- Beranda
- Stories from the Heart
Everytime
...
TS
robotpintar
Everytime

Song by : Britney Spears
Notice me
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
Take my hand
Why are we Strangers when
Our love is strong?
Why carry on without me?
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small.
I guess I need you baby.
And everytime
I sleep your in my dreams,
I see your face, it's haunting me.
I guess I need you baby.
I make believe
That you are here.
It's the only way
That I see clear.
What have I done?
You seem to moveon easy.
Everytime I try to fly,
I fall without my wings,
I feel so small,
I guess I need you baby.
And everytime I sleep
your in my dreams,
I see your face, you're haunting me
I guess I need you baby.
I may have made it rain,
Please forgive me.
My weakness caused you pain,
And this song's my sorry...
At night I pray,
That soon your face
Will fade away.
FAQ (Frequently asked questions)
Indeks Cerita :
Quote:
Episode 1
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Bagian #1
Bagian #2
Bagian #3
Bagian #4
Bagian #5
Bagian #6
Episode 2
Bagian #7
Bagian #8
Bagian #9
Bagian #10
Bagian #11
Bagian #12
Bagian #13
Bagian #14
Bagian #15
Bagian #16
Bagian #17
Bagian #18
Bagian #19
Bagian #20
Episode 3
Bagian #20A
Bagian #20B
Bagian #20C
Bagian #20D
Episode 4
Bagian #21
Bagian #22
Bagian #23
Bagian #24
Bagian #25
Bagian #26
Bagian #27
Bagian #28
Bagian #29
Bagian #30
Episode 5
Bagian #31
Bagian #32
Bagian #33
Bagian #34
Bagian #35
Bagian #36
Bagian #37
Bagian #38
Episode 6
Bagian #39
Bagian #40
Bagian #41
Bagian #42
Bagian #43
Bagian #44
Bagian #45
Bagian #46
Bagian #47
Episode 7
Bagian #48
Bagian #49
Bagian #50
Bagian #51
Bagian #52 (End)
Quote:
Diubah oleh robotpintar 04-07-2014 13:30
gocharaya dan 103 lainnya memberi reputasi
102
600.2K
Kutip
1.5K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#1070
Spoiler for Bagian #47:
“Jangan jauh-jauh ya, ntar ilang…”
“Emang gua bocah..”
“Nanti pas makan siang jemput ya..”
“Iya..”
Gua mengakhiri pembicaraan dan bergegas menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, gua menyalakan mesin dan mulai berkendara. Drive to Nowhere.
Hampir sekitar dua jam lamanya gua hanya berputar-putar disekitar jalan raya kota Bogor, sampai akhirnya gua kembali lagi ke pelataran parkir kantor Desita. Gua turun dari mobil, kemudian mulai melangkahkan kaki ke bagian samping komplek perkantoran itu. Disebelah kanan dari komplek perkantoran tempat Desita bekerja ada sebuah gang yang cukup besar dimana jika siang hari dipenuhi dengan beraneka ragam pedagang makanan dan minuman, biasanya dipadati dengan para karyawan yang makan siang. Gua melirik ke arah jam tangan, baru puku 10 pagi, suasana di sepanjang jalan tersebut pun masih terlihat sepi, walaupun sudah banyak pedagang-pedagang makanan yang mulai menggelar dan menata dagangannya. Gua berjalan pelan menyusuri gang tersebut sambil sesekali celingukan, entah mencari apa. Gua tenggelam dalam kebingungan, harus apa dan harus kemana, gua hanya berjalan terus sampai akhirnya kaki gua berhenti tepat didepan sebuah warung kopi beratap terpal berwarna biru, gua mendekat dan duduk disebuah bangku kayu panjang dimana sudah ada beberapa orang duduk diatasnya. Seorang pria tua dengan baju partai lusuhnya berdiri kemudian bertanya ke gua dengan menggunakan bahasa sunda, gua mengernyitkan mata, mencoba meresapi apa arti kalimat yang barusan dia bilang; yang gua tangkap hanya kata ‘kopi’, ‘susu’ dan ‘teh’, gua mengangkat telunjuk jari tangan kanan, kemudian menjawab; “Kopi”
Nggak lama secangkir kopi dengan gelas kecil bermotif kembang-kembang, khas hadiah dari mungkin sabun colek atau detergen disajikan dihadapan gua. Gua mencium aromanya; Hmm.. aroma khas kopi sachet Indoca*e. Gua menyulut sebatang rokok, dan hanya duduk dalam diam, sambil sesekali mencuri dengar obrolan-obrolan dua pria disebelah gua, yang dari obrolannya bisa dipastikan salah satu diantara mereka adalah orang Jakarta dan satunya lagi merupakan orang asli sini dan mereka berdua sepertinya satu profesi; Supir pribadi.
Gua agak sedikit tercengang saat salah satu diantara mereka bilang kalau bos-nya bekerja di tempat yang sama dengan Desita. Setelah sedikit banyak mencuri dengar akhirnya gua memberanikan diri bertanya, ke pria yang mengaku supir dari salah seorang bos di kantor Desita, yang sedari tadi gua tau dari obrolan mereka kalau dia adalah orang asli sini.
“Maaf pak”
Gua menyentuh pelan bahunya, pria itu menghentikan obrolannya kemudian berpaling ke gua.
“Naon, pak?”
Pria itu sedikit kaget dan bertanya.
“Kalo boleh tau, bos bapak kerja di Sinar Surya?”
“Iyah.. kenapa emang?”
“Nggak apa-apa, nama bos nya bapak siapa?”
“Pak Yohannes.. kenapa sih?”
Pria itu bertanya balik, sepertinya penasaran.
“Nggak apa-apa pak, saya cuma nanya, soalnya saya mau ngelamar disitu.. tapi mau nyari tau dulu..”
Gua menjawab, bohong.
“Ooh.. coba aja atuh, ngelamar.. disitu mah enak, gaji nya gede..”
“Ah yang bener pak?”
“Bener…”
Si Bapak supir itu menjawab sambil pasang serius.
“Pak Yohannes itu, direkturnya ya?”
“Bukan mas, ada lagi bos besarnya di Jakarta, ini kan cuma anak perusahaan aja, namanya kalo nggak salah Pak Sas..nah Pak Sa situ, katanya orangnya kayaaaa sekali lho…makanya kerja disana gajinya pasti gede..”
Si bapak supir bicara menggebu-gebu.
“Ooh gitu toh..”
Gua cuma manggut-manggut sambil berlagak kagum.
“Tapi, katanya sih saya denger-denger Pas Yohannes kan mau pensiun, dia mau berobat ke amerika.. “
“Ooh.. terus bapak gimana?”
“Nggak tau nih, saya soalnya kan supir kantor, jadi ya nggak begitu masalah kayaknya..”
“Ooh bapak supir kantor, saya kira supir pribadi…”
Akhirnya gua menghabiskan pagi menjelang siang itu, ngobrol ngalor-ngidul dengan Si Bapak Supir yang bekerja di Sinar Surya Trading, tempat Desita bekerja, yang juga anak perusahaan milik bokap. Sebenarnya gua ingin bertanya tentang Desita kepada Si Bapak supir yang akhirnya gua kenali namanya sebagai Bapak Amat, tapi gua urungkan takutnya profil Desita bisa sampai ke tangan Bokap melalui Bapak Amat yang notabene supirnya Pak Yohannes, bawahan langsung bokap.
Ponsel gua berdering saat jam menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Dari Desita; gua berdiri dari bangku panjang, membayar kopi-kopi yang sudah ditenggak habis oleh gua dan beberapa supir yang ada disana, kemudian melangkah pergi menuju ke pelataran parkir.
“Halo..”
“Kamu dimana?”
“Ini disebelah, yang banyak warung-warung tenda..”
“Ooh.. mau makan disitu..?”
“Nggak deh, panas…”
Gua menjawab melalui telepon sambil terus melangkah, sementara dari arah sebaliknya banyak para karyawan tengah berjalan cepat, memasukki beberapa warung-warung tenda yang berjajar. Gang tersebut kemudian mendadak ramai dan riuh tak ubahnya seperti Jalan raya Bendungan Hilir saat-saat jam makan siang.
“…rame lagi… lu dimana?”
“Aku udah diluar, didepan mobil kamu, kirain kamu nunggu dimobil..”
“Yaudah, bentar lagi sampe..”
Gua mempercepat langkah menuju ke parkiran, nggak seberapa lama gua mulai memasuki pelataran parkir komplek perkantoran tempat Desita bekerja dan mendapati dia tengah berdiri di sebelah mobil gua sambil menutupi kepalanya dengan dompet dan tas kecilnya, mencoba menangkal panasnya sinar matahari.
“Sorry ya sayang..”
Gua tersenyum ke arah Desita sambil membuka pintu mobil. Dia hanya tersenyum kemudian menyusul masuk kedalam.
“Mau makan dimana?”
Desita bertanya ke gua setelah kami masuk kedalam mobil.
“Terserah, yang deket-deket aja, biar nggak macet baliknya..”
“Aku nggak balik lagi..”
“Hah, langsung pulang? Gokil kerja enak banget jam segini udah pulang..”
“Setengah hari lah, kan mau persiapan sidang..”
“Ooh.. gitu.. oke bos”
Gua mengemudikan mobil mengikuti petunjuk arah dari Desita, kemudian tiba didepan sebuah rumah makan padang yang cukup besar.
“Aku lagi pengen makan nasi padang”
Dia berkata sambil melepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. Gua berjalan pelan menyusulnya masuk kedalam.
“Des,..”
“Ya..”
“Nggak jadi deh..”
“Apa?”
“Nggak jadi deh, besok aja..”
“Yaah, solichin.. seneng banget bikin orang penasaran deh..”
“Nggak ada apa-apa bener..”
Gua menjawab bohong, tadinya gua ingin bilang kalau setelah sidang nanti gua ingin mengajak dia ke Jakarta untuk bertemu dengan Bokap. Tapi, dia sebentar lagi Sidang, dan gua tau bagaimana rasanya saat menghadapi sidang skripsi, gugup. Maka dari itu gua enggan menambah beban pikiran Desita sementara ini. Mungkin gua baru akan mengatakannya nanti setelah sidang.
“Oiya, Salsa pesen.. lu suru ngurusin badan katanya..”
“Ohh, jadi menurut kamu aku gendut??”
Desita bertanya sambil bertolak pinggang, matanya melotot.
“Nggak bukan.. bukan gua.. Tapi salsa yang ngomong.”
“Iya tapi kamu sampaikan ke aku, itu artinya kamu setuju sama kak salsa kalo aku gendut.. iya kan??”
Desita masih bicara keras, beberapa orang yang berada didalam ruangan rumah makan padang melirik ke arah kami berdua.
“Ssttt.. malu woy.. jangan kenceng-kenceng.. gua nggak tau apa maksud salsa, dia cuma nitip pesen gitu..”
Gua berusaha menjelaskan, dan sepertinya kemarahan sesaat Desita mulai reda, saat ini dia malah memasang tampang murung bak burung perkutut rusak pita suaranya.
“Emang aku segini masih kegendut-an ya buat kamu sol..”
Dia bertanya, masih memasang tampang sedikit memelas.
“Nggak Des, lu gendut kek, kurus kek, gua tetep suka..”
“Bener..?”
“Iya..”
Gua mencolek hidungnya yang menggemaskan dengan tampang seperti dibuat marah itu.
“Lu Sidang kapan?”
“Besok..”
“What? Udah belajar?”
“Belum..”
“Kenapa?”
“Males..”
“Gila.. belajar dong..”
“Hehehe.. belajar lah.. biar cepet lulus, cepet nikah deh..”
Gua tersenyum mendengar kata-katanya, dalam hati berkata ‘iya des, sama gua juga’.
Dan sore itu setelah lelah berkeliling kota bogor hanya untuk memuaskan hasrat gua untuk sedikit mengenali kota hujan ini, akhirnya kami kembali ke rumah Desita. Dirumah, disisa hari gua habiskan dengan menjadi partner tandem Desita dalam membahas materi skripsinya yang bakal disidangkan besok. Terkadang gua mencoba-nya memberikan beberapa soal untuk langsung dijawab dan kemudian gua berlagak sebagai dosen penguji-nya.
“Udah ah sol, capek..”
“Ee.. sebentar lagi ayoo.. baru jam sembilan..”
“Aaah.. caapeek..”
“Yaudah, besok pagi dilanjutin lagi ya..”
“Iya..”
“Lu sidang jam berapa?”
“Jam dua..”
“Nggak kerja dong?”
“Nggak..”
“Bolos mulu..”
“Gapapa, kan yang punya kantor juga calon mertua..”
“Emang orang kantor pada tau lu pacar gua?”
“Enggak.. hehehe.. tapi pada akhirnya toh juga pada tau kan”
Gua manggut-manggut tanda setuju.
---
Esok harinya, tepat jam sembilan pagi gua sudah kembali berada di rumah Desita. Beberapa kali gua membujuknya untuk kembali membahas materi skripsi-nya tapi dia menolak dengan alasan ‘capek’. Desita punya opini, kalau otak terus menerus dipaksa untuk diperas maka saat benar-benar dibutuhkan dia nggak bakal bisa bekerja secara maksimal. Desita menganalogikan otak dan pikiran seperti tubuh manusia, saat tubuh terus menerus dipaksa untuk melakukan latihan fisik yang berat maka saat bertanding maka tubuh kehabisan tenaga dan tentu saja hasil pertandingan juga bakal nggak maksimal, coba tengok para pemain sepak bola; saat hendak bertanding mereka hanya melakukan pemanasan ringan, guna-nya tentu saja untuk melemaskan otot-otot agar terbiasa dengan kondisi dalam bertanding.
“Aku udah pemanasan otak pagi ini..”
Desita berkata sambil berbaring diatas lantai yang dilapisi karpet tebal dan memeluik guling. Sementara tangannya lincah memindahkan saluran tivi dengan remote.
“Pemanasan ngapain?”
“Mikirin kamu.. kan sama-sama mikir”
“Yee.. beda”
“Sama, udah ah diem.. lagi seru nih george nya..”
Desita mengangkat tangan, memberi tanda ke gua supaya diam. Dia tengah serius menyaksikan serial Curious George di salah satu stasiun tivi swasta. Gua hanya bisa menghela nafas sambil kemudian bertopang dagu memandanginya.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Gua duduk menunggu Desita yang tengah bersiap-siap sambil menonton tivi. Dan satu jam berikutnya gua sudah berada dikampus Desita, duduk mendampinginya di bangku tunggu panjang yang mirip dengan bangku yang biasa terdapat di ruang tunggu rumah sakit. Desita duduk sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dan menggoyang-goyangkan kakinya. Baru kali ini gua melihat Desita begitu gugup dan gua pikir dalam menghadapi kondisi seperti ini, siapa orang yang nggak bakal gugup. Bahkan mungkin, Gatot kaca pun pasti gugup saat menunggu panggilan sidang skripsi-nya.
Gua mengeluarkan ponsel dan headset dari saku, memutarkan sebuah lagu dan memberikan headsetnya ke dia.
“Nih dengerin ini deh.. “
“Lagu apa?”
“The Brand New Heavies - You Are The Universe..”
Desita mengambil headset dan memasangnya dikedua telinga. Kemudian dia larut dalam lantunan lagu lawas tersebut.
“Enak sol lagunya..”
“Iya memang.. percaya deh, kalo dalam hidup ini lu adalah pengemudinya, bukan cuma penumpang.. jadi lu yang menentukan jalan hidup lu sendiri.. percaya sama diri sendiri, percaya kalo lu bisa..”
Desita tersenyum kemudian merebahkan kepalanya diatas bahu gua.
You're a winner, so do what you came here for
The secret weapon, isn't secret anymore
You're a driver, never passenger in life
And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't do
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, yes I do
“Sol..”
“Ya..”
“Makasih ya udah mau nemenin aku, ngasih semangat aku..”
“Iya..apapun dah buat lu..”
Baru selesai gua bicara, seorang perempuan mengenakan seragam batik keluar dari sebuah ruangan auditorium, melihat sebentar ke arah papan jalan yang dipegangnya kemudian memanggil nama Desita.
Desita berdiri, merapikan pakaiannya kemudian berjalan cepat menuju ke arah pintu dimana wanita berseragam batik itu menunggu. Gua berjalan pelan mengikutinya, sebelum masuk dia menoleh kearah gua sebentar kemudian berkata; “Do’a kan aku ya..”, gua tersenyum sambil mengangguk dan menatap pintu auditorium itu tertutup.
Gua duduk dibangku panjang sambil sesekali memandang ke arah jam tangan. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Desita memasuki ruangan sidang tadi. Saat ini gua mungkin sedikit paham bagaimana rasanya menjadi suami yang tengah menunggu proses persalinan istrinya, walaupun mungkin dalam hal ini analogi tersebut terlalu dilebih-lebihkan tapi paling tidak, gua rasa, kondisinya hampir mirip; Harap-harap cemas gimana gitu.
Sepuluh menit berikutnya, kenop pintu berwana cokelat terbuka, muncul sosok wanita berseragam batik yang kemudian disusul Desita yang melangkah keluar sambil memasang tampang sumringah. Gua berdiri dan menghampirinya;
“Gimana?”
“Apanya?”
“Ya hasilnya lah?”
“Yee emang kamu pikir apaan bisa langsung ketahuan hasilnya..”
“Lah terus kapan bisa tau hasilnya? Trus kok senyum-senyum gitu..?”
“Hasilnya sih nanti sore, senyum kan belum tentu harus ada artinya sol.. “
“Ah nggak asik..”
“Aku senyum karena puas udah bisa menjawab semua pertanyaan dosen-dosen penguji dan yakin kalo hasilnya bakal bagus..”
“Harus bagus..”
“Yee..”
Kemudian kami berdua kembali duduk dibangku panjang, Desita mulai bercerita tentang kronologi dan proses sidang yang barusan dia hadapi. Dari mulai dosen penguji yang jutek sampai kesalahan dosen saat mengambil skripsi milik mahasiswa lain. Gua hanya mendengarkan sambil menatap wajahnya; sebuah kepuasan tersendiri dapat melihatnya bercerita lepas dengan senyum tersungging di wajahnya. Saat Desita selesai bercerita, gua mulai berfikir giliran gua yang akan memberikan kabar, mudah-mudaha dia siap.
“Des..”
“Apa?”
“Minggu depan, Salsa minta kita kerumah..”
“Kerumah kamu?”
Desita bertanya sambil menegakkan tubuhnya.
“Iya..”
“Yang di Jakarta?”
“Iya..”
“Ada apa?”
Gua mengangkat bahu sementara Desita menggaruk-garuk kepalanya.
“Sebenernya, walaupun Salsa nggak minta, gua bakal tetep ngajak lu kerumah, buat ketemu bokap..”
“Hhhh...”
Desita menghela nafas pelan.
“Kayaknya emang harus deh sol, aku sebenernya udah tau kalo saat ini bakal dateng..”
“Iya..”
“Dan aku rasa, mungkin minggu depan waktu yang tepat...”
“Jadi lu mau?”
Gua bertanya kemudian disusul anggukan mantab Desita.
“Tapi apa lu siap dengan semua jawaban yang bakal kita dapet nanti..?”
Gua bertanya kepadanya, Desita terlihat memandang kosong ke arah depan.
“Des...”
“...”
“Lu siap dengan semua jawaban yang bakal kita dapet nanti..?”
“Ya siap nggak siap, mau nggak mau.. harus dihadapin..”
“Kalo seandainya.. seandainya nih.. jawaban yang kita dapet ternyata nggak sesuai dengan apa yang selama ini kita harapkan gimana?”
“Aku nggak bisa!”
Desita berdiri, kemudian mundur selangkah, masih menatap gua. Kedua mata indahnya mulai berlinang.
“Pokoknya aku nggak bisa! Nggak mau mendengar jawaban lain.. Aku mau kamu!”
“Yaudah sini duduk, nggak usah pake nangis..”
Gua mencoba membujuknya untuk kembali duduk. Beberapa orang terlihat menoleh kearah kami. Walaupun gelagat Desita sedikit tersamar dengan tangisan beberapa mahasiswa yang mungkin gagal dalam menghadapi sidang, tetap teriakannya membuat beberapa mata memandang heran ke arah kami berdua.
Desita kembali duduk dan muali terisak.
“Aku capek sol!.. capeek..”
“...”
“Capek ngeliat kenapa orang-orang bisa bahagia, bisa dapet apa yang mereka mau.. sedangkan aku..”
Gua memeluk Desita erat, terasa tetesan hangat air mata Desita mengalir di lengan gua.
“Des.. i’ll stop this pain.. Gua janji!”
“Emang gua bocah..”
“Nanti pas makan siang jemput ya..”
“Iya..”
Gua mengakhiri pembicaraan dan bergegas menuju ke mobil. Sesampainya di mobil, gua menyalakan mesin dan mulai berkendara. Drive to Nowhere.
Hampir sekitar dua jam lamanya gua hanya berputar-putar disekitar jalan raya kota Bogor, sampai akhirnya gua kembali lagi ke pelataran parkir kantor Desita. Gua turun dari mobil, kemudian mulai melangkahkan kaki ke bagian samping komplek perkantoran itu. Disebelah kanan dari komplek perkantoran tempat Desita bekerja ada sebuah gang yang cukup besar dimana jika siang hari dipenuhi dengan beraneka ragam pedagang makanan dan minuman, biasanya dipadati dengan para karyawan yang makan siang. Gua melirik ke arah jam tangan, baru puku 10 pagi, suasana di sepanjang jalan tersebut pun masih terlihat sepi, walaupun sudah banyak pedagang-pedagang makanan yang mulai menggelar dan menata dagangannya. Gua berjalan pelan menyusuri gang tersebut sambil sesekali celingukan, entah mencari apa. Gua tenggelam dalam kebingungan, harus apa dan harus kemana, gua hanya berjalan terus sampai akhirnya kaki gua berhenti tepat didepan sebuah warung kopi beratap terpal berwarna biru, gua mendekat dan duduk disebuah bangku kayu panjang dimana sudah ada beberapa orang duduk diatasnya. Seorang pria tua dengan baju partai lusuhnya berdiri kemudian bertanya ke gua dengan menggunakan bahasa sunda, gua mengernyitkan mata, mencoba meresapi apa arti kalimat yang barusan dia bilang; yang gua tangkap hanya kata ‘kopi’, ‘susu’ dan ‘teh’, gua mengangkat telunjuk jari tangan kanan, kemudian menjawab; “Kopi”
Nggak lama secangkir kopi dengan gelas kecil bermotif kembang-kembang, khas hadiah dari mungkin sabun colek atau detergen disajikan dihadapan gua. Gua mencium aromanya; Hmm.. aroma khas kopi sachet Indoca*e. Gua menyulut sebatang rokok, dan hanya duduk dalam diam, sambil sesekali mencuri dengar obrolan-obrolan dua pria disebelah gua, yang dari obrolannya bisa dipastikan salah satu diantara mereka adalah orang Jakarta dan satunya lagi merupakan orang asli sini dan mereka berdua sepertinya satu profesi; Supir pribadi.
Gua agak sedikit tercengang saat salah satu diantara mereka bilang kalau bos-nya bekerja di tempat yang sama dengan Desita. Setelah sedikit banyak mencuri dengar akhirnya gua memberanikan diri bertanya, ke pria yang mengaku supir dari salah seorang bos di kantor Desita, yang sedari tadi gua tau dari obrolan mereka kalau dia adalah orang asli sini.
“Maaf pak”
Gua menyentuh pelan bahunya, pria itu menghentikan obrolannya kemudian berpaling ke gua.
“Naon, pak?”
Pria itu sedikit kaget dan bertanya.
“Kalo boleh tau, bos bapak kerja di Sinar Surya?”
“Iyah.. kenapa emang?”
“Nggak apa-apa, nama bos nya bapak siapa?”
“Pak Yohannes.. kenapa sih?”
Pria itu bertanya balik, sepertinya penasaran.
“Nggak apa-apa pak, saya cuma nanya, soalnya saya mau ngelamar disitu.. tapi mau nyari tau dulu..”
Gua menjawab, bohong.
“Ooh.. coba aja atuh, ngelamar.. disitu mah enak, gaji nya gede..”
“Ah yang bener pak?”
“Bener…”
Si Bapak supir itu menjawab sambil pasang serius.
“Pak Yohannes itu, direkturnya ya?”
“Bukan mas, ada lagi bos besarnya di Jakarta, ini kan cuma anak perusahaan aja, namanya kalo nggak salah Pak Sas..nah Pak Sa situ, katanya orangnya kayaaaa sekali lho…makanya kerja disana gajinya pasti gede..”
Si bapak supir bicara menggebu-gebu.
“Ooh gitu toh..”
Gua cuma manggut-manggut sambil berlagak kagum.
“Tapi, katanya sih saya denger-denger Pas Yohannes kan mau pensiun, dia mau berobat ke amerika.. “
“Ooh.. terus bapak gimana?”
“Nggak tau nih, saya soalnya kan supir kantor, jadi ya nggak begitu masalah kayaknya..”
“Ooh bapak supir kantor, saya kira supir pribadi…”
Akhirnya gua menghabiskan pagi menjelang siang itu, ngobrol ngalor-ngidul dengan Si Bapak Supir yang bekerja di Sinar Surya Trading, tempat Desita bekerja, yang juga anak perusahaan milik bokap. Sebenarnya gua ingin bertanya tentang Desita kepada Si Bapak supir yang akhirnya gua kenali namanya sebagai Bapak Amat, tapi gua urungkan takutnya profil Desita bisa sampai ke tangan Bokap melalui Bapak Amat yang notabene supirnya Pak Yohannes, bawahan langsung bokap.
Ponsel gua berdering saat jam menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Dari Desita; gua berdiri dari bangku panjang, membayar kopi-kopi yang sudah ditenggak habis oleh gua dan beberapa supir yang ada disana, kemudian melangkah pergi menuju ke pelataran parkir.
“Halo..”
“Kamu dimana?”
“Ini disebelah, yang banyak warung-warung tenda..”
“Ooh.. mau makan disitu..?”
“Nggak deh, panas…”
Gua menjawab melalui telepon sambil terus melangkah, sementara dari arah sebaliknya banyak para karyawan tengah berjalan cepat, memasukki beberapa warung-warung tenda yang berjajar. Gang tersebut kemudian mendadak ramai dan riuh tak ubahnya seperti Jalan raya Bendungan Hilir saat-saat jam makan siang.
“…rame lagi… lu dimana?”
“Aku udah diluar, didepan mobil kamu, kirain kamu nunggu dimobil..”
“Yaudah, bentar lagi sampe..”
Gua mempercepat langkah menuju ke parkiran, nggak seberapa lama gua mulai memasuki pelataran parkir komplek perkantoran tempat Desita bekerja dan mendapati dia tengah berdiri di sebelah mobil gua sambil menutupi kepalanya dengan dompet dan tas kecilnya, mencoba menangkal panasnya sinar matahari.
“Sorry ya sayang..”
Gua tersenyum ke arah Desita sambil membuka pintu mobil. Dia hanya tersenyum kemudian menyusul masuk kedalam.
“Mau makan dimana?”
Desita bertanya ke gua setelah kami masuk kedalam mobil.
“Terserah, yang deket-deket aja, biar nggak macet baliknya..”
“Aku nggak balik lagi..”
“Hah, langsung pulang? Gokil kerja enak banget jam segini udah pulang..”
“Setengah hari lah, kan mau persiapan sidang..”
“Ooh.. gitu.. oke bos”
Gua mengemudikan mobil mengikuti petunjuk arah dari Desita, kemudian tiba didepan sebuah rumah makan padang yang cukup besar.
“Aku lagi pengen makan nasi padang”
Dia berkata sambil melepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. Gua berjalan pelan menyusulnya masuk kedalam.
“Des,..”
“Ya..”
“Nggak jadi deh..”
“Apa?”
“Nggak jadi deh, besok aja..”
“Yaah, solichin.. seneng banget bikin orang penasaran deh..”
“Nggak ada apa-apa bener..”
Gua menjawab bohong, tadinya gua ingin bilang kalau setelah sidang nanti gua ingin mengajak dia ke Jakarta untuk bertemu dengan Bokap. Tapi, dia sebentar lagi Sidang, dan gua tau bagaimana rasanya saat menghadapi sidang skripsi, gugup. Maka dari itu gua enggan menambah beban pikiran Desita sementara ini. Mungkin gua baru akan mengatakannya nanti setelah sidang.
“Oiya, Salsa pesen.. lu suru ngurusin badan katanya..”
“Ohh, jadi menurut kamu aku gendut??”
Desita bertanya sambil bertolak pinggang, matanya melotot.
“Nggak bukan.. bukan gua.. Tapi salsa yang ngomong.”
“Iya tapi kamu sampaikan ke aku, itu artinya kamu setuju sama kak salsa kalo aku gendut.. iya kan??”
Desita masih bicara keras, beberapa orang yang berada didalam ruangan rumah makan padang melirik ke arah kami berdua.
“Ssttt.. malu woy.. jangan kenceng-kenceng.. gua nggak tau apa maksud salsa, dia cuma nitip pesen gitu..”
Gua berusaha menjelaskan, dan sepertinya kemarahan sesaat Desita mulai reda, saat ini dia malah memasang tampang murung bak burung perkutut rusak pita suaranya.
“Emang aku segini masih kegendut-an ya buat kamu sol..”
Dia bertanya, masih memasang tampang sedikit memelas.
“Nggak Des, lu gendut kek, kurus kek, gua tetep suka..”
“Bener..?”
“Iya..”
Gua mencolek hidungnya yang menggemaskan dengan tampang seperti dibuat marah itu.
“Lu Sidang kapan?”
“Besok..”
“What? Udah belajar?”
“Belum..”
“Kenapa?”
“Males..”
“Gila.. belajar dong..”
“Hehehe.. belajar lah.. biar cepet lulus, cepet nikah deh..”
Gua tersenyum mendengar kata-katanya, dalam hati berkata ‘iya des, sama gua juga’.
Dan sore itu setelah lelah berkeliling kota bogor hanya untuk memuaskan hasrat gua untuk sedikit mengenali kota hujan ini, akhirnya kami kembali ke rumah Desita. Dirumah, disisa hari gua habiskan dengan menjadi partner tandem Desita dalam membahas materi skripsinya yang bakal disidangkan besok. Terkadang gua mencoba-nya memberikan beberapa soal untuk langsung dijawab dan kemudian gua berlagak sebagai dosen penguji-nya.
“Udah ah sol, capek..”
“Ee.. sebentar lagi ayoo.. baru jam sembilan..”
“Aaah.. caapeek..”
“Yaudah, besok pagi dilanjutin lagi ya..”
“Iya..”
“Lu sidang jam berapa?”
“Jam dua..”
“Nggak kerja dong?”
“Nggak..”
“Bolos mulu..”
“Gapapa, kan yang punya kantor juga calon mertua..”
“Emang orang kantor pada tau lu pacar gua?”
“Enggak.. hehehe.. tapi pada akhirnya toh juga pada tau kan”
Gua manggut-manggut tanda setuju.
---
Esok harinya, tepat jam sembilan pagi gua sudah kembali berada di rumah Desita. Beberapa kali gua membujuknya untuk kembali membahas materi skripsi-nya tapi dia menolak dengan alasan ‘capek’. Desita punya opini, kalau otak terus menerus dipaksa untuk diperas maka saat benar-benar dibutuhkan dia nggak bakal bisa bekerja secara maksimal. Desita menganalogikan otak dan pikiran seperti tubuh manusia, saat tubuh terus menerus dipaksa untuk melakukan latihan fisik yang berat maka saat bertanding maka tubuh kehabisan tenaga dan tentu saja hasil pertandingan juga bakal nggak maksimal, coba tengok para pemain sepak bola; saat hendak bertanding mereka hanya melakukan pemanasan ringan, guna-nya tentu saja untuk melemaskan otot-otot agar terbiasa dengan kondisi dalam bertanding.
“Aku udah pemanasan otak pagi ini..”
Desita berkata sambil berbaring diatas lantai yang dilapisi karpet tebal dan memeluik guling. Sementara tangannya lincah memindahkan saluran tivi dengan remote.
“Pemanasan ngapain?”
“Mikirin kamu.. kan sama-sama mikir”
“Yee.. beda”
“Sama, udah ah diem.. lagi seru nih george nya..”
Desita mengangkat tangan, memberi tanda ke gua supaya diam. Dia tengah serius menyaksikan serial Curious George di salah satu stasiun tivi swasta. Gua hanya bisa menghela nafas sambil kemudian bertopang dagu memandanginya.
Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Gua duduk menunggu Desita yang tengah bersiap-siap sambil menonton tivi. Dan satu jam berikutnya gua sudah berada dikampus Desita, duduk mendampinginya di bangku tunggu panjang yang mirip dengan bangku yang biasa terdapat di ruang tunggu rumah sakit. Desita duduk sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dan menggoyang-goyangkan kakinya. Baru kali ini gua melihat Desita begitu gugup dan gua pikir dalam menghadapi kondisi seperti ini, siapa orang yang nggak bakal gugup. Bahkan mungkin, Gatot kaca pun pasti gugup saat menunggu panggilan sidang skripsi-nya.
Gua mengeluarkan ponsel dan headset dari saku, memutarkan sebuah lagu dan memberikan headsetnya ke dia.
“Nih dengerin ini deh.. “
“Lagu apa?”
“The Brand New Heavies - You Are The Universe..”
Desita mengambil headset dan memasangnya dikedua telinga. Kemudian dia larut dalam lantunan lagu lawas tersebut.
“Enak sol lagunya..”
“Iya memang.. percaya deh, kalo dalam hidup ini lu adalah pengemudinya, bukan cuma penumpang.. jadi lu yang menentukan jalan hidup lu sendiri.. percaya sama diri sendiri, percaya kalo lu bisa..”
Desita tersenyum kemudian merebahkan kepalanya diatas bahu gua.
You're a winner, so do what you came here for
The secret weapon, isn't secret anymore
You're a driver, never passenger in life
And when you're ready, you won't have to try 'cause
You are the Universe
And there ain't nothin' you can't do
If you conceive it, you can achieve it
That's why, I believe in you, yes I do
“Sol..”
“Ya..”
“Makasih ya udah mau nemenin aku, ngasih semangat aku..”
“Iya..apapun dah buat lu..”
Baru selesai gua bicara, seorang perempuan mengenakan seragam batik keluar dari sebuah ruangan auditorium, melihat sebentar ke arah papan jalan yang dipegangnya kemudian memanggil nama Desita.
Desita berdiri, merapikan pakaiannya kemudian berjalan cepat menuju ke arah pintu dimana wanita berseragam batik itu menunggu. Gua berjalan pelan mengikutinya, sebelum masuk dia menoleh kearah gua sebentar kemudian berkata; “Do’a kan aku ya..”, gua tersenyum sambil mengangguk dan menatap pintu auditorium itu tertutup.
Gua duduk dibangku panjang sambil sesekali memandang ke arah jam tangan. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Desita memasuki ruangan sidang tadi. Saat ini gua mungkin sedikit paham bagaimana rasanya menjadi suami yang tengah menunggu proses persalinan istrinya, walaupun mungkin dalam hal ini analogi tersebut terlalu dilebih-lebihkan tapi paling tidak, gua rasa, kondisinya hampir mirip; Harap-harap cemas gimana gitu.
Sepuluh menit berikutnya, kenop pintu berwana cokelat terbuka, muncul sosok wanita berseragam batik yang kemudian disusul Desita yang melangkah keluar sambil memasang tampang sumringah. Gua berdiri dan menghampirinya;
“Gimana?”
“Apanya?”
“Ya hasilnya lah?”
“Yee emang kamu pikir apaan bisa langsung ketahuan hasilnya..”
“Lah terus kapan bisa tau hasilnya? Trus kok senyum-senyum gitu..?”
“Hasilnya sih nanti sore, senyum kan belum tentu harus ada artinya sol.. “
“Ah nggak asik..”
“Aku senyum karena puas udah bisa menjawab semua pertanyaan dosen-dosen penguji dan yakin kalo hasilnya bakal bagus..”
“Harus bagus..”
“Yee..”
Kemudian kami berdua kembali duduk dibangku panjang, Desita mulai bercerita tentang kronologi dan proses sidang yang barusan dia hadapi. Dari mulai dosen penguji yang jutek sampai kesalahan dosen saat mengambil skripsi milik mahasiswa lain. Gua hanya mendengarkan sambil menatap wajahnya; sebuah kepuasan tersendiri dapat melihatnya bercerita lepas dengan senyum tersungging di wajahnya. Saat Desita selesai bercerita, gua mulai berfikir giliran gua yang akan memberikan kabar, mudah-mudaha dia siap.
“Des..”
“Apa?”
“Minggu depan, Salsa minta kita kerumah..”
“Kerumah kamu?”
Desita bertanya sambil menegakkan tubuhnya.
“Iya..”
“Yang di Jakarta?”
“Iya..”
“Ada apa?”
Gua mengangkat bahu sementara Desita menggaruk-garuk kepalanya.
“Sebenernya, walaupun Salsa nggak minta, gua bakal tetep ngajak lu kerumah, buat ketemu bokap..”
“Hhhh...”
Desita menghela nafas pelan.
“Kayaknya emang harus deh sol, aku sebenernya udah tau kalo saat ini bakal dateng..”
“Iya..”
“Dan aku rasa, mungkin minggu depan waktu yang tepat...”
“Jadi lu mau?”
Gua bertanya kemudian disusul anggukan mantab Desita.
“Tapi apa lu siap dengan semua jawaban yang bakal kita dapet nanti..?”
Gua bertanya kepadanya, Desita terlihat memandang kosong ke arah depan.
“Des...”
“...”
“Lu siap dengan semua jawaban yang bakal kita dapet nanti..?”
“Ya siap nggak siap, mau nggak mau.. harus dihadapin..”
“Kalo seandainya.. seandainya nih.. jawaban yang kita dapet ternyata nggak sesuai dengan apa yang selama ini kita harapkan gimana?”
“Aku nggak bisa!”
Desita berdiri, kemudian mundur selangkah, masih menatap gua. Kedua mata indahnya mulai berlinang.
“Pokoknya aku nggak bisa! Nggak mau mendengar jawaban lain.. Aku mau kamu!”
“Yaudah sini duduk, nggak usah pake nangis..”
Gua mencoba membujuknya untuk kembali duduk. Beberapa orang terlihat menoleh kearah kami. Walaupun gelagat Desita sedikit tersamar dengan tangisan beberapa mahasiswa yang mungkin gagal dalam menghadapi sidang, tetap teriakannya membuat beberapa mata memandang heran ke arah kami berdua.
Desita kembali duduk dan muali terisak.
“Aku capek sol!.. capeek..”
“...”
“Capek ngeliat kenapa orang-orang bisa bahagia, bisa dapet apa yang mereka mau.. sedangkan aku..”
Gua memeluk Desita erat, terasa tetesan hangat air mata Desita mengalir di lengan gua.
“Des.. i’ll stop this pain.. Gua janji!”
jiyanq dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas