- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.3K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1113
Spoiler for Bagian #49:
Dua jam berikutnya mobil yang gua kendarai sudah memasuki tol dalam kota Jakarta-TB Simatupang. Setelah berhenti beberapa kali untuk tanya alamat yang tadi diberikan Salsa, akhirnya kami berdua tiba disebuah komplek perumahan. Gua membuka kaca jendela mobil bagian depan dan mengeluarkan kepala sambil bertanya ke petugas keamanan yang berjaga didepan komplek; “Maaf pak, Kalo blok D 25 sebelah mana ya?”. Kemudian salah seorang petugas keamanan menunjukkan arah dengan ramah, setelah mengucapkan terima kasih, gua meluncur ke arah yang dimaksud.
Nggak sulit untuk mencari sebuah alamat rumah dalam komplek, karena nomor rumahnya urut dan terbagi dalam blok-blok. Hanya beberapa menit, akhirnya gua tiba ke alamat yang dimaksud Salsa. Sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar berwarna cokelat dan dinding tinggi yang terbuat dari batu alam. Didepannya terparkir sebuah mobil Innova yang gua kenali sebagai mobil Salsa dan sebuah Range Rover milik Ibu. Setelah memarkir mobil tepat dibelakang mobil Ibu, gua bersiap untuk turun, sementara Desita masih terduduk ditempatnya.
“Lah ayok..”
“Aku rasanya pengen nangis deh..”
Desita bicara sambil mengernyitkan dahi dan memajukan bagian mulutnya, seperti merajuk. Gua melangkah ke sisi mobil sebelah kiri kemudian membuka pintunya.
“Udah santai aja, kan ada gua.. yuk..”
Gua mengeluarkan tangan, bersiap menggandengnya turun. Desita tersenyum kemudian meraih tangan gua dan kemudian turun.
Kami berdua melangkah masuk kedalam, melewati halaman rumah yang cukup luas dengan banyak tanaman hias yang begitu terawat. Didepan pintu utama besar, berbahan kayu jati lengkap dengan ukiran-ukiran khas Jepara yang terbuka lebar, dari dalam terdengar suara renyah Ibu yang sedang bicara dengan seseorang. Gua melangkah masuk kedalam sambil menggandeng Desita yang berjalan pelan dibelakang.
“Eh bleh, udah sampe..”
Ibu berdiri dari duduknya kemudian menyambut gua. Diahadapannya tengah duduk seorang pria yang sepertinya pernah gua lihat entah dimana. Pria yang sedikit kurus, dengan rambut dan kumis klimis berbadan kekar namun bertingkah seperti perempuan.
“Kenalin Bleh, ini Om Keke..”
Ibu mengenalkan gua ke pria setengah wanita itu. Gua hanya bisa melengos dalam hati; kok ada cowo keker begini, gerakannya ngondek dan namanya keke, Aneh!. Gua menjabat tangannya yang kekar kemudian turut mengenalkan Desita kepadanya.
“Haii.. Wah cantiknya.. badannya bagus bangeet..”
Om Keke menjabat tangan Desita ditambah sedikit ‘cipika-cipiki’ kemudian memuji kecantikan dan bentuk tubuh Desita. Mungkin kalau bukan kenalan Ibu dan laki-laki normal, Om keke bakal berakhir di pinggir selokan depan rumah, gua injak-injak. Setelah selesai dengan Om Keke, Desita beralih ke ibu, mereka saling pandang sebentar kemudian Ibu memeluk Desita, ditambah ‘cipika-cipiki’ sambil saling menanyakan kabar.
“Salsa-nya mana?”
Gua bertanya ke Ibu.
“Itu lagi fitting baju”
Ibu menjawab santai, sambil mempersilahkan Desita untuk duduk disebelahnya.
“Hah, fitting baju buat apa?”
Gua bertanya heran.
“Nanti aja biar Salsa yang jelasin sendiri..”
Ibu menjawab, masih dengan nada santai.
Lima menit berikutnya, Salsa keluar dengan menggunakan sebuah gaun mewah berwarna hijau daun. Seorang wanita berjalan dibelakangnya sambil memegangi ujung gaunnya yang melengser dibelakang.
“Eh udah pada dateng... hai des, apa kabar?”
Salsa berjalan pelan menghampiri Desita, setelah saling bertukar kabar, mereka saling bicara berbisik. Gua menghampiri mereka.
“Ada apaan sih sa.. gua kayak orang bego dah disini planga-plongo nggak tau apa-apa..”
Gua bertanya bersungut-sungut ke Salsa.
“Gue mau nikah!!..”
“Hah? Kok nggak cerita sama gua”
Gua bicara sambil setengah berteriak.
“Nggak penting..”
“Nggak penting? Pernikahan lu bilang nggak penting.. gila..”
Gua kemudian berpaling dan duduk disebelah Ibu.
“Kok saya nggak dikabarin sih bu?”
Kali ini gua bertanya ke Ibu. Ibu hanya tersenyum kemudian memegang pundak gua.
“Yang penting kan sekarang kamu tau, bleh.. “
“Trus sama siapa? Ah parah banget.. adek sendiri nggak dikabarin..”
Gua benar-benar marah, merasa nggak dianggap, merasa termarjinalkan.
“Sama Ubay..”
“Hah Ubay? Trus Arya?”
Gua bertanya lagi ke Ibu perkara calon suami Salsa, karena setau gua Salsa memang berpacaran dengan Ubay; yang notabene pria pilihan bokap sedangkan Arya (yang dulu statusnya juga gua kurang tau pasti) adalah pilihan Salsa dan seperti biasa, bokap nggak setuju. Sampai saat ini, akhirnya gua paham perihal tampah murungnya Salsa waktu itu.
“Arya nggak serius sama kakakmu..”
Ibu menjawab, kali ini mimiknya berubah serius. Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, feeling sorry for her.
“Ayo sekarang giliran Desita..”
Om Keke berdiri sambil menepuk tangannya dengan kipas yang sedari tadi dipegangnya.
“Hah? Desita di fitting juga?”
Gua bertanya heran ke Ibu.
“Iya.. Syarat dari Salsa..”
“Maksudnya?”
“Kalo jadi nikah, Salsa mau Desita ikut pake seragam yang sama dengan keluarga..”
Ibu menjawab, kali ini mimiknya berubah lagi menjadi lebih santai. Gua sedikit tersenyum sambil menghela nafas. Kagum akan kebesaran hati Salsa dan sedikit berbesar hati karena tau jika Desita sudah selangkah lagi diterima dikeluarga ini.
“Bapak mana?”
“Tau nih, belum dateng..”
Ibu menjawab sambil melirik ke arah jam tangannya.
Sementara gua memandang Desita yang masuk kedalam ruang ganti bersama dengan wanita yang sedari tadi memegangi ujung gaun Salsa. Gua berdiri menghampiri Salsa dan berbicara kepadanya;
“Lu kok nggak cerita ke gua sih, sa..”
“Yaelah bleh.. gue cerita ke lo pun.. hasilnya bakal sama..”
“Seenggaknya kan mungkin gua bisa bantu..”
“Nggak papa, paling nggak salah satu dari dua anaknya dapet jodoh sesuai keinginan bokap ya kan..”
Salsa bicara sambil menyunggingkan senyum.
“Makasih ya Sa..”
“Ah santai aja..”
“Gila lu ya.. ini perkara pernikahan sa.. kok bisa-bisanya lu santai begitu..”
“Hahaha.. Ubay juga ganteng kok, jadi nggak terlalu sakit hati lah gua..”
“Geblek.. cewek gila..”
Gua mengutuki perempuan setengah gila yang sialnya dia adalah kakak perempuan gua yang begitu santainya menerima nasibnya dijodohkan oleh bokap. Seakan-akan pernikahan hanya sebuah mainan buatnya. Nggak seberapa lama, setelah berbincang dengan Salsa, gua duduk kembali disebelah ibu dan kemudian Desita keluar dari ruang ganti, menggunakan kebaya berwarna hijau, warna yang sama dengan gaun Salsa namun dengan nuansa lebih muda. Gua hanya bisa memandang nanar, sosok perempuan yang kini berdiri dihadapan gua, hanya sebuah lagu uang bisa menggambarkan suasana hati gua saat ini; Cantik-nya Kahitna.
Cantik...
Ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu
Cantik...
Bukan ku ingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu
Selalu...
Ooo...
Walau mentari terbit di utara
Hatiku hanya untukmu...
Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu
Belum selesai waktu gua untuk berterima kasih kepada Tuhan atas terciptanya sosok mahluk cantik bernama Desita, dan sepertinya nggak bakal cukup waktu untuk mengagumi kecantikannya, gua diapanggil oleh Om Keke untuk segera di fitting juga. Gua berjalan pelan sambil tetap memandang Desita yang tengah berdiri didepan cermin sambil bercengkrama dengan nenek sihir berhati batu bernama Salsa, memasuki ruang ganti.
Setelah semua selesai mendapat giliran fitting pakaian, kami bertiga duduk disebuah sofa diruang tamu, menunggu bokap yang belum kunjung tiba. Desita duduk disebelah gua sambil memilin-milin ujung kaosnya, terlihat gugup, mirip seperti seorang anak yang tengah duduk mengantri untuk dipanggil masuk kedalam ruang prakter dokter gigi. Gua meraih kepalanya dan mengecup rambutnya sambil berbisik; “Santai ya sayang..”
Dan nggak lama berselang, suara langkah kaki terdengar, Bokap muncul melewati pintu besar berukir dan berdiri dihadapan kami. Dia memandang wajah kami satu persatu kemudian terhenti saat menatap Desita. Desita balas menatap sebentar, mengangguk hormat kemudian kembali tertunduk.
Seperti sadar akan situasi yang mencekam, Om keke tanpa banyak bicara mempersilahkan Bokap untuk segera menuju ke ruang ganti dan melakukan fitting pakaian. Nggak samapi sepuluh menit, bokap sudah kembali menuju ke ruangan dimana kami semua menunggu. Gua berdiri menyambut bokap dan mulai angkat bicara;
“Pak, saya mau ngomong..”
Bokap menatap gua cukup lama sampai akhirnya kemudian menjawab; “Nggak disini.. kita pulang dulu, mau bicara serius?”
“Iya”
Gua menjawab penuh keyakinan, sambil sebelah tangan gua menggenggam erat tangan Desita yang masih tertunduk.
“Kalau begitu bapak tunggu dirumah..”
Bokap kemudain melirik jam tangannya, mengecup dahi Ibu kemudian melangkah pergi lagi.
Nggak sulit untuk mencari sebuah alamat rumah dalam komplek, karena nomor rumahnya urut dan terbagi dalam blok-blok. Hanya beberapa menit, akhirnya gua tiba ke alamat yang dimaksud Salsa. Sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar berwarna cokelat dan dinding tinggi yang terbuat dari batu alam. Didepannya terparkir sebuah mobil Innova yang gua kenali sebagai mobil Salsa dan sebuah Range Rover milik Ibu. Setelah memarkir mobil tepat dibelakang mobil Ibu, gua bersiap untuk turun, sementara Desita masih terduduk ditempatnya.
“Lah ayok..”
“Aku rasanya pengen nangis deh..”
Desita bicara sambil mengernyitkan dahi dan memajukan bagian mulutnya, seperti merajuk. Gua melangkah ke sisi mobil sebelah kiri kemudian membuka pintunya.
“Udah santai aja, kan ada gua.. yuk..”
Gua mengeluarkan tangan, bersiap menggandengnya turun. Desita tersenyum kemudian meraih tangan gua dan kemudian turun.
Kami berdua melangkah masuk kedalam, melewati halaman rumah yang cukup luas dengan banyak tanaman hias yang begitu terawat. Didepan pintu utama besar, berbahan kayu jati lengkap dengan ukiran-ukiran khas Jepara yang terbuka lebar, dari dalam terdengar suara renyah Ibu yang sedang bicara dengan seseorang. Gua melangkah masuk kedalam sambil menggandeng Desita yang berjalan pelan dibelakang.
“Eh bleh, udah sampe..”
Ibu berdiri dari duduknya kemudian menyambut gua. Diahadapannya tengah duduk seorang pria yang sepertinya pernah gua lihat entah dimana. Pria yang sedikit kurus, dengan rambut dan kumis klimis berbadan kekar namun bertingkah seperti perempuan.
“Kenalin Bleh, ini Om Keke..”
Ibu mengenalkan gua ke pria setengah wanita itu. Gua hanya bisa melengos dalam hati; kok ada cowo keker begini, gerakannya ngondek dan namanya keke, Aneh!. Gua menjabat tangannya yang kekar kemudian turut mengenalkan Desita kepadanya.
“Haii.. Wah cantiknya.. badannya bagus bangeet..”
Om Keke menjabat tangan Desita ditambah sedikit ‘cipika-cipiki’ kemudian memuji kecantikan dan bentuk tubuh Desita. Mungkin kalau bukan kenalan Ibu dan laki-laki normal, Om keke bakal berakhir di pinggir selokan depan rumah, gua injak-injak. Setelah selesai dengan Om Keke, Desita beralih ke ibu, mereka saling pandang sebentar kemudian Ibu memeluk Desita, ditambah ‘cipika-cipiki’ sambil saling menanyakan kabar.
“Salsa-nya mana?”
Gua bertanya ke Ibu.
“Itu lagi fitting baju”
Ibu menjawab santai, sambil mempersilahkan Desita untuk duduk disebelahnya.
“Hah, fitting baju buat apa?”
Gua bertanya heran.
“Nanti aja biar Salsa yang jelasin sendiri..”
Ibu menjawab, masih dengan nada santai.
Lima menit berikutnya, Salsa keluar dengan menggunakan sebuah gaun mewah berwarna hijau daun. Seorang wanita berjalan dibelakangnya sambil memegangi ujung gaunnya yang melengser dibelakang.
“Eh udah pada dateng... hai des, apa kabar?”
Salsa berjalan pelan menghampiri Desita, setelah saling bertukar kabar, mereka saling bicara berbisik. Gua menghampiri mereka.
“Ada apaan sih sa.. gua kayak orang bego dah disini planga-plongo nggak tau apa-apa..”
Gua bertanya bersungut-sungut ke Salsa.
“Gue mau nikah!!..”
“Hah? Kok nggak cerita sama gua”
Gua bicara sambil setengah berteriak.
“Nggak penting..”
“Nggak penting? Pernikahan lu bilang nggak penting.. gila..”
Gua kemudian berpaling dan duduk disebelah Ibu.
“Kok saya nggak dikabarin sih bu?”
Kali ini gua bertanya ke Ibu. Ibu hanya tersenyum kemudian memegang pundak gua.
“Yang penting kan sekarang kamu tau, bleh.. “
“Trus sama siapa? Ah parah banget.. adek sendiri nggak dikabarin..”
Gua benar-benar marah, merasa nggak dianggap, merasa termarjinalkan.
“Sama Ubay..”
“Hah Ubay? Trus Arya?”
Gua bertanya lagi ke Ibu perkara calon suami Salsa, karena setau gua Salsa memang berpacaran dengan Ubay; yang notabene pria pilihan bokap sedangkan Arya (yang dulu statusnya juga gua kurang tau pasti) adalah pilihan Salsa dan seperti biasa, bokap nggak setuju. Sampai saat ini, akhirnya gua paham perihal tampah murungnya Salsa waktu itu.
“Arya nggak serius sama kakakmu..”
Ibu menjawab, kali ini mimiknya berubah serius. Gua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, feeling sorry for her.
“Ayo sekarang giliran Desita..”
Om Keke berdiri sambil menepuk tangannya dengan kipas yang sedari tadi dipegangnya.
“Hah? Desita di fitting juga?”
Gua bertanya heran ke Ibu.
“Iya.. Syarat dari Salsa..”
“Maksudnya?”
“Kalo jadi nikah, Salsa mau Desita ikut pake seragam yang sama dengan keluarga..”
Ibu menjawab, kali ini mimiknya berubah lagi menjadi lebih santai. Gua sedikit tersenyum sambil menghela nafas. Kagum akan kebesaran hati Salsa dan sedikit berbesar hati karena tau jika Desita sudah selangkah lagi diterima dikeluarga ini.
“Bapak mana?”
“Tau nih, belum dateng..”
Ibu menjawab sambil melirik ke arah jam tangannya.
Sementara gua memandang Desita yang masuk kedalam ruang ganti bersama dengan wanita yang sedari tadi memegangi ujung gaun Salsa. Gua berdiri menghampiri Salsa dan berbicara kepadanya;
“Lu kok nggak cerita ke gua sih, sa..”
“Yaelah bleh.. gue cerita ke lo pun.. hasilnya bakal sama..”
“Seenggaknya kan mungkin gua bisa bantu..”
“Nggak papa, paling nggak salah satu dari dua anaknya dapet jodoh sesuai keinginan bokap ya kan..”
Salsa bicara sambil menyunggingkan senyum.
“Makasih ya Sa..”
“Ah santai aja..”
“Gila lu ya.. ini perkara pernikahan sa.. kok bisa-bisanya lu santai begitu..”
“Hahaha.. Ubay juga ganteng kok, jadi nggak terlalu sakit hati lah gua..”
“Geblek.. cewek gila..”
Gua mengutuki perempuan setengah gila yang sialnya dia adalah kakak perempuan gua yang begitu santainya menerima nasibnya dijodohkan oleh bokap. Seakan-akan pernikahan hanya sebuah mainan buatnya. Nggak seberapa lama, setelah berbincang dengan Salsa, gua duduk kembali disebelah ibu dan kemudian Desita keluar dari ruang ganti, menggunakan kebaya berwarna hijau, warna yang sama dengan gaun Salsa namun dengan nuansa lebih muda. Gua hanya bisa memandang nanar, sosok perempuan yang kini berdiri dihadapan gua, hanya sebuah lagu uang bisa menggambarkan suasana hati gua saat ini; Cantik-nya Kahitna.
Cantik...
Ingin rasa hati berbisik
Untuk melepas keresahan
Dirimu
Cantik...
Bukan ku ingin mengganggumu
Tapi apa arti merindu
Selalu...
Ooo...
Walau mentari terbit di utara
Hatiku hanya untukmu...
Ada hati yang termanis dan penuh cinta
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa
Tiada lagi
Tiada lagi yang ganggu kita
Ini kesungguhan
Sungguh aku sayang kamu
Belum selesai waktu gua untuk berterima kasih kepada Tuhan atas terciptanya sosok mahluk cantik bernama Desita, dan sepertinya nggak bakal cukup waktu untuk mengagumi kecantikannya, gua diapanggil oleh Om Keke untuk segera di fitting juga. Gua berjalan pelan sambil tetap memandang Desita yang tengah berdiri didepan cermin sambil bercengkrama dengan nenek sihir berhati batu bernama Salsa, memasuki ruang ganti.
Setelah semua selesai mendapat giliran fitting pakaian, kami bertiga duduk disebuah sofa diruang tamu, menunggu bokap yang belum kunjung tiba. Desita duduk disebelah gua sambil memilin-milin ujung kaosnya, terlihat gugup, mirip seperti seorang anak yang tengah duduk mengantri untuk dipanggil masuk kedalam ruang prakter dokter gigi. Gua meraih kepalanya dan mengecup rambutnya sambil berbisik; “Santai ya sayang..”
Dan nggak lama berselang, suara langkah kaki terdengar, Bokap muncul melewati pintu besar berukir dan berdiri dihadapan kami. Dia memandang wajah kami satu persatu kemudian terhenti saat menatap Desita. Desita balas menatap sebentar, mengangguk hormat kemudian kembali tertunduk.
Seperti sadar akan situasi yang mencekam, Om keke tanpa banyak bicara mempersilahkan Bokap untuk segera menuju ke ruang ganti dan melakukan fitting pakaian. Nggak samapi sepuluh menit, bokap sudah kembali menuju ke ruangan dimana kami semua menunggu. Gua berdiri menyambut bokap dan mulai angkat bicara;
“Pak, saya mau ngomong..”
Bokap menatap gua cukup lama sampai akhirnya kemudian menjawab; “Nggak disini.. kita pulang dulu, mau bicara serius?”
“Iya”
Gua menjawab penuh keyakinan, sambil sebelah tangan gua menggenggam erat tangan Desita yang masih tertunduk.
“Kalau begitu bapak tunggu dirumah..”
Bokap kemudain melirik jam tangannya, mengecup dahi Ibu kemudian melangkah pergi lagi.
Diubah oleh robotpintar 26-06-2014 10:01
rinandya dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas