Kaskus

Story

TravestronAvatar border
TS
Travestron
Close X Cross
Chapter 1

The Club

Le GanBaTei Cafe

Malam mulai menyelimuti Jakarta, beberapa tempat nongkrong dan hiburan malam mulai dipenuhi tamu tamu setia mereka, baik untuk sekedar istirahat, berkumpul, atau menikmati secangkir kopi pelepas lelah. begitupun di salah satu sudut kota ini, tempat Anna dan Maya sedang duduk di meja bartender menikmati minuman mereka hasil racikan Sera, bartender Le GanBaTei.
“Ser, lemon tea aku kok asem banget ya?” Keluh Maya pada Sera.

“Kalau keasaman liatin wajah aku aja myaw?” goda Sera sambil mengedipkan mata.

“Dasar kucing, kamu kira aku lesbi apa?” sambil tersenyum balas menggoda.

“Hei kalo mau godain pegawai kesayangan gue godain gue dulu atuh Neng” bisik Lily di samping telinga Maya dengan sedikit hembusan nafas yang membuat Maya geli menggidik.


“Ih kalian apa-apaan sih, perempuan jadi-jadian mau sok jantan, udah trima nasib aja.” celetuk Anna kepada junior-juniornya yang saling menggoda sambil browsing dengan Note Pad nya dan browsing beberapa berita yang menarik. Waria satu ini menunjukkan bahwa waria pun harus sangat berwawasan.

“Mami ih, Lily ni yang godain aku, sok laki kali dia belain Sera” Bantah Maya.

“Gue masih Laki ya, mau liat?” Sambil memegang zipper skinny jeans model cewek yang di pakainya.

“Heh, laki engga ada yang make jeans begituan”. Celetuk Maya. “lagian cuma pajangan aja bangga”

“Heh perempuan....”

“Hus, brisik deh ya anak-anak mami, baru sebulan ni kafe buka bisa bubar gara-gara kalian yang berisik” potong Anna sebelum Lily membalas ucapan Maya.

“Dia nih Mi duluan!” Protes Lily.

“Hmmm.... Ser, Mochiatto kamu pas deh sesuai selera mami, makasih ya Sayang” ucap Anna sambil menikmati secangkir Mochiatto-nya.

“Thanks my lovely mommy, myaw”

“Eh, BTW Dea mana Ly? Kok engga keliatan hari ini”

“Lagi keluar bentar Mom, ada side job lain katanya”

“Nyebong[1]?”

“Mami ih, kayak engga kenal dia aja! Dia kan lesbong[2] mam!” Potong Sera disertai tawa kecilnya Maya dan Lily.

“Ada job make up assistant di JFW[3], Jessy tadi call, butuh tenaga tambahan katanya” jelas Lily

“Bagus deh, karir anak-anak mami makin nanjak semua”

“Ia dong mi, masak mau di jalan terus, naik kelas dong” tambah Maya.


“May, tadi pagi gue liat ada lekong[4] di kamar lu?” tanya Sera. Sera merasa wajib bertanya pada teman-teman dekatnya terhadap siapa saja tamu yang terlihat di kamar kos-kosan miliknya. Walaupun di cafe dia bekerja di bawah Lily, tapi dia tetaplah pemilik kos tempat Lily dan teman-temannya tinggal.

“Ia , temen aku dari Medan dateng” jelas Maya.

“Temen apa temen?” introgasi Lily.

“Temen lho, nanti dia mau kemari, nih aku tunjukin fotonya.” Maya lalu membuka sebuah page facebook, akun dengan nama Nadilla Humaira. Koleksi foto yang terlihat hanya seorang perempuan dengan hijab casual, dan beberapa foto lain sang pemilik akun dengan pakaian modis dengan model yang unik. Lily dan Anna terlihat bingung dan engga yakin dengan apa yang di tunjukan, sedikit berbeda dengan pernyataan Sera.


“Ser, lu yakin tadi cowok?” tanya Anna meyakinkan.
Sera segera menyelesaikan orderan minuman yang dibuatnya dan kembali menuju Anna, Sera memperhatikan dengan serius.

“Eh, kok mirip ya? Tapi kok perempuan?” Sera memperhatikan lebih jelas dan membongkar beberapa foto yang Maya tunjukkan.

“Kenapa dengan fotonya? Jelek ya?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Maya. Sera, Maya, Anna, Lily yang semula serius melihat foto semua menoleh ke suara tersebut.

“Hey... kenalin designer muda kita, Dilla”. Maya memperkenalkan Dilla pada Geng-nya. Semua memperhatikan Dilla. “Semua pakaian dan kreasi hijab yang kalian liat tadi adalah hasil karya tangannya".

“Jangan percaya Maya, aku cuma tukang jahit biasa kok.” Ungkap Dilla merendah.
Sera memperhatikan pakaian Dilla, kaos o neck lengan panjang, sweather tipis panjang sampai lutut tanpa lengan, mengingatkan Sera pada Philip, karakter di Kamen Rider Double yang sering ditonton Dea “Lu otaku[5]?”.

“Ia, fashion Jepang jadi inspirasi aku.”
“Hmmm.... satu lagi ya...” ucap Lily, di ikuti senyum penuh arti yang lainnya.

“Mungkin lu harus kenal Dea. Kalian mungkin cocok” tambah Sera, ada raut bingung di wajah Dilla. Tapi senyumnya menutupi raut tersebut.

“Oh ya, Dil kenalin. Temen-temen aku, mereka tinggal di kosan yang sama dengan kita, kalau ada apa-apa kamu bisa minta bantuan dengan mereka”

“Anna, Kamu bukan gay kan ya? Suka yang lebih mateng engga?” senyum genit mama Anna.

“Lily, Owner Caffe ini. kalo mau pesen bilang aja ke aku langsung. Aku kasih diskon kok,selama seminggu,hihi...” Lily tak mau kalah menggoda.

“Samantha, panggil aja Sera, kalau butuh apa-apa di kos, ketuk aja pintu ku. Buat kamu aku pasti ada”. Sera pun tak mau kalah.

“duduk Dil” Maya mempersilahkan Dila duduk di sebelahnya, Sera, Anna dan Lily memperhatikan cowok cantik yang ada di sebelah mereka, cara bicaranya tidak seperti waria. Lebih lelaki, tapi ada sesuatu yang salah dengan dia.
Dilla mengambil posisi duduk di sebelah Maya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Yah.....” keluh Sera, Lily dan Anna. Menggugaratkan wajah kecewa. “Setengah mateng juga rupanya”.


“Dilla ada urusan apa ke Jakarta?” tanya Anna.

“Mau kerja Mbak”

“Kok panggil Mbak sih, panggil Mami aja gimana? Mau kerja apa?”

“Ia, m... Mam.”

“aku mau belajar design Mbak... eh Mam, sekalian buka usaha kalau bisa disini”

“Ia Mom, kami mau pergi ke JFW bentar lagi, sekalian mau cari mesin jahit yang murah dan bagus. By The Way Dea disana kan Ly?” jelas Maya.

“Ia, teteh hubungin aja”

“grgrgrgrgrgrgt” getaran muncul di Handphone Lily. Sebuah pesan masuk dihapenya.

“Siapa say?” tanya Sera.

“Papi, dia pesan sesuatu kalo aku pergi ke Bandung”

“kamu besok jadi ke Bandung?”

“Iya sayang, sekalian mau ziarah. Jaga cafe baik-baik ya Ser selama aku pergi”

“Hendra? udah empat tahun ya?” tanya Anna.

“Iya mom” ada sedikit guratan kesedihan di wajah Lily.

“Kenapa lily” Dilla berbisik pada Maya.

“Besok tepat empat tahun pacar lily meninggal”.


Lily
Bandung, 2009

Mungkin aku engga akan pernah menemukan pria sebaik dia, yang menerima aku apa adanya, yang menerima aku seperti wanita seutuhnya. Karena itu aku menerimanya, dan menyayanginya apa adanya dia. Dia hendra, pria yang dua tahun ini sudah mengisi hidupku dan hari-hariku. Pria yang hampir sempurna dimataku kecuali satu hal.


“Udah makannya?” Tanyaku setelah Hendra mulai mual dengan hampir satu bungkus nasi padang yang aku suapi kepadanya

“Udah ah, aku, kenyang” aku tak tega melihat badannya yang semakin kurus.ironisnya Melihat itu aku juga semakin tidak nafsu makan. aku memberikan segelas air putih yang di ambilnya dari dispenser kamar kami.

Setelah aku meminumkan air yang di gelas kepadanya aku bertanya “Mau sampe kapan kamu begini?”

Hendra menjawab “Aku bisa nanya hal yang sama buat kamu”

“Aku bakal langsung berhenti jualan ini pas hutang ke rentenir brengsek itu lunas, yang gak bisa dilakuin sampe sekarang kalo kamu masih aja ngerusak tubuh kamu kayak gini”

“Ya... kamu tau kan kalo aku mau rehab nanti, aku gak bakal bohong ke kamu”

“Kapan? Udah berbulan-bulan kamu bilang itu tapi sampe sekarang...”

“Aku gak bakal bohong kalo aku lagi gak “nagih””

Nada suaraku semakin meninggi “Aku bosen tau gak nyeramahin kamu! kenapa sih kamu gak pernah dengerin omonganku!?”

Suara hendra agak lemas, tapi terdengar seperti agak marah juga “Ya udah... tampar lagi aja aku kayak waktu itu, ajarin kalo aku ini salah, kamu itu bener, kasih tau aku kalo jualan heroin itu jauh lebih baik daripada jadi pembeli, itu kan yang mau kamu bilang?”


Mendengar kata itu aku hanya terdiam tak bisa mengeluarkan sepatah kata, aku tau bahwa aku sudah menjadi pengedar jauh sebelum Hendra menjadi pecandu berat, kurasa ini karma atas pilihan hidup yang kujalani, aku hanya bisa mendesah putus asa dan duduk termenung di sampingnya.

“Aku sayang sama kamu, dan aku tau kalo aku bukan contoh yang baik buat kamu, tapi aku berusaha ngelakuin yang terbaik buat kamu, aku gak mungkin ninggalin kamu begitu aja, gak dalam keadaan kamu kayak gini... maaf kalo kamu merasa aku bikin kamu terjerumus begini” Aku mulai menitikan air mata.

Hendra kemudian merangkul tubuhku, lalu berkata “Aku gak pernah bilang begitu, aku tau kamu udah berusaha yang terbaik buat aku, dan aku hargai itu,tapi... ini sulit Ly, sangat-sangat sangat sulit, buat bisa lepas dari ini, benda ini bikin aku kehilangan semuanya, secara fisik ataupun mental,tapi aku bakal ngasih harapan ke kita berdua,bahwa suatu hari nanti,aku bisa berhenti, dan kita bisa lepas dari cengkraman tragedi ini, lalu kita mengendarai sepeda motor berdua menuju matahari yang terbenam, seperti dulu lagi,pastiin kamu gak kehilangan itu” lalu hendra memberikanku kecupan di pipi.


Aku menatap wajahnya dan tersenyum,membayangkan masa suka cita kami dulu, sebelum aku terjun ke dalam bisnis ini, masa di saat kami hanyalah sepasang sejoli bahagia,mengendarai sepeda motor besar, menjelajahi tempat dan jalan-jalan di kota Bandung bersama, Hendra mulai menyentuh wajahku dengan lembut, perlahan wajahnya mulai mendekati wajahku,aku hanya terpana dengan itu, aku mulai menyayukan mata, sampai dia mencium bibirku, aku memejamkan mata,kami bercumbu untuk beberapa saat, sampai handphoneku berdering.

BERSAMBUNG

Catatan kaki
[1] Istilah lain untuk jual diri.
[2] lesbian
[3] Jakarta Fashion Week
[4] Laki-laki
[5] (Jepang) sebutan untuk penggemar anime, manga, atau tokusatsu

INDEX
Spoiler for Index:


Deskripsi para Tokoh utama.
Spoiler for CHAR:
Diubah oleh Travestron 13-09-2014 13:56
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
19.8K
42
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
TravestronAvatar border
TS
Travestron
#37
Chapter 16

Jakarta 2014
hampir tiada hari tanpa macet. Siang itu dilla sedang pergi ke daerah jembatan besi. Mencari bahan, tukang potong kain dan penjahit untuk membuat hasil desainnya dalam jumlah banyak. Ditemani Maya dia membawa sample pakaian, kertas pola. Dia mendapat info dari shella bahwa di sekitar daerah ini terdapat banyak tukang potong dan jahit dengan cost yang lumayan miring. Shella meminta Dilla untuk stay di jakarta sementara waktu.


“............ Ia ma, Amir baik kok, ........ sehat, gak kurang apapun....., ia, mash sholat kok. Ia ma, insyaallah. Ia........ ni lagi dijalan, ................................. nanti sampai kosan Amir telepon, Assalamualaikum” Dilla menutup telepon dari Ibunya. Hampir setiap hari ibunya menelepon dan memastikan keadaannya. Padahal hampir sebulan juga dia berada di Jakarta.


“Ibumu rempong baget ya? Hampir setiap hari teleponin kamu” ucap maya sambil berjalan di tengah kerumunan orang yang sibuk lalu lalang, jalanan, sempit dan kendaraan kota yang rapat merayap.


“gitu deh, mungkin diantara empat bersaudara aku yang paling rawan”
“rawan, maksud kamu?” Maya penasaran akan kata rawan yang di ucap dilla.
“rawan, Rawan sakit, tertutup, paling sensitif” menghadapi suasana kota jlanan kota di siang dan sore hari harus memiliki kesabaran tinggi, bahkan Dilla yang diantara teman-temannya paling tenang pun sedikit terusik oleh padatnya jalana kota. “dulu aku sering banget sakit, sampai sekarang malah, sampai saat ini kurasa masih,” dila menghapus keringat di wajahnya. Dia selalu keluar rumah dengan sweater atau jacket berbahan dry fit. Walaupun suhu diluar mampu mampu membuatnya serasa di dlam oven sambil makan spicy wing level lima, panas luar dalam.


Hanphone dilla sekali lagi bergetar dari saku jaketnya, “hallo, ia, aku udah di Jembatan besi, ini aku lagi cari alamatnya, tenang aja, aku inget kok semua. Oke nanti aku hubungi lagi”.
“Shella? “ tanya Maya.
“Ia”
Medan, shella baru saja menutup handphone saat Auli masuk ke kantornya. “hei, jadi kita makan siang?”
“ia, aku lapar kali liat kerjaan yang numpuk gini, yang semua aku handle sendiri sekarang”


“sepi ya, engga ada Amir” ucap auli, mereka bergerak menuju etalase depan butik. Shella menghampiri Mbak Lia salah satu karyawannya untuk menitip beberapa pesan dan meminta menjaga butiknya selama dia keluar. Lalu dia menuju parkiran ke arah Nissan Juke milik Auli


“Hah? Apa kau bilang tadi?” Shella kurang mendengar kata-kata dari temannya yang satu ini. setelah Dilla pergi ke Jakarta, nyaris kini semua di kerjakan oleh Shella. Berbeda saat ada Dilla yang mampu menghendle hampir semua pekerjaan dengan cepat.


“Sepi, Amir engga ada, lagian kenapa juga sih kau kirim amir ke Jakarta?”
Shella langsung menghidupkan AC sesaat setelah Auli menghidupkan mobinya. “Demi kebaikan dia Au, Kau kan liat sendiri sakit yang dia derita tiga bulan belakangan, mungkin dengan suasana baru da kesibukan baru dia bisa melupakan sakitnya tersebut”.


Dilla, 4 bulan yang lalu.
Maya : “Masih sibuk Dil?”
Nadilla : “engga, lagi insomnia”
Maya : Lagi bete
Nadilla : Bete sama siapa?”
Maya : “tamu, tiap malam aku harus nemenin tamu mesum”
Nadilla : “So? Takut iman tergoda”
Maya : “ah, jijik. Aku gini juga karena terpaksa, kalo engga karena hutang ayah”.
Nadilla : “ia, mungkin kamu harus berhenti may”
Maya : “mau gmna, aq butuh uangnya”.


Minggu ketiga, sudah hampir pukul tiga dini hari, dan aku masih belum bisa tidur. Aku membenamkan diri dalam pekerjaan atau chat dengan temaan-teman dunia maya termasuk Maya. Minggu ketiga sejak aku berpisah dari Fani. Kami putus. Kau tau apa yang membuat putus itu jadi menyakitkan kawan? Bukan Cuma karena cinta, tapi harapan yang terlalu tinggi dengan kekasih. aku selalu menghindari waktu tidur, karena ketika tertidur, maka hanya dua hal yang terjadi, mimpi buruk, atau aku menangis dalam tidur, bahkan lebih parah, aku mengalami keduanya sekaligus.


Kisah ku berakhir tiga minggu lalu. aku masih ingat saat itu dia mengajak bertemu di pantai kawasan Serdang Bedagai yag memang merupakan kawasan wisata air. Kami berangkat setelah subuh. Karena kami ingin menikmati sunrise disana. Sudah sering aku menemaninya menikmati sunrise di pantai walau harus melawan dinginnya udara pagi. untuk orang berkulit tipis dan kurus seperti ku. Dinginnya udara subuh dengan motor dengan kecepatan tertentu berarti sesuatu.


Aku sampai terlebih dahulu sebelum dia dan matahari terbit. Bahkan bagiku Fani lah matahari terbit itu, yang menerangi warna hidupku selama dua tahun terakhir. Dia datang tak lama setelah aku tiba. Aku masih mengingat dia mengenakan kaos Ungu dengan jacket hoody coklat yang selalu dia pakai saat naik motor.


Kami menghabiskan menunggu matahari terbit sambil berjalan di sepanjang pantai, melewati pondok-pondok kecil yang dibangun masyarakat setempat atau pengelola sebagai tempat peristirshatan pengunjung. Diantara cahaya matahari yang masih enggan tampak aku bisa melihat wajahnya. Hari itu ekspresinya tidak terlalu bagus. Aku tau ada yang sedang dia fikirkan.
“Mataharinya udah terbit” aku mencoba menggodanya.


“hah? Dimana?”
“disini” kataku sambil menunjuk di depan hidungnya. “matahari yang setiap hari menyinari hidupku”.
Aku dapat melihat senyumnya kali ini. “kau itu ya, selalu bisa buat aku senyum”. Tapi senyum itu secepat munculnya secepat itu pula hilang. “Mir, aku mau minta maaf kalau aku engga bisa lakuin hal yang sama dengan kamu.”


Perasaanku kali ini merasa aneh, aku benar-benar merasa sesuatu terjadi, dan mungkin aku tak butuh waktu lama untuk tau. “Kenapa sayang?” aku mencoba mencari tau sambil tetap tersenyum. Senyum untuk menutupi kekhawatiranku.
“Maaf Mir, tapi aku rasa kita harus....... putus” aku melihat wajahnya, wajah yang kini menunduk tanpa bisa melihat wajahku. Kami berhenti berjalan dan terduduk di pasir.


“kenapa kamu tiba-tiba bilang gitu? Ada masalah apa? Apa yang salah?” fikiranku kehilangan ketenangan. Senyum yang selalu kupersiapkan untuk setiap hal buruk pun kini tak bisa utuh di wajah.
“maaf mir, tapi aku harus jujur. Aku engga bisa terima pekerjaan kamu sebagai, ..... designer, apalagi sekarang, sebagai.... apa sih?” Fani mencoba mengingat sesuatu “crossmodel, aku engga mau, kalau suatu hari orang tuaku tau, atau teman-temanku tau?!”


Aku hanya terduduk diam, saat matahari pagi mulai muncul, tapi hariku mulai kelam secara tiba-tiba. Aku tau perasaan dirinya, yang dibesarkan di lingkungan militer. Ayahnya Fani adalah seorang Purnawirawan Kepolisian, begitupun abang dan paman-pamannya. Mungkin dia akan malu jika seseorang yag menjadi calon pendampingnya memiliki pekerjaan yang engga biasa, dan tidak maskulin sama sekali. Tapi sampai seperti ini kah?
Pernah hampir setahun lalu ketika aku mulai jarang datang ke rumah Fani, ibunya menanyakan kenapa aku jarang datang. Aku menjawab bahwa aku sedikit sibuk dengan pekerjaan. Tapi ketika ibunya menjawab bekerja apa. Fani memotong dan menjawab bahwa aku bekerja di perusahaan service komputer dan juga web design program. Padahal dia tau pekerjaanku.

Bahkan dengan pekerjaan sampingan sebagai model di Kataloq butik pun aku jujur. Tanpa mencoba merahasiakan hal tersebut. Tapi hal terpenting seperti kejujuranpun kini tak berarti.
Setengah jam berikutnya kami hanya terduduk dan diam di pantai. Pikiranku kacau, semua berputar di kepalaku. Hubungan tiga tahun yang kami jalani, pertengkaran yang terjadi yang kami atasi, tanpa ada kata putus yang terucap bahkan mimpi-mimpi yang kami bangun selama ini. semua serasa kandas. Aku tau kata-kata putus ini bukan main-main. Dahulu saat awal kami menjalin hubungan kami telah berkomitmen, sesulit apapun jangan ada yang mengucap kata tersebut, dan jika ada yang mengucapkannya. Maka jangan ada yang menyesali ataupun meminta kembali. Bagi kami, kata putus bberarti akhir.


“Mir, kita balik yuk”. Aku menatap Fani yang telah berdiri disampingku. “aku harus kerja, aku masuk siang hari ini”. wajahnya masih belum berni menatapku bahkan kini dia berdiri membelakangiku.
Aku berdiri mengikutinya, kami berjalan menuju ke parkiran motor. Aku coba untuk tetap fokus saat berjalan. Paling engga aku masih sadar aku masih harus mengendarai motor untuk kembali ke Medan. Kami berjaan beriringan tanpa kata, bahkan saat kembali dengan motor masing-masing. dan berpisah di persimpangan rumah Fani.


Aku kembai kerumah dengan perasaan cukup kacau. Tak ada orang di rumah. Adik-adikku sudah pasti masih di sekolah. Ayah dan Ibu juga bekerja. Aku melihat sekeliling rumah. Damn, masih bayangan Fani yang terbayang di seluruh rumah. Bahkan saat aku mencoba tidurpun kata putus yang dia ucapkan masih terasa menyakitkan. Tapi lelah hari itu memenangkannya hingga aku akhirnya jatuh tertidur.


“Mir....Mir” Aku tersentak dan melihat ibu berada di samping kasurku. “bangun, sholat Zuhur, udah mau Ashar gini kamu masih tidur aja”. Kepalaku masih pusing, dan tubuhku terlalu lemah untuk membuka mata. “kamu mimpi buruk ya pasti ya?”.


“Hah? Apaan sih mama!” aku mencoba menyeka mata mencari tau kebenaran yang mama katakan. Benar saja, mataku basah bahkan bantalku. Aku kembali tersadar akan kejadian tadi pagi.
“ya udah, mandi sana, terus sholat” kata mama sambil mengelus kepalaku dan meninggalkan kamarku.


“Akh.....” Aku merasa ada yang mengganggu di antara selangkanganku. ‘Glory Morning’, fenomena biologi yang menandakan jika kamu sebagai pria yang cukup sehat. Tapi entah kenapa kini kejadian itu membuat aku cukup terganggu. Sejak saat itu aku menjadi sulit untuk tidur. Bahkan benci saat terbangun dan menemukan diriku dalam keadaan ‘Bangkit’. Hal yag sering mengingatkanku dengan segala kesalahan yang kulakukan bersama Fani. Sampai saat ini. Aku hanya tertidur saat aku benar-benar cukup lelah.

BERSAMBUNG
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.