem Bokap terdengar diujung ruangan, itulah kenapa Desita pasang tampang gugup. Bokap menghampiri meja dan duduk dikursi yang terletak paling ujung, sambil memasang senyum ‘hisoka’ nya dia menyapa kami semua, memimpin do’a kemudian mempersilahkan kami semua untuk mulai makan. Sebenarnya, keluarga gua ini sangat jarang sekali melakukan yang namanya ‘ritual’ makan bersama apalagi secara formal di meja makan begini, namun memang ibu punya sebuah aturan dimana dalam satu minggu sekali kita semua, sekeluarga harus berkumpul disini, untuk makan bersama dalam satu meja. Dan ditambah saat ini, setelah proses fitting gaun pengantin Salsa dan rencana gua untuk bicara serius dengan bokap menjadi pemicu diadakannya makan bersama secara formal.
Kami semua duduk, dan menyantap hidangan makan siang dalam suasana hening dan sunyi, hanya sesekali terdengar suara Mpok Esih menuangkan air digelas Ubay dan Desita atau suara renyah dari kerupuk kulit ‘rambak’ yang digigit Ibu. Bokap selesai paling dulu, dia meletakkan sendok dan garpunya diatas piring yang kosong kemudian menggesernya kesamping, kedua tangannya diangkat dan diletakkan dipermukaan meja makan, dia berdehem sebentar.
“Kamu mau ngomong apa, hin?”
Bokap bertanya sambil tetap memasang senyum.
Mendengar pertanyaan bokap, gua menghentikan makan, menyingkirkan piring kemudian meneguk habis air minum dalam gelas sebelum akhirnya menjawab pertanyaan bokap.
“Masalah Saya sama Desita.. saya mau ba…”
Belum selesai gua berbicara, Bokap mengangkat tangannya, memberi isyarat ke gua untuk berhenti bicara sambil mengeluarkan desis seperti ; “Ssstt..”
“Kalo masalah itu, nanti bicara diruang kerja bapak..”
Bokap bicara, seakan menjawab semua tatapan heran yang memandang ke arahnya.
“Ada yang mau bicara lagi? Jadi cuma Solichin aja yang mau bicara serius sama bapak? Kamu sa, ada yang mau disampaikan?”
Bokap menambahkan sambil kemudian bertanya ke Salsa, Salsa hanya menggelengkan kepala. Nggak lama kemudian bokap berdiri, mengelap telapak tangannya dengan serbet dan berjalan pelan meninggalkan meja makan, sambil berlalu dia bilang; “Solichin dan Salsabila Syafriel bapak tunggu diruang kerja…”
Gua dan Salsa saling pandang, kemudian kami seakan dikomando berdiri dan menghela nafas dalam waktu bersamaan.
Beberapa menit kemudia gua dan Salsa sudah berada dalam ruangan yang cukup besar dimana sisalah satu sudut ruangan berdiri sebuah rak berukuran besar yang dipenuhi oleh buku-buku. Salsa duduk didepan sebuah meja berukuran super besar sementara gua berdiri disalah satu sudut dinding yang terdapat jendela besar sambil menatap bokap yang duduk disebuah kursi besar dan mahal, semahal harga dirinya yang terduduk pongah bagai Raja diatas singgasana-nya.
“Kamu mau ngomong apa hin?”
Bokap bertanya ke arah gua sambil duduk bersandar dan menyilangkan kedua kaki-nya.
“Perihal hubungan saya dengan Desita.. saya tau kalo bapak nggak setuju sama hubungan ini dan saya disini buat meyakinkan bapak kalau Desita itu orang yang tepat untuk saya, untuk anak bapak ini..”
“Oh gitu.. Kamu sa.. mau nambahin?”
Bokap berdiri kemudia bertanya ke Salsa.
“Nggak, nambahin apaan? Nambahin masalah..? Salsa sih dukung Ableh, dan menolak yang namanya jodoh-jodohan, apalagi memandang orang pake bibit, bobot dan bebet, udah nggak jaman..”
Bokap manggut-manggut sambil memegangi dagu-nya.
“Oke kalau begitu…”
Dia menghela nafas sebentar kemudian mulai bicara lagi.
“Bapak mau bicara banyak hari ini, dan satu hal yang perlu diingat.. bapak tidak suka disela saat berbicara, ngerti?”
Gua dan Salsa mengangguk berbarengan.
jiyanq dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas